BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan Pustaka 2.1.1
Opinion Shopping Demi menghindari penerimaan opini going concern, biasanya perusahaan melakukan
auditor switching (pergantian auditor).
Teoh (1992) dalam Mirna dan Januarti (2007) menyatakan pergantian auditor dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, jika auditor bekerja pada perusahaan
tertentu, perusahaan dapat
mengancam melakukan pergantian auditor. Kedua, bahkan ketika auditor tersebut independen, perusahaan akan memberhentikan auditor (akuntan publik) yang cenderung memberikan opini going concern. Argumen tersebut dinamakan opinion shopping. Tujuan pelaporan
dalam
opinion
shopping
dimaksudkan
untuk
memanipulasi hasil operasi atau kondisi keuangan perusahaan. Opinion shopping selanjutnya akan menimbulkan dampak negatif. Istilah opinion shopping atau biasa disebut auditor switching adalah istilah yang digunakan apabila perusahaan melakukan pergantian auditor atau Kantor Akuntan Publik (KAP). Hal ini muncul karena rotasi audit. Rotasi audit merupakan batasan masa jabatan auditor dalam mengaudit suatu entitas atau klien (Mirna,
2010). Berdasarkan bukti teoritis, adanya rotasi auditor akan mengakibatkan masa perikatan audit (audit tenure) yang lebih pendek dan Nasser, et al
perusahaan akan melakukan perpindahan auditor (2006) dalam Martina (2010). Beberapa faktor
penyebab dilakukannya opinion shopping dapat berasal dari auditor maupun klien sendiri. Pergantian auditor secara wajib dan sukarela dapat dibedakan atas dasar pihak mana yang menjadi fokus perhatian dari independensi auditor. Jika pergantian auditor terjadi secara sukarela, maka perhatian utama adalah pada sisi klien. Sebaliknya, jika pergantian secara wajib maka perhatian utama beralih kepada auditor (Febrianto, 2009). Klien mengganti auditornya karena tidak adanya aturan yang mengharuskan pergantian auditor dilakukan, yang terjadi adalah salah satu dari kedua hal yaitu auditor mengundurkan diri atau auditor diberhentikan oleh klien. Manapun diantara kedua hal tersebut yang terjadi, baik auditor mengundurkan diri atau diberhentikan oleh klien, yang menjadi perhatian adalah mengapa hal tersebut dapat terjadi dan kemana klien tersebut akan berpindah. Jika alasan kepindahan tersebut adalah karena ketidak sepakatan atas praktik akuntansi tertentu, maka diekspektasi klien akan berpindah ke kantor auditor yang dapat sepakat dengan klien. Jika fokus perhatian peneliti adalah pada klien.
Sebaliknya apabila pergantian auditor terjadi karena peraturan yang membatasi masa perikatan auditnya, seperti yang terjadi di Indonesia, maka perhatian utama beralih kepada auditor pengganti, tidak lagi kepada klien. Pada pergantian secara wajib, yang terjadi adalah pemisahan paksa oleh peraturan.
2.1.2
Reputasi Auditor Auditor merupakan pihak yang dianggap dapat independen serta mampu untuk menjembatani antara kepentingan pihak manajemen dengan para pemegang saham. Reputasi auditor menunjukkan prestasi dan kepercayaan publik yang disandang auditor atas nama besar yang dimiliki auditor tersebut. (Rudyawan dan Badera, 2008). Craswell, et al (dalam Fanny dan Saputra, 2005) menyatakan bahwa klien biasanya mempersepsikan bahwa auditor yang berasal dari Kantor Akuntan Publik besar dan memiliki afiliasi dengan Kantor Akuntan Publik internasional yang mempunyai kualitas yang lebih tinggi karena auditor tersebut mempunyai
karakteristik
yang
dapat
dikaitkan
dengan
kualitas,seperti pelatihan, pengakuan internasional, serta adanya peer review. Reputasi KAP dipertaruhkan apabila opini yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya. Bukan hal yang gampang bagi auditor untuk memberikan status going concern kepada perusahaan karena menyangkut reputasi dari
auditor itu sendiri. Auditor yang bereputasi baik akan cenderung menerbitkan opini going concern jika klien terdapat masalah berkaitan opini going concern perusahaan. Geiger dan Rama (2006) menguji perbedaan kualitas audit antara KAP Big four dengan KAP non Big four. Proksi penelitian ini adalah skala KAP yang digunakan
untuk menilai reputasi KAP sama seperti
penelitian terdahulu.
2.1.3
Financial Distress Financial distress merupakan suatu kondisi perusahaan yang sedang mengalami kesulitan keuangan. Hal ini dapat dilihat dari laporan keuangan perusahaan. Untuk menilai kesehatan suatu perusahaan dapat digunakan laporan keuangan yang terdiri dari neraca, perhitungan laba rugi, iktisar laba yang ditahan, dan laporan posisi keuangan. Hoffer (1980:20) dan Witaker (199:24) dalam (Endri, 2009) mengumpamakan kondisi financial distress sebagai suatu kondisi dari perusahaan yang mengalami laba bersih (net profit) negatif selama beberapa tahun. Kebangkrutan
sebagai kegagalan
didefenisikan dalam berbagai arti, yaitu: kegagalan ekonomi dan kegagalan keuangan (Adnan dan Kurniasih, 2000:137 dalam Edri, 2009).
Kegagalan
perusahaan
dalam
menjalankan
perusahaan untuk menghasilkan laba (Endri, 2009).
operasi
Perusahaan yang kondisinya buruk, banyak ditemukan indikator masalah
going concern (Ramadhany, 2004). Perusahaan yang
tidak pernah mengalami kesulitan keuangan, tidak menerima opini going concern dari auditor. Namun semakin buruknya perusahaan akan semakin besar kemungkinan perusahaan menerima opini audit going concern (Keown, 1991 dalam Januarti, 2009). Pemakai laporan keuangan seringkali merasa pengeluaran opini going concern sebagai sebuah prediksi kebangkrutan (Altman, 1982 dalam Setiawan, 2006). Altman (1968) telah melakukan studi serupa untuk menemukan suatu
model prediksi kebangkrutan dalam beberapa periode
sebelum kebangkrutan benar-benar terjadi. Altman dan McGough (1974) dalam Fanny dan Saputra (2005) menyarankan penggunaan model prediksi kebangkrutan sebagai alat bantu auditor untuk memutuskan
kemampuan
perusahaan
mempertahankan
kelangsungan hidupnya, karena penelitiannya menemukan bahwa tingkat prediksi kebangkrutan dengan menggunakan suatu model prediksi mencapai tingkat keakuratan hingga 82%. Penelitian yang digunakan oleh Setyarno, et al (2006) juga berhasil membuktikan bahwa model prediksi Altman berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern. Model Z-score Altman sampai sekarang adalah yang paling banyak digunakan oleh para peneliti, praktisi serta akademisi dibidang
akuntansi dibandingkan dengan model prediksi kebangkrutan lainnya (Altman, 1993 dalam Fanny dan Saputra, 2005). Model yang dikembangkan oleh Altman ini mengalami suatu revisi. Revisi yang dilakukan oleh Altman agar tidak hanya pada perusahaan manufaktur yang go public saja model ini dapat diaplikasikan melainkan untuk perusahaan-perusahaan sektor swasta juga. Model Z-score dinilai baik, karena dapat menganalisis dengan handal tanpa memperhatikan ukuran perusahaan yang dianalisis. Apabila perusahaan sangat makmur didapati Z-score mulai turun dengan
tajam
maka
perusahaan
harus
waspada
terhadap
kebangkrutan. Atau apabila perusahaan baru survive, maka Z-score dapat membantu perusahaan mengevaluasi dampak yang telah diperhitungkan
dari
perubahan
upaya-upaya
manajemen
perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Altman untuk perusahaan yang bangkrut dan tidak bangkrut menunjukkan nilai tertentu. Kriteria yang digunakan untuk memprediksi kebangkrutan perusahaaan dengan model diskriminan adalah dengan melihat zone of ignorance yaitu daerah nilai Z.
Rumus Model Altman Z-Score untuk perusahaan manufaktur dan go public:
𝐙 = 𝟑, 𝟑
𝐋𝐚𝐛𝐚 𝐬𝐞𝐛𝐞𝐥𝐮𝐦 𝐁𝐮𝐧𝐠𝐚 𝐝𝐚𝐧 𝐩𝐚𝐣𝐚𝐤 𝐌𝐨𝐝𝐚𝐥 𝐊𝐞𝐫𝐣𝐚 𝐁𝐞𝐫𝐬𝐢𝐡 + 𝟏, 𝟐 𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐀𝐤𝐭𝐢𝐯𝐚 𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐀𝐤𝐭𝐢𝐯𝐚 + 𝟏, 𝟎 + 𝟏, 𝟒
𝐏𝐞𝐧𝐣𝐮𝐚𝐥𝐚𝐧 𝐍𝐢𝐥𝐚𝐢 𝐏𝐚𝐬𝐚𝐫 𝐄𝐤𝐮𝐢𝐭𝐚𝐬 + 𝟎, 𝟔 𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐀𝐤𝐭𝐢𝐯𝐚 𝐍𝐢𝐥𝐚𝐢 𝐁𝐮𝐤𝐮 𝐏𝐢𝐧𝐣𝐚𝐦𝐚𝐧 𝐀𝐤𝐮𝐦𝐮𝐥𝐚𝐬𝐢 𝐋𝐚𝐛𝐚 𝐃𝐢𝐭𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐀𝐤𝐢𝐭𝐯𝐚
Tabel 2.1 Kriteria titik cut off Model Z-Score Kriteria Nilai Z 2,99 Tidak bangkrut/sehat jika Z lebih dari (>) Daerah rawan bangkrut (gray area) 1,81-2,99 1,81 Bangkrut jika Z kurang dari (<) Berdasarkan analisis ini apabila nilai Z dari perusahaan yang diteliti lebih kecil dari 1,8 beresiko tinggi terhadap kebangkrutan, bila nilai Z berada diantara 1,81-2,99 dikatakan masih memiliki resiko kebangkrutan, bila diatas nilai 2,99 maka dikatakan aman dari kebangkrutan.
2.1.4
Pendapat Audit Pendapat atau opini auditor merupakan bagian yang tak terpisahkan dari laporan audit. Laporan audit penting sekali dalam suatu audit atau
proses
atestasi
lainnya
karena
laporan
tersebut
menginformasikan kepada pemakai tentang apa yang dilakukan auditor dan kesimpulan yang diperolehnya. Menurut standar profesional akuntan publik, tujuan audit atas laporan keuangan oleh auditor independen pada umumnya adalah untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai dengan standar akuntansi keuangan di Indonesia (SPAP 2011 seksi 110). Laporan auditor merupakan sarana bagi auditor untuk menyatakan pendapatnya, atau apabila keadaaan mengharuskan, untuk menyatakan tidak memberikan pendapat, sebagai pihak yang independen auditor tidak dibenarkan untuk tidak memihak kepentingan siapa pun dan untuk tidak mudah dipengaruhi, serta harus bebas dari setiap kewajiban terhadap kliennya dan tidak memiliki suatu kepentingan dengan kliennya (IAI, 2011). Berdasarkan SPAP seksi 508 (2011) ada lima tipe pendapat auditor yaitu: 1.
Pendapat wajar tanpa pengecualian Pendapat wajar tanpa pengecualian diberikan auditor jika tidak terjadi pembatasan dalam lingkup audit dan tidak dapat pengecualian yang signifikan mengenai kewajaran dan penerapan standar akuntansi keuangan dalam penyusunan laporan keuangan, konsistensi penerapan standar akuntansi
keuangan tersebut, serta pengungkapan memadai dalam laporan keuangan. Laporan audit wajar tanpa pengecualian adalah laporan yang paling dibutuhkan oleh semua pihak, baik oleh pemakai laporan keuangan, auditor, maupun klien. Laporan keuangan dianggap menyajikan secara wajar posisi keuangan dan hasil usaha suatu organisasi, sesuai dengan standar akuntansi keuangan, jika memenuhi kondisi berikut: a. Standar akuntansi keuangan digunakan sebagai pedoman untuk menyusun laporan keuangan. b. Perubahan standar akuntansi keuangan dari periode ke periode telah cukup dijelaskan. c. Informasi dalam catatan yang mendukungnya telah digambarkan dan dijelaskan dengan cukup dalam laporan keuangan, sesuai dengan standar akuntansi keuangan. 2.
Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan bahasa penjelasan. Keadaan tertentu mungkin mengharuskan auditor menambah suatu paragraf penjelasan atau bahasa penjelasan lain dalam laporan audit, meskipun tidak mempengaruhi pendapat wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan.
3.
Pendapat wajar dengan pengecualian Jika auditor menemukan kondisi-kondisi berikut ini maka ia akan memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian pada laporan audit: a. Lingkup audit dibatasi oleh klien. b. Auditor tidak dapat melaksanakan proses audit penting atau tidak dapat memperoleh informasi penting karena kondisikondisi yang berada di luar kekuasaan klien maupun auditor. c. Laporan keuangan tidak disusun sesuai dengan standar akuntansi keuangan. d. Standar akuntansi keuangan yang digunakan dalam laporan keuangan tidak diterapakan secara konsisten.
4.
Pendapat tidak wajar Pendapat tidak wajar merupakan kebalikan dari pendapat wajar tanpa pengecualian, akuntan memberikan pendapat tidak wajar jika laporan keuangan klien tidak disusun berdasarkan standar akuntasi keuangan sehingga tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas dan arus kas perusahaan klien. Auditor memberikan pendapat tidak wajar jika ia dibatasi ruang lingkup auditnya, sehingga ia tidak dapat mengumpulkan bukti kompeten yang cukup utnuk mendukung pendapatnya. Jika laporan keuangan diberi pendapat tidak
wajar oleh auditor maka informasi yang disajikan klien dalam laporan keuangan sama sekali tidak dapat dipercaya sehingga tidak dapat dipakai oleh pemakai laporan keuangan untuk mengambil keputusan. 5. Pernyataan tidak menyatakan pendapat. Jika auditor tidak memberikan pendapat atas laporan keuangan auditan, maka laporan keuangan audit ini disebut pendapat adverse opinion. Kondisi yang menyebabkan auditor tidak memberikan pendapat adalah: a. Pembatasan yang luar biasa sifatnya terhadap lingkup audit. b. Auditor tidak independen hubungannya dengan kliennya. Perbedaan antara pernyataan tidak memberikan pendapat dengan pendapat tidak wajar adalah,pendapat tidak wajar ini diberikan ketika auditor mengetahui adanya ketidakwajaran dalam laporan keuangan
kliennya,
sedangkan
auditor
menyatakan
tidak
memberikan pendapat (no opinion) karena ia tidak memperoleh cukup bukti mengenai kewajaran laporan keuangan auditan atau karena ia tidak independen dalam hubungannya dengan kliennya. Pada saat auditor menetapkan bahwa ada keraguan yang pasti terhadap kemampuan klien mempertahankan kelangsungan hidup usahanya,auditor
diijinkan
untuk
memilih
apakah
mengeluarkan opini wajar tanpa syarat atau disclaimer.
akan
2.1.5
Opini Going Concern Going concern opinion merupakan salah satu asumsi yang dipakai dalam menyusun laporan keuangan suatu entitas ekonomi. Asumsi ini mengharuskan entitas ekonomi secara operasional dan keuangan memiliki kemampuan mempertahankan kelangsungan hidupnya atau going concern. Menurut Belkaoi (2000) dalam Ramadany (2004) going concern merupakan suatu asumsi yang menyatakan bahwa suatu entitas akan menjalankan terus operasinya dalam jangka waktu yang
lama untuk menjalankan proyek, tanggung
jawab, aktivitasnya tiada henti. Dengan demikian going concern diartikan
sebagai
(Petronela, 2004).
kelangsungan
hidup
suatu
badan
usaha
Kemampuan mempertahankan kelangsungan
hidup adalah syarat suatu laporan keuangan disusun dengan menggunakan basis akrual,yaitu dasar pencatatan transaksi yang dilakukan pada saat terjadinya,bukan pada saat kas atau setara kas diterima atau diberikan. Jika suatu entitas bisnis tidak memiliki kemampuan mempertahankan
kelangsungan
hidupnya, maka
laporan keuangan entitas tersebut wajib disusun berdasarkan asumsi lain yakni likuidasi dan nilai realisasi sebagai basis pencatatan (PSA No. 30). Opini audit going concern merupakan opini audit yang dikeluarkan auditor
untuk
memastikan
apakah
perusahaan
dapat
mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu yang
ditentukan (SPAP, 2001). Pemberian status going concern bukanlah tugas yang mudah (Koh dan Tan, 1999 dalam Januarti 2009). Hal ini disebabkan karena adanya hipotesis self-fulfilling properchy yang menyatakan apabila auditor memberikan opini going concern maka perusahaan akan menjadi cepat bangkrut karena banyak kreditor yang menarik dananya atau investor yang membatalkan investasinya. Oleh sebab itu sangat sulit untuk memprediksi kelangsungan hidup suatu entitas sehingga banyak auditor mengalami dilema
antara moral dan etika dalam
memberikan opini going concern. SPAP seksi 341 memberikan pedoman kepada auditor tentang dampak kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya terhadap opini auditor sebagai berikut: 1. Jika
auditor
yakin
terhadap
kemampuan
satuan
usaha
mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu yang pantas,maka auditor harus: a.
Memperoleh informasi mengenai rencana manajemen yang ditujukan untuk mengurangi dampak kondisi dan peristiwa tersebut.
b.
Menetapkan kemungkinan bahwa rencana tersebut secara efektif terlaksana.
2. Jika manajemen tidak memiliki rencana untuk mengurangi dampak kondisi dan peristiwa terhadap kemampuan satuan
usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka auditor mempertimbangkan untuk memberikan pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer opinion). 3. Jika manajemen memiliki rencana untuk mengurangi dampak kondisi dan peristiwa diatas,maka auditor menyimpulkan (berdasarkan pertimbangannya) atas aktivitas rencana tersebut. 4. Jika auditor berkesimpulan bahwa rencana tersebut tidak efektif,maka audior menyatakan tidak memberikan pendapat (disclaimer opinion) 5. Jika auditor berkesimpulan rencana tersebut efektif dan klien mengungkapkan keadaan tersebut dalam catatan atas laporan keuangan,maka auditor menyatakan pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion) 6. Jika auditor berkesimpulan bahwa rencana tersebut efektif, tetapi klien tidak mengungkapkannya dalam catatan atas laporan keuangan maka auditor menyatakan pendapat
tidak wajar
(adverse opinion). Jika auditor menyimpulkan keragu-raguan atas kemampuan perusahaan untuk melanjutkan usahanya, pendapat wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelasan perlu dibuat, terlepas dari pengungkapan
dalam
laporan
keuangan.
PSA
No.
30
memperbolehkan tetapi tidak menganjurkan pernyataan tidak
memberikan pendapat karena adanya keraguan atas kelangsungan hidup.
2.2
Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai pengaruh pemberian opini going concern telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya:
NO
Peneliti
11
Mirna dan Indira (2007)
2
Januarti (2009)
Arga dan
Tabel 2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu Judul Variabel Penelitian Penelitian Analisis Independen: Kualitas Pengaruh Audit, Debt default, Kualitas Opinion Shopping Audit, Debt Dependen: Going Default, dan concern Opinion Shopping Terhadap Penerimaan Opini Going Concern Penerimaan Independen: Opini Audit financial distress, debt default, ukuran Going perusahan, audit lag, Concern opini sebelumnya, pergantian auditor, kualitas audit, opinion shopping, kepemilikan manajerial dan instutisional Dependen: Penerimaan Opini Going Concern
Analisis
Hasil Penelitian
Debt default secara signifikan berpengaruh positif terhadap going concern. Sedangkan kualitas audit, opinion shopping tidak berpengaruh signifikan dan negatif terhadap going concern. Debt default, ukuran perusahaan, opini sebelumnya dan kualitas audit berpengaruh signifikan terhadap opini going concern. Financial distress ,audit lag, opinion shopping, kepemilikan manajerial dan konstitusional tidak berpengaruh terhadap opini going concern Independen: Kualitas Kondisi keuangan,
3.
Linda (2007)
Kualitas Audit,Kondis i Keuangan,Op ini Audit Tahun Sebelumnya terhadap Penerimaan Opini Audit Going Concern
Audit, Kondisi Keuangan, Opini Audit Tahun Sebelumnya, Pertumbuhan Perusahaan, dan Ukuran Perusahaan Dependen: Opini Going Concern
4.
Arry dan I Dewa Nyoman Badera (2009)
Penerimaan Opini Audit Going Concern
Independen: Model Prediksi Kebangkrutan, Pertumbuhan Perusahaan, Leverage, dan Reputasi Auditor Dependen: Opini Going Concern
Sumber : Hasil Olahan Peneliti (2011)
opini audit tahun sebelumnya, dan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap penerimaan opini audit going concern. Sedangkan kualitas audit dan pertumbuhan perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini going concern. Model prediksi kebangkrutan berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini going concern. Sedangkan pertumbuhan perusahaan, leverage, dan reputasi auditor tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini going concern
2.3
Kerangka Konseptual Auditor terlebih dahulu harus memperhatikan faktor opinion shopping, reputasi auditor, dan financial distress sebagai acuan dalam memberikan opini going concern. Pengaruh opinion shopping, reputasi auditor, dan financial distress dapat dijelaskan dalam suatu kerangka pemikiran.
Kerangka pemikiran tersebut disajikan sebagai berikut: Variabel Independen
Variabel Dependen
Reputasi Auditor
H1
Opini Going Concern
Opinion Shopping
H2
Financial Distress
H3
Gambar 2.1 Gambar Kerangka Konseptual
Dari kerangka konseptual diatas, diketahui bahwa dalam penelitian ini, yang merupakan variabel independen adalah opinion shopping, reputasi auditor, financial distress; sedangkan variabel dependennya adalah penerimaan opini going concern. Opinion shopping merupakan istilah yang digunakan apabila perusahaan melakukan pergantian auditor atau kantor Akuntan Publik (KAP) dimana
hal ini muncul karena rotasi audit. Reputasi auditor menunjukkan prestasi dan kepercayaan publik yang disandang auditor atas nama besar yang dimiliki auditor tersebut. Financial distress sebagai suatu kondisi dari perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan dimana laba bersih (net profit) negatif selama beberapa tahun. Going concern opinion merupakan salah satu asumsi yang dipakai dalam menyusun laporan keuangan suatu entitas ekonomi. Asumsi ini mengharuskan entitas ekonomi secara operasional dan keuangan memiliki kemampuan mempertahankan kelangsungan hidupnya atau going concern. Variabel independen yang telah diungkapkan diatas merupakan beberapa faktor yang menjadi pertimbangan auditor (KAP) dalam memutuskan pemberian opini going concern kepada perusahaan yang sedang diaudit.
2.4
Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan jawaban atau dugaan sementara terhadap suatu masalah yang dihadapi yang masih akan diuji kebenarannya lebih lanjut mengenai analisas data yang relevan dengan masalah yang terjadi. Adapun yang menjadi hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: H1:
Opinion shopping berpengaruh negatif terhadap penerimaan opini going concern.
H2:
Reputasi auditor berpengaruh negatif terhadap penerimaan opini going concern.
H3: Financial distress berpengaruh positif terhadap penerimaan opini going concern.