BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cacing Heterakis gallinarum Cacing Heterakis gallinarum digambarkan oleh Schrank pada 1788. Serupa dengan Asacaridia
galli, Heterakis gallinarum
memiliki siklus
hidup
langsung. Telur – telur akan mencapai tahap infeksi di sekitar dua minggu, tergantung pada kondisi lingkungan. Larva akan menetas di usus bagian atas dari host yang rentan (Saif, 2008). Tahap larva dan dewasa Heterakis gallinarum bermigrasi menuju
sekum ayam, kalkun, bebek, angsa, belibis, ayam
mutiara, ayam hutan, burung, dan burung puyuh (Lund et al, 1972, 1974; Saif, 2008; Potts, 2009). Burung berleher cicin paling rentan terhadap infeksi yang diikuti oleh unggas dan ayam guinea (Lund et al, 1972). Cacing dewasa Heterakis gallinarum berwarna putih dan cacing jantan memiliki panjang 7- 13 mm, sementara yang betina memiliki panjang 10-15 mm (Saif, 2008). Menurut Stang (2009) taksonomi Heterakis gallinarum adalah: Domain
: Eukaryota
Kingdom
: Animalia
Subkingdom
: Bilateria
Branch
: Protostomia
Infrakingdom
: Ecdysozoa
Superphylum
: Aschelminthes
Phylum
: Nemata
Class
: Secernentea
Subclass
: Rhabditia
Order
: Ascaridida
Suborder
: Ascaridina
Superfamily
: Heterakoidea
Family
: Heterakidae
Genus
: Heterakis
Specific name
: gallinarum
6
7
Scientific name
:Heterakis gallinarum
Gambar 2. Bagian Posterior Cacing Heterakis gallinarum jantan, Brener et al (2006) Cacing betina dapat menghasilkan telur yang berbentuk elips, berkulit halus dan pada waktu keluar berukuran telur 65-80 µm x 35-48 µm sehingga susah dibedakan dengan cacing Ascaridia galli. Siklus hidup cacing ini secara langsung dan menggunakan cacing tanah dan lalat rumah sebagai induk semang transport (Permin et al, 1998) Telur yang belum mengalami proses embrionisasi keluar bersama tinja. Tahap infektif (L₂) di alam bebas akan dicapai dalam waktu 2 minggu. Ketika telur tertelan oleh ayam, embrio menetas di usus dan selama 24 jam larva akan mencapai sekum. Larva ke-2 tinggal di kelenjar mukosa selama 2-5 hari dan menjadi L₃ 6 hari pasca infeksi, L₄ pada hari kesepuluh dan L₅ pada hari ke-15. Masa prepaten 20-30 hari (Kusumamihardja, 1992). Selain itu dapat tetap infektif selama
empat
tahun
ketika
berada
di
dalam
tanah
(Jansson
et al, 2004; Roberts and Janovy, 2005). Heterakis gallinarum betina biasanya
8
menghasilkan 34.000 dari 86.000 telur seumur hidupnya (Fine, 1975), dimana tergantung dari jenis ayam tersebut (Chute et al, 1976). Infeksi terinfeksi
Heterakis gallinarum umumnya bersifat subklinis. Unggas yang menunjukkan peradangan
dan penebalan
dinding sekum. Tingkat
keparahan lesi tergantung pada jumlah parasit. Dalam kasus infeksi berat, pembentukan nodul
pada
mukosa sekum dan
granuloma hati dapat
terjadi
(Kaushik, 1969; Riddell, 1988). Heterakis gallinarum berperan atas terjadinya typhlitis difuse kronis, haemosiderosis, granula dengan nekrosis pusat di submukosa dan leiomioma dalam submukosa, otot, serosa dan sekum (Brener et al, 2006). Nematoda ini sering dikaitkan dengan kehadiran Histomonas meleagridis, yang merupakan protozoa patogen terhadap unggas dan penyebab kerusakan hati yang parah dan lesi sekum. Selain itu protozoa ini juga penyebab enterohepatitis atau blackhead pada kalkun (Springer et al, 1969; Lund and Chute, 1973, Lund et al, 1975). 2.2. Ayam Lokal dan Ayam Ras Lohman Taksonomi ayam lokal menurut Hickman (1970), dalam Ismiati (2006) adalah: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Aves
Subkelas
: Neornithes
Superordo
: Neognathae
Ordo
: Galliformes
Famili
: Phasianidae
Genus
: Gallus
Spesies
: Gallus domesticus
9
Gambar 3. Ayam Ras Lohman
Gambar 4. Ayam Lokal
Umumnya ayam kampung Indonesia mempunyai tubuh yang kompak dengan susunan otot-otot yang baik, tidak pandai terbang serta mempunyai kesukaan mengais-ngais tanah. Oleh karena itu ayam kampung memiliki kuku yang tajam dan jari kaki yang tidak terlalu panjang, tetapi cukup kuat serta kaki yang panjang dengan paha dan betis yang kokoh. Bentuk tubuh yang dimiliki adalah agak ramping. Ayam kampung memiliki bulu yang bervariasi, hitam, putih, coklat, kuning, kemerahan atau kombinasi warna-warna tersebut. Jantan memiliki tubuh yang lebih besar dari betina, dengan jengger yang bergerigi besar dan tegak. Ayam betina memiliki jengger yang lebih kecil, tebal dan berwarna merah coklat (Ismiati, 2006). Berbeda halnya dengan ayam ras lohman. Ayam ini tergolong dalam ayam petelur. Dimana jenis ayam ini dibudidayakan guna diambil dan dimanfaatkan telurnya. Dalam usaha ternak ayam hal penting yang perlu diperhatikan oleh para peternak adalah pengendalian penyakitnya. Sebab ada beberapa jenis penyakit apabila sudah menyerang akan menimbulkan kematian yang cukup tinggi terutama penyakit tetelo dan flu burung. Selain itu ada beberapa penyakit lain yang biasanya dapat menyerang ayam, diantaranya cacar, coccidiosis, kolera dan Snot (Pramudyati, 2009). Cacingan merupakan penyakit yang umumnya menyerang ayam-ayam lokal yang diumbar atau dipelihara dalam kandang dengan lantai tanah. Telur cacing dapat mudah termakan oleh ayam pada waktu mencari makan di halaman ataupun di kandang. Gejalanya ayam tampak lesu, mencret berlendir, dan induk-induk
10
berhenti produksi. Nafas terengah-engah pada ayam yang terserang cacing saluran pernafasan. Gejala di atas bisa terjadi pada semua umur ayam (Tambunan et al , 2008). 2.3. Respon Imunologi dan Gen Respon imunologi yang merupakan manifestasi reaksi sistem kekebalan tubuh terhadap masuknya benda asing adalah suatu fenomena biologi yang kompleks dan unik (Tizard, 1987). Apabila tubuh kemasukan benda asing misalnya protein atau antigen (virus, bakteria, parasit), maka tubuh akan bereaksi secara aktif menetralisir benda asing tersebut. Proses netralisasi tersebut disebut respon imunologi, yang meliputi trapping, processing, pembentukan sel spesifik terhadap antigen, kemudian sel spesifik berpartisipasi di dalam proses CMI atau pembentukan antibodi, sehingga benda asing dieliminir atau terbentuknya hewan yang tolerance terhadap benda asing tersebut (Partoutommo, 2004). Didalam menjalankan proses netralisasi tersebut sistem imunologi dimediasi oleh T-cell, dan dalam hal ini T-cell mempunyai 3 peran penting ialah cytotoxicity untuk sel yang abnormal atau sel asing lewat proses CMI, sebagai helper cell untuk menimbulkan respon pembentukan antibodi pada B-cell, dan sebagai supressor cell untuk mengendalikan proses respon imunologi. Proses cytotoxicity dikendalikan oleh protein yang terdapat pada permukaan target cell yang dikenal dengan nama "class I histocompatibility antigen", sedangkan respon imun yang melibatkan helper-T-cells, B-cells dan antigen presenting cells (macrophages, dendritic cells 3rd CMI Antigen elimination stop dan Langerhans cells) dikendalikan oleh protein yang terdapat pada permukaan B-cells dan antigen presenting cells dan disebut sebagai "class 11 histocompatibility antigen". Kedua histocompatibility antigen tersebut dikendalikan oleh gen yang letaknya berdekatan di dalam satu kromosom. Gen-gen ini membentuk suatu kompleks gen yang
disebut
"major
histocompatibility
complex
(MHC)".
Karena
histocompatibility antigen dapat dideteksi dengan mudah di dalam leukosit maka penamaannya didahului dengan spesies asalnya kemudian diikuti dengan LA (leukosit antigen). Contohnya HLA (human histocompatibility leucocyte
11
antigens), BoLA (bovine histocompatibility leucocyte antigen), DLA (dog histocompability leucocyte antigen), dst (Partoutommo, 2004). Protein T8 pada permukaan cytotoxic T-cells atau supressor Tcells sangat mungkin merupakan molekul protein yang mampu mengenali (sebagai receptor) class I antigen pada target cells dan T4 molekul pada permukaan helper T-cells bertindak sebagai reseptor untuk class II antigen. Kedua jenis T-cells dan targetcells harus mempunyai HC antigen yang identik, jadi cytotoxic (T8+) T-cells hanya dapat membunuh target-cells yang mempunyai class I HC antigen pada membrannya, sedangkan helper (T4+) T-cells hanya akan menggertak terjadinya respon imun pada plasma cells bila plasma cells punya class II HC antigen pada membrannya. Antigen dari single molecule protein (makro molekul) tidak hanya menghasilkan single antibody, tetapi banyak. Makro molekul mempunyai beberapa epitopes atau antigenic determinants. Apabila hewan kemasukan antigen, maka hewan akan bereaksi membentuk antibodi hanya terhadap epitope saja, sehingga sebagian besar dari molekul adalah nonantigenik. Hewan yang berbeda mungkin secara berbeda pula terhadap expose protein yang sama. Seleksi epitope oleh sistem kekebalan dikendalikan oleh gen-gen yang dikenal dengan nama “immune response genes". Gen-gen ini terletak pada permukaan sel sistem imun dan disebut sebagai "class H histocompability antigen " (Tizard, 1987).