BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sapi bali Sapi bali (Bos sondaicus) merupakan sapi asli Indonesia yang diduga
sebagai hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin bahwa domestikasi tersebut berlangsung di Bali sehingga disebut sapi bali. Sapi bali memiliki beberapa keunggulan, diantaranya mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan yang buruk, seperti daerah yang bersuhu tinggi, mutu pakan yang rendah/kasar, dan lain-lain. Di samping itu, tingkat kesuburan (fertilitas) sapi bali termasuk amat tinggi dibandingan dengan jenis sapi lain, yaitu mencapai 83% (Darmadja, 1980), tanpa terpengaruh oleh mutu pakan. Menurut Guntoro (2002) di daerah baru (daerah transmigran), sapi bali merupakan ternak “primadona” bagi petani karena merupakan tenaga kerja yang tangguh, di samping memiliki adaptasi yang bagus terhadap lingkungan dan reproduksi yang tinggi. Sapi bali memiliki bentuk badan yang kompak dan persentase karkas yang tinggi (56%) sehingga cocok untuk dikembangkan sebagai sapi potong. Menurut Guntoro (2002) sapi bali juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain: amat peka terhadap beberapa jenis penyakit yang tidak dijumpai pada ternak sapi lain, misalnya penyakit Jembrana dan Baliziekte yang hanya menyerang sapi bali. Sapi bali juga peka terhadap penyakit Coryza yang dapat ditularkan melalui domba. Di samping itu, interval beranak pada sapi bali relatif panjang (340–550 hari), lebih panjang daripada sapi-sapi Eropa atau Amerika. Dengan pola pemeliharaan tradisional, pertumbuhan sapi bali cukup lambat, yakni rata-rata hanya mencapai 200–300 gram per ekor per hari (Guntoro, 2002).
Menurut Guntoro (2002), sapi bali sebagai salah satu bangsa sapi memiliki ciri-ciri spesifik yang berbeda dengan bangsa sapi lainnya. Sapi bali memiliki warna dan bentuk tubuh persis seperti banteng liar. Sapi bali jantan dan betina memiliki warna kaki putih dan memiliki “telau”, yakni bulu putih pada bagian pantatnya dan terdapat “garis belut” (bulu hitam) di sepanjang punggungnya. Sapi bali tidak memiliki punuk seperti halnya banteng, bentuk badannya kompak, dan dadanya dalam. Dibandingkan dengan sapi-sapi lain, sapi bali lebih agresif (galak) terutama sapi bali jantan. Di samping ciri-ciri umum tersebut di atas, sapi bali jantan dan betina juga memiliki beberapa ciri yang spesifik (Guntoro, 2002). a. Sapi Jantan Ciri-ciri spesifik yang dimiliki oleh sapi bali jantan adalah sebagai berikut: 1. Pada saat masih pedet, warna bulu sapi jantan berwarna merah bata. Setelah dewasa kelamin, warna bulunya berubah menjadi hitam (kecuali kaki dan pantat). Perubahan tersebut dipengaruhi oleh hormon testosteron. 2. Tanduk agak di bagian luar dari kepala mengarah latern-dorsal dan membelok dorso-cranial. 3. Tubuhnya relatif lebih besar dibanding dengan sapi betina, berat sapi dewasa rata-rata 350 kg–450 kg, dan tinggi badan 130 cm–140 cm. b. Sapi Betina Ciri-ciri spesifik yang dimiliki oleh sapi bali betina adalah sebagai berikut: 1. Warna bulu badan merah bata (kecuali kaki dan pantat). 2. Tanduk agak di bagian dalam dari kepala, mengarah latero-dorsal dan membelok dorsa-medial. Tubuh relatif lebih kecil dibandingkan dengan sapi jantan dan berat sapi dewasa 250 kg – 350 kg.
Sapi bali betina mencapai pubertas pada umur sekitar 1,5 tahun dan sudah siap dikawinkan pada umur 2 tahun dengan lama kebuntingan sekitar 280 – 290 hari. Dengan demikian sapi bali akan melahirkan anak pertama pada saat berumur sekitar 3 tahun (Guntoro, 2002). Calon induk betina sapi bali dapat dipilih yang masih muda (belum pernah kawin/beranak) hingga yang sudah beranak 3 – 4 kali. Untuk memperoleh keturunan yang baik, induk sapi bali betina hendaknya dipertahankan paling tua hingga umur 11 tahun atau setelah 7 kali beranak. Peurunan kualitas anak terjadi pada kelahiran ke-8 dan seterusnya, maka apabila induk betina melahirkan lebih dari 7 kali, anak yang dihasilkan kualitasnya menurun dan berdampak pada pertumbuhan anak tersebut yang juga lebih lambat. Sapi bali memiliki produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi lokal lainnya, dengan persentase kelahiran 52,15% lebih tinggi dibandingkan dengan sapi Brahman (50,71%), Brahman cross (47,76%) dan sapi Ongole (51,04%) (Darmadja, 1980). Lebih lanjut dijelaskan bahwa, sapi bali memiliki karakteristik reproduksi sebagai berikut: lama bunting adalah 285-286 hari; jarak beranak adalah 14-17 bulan; persentase kebuntingan adalah 80-90%; persentase kematian sebelum dan sesudah disapih pada sapi bali berturut-turut adalah 7,03% dan 3,59%; dan persentase kematian pada umur dewasa sebesar 2,7%. 2.2
Perbibitan Sapi Bali Usaha perbibitan sapi merupakan suatu kegiatan usaha yang bertujuan
untuk mendapatkan hasil berupa bibit yang baik, sehingga perlu memperhatikan pengelolaan usaha perbibitan yang meliputi pemilihan bibit, perkandangan, pemberian pakan serta pencegahan penyakit dan kesehatan hewan.
Persyaratan mutu yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bibit yang akan dijadikan calon induk betina berdasarkan SNI 7355 terdiri atas: persyaratan umum dan persyaratan khusus. Persyaratan umum mencakup bibit yang sesuai dengan pedoman pembibitan sapi potong yang baik, sehat dan bebas dari penyakit hewan menular yang dinyatakan oleh petugas berwenang, bebas dari segala cacat fisik dan bebas cacat alat reproduksi, memiliki ambing normal dan tidak menunjukkan gejala kemajiran. Persyaratan khusus mencakup persyaratan kualitatif dan kuantitatif. Persyaratan kualitatif, terdiri atas: a. Warna bulu merah bata, lutut ke bawah putih, pantat berwarna putih, ujung ekor hitam dan ada garis belut warna hitam pada punggung b. Tanduk pendek dan kecil. c. Bentuk kepala lebar dengan leher kompak dan kuat. Sedangkan persyaratan kuantitatif menurut SNI 7355, Badan Standardisasi Nasional (2006), meliputi ukuran beberapa dimensi tubuh seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Persyaratan kuantitatif pemilihan bibit (calon induk) sapi No Umur Parameter Kelas I Kelas II (bulan) (cm) (cm) Lingkar dada minimum 138 130 1 18 Tinggi pundak minimum 105 99 < 24 Panjang badan minimum 107 101 Lingkar dada minimum 147 135 2 ≥ 24 Tinggi pundak minimum 109 103 Panjang badan minimum
113
107
Kelas III (cm) 125 93 95 130 97 101
Sumber: BSN, 2006.
Menurut Guntoro (2002), kandang merupakan salah satu unsur penting dalam membudidayakan sapi bali. Kandang bagi ternak berfungsi sebagai tempat berlindung dari sengatan sinar matahari, guyuran hujan dan tiupan angin kencang.
Sapi yang dikandangkan juga akan memudahkan peternak dalam melakukan pemeliharaan dan perawatan. Berkaitan dengan pembuatan kandang, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan antara lain letak kandang, bahan kandang, ukuran kandang, bentuk dan konstruksi kandang, dan perlengkapan kandang. 1. Letak Kandang Letak kandang idealnya memperhatikan beberapa hal antara lain: jarak, lokasi, dan posisi kandang. Jarak kandang agak jauh dari pemukiman penduduk agar kebersihan dan kesehatan ternak yang dipelihara terjamin. Letak kandang harus mudah dijangkau, agar pemberian pakan, minum, dan perawatan mudah dilakukan. Lahan tempat kandang dibangun hendaknya berada pada posisi yang paling tingi dibandingkan dengan lahan sekitarnya agar tidak tergenang air hujan. Letak kandang harus cukup memperoleh sinar matahari. Untuk itu, sisi kandang yang memanjang hendaknya mengarah utara-selatan, agar lebih banyak permukaan bangunan yang terkena sinar matahari. Di samping memperoleh sinar matahari yang cukup, pertukaran (ventilasi) udara dalam kandang juga harus baik. Karena itu, kandang sapi hendaknya dibangun di tempat yang terbuka (cukup udara). Khususnya di daerah yang beriklim panas, sebaiknya di sekitar kandang ditanami pohon-pohonan. 2. Bahan dan Konstruksi Kandang Kandang sapi yang baik tidak harus dibuat dari bahan yang mahal, tetapi yang penting bentuk dan ukuran kandang harus memenuhi syarat. Alas kandang dapat dibuat dari beton (campuran semen, pasir, dan kapur), dari batu merah, atau dari papan kayu. Lantai kandang dibuat sedikit miring (± 50) dengan bagian belakang lebih rendah untuk memudahkan pembersihan kotoran sapi. Tiang
kandang dapat dibuat dari bahan kayu, bambu, atau beton yang mampu menyangga atap dengan kokoh. Tiang kandang di bagian depan lebih tinggi daripada bagian belakang sehingga konstruksi atap miring ke arah belakang. Dinding kandang dapat dibuat dari kayu atau bambu. Namun, kandang untuk sapi bali sebaiknya tidak tertutup rapat. Bila dinding kandang dari papan kayu, cukup menggunakan 3 – 4 kayu yang dipaku pada tiang-tiang kandang. Dinding kandang yang rapat akan mengurangi ventilasi dan membuat sapi tidak mengetahui keadaan sekelilingnya, sehingga mudah terperanjat/kaget bila ada orang yang masuk sebab sapi bali memiliki temperamental yang tinggi. Atap kandang dapat dibuat dari genting, anyaman daun ilalang, atau anyaman daun kelapa. Atap kandang dibuat miring, dengan bagian belakang lebih rendah daripada bagian depan, agar air hujan mudah jatuh ke bawah dan kandang cukup mendapat sinar matahari, terutama pada pagi hari. 3. Ukuran Kandang Ukuran lantai kandang untuk sapi perbibitan hampir sama dengan kandang sapi pejantan, yaitu panjang 200 cm dan lebar 150 cm untuk setiap ekornya. Selain itu kandang harus dilengkapi halaman yang cukup luas agar indukan sapi dapat bergerak dengan leluasa dan pada saat-saat tertentu (siang hari) indukan tersebut dapat diikat di halaman luar kandang. Tinggi atap harus disesuaikan dengan bentuk dan konstruksi kandang yang akan dibuat. Idealnya, tinggi atap kandang bagian depan dibuat sekitar 250 cm– 350 cm dan tinggi atap bagian belakang sebaiknya sekitar 140 cm–225 cm. Ukuran tempat pakan disesuaikan dengan ukuran kandang. Kandang individu yang mempunyai lebar kandang sebesar 1,5 meter, maka panjang tempat pakan
berkisar antara 90–100 cm, lebar 50 cm, dengan tinggi bagian luar 60 cm, dan tinggi bagian dalam 40 cm. Tempat minum dapat dibuat dari beton, di samping tempat pakan, dengan ukuran yang lebih kecil. 4. Model Kandang Terdapat dua tipe bangunan kandang sapi, yaitu bentuk tunggal dan ganda, tergantung pada jumlah sapi yang dipelihara. Pada kandang tipe tunggal, penempatan sapi dilakukan dalam satu baris atau satu jajar. Pada kandang tipe ganda penempatan sapi dilakukan dalam dua baris. Setiap baris dapat saling berhadap-hadapan
atau
bertolak
belakang.
Namun,
untuk
memudahkan
pemeliharaan, sebaiknya setiap baris saling berhadapan, misalnya semua sapi menghadap ke dalam. Diantara dua baris sapi disediakan jalan selebar ± 1 meter untuk memudahkan pemeliharaan sapi (memberi makan dan minum). Salah satu keunikan sapi bali adalah tidak terlalu selektif terhadap jenis pakan. Sebagai ternak perintis, sapi bali mampu beradaptasi dengan pakan berserat kasar tinggi dan bergizi rendah, misalnya jerami padi dan rumput kering. Namun, agar produktivitas sapi tetap optimal, baik dalam perbibitan maupun dalam penggemukan, jumlah dan mutu pakan yang diberikan harus diperhatikan dengan baik. Menurut Guntoro (2002), terdapat dua jenis pakan yang dapat diberikan pada sapi bali, yakni hijauan (ranghage) dan pakan penguat (konsentrat). 1. Pemberian Hijauan Pakan hijauan dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yakni jenis rumput-rumputan dan jenis daun-daunan. Pakan jenis rumput-rumputan dapat berupa rumput lapangan atau rumput unggul seperti rumput Raja (Pennisetum
purpupoides), rumput Gajah (Pennisetum purpureum), rumput Setaria (Setaria sphacelata), dan rumput Benggala (Panicum maximum). Rumput unggul yang telah diintroduksikan oleh pemerintah, di samping produktivitasnya tinggi nilai gizinya juga baik. Rumput-rumputan umumnya memiliki kandungan karbohidrat relatif tinggi, tetapi proteinnya rendah. Pakan jenis daun-daunan yang gizinya paling baik adalah daun leguminosa (kacang-kacangan) seperti daun gamal (Gliricidia sepium), daun lamtoro (Leucaena leucocephala), daun turi (Sesbania grandiflora), daun kaliandra (Calliandra haematochepala). Jenis leguminosa umumnya memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumput-rumputan. Jenis daundaunan lain yang dapat dimanfaatkan untuk pakan sapi adalah daun waru (Hibiscus tiliaceus), daun nangka (Artocaprus heterophyllus), daun intaran (Azadirachta indica Juss.), dan daun dadap (Erythirna subumbrans). Menurut Guntoro (2002), hijauan dalam bentuk segar diperlukan minimal 10% dari berat badan sapi. Pemberian 30% leguminosa dari total hijauan yang dikonsumsi setiap hari akan memberikan pertumbuhan yang baik, bahkan bila komposisi leguminosa dapat ditingkatkan akan lebih baik lagi. Menurut Bidura (2007), selain pemberian rumput dan daun-daunan, jerami padi merupakan salah satu limbah pertanian yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai pakan hijauan untuk ternak ruminansia. Jerami padi merupakan limbah pertanian yang paling banyak, sekitar 43% dari seluruh produksi limbah pertanian (Soejono, 1996) dalam Bidura (2007), sehingga mempunyai potensi yang sangat besar dalam memenuhi kebutuhan hijauan pakan di Indonesia terutama sebagai sumber energi. Jerami padi merupakan limbah dari pemanenan tanaman padi yang
berupa daun atau batang tanaman padi setelah dipanen atau diambil gabahnya (Bidura, 2007). Sebagai bahan pakan, jerami padi memiliki beberapa kelemahan, diantaranya: kadar komponen serat yang tinggi dan kandungan protein kasar hanya berkisar antar 3-5% dari bahan kering (Bidura, 2007). Lebih lanjut Sutardi (1980) menyatakan bahwa dari segi kuantitas, jerami padi yang dapat dimakan oleh ternak sapi kurang dari 2% bobot badan. Hal ini disebabkan oleh laju pergerakannya di dalam saluran pencernaan sangat lambat. Kecepatan degradasi sangat berpengaruh terhadap mekanisme konsumsi dan jumlah konsumsi. Jika laju degradasi cepat, maka jumlah konsumsi menjadi meningkat dan sebaliknya jika laju degradasi lambat, maka konsumsi akan sedikit (Komar, 1984) dalam Bidura (2007). 2. Pemberian Pakan Penguat Konsentrat atau pakan penguat merupakan pakan tambahan yang nilai gizinya lebih tinggi serta mudah dicerna dibandingkan dengan pakan hijauan. Pemberian konsentrat dimaksudkan untuk mempercepat pertumbuhan sapi. Namun, pemberian makanan penguat berupa konsentrat harus memperhitungkan nilai ekonomisnya. Pemberian konsentrat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerugian, bila tidak diiringi dengan pertumbuhan yang sesuai. Menurut Guntoro (2002), pemberian konsentrat berupa dedak padi sebanyak 1,5–2 kg/ekor/hari pada induk sapi yang sedang bunting selama 1,5–2 bulan sebelum melahirkan dapat meningkatkan berat lahir pedet sebesar 20%–25%. Sapi bali sebagaimana jenis sapi lainnya tidak luput dari serangan penyakit. Penyakit yang sering menyerang sapi bali adalah sebagai berikut.
1. Penyakit Jembrana Penyakit Jembrana merupakan penyakit ternak yang hanya menyerang sapi bali. Wabah penyakit ini muncul pertama kali pada tahun 1964 di Desa Sangkaragung, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana (Guntoro, 2002). Gejala klinis yang ditimbulkan antara lain: mencret berdarah, keringat berdarah dan terjadi pembengkakan pada Limpho glandula dan leukopenia. Upaya pencegahan penyakit jembrana dilakukan dengan vaksinasi pada ternak. Namun secara ekonomis, biaya untuk memproduksi vaksin tersebut memerlukan biaya yang mahal. Sebab, pembuatan vaksin sumber virus harus berasal dari plasma hewan yang
diinfeksi
karena
belum
ditemukan
metode
yang
efektif
untuk
mengadaptasikan virus dengan baik pada biakan sel (Guntoro, 2002). Di samping vaksinasi, pengendalian penyakit jembrana dapat dilakukan dengan kegiatan “Spraying”, yaitu penyemprotan larutan insektisida pada ternak sapi, kandang dan lokasi sekitarnya. Pemberian antibiotika dan vitamin pada sapi bali yang sakit juga perlu dilakukan untuk menghindari kematian akibat adanya infeksi sekunder. 2. Penyakit Ngorok (Septichamia epizootica) Penyakit ngorok dapat menyerang semua jenis sapi termasuk sapi bali. gejala yang ditimbulkan adalah pembengkakan bawah leher dan lidah yang terjulur keluar. Suhu tubuh meningkat dan mulut sapi menganga mengeluarkan lender berbusa. Penyakit ngorok disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida tipe B:2 dan E:2 (Putra, 2006). Penyakit ngorok mudah timbul pada saat kondisi sapi lemah, misalnya stress karena perjalanan jauh, suhu dingin, perubahan musim, kekurangan vitamin dan mineral, dan infeksi parasit. Pencegahan penyakit ngorok dapat dilakukan dengan vaksinasi SE setiap 6 bulan sekali. Sapi yang
sudah terlanjur terserang dapat diobati dengan serum SE atau antibiotika seperti Senkomisin dan Sulfonamid. Pemberian antibiotika dapat melalui suntikan atau lewat air minum. 3. Penyakit Baliziekte Penyakit Baliziekte pertama kali ditemukan pada tahun 1925 oleh Suberink dan Le Cultre di beberapa tempat di Bali, yang kemudian ditemukan juga di Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Gejala yang ditimbulkan adalah demam, pucat, mata berlendir, dan hidung mengalami peradangan. Penyebab penyakit ini adalah keracunan (intoksikasi) beberapa jenis tumbuhan. Pencegahan penyakit yang dapat dilakukan adalah dengan mencegah sapi memakan tanaman yang bersifat hepatotoksik, seperti Lantana camara atau kerasi. Sapi yang telah terlanjur terserang penyakit Baliziekte dihindarkan dari sinar matahari langsung. Sapi dikandangkan di tempat yang teduh dan diberi air minum sebanyak-banyaknya. Untuk menghindari infeksi sekunder, di samping harus dilakukan sanitasi kandang dengan baik, perlu pemberian obat antibiotika pada sapi yang sakit/luka. 2.2
Pemasaran Pemasaran merupakan suatu sistem keseluruhan dari kegiatan – kegiatan
bisnis yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan, baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial (William J. Stanton, 1994). Menurut Kotler (1997), pemasaran adalah proses sosial dan manajerial dimana individu dan kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan cara
menciptakan, menawarkan serta mempertukarkan produk dan nilai dengan pihak lain. Saluran pemasaran adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung serta terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk atau jasa yang siap digunakan atau dikonsumsi. Menurut Limbong dan Sitorus (1987), tiga kelompok yang secara langsung terlibat dalam penyaluran barang atau jasa mulai dari tingkat produsen sampai tingkat konsumen, yaitu pihak produsen, lembaga perantara, dan pihak konsumen akhir. Pihak produsen adalah pihak yang memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan. Pihak lembaga perantara adalah pihak yang memberikan pelayanan dalam hubungannya dengan pembelian atau penjualan barang dan jasa dari produsen dan konsumen, yaitu pedagang besar dan pedagang pengecer. Sedangkan konsumen akhir adalah pihak yang langsung menggunakan barang dan jasa yang dipasarkan. Menurut Guntoro (2002), pemasaran sapi bibit di Indonesia termasuk di Bali memiliki saluran pemasaran yang cukup panjang, namun bagi peternak rantai pemasaran tersebut sangat sederhana. Para peternak tradisional umumnya menjual sapi kepada para pedagang pengumpul yang datang ke lokasi peternakan. Sebagian peternak yang lebih maju menjual sapi ke pasar hewan terdekat. Di pasar hewan, peternak ataupun pedagang pengumpul menjual sapi kepada pedagang besar, baik pedagang atau industri lokal maupun pedagang antarpulau. Menurut Hanafiah dan Saefudin (1986), panjang-pendeknya saluran pemasaran yang dilalui oleh suatu hasil produksi tergantung pada beberapa faktor antara lain: 1. Jarak antara produsen dan konsumen. Semakin jauh jarak antara produsen dan konsumen biasanya semakin panjang saluran yang ditempuh oleh produk.
2. Cepat tidaknya produk rusak. Produk yang cepat atau mudah rusak akan memiliki saluran pemasaran yang lebih pendek oleh karena produk tersebut harus segera sampai ke tangan konsumen. 3. Skala produksi. Apabila produksi berlangsung dalam ukuran-ukuran kecil maka jumlah produk yang dihasilkan berukuran kecil pula, maka akan tidak menguntungkan bila produsen langsung menjualnya ke pasar. Dalam keadaan demikian kehadiran pedagang perantara diharapkan dan dengan demikian saluran yang akan dilalui produk cenderung panjang. 4. Posisi keuangan pengusaha produsen. Pengusaha yang memiliki posisi keuangan yang lebih kuat cenderung akan memperpendek saluran pemasaran produk. 2.3
Analisis Kelayakan Finansial
2.3.1 Konsep analisis kelayakan finansial Analisis kelayakan finansial adalah penilaian terhadap sebuah gagasan usaha yang telah direncanakan bahkan dijalankan apakah telah layak (feasible) atau tidak dari aspek pemasaran dan teknis produksi (Ibrahim, 2003). Menurut Gittinger (1997) analisis finansial adalah menyangkut masalah pengeluaran dan penerimaan dalam pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan pengembalian dana kegiatan tersebut. Langkah-langkah yang perlu dilaksanakan dalam proses analisis finansial antara lain: 1. Menentukan rencana atau target penjualan berdasarkan data yang diperoleh dari analisis pasar dan pendapatan lainnya setiap tahun. 2. Mengidentifikasi biaya dan manfaat usaha. 3. Menyusun penerimaan dan pengeluaran.
Dalam menjalankan suatu usaha diharapkan akan memperoleh manfaat (Benefit). Manfaat usaha tersebut dapat dihitung atau dinilai dengan uang (tangible Benefit), yang mana secara langsung diterima dari kegiatan usaha (direct Benefit). Membandingkan manfaat dengan biaya merupakan suatu penilaian terhadap seluruh penerimaan yang diperoleh dengan seluruh pengeluaran yang akan dikeluarkan selama investasi dilaksanakan. 2.3.2 Analisis kriteria investasi Keputusan menunda konsumsi sumberdaya atau bagian penghasilan demi meningkatkan kemampuan menambah/menciptakan nilai hidup (penghasilan atau kekayaan) di masa mendatang merupakan investasi. Menurut Rahardja dan Manurung (2001), segala sesuatu yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan menciptakan/menambah nilai kegunaan hidup adalah investasi. Manfaat yang diperoleh dari investasi diantaranya, penyerapan tenaga kerja, peningkaan output yang dihasilkan, penghematan devisa ataupun penambahan devisa dan lain sebagainya (Husnan dan Suwarsono, 1992). Sedangkan tujuan keputusan investasi yang sering digunakan adalah memaksimumkan keuntungan dan menurunkan resiko. Adapun kriteria yang biasa digunakan untuk menentukan kelayakan suatu usaha atau investasi menurut Ibrahim (2003), meliputi Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C). 1. Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) adalah kriteria investasi yang banyak digunakan dalam mengukur apakah suatu proyek feasible atau tidak. Perhitungan NPV merupakan net Benefit yang telah didiskon dengan menggunakan social
opportunity cost of capital (SOCC) sebagai discount rate. Suatu usaha dikatakan layak jika NPV-nya lebih besar dari nol. Jika NPV sama dengan nol, berarti usaha tersebut mengembalikan persis sebesar tingkat bunga. Jika NPV lebih kecil dari nol, maka usaha tersebut tidak menghasilkan senilai biaya yang dipergunakan, sehingga pelaksanaannya harus ditolak. 2. Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return (IRR) merupakan suatu tingkat discount rate yang menghasilkan NPV sama dengan 0 (nol). Dengan demikian apabila hasil perhitungan IRR lebih besar dari SOCC dikatakan proyek/usaha tersebut feasible, bila sama dengan SOCC berarti pulang pokok, dan jika di bawah SOCC maka proyek tersebut tidak feasible. 3. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Net B/C Ratio merupakan perbandingan antara jumlah net Benefit positif dengan jumlah net Benefit negatif yang sudah didiskon. Nilai Net B/C ratio menunjukkan besarnya Benefit yang diperoleh dari cost yang dikeluarkan. Jika Net B/C lebih besar dari 1, maka dikatakan proyek/usaha tersebut layak untuk dijalankan, jika sama dengan 0 berarti pulang pokok, dan jika lebih kecil dari 1, maka proyek tersebut tidak layak untuk dijalankan. 2.3.3
Analisis Pay Back Period (PBP) dan Break Even Point (BEP)
1. Pay Back Period (PBP) Pay Back Period adalah waktu yang dibutuhkan agar biaya investasi yang telah dikeluarkan dapat dikembalikan. Menurut Ibrahim (2003) analisis PBP dalam studi kelayakan perlu juga ditampilkan untuk mengetahui berapa lama usaha atau proyek yang dikerjakan dapat mengembalikan investasi sebuah proyek,
semakin cepat dalam pengembalian biaya investasi sebuah proyek, semakin baik proyek tersebut karena semakin lancar perputaran modal. Jika PBP ini lebih pendek dari umur investasi, maka proyek atau usaha tersebut layak untuk terus dikembangkan dan sebaliknya bila lebih lama, maka pengembangan usaha ditolak. 2. Break Even Point (BEP) Break Even Point adalah titik pulang pokok dimana total revenue sama dengan total cost. Break Even Point dapat dilihat dari BEP produksi, BEP harga dan BEP waktu yang menghasilkan total revenue sama dengan total cost. Menurut Ibrahim (2003), dilihat dari jangka waktu pelaksanaan sebuah proyek, terjadinya titik pulang pokok atau total revenue sama dengan total cost tergantung pada lama arus penerimaan sebuah proyek dapat menutupi segala biaya operasi dan pemeliharaan beserta biaya modal lainnya. 2.4
Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Sistem integrasi tanaman-ternak merupakan suatu sistem pengelolaan
pertanian secara terpadu melalui perpaduan antara ternak dengan tanaman sehingga tidak ada limbah yang terbuang dari kedua komponen tersebut dan dapat menekan biaya produksi. Pada beberapa wilayah terdapat beragam sumberdaya seperti lahan, tanaman, ternak dan masyarakat dengan berbagai tingkat perkembangannya. Pada kawasan yang menghadapi kelangkaan pakan, petani melakukan usaha yang sinergis antara tanaman dan ternak, yakni petani memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan dan memanfaatkan kotoran sapi sebagai pupuk bagi tanaman yang diusahakan. Crop Livestock System (CLS) merupakan sistem integrasi tanaman-ternak sebagai hasil inovasi dari Badan Litbang Pertanian, yang terdiri dari: (1) Integrasi
Ternak Ruminansia-Tanaman Pangan (padi dan jagung), (2) Integrasi Ternak Ruminansia-Tanaman Holtikultura (sayur-sayuran, nenas dan pisang), (3) Intergrasi Ternak Ruminansia-Tanaman Perkebunan (tebu, coklat, dan kelapa sawit) (Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia, 2008). Menurut Sudaratmaja (2004), sistem produksi ternak herbivora yang dikombinasi dengan lahan-lahan pertanian dan diperkuat oleh model CLS, terbukti mampu menghemat biaya pupuk sekitar 25,2% dan meningkatkan pendapatan petani sebesar 41,4%. Selain inovasi CLS, Direktorat Pengembangan Peternakan (2002) juga membuat sistem integrasi tanaman-ternak yang disebut Low External Input Agriculture System (LEISA). LEISA adalah suatu konsep pertanian terpadu dengan mengupayakan penggunaan imput yang berasal dari sistem pertanian itu sendiri tanpa banyak tergantung dari luar, sehingga tidak terdapat limbah yang terbuang, ramah lingkungan, berkelanjutan, dan dapat menekan biaya produksi yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani. 2.5
Penelitian Terdahulu Nomleni (2005) melakukan Analisis Finansial pada Usaha Peternakan
Sapi Potong dengan Menerapkan Hasil Teknologi Pakan Ternak (Kasus Amanda Farm di Kabupaten Gianyar, Bali). Metode yang digunakan dalam perhitungan aspek finansial adalah analisis laporan keuangan, yaitu rasio likuiditas, rasio solvabilitas, dan rasio provabilitas. Selain itu juga digunakan analisis kriteria investasi yaitu menghitung Net Present Value (NPV), analisis Pay Back Period (PBP) dan Break Event Point (BEP). Dalam penelitian ini dilakukan analisis terhadap usaha peternakan sapi potong dari tahun 2001-2004. Hasil penelitian yang didapatkan adalah usaha peternakan sapi potong Amanda Farm memiliki
tingkat rasio yang likuid, solvabel dan menguntungkan. BEP yang dicapai dari tahun 2001-2004 berturut-turut adalah Rp 32.632.352,94 atau 7 ekor, Rp 58.910.714,29 atau 15 ekor, Rp 56.879.310,34 atau 15 ekor dan Rp 51.546.875 atau 11 ekor. Kelayakan investasi peternakan sapi potong Amanda Farm ditunjukkan dengan nilai NPV sebesar Rp 441.481.529,26 pada diskon faktor sebesar 16% dan nilai PBP selama 4 tahun 3 bulan 28 hari, sehingga layak untuk dianjutkan. Ilham (2011) melakukan penelitian mengenai Kelayakan Finansial Sistem Integrasi Sawit-Sapi melalui Program Kredit Usaha Pembibitan Sapi. Metode yang digunakan adalah analisis kriteria investasi dengan menghitung NPV, R/C ratio, B/C ratio dan Internal Rate of Return (IRR). Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah usaha pembibitan sapi yang diintegrasikan dengan perkebunan sawit memberikan keuntungan dengan nilai R/C berkisar 1,05 – 2,84. Secara finansial usaha tersebut layak dikembangkan dengan nilai IRR berkisar antara 21 – 29%, nilai B/C antara 1,35 – 2,67 dan lama pengembalian modal 4,91 – 6,4 tahun. Zulfanita (2009) melakukan penelitian mengenai Evaluasi Kelayakan Usaha Penggemukan Sapi Potong Gaduhan di Desa Grantung Kecamatan Bayan Kabupaten Purworejo. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan usaha penggemukan sapi potong dengan sistem gaduhan. Sistem gaduhan dilakukan dengan kerjasama dari kedua belah pihak antara Dinas Pertanian dan Peternakan sebagai pemberi gaduhan dan petani peternak sebagai penggaduh dengan pembagian keuntungan 30% dan 70%. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode discounted cash flow (arus kas berdiskonto) yang meliputi Benefit
and Cost Ratio (B/C), Net Present Value (NPV), dan Internal Rate of Return (IRR). Hasil evaluasi kelayakan usaha penggemukan sapi potong selama lima tahun yaitu B/C sebesar 1,05, NPV Rp 1.798.664 dan IRR sebesar 31%. Dilihat dari nilai B/C, NPV, dan IRR yang dihasilkan usaha ini layak untuk dijalankan. Keuntungan kumulatif selama 5 tahun adalah sebesar Rp 2.529.775,00. Widiati (2012) melakukan penelitian dengan judul “Kelayakan Finansial Usaha Sapi Potong Pembibitan dengan berbagai Bantuan Modal di Pedesaan Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta”. Hasil penelitian yang diperoleh adalah usaha perbibitan sapi potong yang menggunakan modal dengan tingkat bunga 6% dan jangka waktu pinjaman selama empat tahun, dinyatakan layak apabila dianalisis berdasarkan biaya tunainya saja. Namun, apabila usaha perbibitan sapi tersebut dibebani dengan biaya tenaga kerja, usaha tersebut tidak layak untuk dijalankan. Putri dan Sukanata (2012) melakukan penelitian mengenai kelayakan finansial pemanfaatan skim kredit KUPS pada pengembangbiakan sapi bali di Desa Tangkas Kabupaten Klungkung. Hasil yang didapatkan adalah apabila biaya pakan
dan
tenaga
kerja
tidak
dihitung
sebagai
biaya,
maka
usaha
pengembangbiakan sapi bali di Desa Tangkas layak untuk dijalankan, sedangkan apabila biaya pakan dan tenaga kerja dihitung sebagai biaya, maka usaha pengembangbiakan sapi bali tidak layak untuk dijalankan. Berdasarkan perhitungan biaya tunai, usahatani pengembangbiakan sapi bali di Desa Tangkas masih tetap layak dilaksanakan jika bunga KUPS masih di bawah 19,97%/tahun. Namun berdasarkan perhitungan biaya total, usahatani pengembangbiakan sapi
bali di Desa Tangkas Kabupaten Klungkung tidak layak dilaksanakan jika suku bunga KUPS di atas 2,24%.