BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Overweight Overweight merupakan suatu kondisi dimana berat badan seseorang melebihi dari berat badan normal. Kondisi ini terjadi akibat dari ketidakseimbangan antara input dan output. Input berkaitan dengan asupan energi sedangkan output berkaitan dengan keluaran energi. Kebiasaan pola makan yang tinggi dan aktifitas fisik yang sedentary akan menyebabkan penambahan berat badan. Hal ini diakibatkan oleh ketidakseimbangan keluaran energi dengan asupan energi sehingga kelebihan energi yang terdapat didalam tubuh akan terakumulasi menjadi jaringan lemak (jaringan adiposa) sehingga apabila kebiasaan tersebut terus berlanjut maka akan terjadi penambahan berat badan secara perlahan. Seseorang dengan kategori overweight cenderung memiliki ciri-ciri yang mudah dikenali seperti wajah membulat, pipi tembam, dagu rangkap, leher relatif pendek, dada membusung dengan payudara yang membesar mengandung jaringan lemak, perut membuncit disertai dinding perut yang berlipat-lipat (Purnamawati, 2009). Dalam menentukan kategori berat badan digunakan pengukuran berupa Indeks Massa Tubuh (IMT) dimana berat badan dengan satuan kilogram yang dibagi tinggi badan kuadrat dengan satuan meter seperti rumus berikut: IMT =
Berat Badan (kg) [Tinggi Badan (m)]2
9
10
Hasil penghitungan Indeks Massa Tubuh kemudian diklasifikasikan berdasarkan kriteria asia pasifik seperti pada tabel 2.1 berikut: Tabel 2.1 Klasifikasi IMT Menurut Kriteria Asia Pasifik Klasifikasi
IMT (kg/m2)
Underweight
<18,5
Normal
18,6 – 22,9
Overweight
23 – 24,9
Obesitas I
25 – 29,9
Obesitas II
>30
Sumber: National Institute for Health, 2006 Penyebab overweight digolongkan menjadi dua faktor menurut penelitian Purnamawati pada tahun 2009 yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik yang mempunyai peranan kuat yang diketahui adalah parental fatness yaitu seseorang yang kelebihan berat badan biasanya disebabkan oleh oleh orang tua yang juga memiliki berat badan yang berlebih. Faktor lingkungan yang berperan sebagai penyebab terjadinya overweight yaitu nutrisional (perilaku makan), aktifitas fisik dan sosial ekonomi. Keseimbangan energi dalam tubuh diatur oleh hipotalamus melalui 3 proses fisiologis yaitu pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju keluaran energi, dan regulasi sekresi hormon. Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah. Leptin kemudian merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan produksi neuro peptide sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari
11
asupan energi maka jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada anorexigenic center di hipotalamus untuk meningkatkan produksi neuro peptide sehingga terjadi peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar penderita kelebihan berat badan terjadi resistensi leptin sehingga tingginya kadar leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan. Kelebihan energi didalam tubuh akibat asupan energi secara terus-menerus menyebabkan penimbunan lapisan lemak sehingga menyebabkan overweight (Purnamawati, 2009) 2.2 Kebugaran Kardiorespirasi 2.2.1
Pengertian Kebugaran Kardiorespirasi Kebugaran kardiorespirasi adalah kemampuan paru-paru, jantung dan
pembuluh darah untuk memberikan jumlah oksigen yang cukup ke seluruh jaringan tubuh untuk memenuhi tuntutan aktivitas fisik yang berkepanjangan (Hoeger, 2014). Kardiorespirasi merupakan sistem kerja fungsi faal tubuh manusia yang meliputi sistem kardiovaskular dan respirasi dengan kemampuan untuk melakukan latihan dinamis menggunakan otot tubuh dengan intensitas sedang hingga tinggi pada jangka waktu yang cukup lama serta berhubungan dengan respon jantung, pembuluh darah serta paru untuk mengangkut oksigen ke otot selama melakukan olahraga (Hoeger, 2014). Kebugaran kardiorespiasi menunjukkan lamanya seseorang dalam melakukan suatu aktivitas. Dalam laboratorium pengukuran yang paling objektif dilakukan dengan menghitung ambilan maksimal O2 (VO2maks) (Effendi, 1983).
12
Kebugaran kardiorespirasi yang baik sangat berpengaruh pada kebugaran fisik seseorang. Kebugaran fisik adalah kemampuan seseorang untuk melakukan tugasnya sehari-hari dengan gampang tanpa merasa lelah yang berlebihan, serta masih mempunyai sisa atau cadangan tenaga untuk menikmati waktu senggangnya dan untuk keperluan-keperluan mendadak (Sumosardjuno, 1996). Untuk dapat mengetahui kemampuan kardiorespirasi seseorang maka harus dapat diketahui konsumsi oksigen maksimal atau kapasitas VO2maks. Konsumsi oksigen maksimal atau kapasitas VO2maks adalah ambilan oksigen selama aktivitas maksimum (Janssen, 2002). Menurut Pate dkk (1993) tenaga aerobik maksimal seringkali disebut penggunaan oksigen maksimal yang merupakan tempo tercepat di mana seseorang dapat menggunakan oksigen selama berolahraga. Kualitas daya tahan paru dan jantung dinyatakan dengan besarnya VO 2maks atau jumlah oksigen maksimum yang dikonsumsi secara maksimal dalam satuan ml/kg.bb/menit (Irianto, 2000). Dalam proses menentukan besarnya kemampuan kardiorespirasi diperlukan pengukuran oksigen yang digunakan maksimal (ambilan oksigen maksimal) atau VO2maks secara langsung untuk beraktivitas. Salah satu bentuk tes lapangan yang digunakan untuk mengetahui VO2maks adalah cooper test (12 minutes run test). Tes ini cukup sering digunakan untuk mengukur kebugaran kardiorespirasi dan penerapannya cukup sederhana (Nala, 2011) dimana indikator yang digunakan ialah ambilan oksigen maksimal saat melakukan suatu aktivitas atau VO2maks.
13
2.2.2
Volume Oksigen Maksimal (VO2maks) VO2maks yaitu suatu ukuran kapasitas tubuh dalam menggunakan oksigen.
VO2maks merupakan jumlah oksigen maksimal yang dikonsumsi permenit ketika seseorang telah mencapai usaha maksimal. VO2maks merupakan faktor utama untuk menentukan intensitas latihan atau kecepatan langkah yang dapat dilakukan secara terus-menerus. VO2maks dianyatakan dalam berat badan dalam milliliter oksigen yang dikonsumsi perkilogram permenit (mL/kg/min). VO 2maks bergantung pada transportasi oksigen, kapasitas ikatan oksigen dalam darah, fungsi jantung, kapabilitas difusi oksigen dan oksidatif potensial di otot (Wiwin, 2008). Kapasitas aerobik menggambarkan besarnya kemampuan motorik dari proses aerobik seseorang. Semakin besar kapasitas VO2maks seseorang maka semakin besarpula kemampuan untuk melakukan beban kerja yang berat dan proses pemulihan kebugaran fisik lebih cepat. VO2maks yang besar berbanding lurus dengan kemampuan seseorang melakukan beban kerja yang berat dalam waktu yang relatif lama. Hal ini disebabkan oleh kapasitas anaerobik yang dimiliki seseorang sangat terbatas, sehingga sulit untuk bertahan saat melakukan beban kerja/latihan yang berat. Oleh sebab itu sistem aerobik yang bekerja hanya dengan pemakaian oksigen merupakan kunci penentu keberhasilan dalam olahraga ketahanan. VO2maks yang besar juga mempercepat pemulihan setelah beraktivitas. VO2maks yang tinggi memungkinkan untuk melakukan pengulangan gerakan yang berat dan lebih lama. Untuk dosis aktivitas fisik yang sama maka VO 2maks yang lebih tinggi akan menghasilkan kadar asam laktat yang rendah sehingga mempercepat proses pemulihan (Wiwin, 2008).
14
2.2.3
Faktor yang mempengaruhi kebugaran kardiorespirasi Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi daya tahan kardiorespirasi
menurut Susilowati (2007), yaitu: 1. Indeks Massa Tubuh IMT merupakan hasil dari berat badan (kilogram) dibagi kuadrat dari tinggi badan (meter). IMT menggambarkan adiposa pada tubuh seseorang. Dengan pengukuran IMT diperoleh kategori sebagai berikut underweight, normal, overweight dan obesitas. 2. Umur Umur mempengaruhi hampir semua komponen dalam kesegaran jasmani. Umur dapat mempengaruhi daya tahan kardiovaskular seseorang. Ketahanan kardiovaskular mencapai puncaknya pada usia 10-20 tahun dengan nilai indeks jantung normal kira-kira 4 L/menit/m2. Ketahanan kardiovaskular menurun secara perlahan seiring dengan bertambahnya usia, dan pada usia 80 tahun nilai normal indeks jantung hanya tinggal 50%. Ini dikarenakan penurunan kekuatan kontraksi jantung, massa otot jantung, kapasitan vital paru dan kapasitas oksidasi otot skeletal. 3. Jenis Kelamin Daya tahan kardiovaskular antara pria dan wanita berbeda pada masa pubertas. Hal ini karena wanita memiliki jaringan lemak yang lebih banyak dibandingkan pria. Selain itu juga terdapat perbedaan kekuatan otot antara pria dan wanita yang disebabkan oleh perbedaan ukuran otot dan proporsinya dalam tubuh.
15
4. Aktivitas Fisik (kebiasaan olahraga) Kebiasaan olahraga yang dilakukan oleh seseorang akan berpengaruh terhadap daya tahan kardiovaskular. Orang yang terlatih akan memiliki otot yang lebih kuat, lebih lentur, dan memiliki ketahanan kardiorespirasi yang lebih baik. Latihan yang bersifat aerobik yang dilakukan secara teratur akan meningkatkan daya tahan kardiovaskular dan mengurangi lemak tubuh. Aktivitas fisik yang baik dapat meningkatkan daya tahan kardiovaskular, yaitu penurunan denyut nadi, pernafasan semakin membaik, penurunan risiko penyakit jantung dan hipertensi. 2.2.4
Cooper Test (12 minutes run test) Tingkat kebugaran kardiorespirasi dapat diukur berdasarkan konsumsi
oksigen pada saat latihan atau volume dan kapasitas maksimum yang disebut juga dengan VO2maks. Kapasitas aerobik menunjukkan kapasitas maksimal oksigen yang dipergunakan oleh tubuh (VO2maks). Semakin banyak oksigen yang diasup atau diserap oleh tubuh menunjukkan semakin baik kinerja otot dalam bekerja sehingga zat sisa-sisa yang menyebabkan kelelahan jumlahnya akan semakin sedikit. VO2maks diukur dalam banyaknya oksigen dalam liter per menit (l/min) atau banyaknya oksigen dalam mililiter per berat badan dalam kilogram per menit (ml/kg/min). Cooper Test (12 minutes run test) adalah tes yang sering digunakan karena tes ini sangat mudah dilakukan, dan tidak membutuhkan alat khusus. Dalam mengukur VO2maks dengan menggunakan tes lari 12 menit, yaitu dengan cara berlari atau berjalan tanpa henti selama 12 menit. Tujuan dari tes lari 12 menit untuk
16
mengukur kapasitas aerobik (VO2maks) dengan metode mengukur jarak tempuh yang dapat dicapai selama berlari atau berjalan 12 menit dengan tanpa henti. Dari hasil pencatatan jarak tempuh, lalu dihitung kemampuan VO 2maks masing-masing peserta, dengan menggunakan rumus cooper test:
VO2maks = (d12 - 505) ÷ 45 Keterangan: d12
: Jarak yang ditempuh
VO2maks
: Parameter Kardiorespirasi
Hasil yang diperoleh dari rumus diatas kemudian diklasifikasikan berdasarkan tabel Kebugaran Kardiorespirasi: TABEL 2.2 Nilai Normatif VO2maks (ml/kg/min) Pada Pria Age
Very Poor
Poor
Fair
Good
Exellent
Superior
13-19
<35.0
35.0-38.3
38.4-45.1
45.2-50.9
51.0-55.9
>55.9
20-29
<33.0
33.0-36.4
36.5-42.4
42.5-46.4
46.5-52.4
>52.4
30-39
<31.5
31.5-35.4
35.5-40.9
41.0-44.9
45.0-49.4
>49.4
40-49
<30.2
30.2-33.5
31.0-35.7
39.0-43.7
43.8-48.0
>48.0
50-59
<26.1
26.1-30.9
26.1-32.2
35.8-40.9
41.0-45.3
>45.3
60+
<20.5
20.5-26.0
26.1-32.2
32.3-36.4
35.5-44.2
>44.2
Sumber: Doust, 2006
17
2.3 Sistem Kardiorespirasi 2.3.1
Sistem Sirkulasi Sistem sirkulasi terdiri atas sirkulasi pulmonal dan sirkulasi sistemik serta
sistem koronaria. Pada sirkulasi pulmonal, darah dari jantung (ventrikel kanan) melalui arteri pulmonalis masuk ke paru-paru kemudian dari paru-paru masuk ke vena pulmonalis dan masuk kembali ke jantung melalui atrium kiri (Luhulima, 2001). Pada sirkulasi sistemik, darah melalui vena cava superior dan inferior masuk ke atrium kanan, kemudian ke ventrikel kanan melalui katup trikuspidalis (katup AV kanan) dan trunkus pulmonalis melalui katup semilunaris pulmonal. Kemudian darah dipompakan melalui arteri pulmonalis masuk ke dalam paru-paru (terjadi pertukaran gas), CO2 dikeluarkan ke saluran napas dan O2 didifusi ke darah yang terjadi di alveoli), kemudian kembali ke jantung melalui vena pulmonalis, masuk ke dalam atrium kiri. Darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri melalui katup bicuspidalis (katup mitralis). Darah dari ventrikel kiri dipompa keseluruh tubuh melalui aorta ascendens dengan katup semilunaris aorta dan diedarkan keseluruh tubuh melalui arteri yang berlanjut pada arteriol jaringan (ke sel). Kemudian darah balik (darah vena) kembali ke jantung melalui vena yaitu vena cava superior dan inferior (Luhulima, 2001). Pada sirkulasi koronaria (sirkulasi jantung), arteri koroner berawal dari basis aorta asendens. Untuk menjamin pasokan darah ke jantung, arteri koroner memiliki banyak anastomosis. Hambatan pada sirkulasi koroner, apakah pada
18
spasme atau sumbatan, akan menimbulkan iskhemia miokardium dan bila tidak segera diatasi akan terjadi infark miokardium (Wiwin, 2008). 2.3.2
Anatomi Jantung Jantung terdiri dari 4 bagian. Sisi kanan dan kiri jantung masing-masing
tersusun atas dua bagian, atrium dan ventrikel. Dinding yang memisahkan bagian kanan dan kiri disebut septum. Ventrikel adalah bagian jantung yang menyemburkan darah ke arteri. Fungsi atrium adalah menampung darah yang datang dari vena dan bertindak sebagai tempat penimbunan sementara sebelum darah kemudian dikosongkan ke ventrikel. Perbedaan ketebalan dinding atrium dan ventrikel berhubungan dengan beban kerja yang diperlukan oleh tiap bagian. Dinding atrium lebih tipis dibandingkan dengan dinding ventrikel karena rendahnya tekanan yang ditimbulkan oleh atrium untuk menahan darah dan kemudian menyalurkannya ke ventrikel. Ventrikel kiri mempunyai beban kerja yang lebih berat diantara dua bagian bawahnya, maka tebalnya sekitar 2 ½ lebih tebal dibandingkan dengan dinding ventrikel kanan. Ventrikel kiri menyemburkan darah melawan tahanan sistemik yang tinggi, sementara ventrikel kanan melawan tekanan rendah pembuluh darah (Smeltzer & Bare, 2002). Jantung terletak di dalam rongga mediastinum dari rongga dada (thoraks), diantara kedua paru. Selaput yang mengitari jantung disebut dengan perikardium, yang terdiri dari 2 lapisan, yaitu perikardium parietalis (lapisan luar yang melekat pada tulang dada dan selaput paru) dan perikardium visceralis (lapisan permukaan jantung itu sendiri atau yang sering disebut juga dengan epikardium). Diantara kedua lapisan selaput tersebut, terdapat cairan pelumas yang berfungsi mengurangi
19
gesekan yang timbul akibat gerak jantung saat memompa. Cairan ini disebut cairan perikardium (Wiwin, 2008). Jaringan otot khusus yang menyusun dinding jantung dinamakan otot jantung. Secara mikroskopis, otot jantung mirip otot serat lurik (skelet), yang berada di bawah kontrol kesadaran. Namun secara fungsional, otot jantung ini menyerupai otot polos karena bersifat volunter. Serat otot jantung tersusun secara interkoneksi sehingga dapat berkontraksi dan relaksasi secara terkoordinasi. Pola urutan kontraksi dan relaksasi tiap-tiap serabut otot akan memastikan kelakuan ritmik otot jantung sebagai satu keseluruhan dan memungkinkannya berfungsi sebagai pompa (Smeltzer &Bare, 2002). Dinding jantung terdiri atas 3 lapisan otot jantung yaitu epicardium (lapisan otot paling luar), myocardium (lapisan otot tengah) dan endocardium (lapisan otot paling dalam) (Wiwin, 2008).
Gambar 2.1 Anatomi Jantung (Arsana, 2013)
20
2.3.3
Fisiologi Jantung Darah yang terdapat di dalam jantung dipompa keluar secara terus-menerus
dan setelah melalui sistem vaskular, darah kembali ke jantung. Sistem vaskular yang dilalui dapat berupa sistem sirkulasi paru (pulmonary circulation) dan sistem sirkulasi umum (systemic circulation). Pembuluh darah pada kedua sistem tersebut terdiri dari: 1) pembuluh darah nadi (arteri) yang mengalirkan darah dari jantung ke jaringan sel-sel tubuh, 2) pembuluh darah balik (vena) yang mengalirkan darah dari jaringan sel-sel tubuh ke jantung (Masud, 1992). Pada orang normal, darah yang masuk ke jantung melalui vena cava, kemudian dipompa ke sistem sirkulasi paru. Setelah mengalami oksigenasi di dalam jaringan sel-sel paru, kemudian darah kembali ke jantung melalui pembuluh darah balik (vena pulmonalis). Selanjutnya darah dipompa keluar dari jantung melalui bilik kiri ke sistem sirkulasi sistemik menuju ke seluruh jaringan sel-sel tubuh (Masud, 1992). Pada keadaan normal, jumlah darah yang dapat dipompa oleh jantung sesuai dengan jumlah darah yang masuk kembali ke jantung, sebesar 5 liter per menitnya dan dapat meningkat pada olahraga yang berat sampai 25-35 liter permenit (Masud, 1992). Sistem kardiovaskular mengalirkan darah ke seluruh bagian tubuh dan menyalurkan kembali ke jantung. Dengan jantung berkontraksi dan berelaksasi, maka jantung mampu mengalirkan darah di dalam sistem tersebut. Perubahanperubahan hemodinamik di dalam sistem tersebut menyebabkan perubahan tekanan dan mengakibatkan terjadinya peristiwa aliran darah di dalamnya (Masud, 1992).
21
Perpaduan antara perubahan tekanan dan keadaan sistem kardiovaskular, memungkinkan terjadinya hemodinamik disepanjang sistem kardiovaskular. Dan darah dapat kembali ke jantung, karena adanya perbedaan tekanan antara jantung kiri dengan atrium kanan dengan tekanan atrium kanan mendekati nol, sedangkan tekanan kapiler di jaringan tetap lebih tinggi, sehingga memungkinkan darah dari jaringan sel tubuh melalui vena kembali ke jantung. Darah dipompa dari jantung kanan menuju jaringan paru untuk mengambil oksigen dan mengeluarkan karbondioksida, kemudian kembali ke jantung melalui atrium kiri. Darah yang telah mengalami oksigenasi selanjutnya dipompa jantung ke sistem sirkulasi sitemik melalui aorta. Kemudian aorta membagi aliran darah menuju cabang-cabang arteri dan subarteri yang terdapat di dalam jaringan sel dan organ yang arteriolnya kemudian bercabang membentuk anyaman kapiler. Dibagian ini terjadi pertukaran O2 dan CO2. Serta berdifusinya makanan, vitamin, mineral serta darah akan mengangkut kembali produk akhir metabolik dari jaringan-jaringan sel ke tempat pembuangan. Dari kapiler, darah menuju venula dan selanjutnya darah mengalir di dalam sistem vena menuju ke jantung. Aliran darah balik ini akan dipercepat kembali ke jantung oleh adanya aktivitas penghisap (suction) jantung dan pompa otot (Masud, 1992). 2.3.4
Sistem Vaskular Pembuluh darah mengalirkan darah yang dipompakan jantung ke dalam sel.
Sistem peredaran atau sistem vaskular terdiri dari arteri, arteriol, kapiler, venula dan vena.
22
1. Arteri Arteri bersifat kuat dan lentur yang membawa darah dari jantung dan menanggung tekanan darah yang paling tinggi. Kelenturannya membantu mempertahankan tekanan darah diantara denyut jantung (Luhulima, 2001). 2. Arteriol Arteriola adalah arteri yang lebih kecil dan memiliki dinding berotot yang menyesuaikan diameternya untuk meningkatkan atau menurunkan aliran darah ke daerah tertentu (Luhulima, 2001). 3. Kapiler Kapiler merupakan pembuluh darah yang halus dan berdinding sangat tipis yang berfungsi sebagai jembatan diantara arteri yang membawah darah dari jantung dan vena yang membawah darah kembali ke jantung. Kapiler memungkinkan oksigen dan zat makanan berpindah dari darah ke dalam jaringan dan memungkinkan hasil metabolisme berpindah dari jaringan ke dalam darah, dari kapiler darah mengalir ke dalam venula (Luhulima, 2001). 4. Venula Venula mengalirkan darah ke dalam vena kemudian kembali ke jantung (Luhulima, 2001). 5. Vena Vena memiliki dinding yang tipis tetapi biasanya berdiameter lebih besar dari pada arteri sehingga vena mengangkut darah dalam volume yang sama tetapi dengan kecepatan yang lebih rendah dan tidak terlalu di bawah tekanan (Luhulima, 2001).
23
2.3.5
Sistem Pulmonal (Respiratory System) Respiratory System terdiri dari jalan udara dan jaringan paru-paru yang
dibagi menjadi upper tractus dan lower tractus. Upper respiratory tractus terdiri dari hidung, pharynx, larynx dan bagian atas trachea. Lower respiratory tractus terdiri dari bagian bawah trachea, bronchialis dan alveoli (Wiwin, 2008). 1. Mekanisme respirasi Efek gerakan yang prinsipal dari thoraks adalah untuk mengubah kapasitas rongga thoracic sehingga memungkinkan udara ditarik ke dalam (inspirasi) atau dihembuskan (ekspirasi), dan dengan demikian akan menghasilkan ventilasi paru-paru. Kapasitas ini dapat meningkat dalam 3 dimensi yaitu kearah anteroposterior, lateral dan vertikal oleh adanya kontraksi otot respirasi yaitu diaphragma dan intercostalis. Jumlah gerakan bergantung pada ke dalaman respirasi (ventilasi) (Wiwin, 2008). 2. Inspirasi Pada saat inspirasi terjadi kontraksi pada otot diafragma dan otot interkostalis. Gerakan dimulai oleh otot difragma dimana ketika otot ini berkontraksi maka terjadi gerakan pada kosta ke arah atas dank e arah luar. Hal tersebut disebabkan oleh terfiksirnya tendon pada suatu titik sehingga terjadi tarikan pada costa bagian bawah yang tertarik kea rah atas dan keluar. Pada saat inspirasi berlanjut maka akan diikuti oleh kontraksi dari otot intercostalis sehingga menimbulkan gerakan pada costa bawah dan costa bagian atas ke arah atas, kedepan dan keluar. Dengan demikian kapasitas rongga thoracic meningkat secara keseluruhan dalam 3 dimensi. Semenjak pleural parietal melekat pada
24
permukaan atas dari diafragma dan permukaan dalam dari thoraks maka tekanan negatif intrapleural menjadi lebih negatif, sehingga terjadi stretching pada jaringan elastik paru-paru dan meningkatkan volume space udara. Udara mengalir ke dalam karena tekanan didalam paru-paru adalah subatmosfir. Inspirasi yang lebih dalam akan menghasilkan perbedaan tekanan yang lebih besar sehingga dengan demikian volume udara yang masuk ke dalam paru-paru menjadi lebih besar (Wiwin, 2008). 3. Ekspirasi Ekspirasi merupakan gerakan pasif yang dihasilkan oleh elastic recoil dari dinding dada dan jaringan paru-paru yang memaksa udara keluar dari paru-paru. Setelah itu, tekanan didalam paru-paru (tekanan alveolar) menjadi lebih besar daripada tekanan atmosfir, dan ketika kedua tekanan tersebut adalah sama maka ekspirasi akan terhenti. Pada ekspirasi yang kuat otot abdominal membantu pelepasan udara melalui peningkatan tekanan intra-abdominal (Wiwin, 2008). 2.4 Hubungan Indeks Massa Tubuh Dengan Kebugaran Kardiorespirasi Daya tahan kardiovaskular dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya yaitu IMT dan aktivitas fisik. Dengan IMT dapat diketahui apakah berat badan seseorang termasuk kategori underweight, normal, overweight, atau obesitas sedangkan aktivitas fisik untuk mengetahui tingkatan aktivitas pada seseorang. Berdasarkan penelitian Mexitalia et al., 2012 menyebutkan bahwa didapatkan hubungan yang bermakna antara kesegaran kardiorespirasi dengan IMT, dimana semakin tinggi IMT maka tingkat kesegaran kardiorespirasi semakin
25
rendah. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian pada anak laki-laki Jepang yang hasilnya semakin tinggi IMT seseorang semakin rendah kesegaran kardiorespirasinya. Massa lemak diyakini sebagai sebab rendahnya kesegaran kardiorespirasi tersebut (Miyatakeet al., 2001). Kelebihan berat badan menyebabkan sejumlah gangguan metabolisme serta beberapa jenis gangguan pernapasan. Perubahan yang terjadi pada pernafasan meliputi mekanika pernapasan, tahanan aliran udara, pola pernapasan, pertukaran gas (Wulandari, 2005). Komplikasi kardiorespirasi yang dijumpai pada overweight dipengaruhi oleh jumlah dan distribusi lemak tubuh. Perubahan mekanika respirasi atau kemampuan regangan paru menyebabkan terjadinya penurunan compliance yang disebabkan oleh bertambahnya volume darah pulmonal dan kolapsnya saluran-saluran napas terminal. Kelebihan berat badan memberikan beban tambahan pada thoraks dan abdomen dengan akibat peregangan yang berlebihan pada dinding thoraks. Otot-otot pernapasan harus bekerja lebih keras untuk menghasilkan tekanan negatif yang lebih tinggi pada rongga pleura agar memungkinkan aliran udara masuk saat inspirasi. Leite et al. (2009) mengemukakan bahwa insulin memainkan peranan yang penting dalam meregulasi fungsi transporter anion di mitokondria selama terjadinya siklus Kreb. Jika mitokondria terganggu maka konsumsi glukosa dan oksigen akan terganggu dan hal ini akan berdampak pada kemampuan seseorang untuk memiliki tingkat kebugaran yang baik dan sebagai konsekuensi nilai VO2maks orang tersebut akan rendah.
26
Sebagian besar penderita kelebihan berat badan mengalami peningkatan PaCO2 dan terjadi perubahan pola pernapasan. Perubahan mekanika dinding thoraks atau gangguan fungsi otot-otot pernapasan menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk mengoreksi PaCO2 selama manuver hiperventilasi volunter. Secara umum, penderita kelebihan berat badan memiliki gangguan respon pernapasan terhadap perubahan CO2 dan hipoksia yang lebih berat dibandingkan orang normal (Wulandari, 2005). Kelebihan berat badan juga dapat meningkatkan beban pada otot – otot pernafasan. Sebagai usaha mengkompensasi peningkatan beban pada otot-otot pernafasan, penderita kelebihan berat badan mengalami peningkatan respiratory drive yang mengakibatkan peningkatan ventilasi semenit. Frekuensi pernapasan meningkat sekitar 25% - 40% dibandingkan orang normal, sedangkan volume tidal tetap normal, baik saat istirahat maupun melakukan aktifitas fisik (Wulandari, 2005). Penderita kelebihan berat badan juga mengalami perubahan penurunan waktu ekspirasi sebagai akibat perubahan compliance sistem pernapasan. Meningkatnya beban kerja pernapasan pada penderita kelebihan berat badan karena peningkatan oxygen cost, penurunan kemampuan regangan jaringan paru (compliance), peningkatan tahanan sistem pernapasan dan peningkatan nilai ambang beban inspirasi akibat massa jaringan lemak yang berlebihan. Penderita kelebihan berat badan mengalami peningkatan beban kerja pernapasan sebesar 60% dibandingkan orang normal (Wulandari, 2005). Selain gangguan pada pernafasan, kebanyakan penderita kelebihan berat badan mengalami hambatan melakukan aktifitas fisik. Beberapa mekanisme yang
27
berperan pada berkurangnya toleransi aktifitas fisik seperti peningkatan laju metabolisme saat istirahat dan saat aktifitas, beban metabolisme yang tinggi untuk menggerakkan tubuh, rendahnya cadangan ventilasi dan kardiovaskuler, rendahnya nilai ambang anaerobik, sesak napas dan deconditioning. Penderita obesitas mengkonsumsi oksigen 25% lebih banyak dibandingkan non-obese. Banyaknya energi yang dibutuhkan untuk menggerakkan massa tubuh merupakan salah satu penyebab meningkatnya beban metabolisme untuk menghasilkan kerja ringan hingga sedang. Perubahan mekanika dinding thoraks dan abdomen ikut berperan pada peningkatan beban kerja ventilasi. Hal ini akan memicu makin meningkatnya denyut jantung dan frekuensi pernapasan pada saat puncak aktifitas fisik walaupun yang dikerjakannya hanya sub-maksimal (Windiastoni, 2014) Gangguan sistem kardiorespirasi tersebut tentunya akan berpengaruh pada kebugaran fisik dimana kebugaran kardiorespirasi merupakan komponen utama dalam kebugaran fisik (Nala, 2011). Walaupun kebugaran fisik ditentukan oleh faktor genetik (25% - 40%), latihan fisik yang regular merupakan penentu baik atau tidaknya kebugaran fisik seseorang (Church et al., 2005). Berdasarkan penelitian Ross dan Janiszewski (2008), pada individu yang mengalami kelebihan berat badan sebaiknya disarankan untuk melakukan olahraga yang menurunkan berat badan karena akan memberikan efek yang besar dalam menurunkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler. Olahraga aerobik selama satu jam akan menurunkan tekanan darah serta mempengaruhi komposisi tubuh serta meningkatkan efisiensi metabolisme pada otot.
28
2.5 Reaksi Fisiologis Sistem Kardiorespirasi Terhadap Latihan Pemakaian oksigen (O2) dan pembentukan karbondioksida (CO2) dapat meningkat hingga 20 kali lipat pada saat tubuh sedang melakukan latihan fisik. Pada saat latihan fisik pada orang yang sehat. Reaksi fisiologis yang terjadi setelah latihan dilakukan secara teratur memberikan respon fisiologis, yaitu: 1. Pengaruh latihan terhadap frekuensi denyut jantung Saat berlatih frekuensi denyut jantung akan mengalami peningkatan. Peningkatan frekuensi denyut jantung akan sesuai dengan intensitas latihan yang dilakukan. Semakin tinggi intensitas latihan (misal berlari, latihan sepeda dan berenang semakin cepat) maka denyut jantung akan terasa semakin cepat. Jika intensitas latihan dinaikkan maka frekuensi denyut jantung juga akan naik, tetapi jika intensitas terus dinaikkan pada suatu saat hubungannya tidak linier lagi (berbentuk garis lurus) melainkan akan ketinggalan (Rilantono, 2012). 2. Pengaruh latihan terhadap volume darah dan curah jantung Jika pada saat istirahat volume darah sedenyut yang keluar dari jantung (stroke volume=SV) sekitar 70 cc pada saat berlatih dapat meningkat sampai 90 cc per denyut. Bagi orang terlatih volume sedenyut saat istirahat sekitar 90-120 cc pada saat berlatih dapat mencapai 150-170 cc. Besarnya curah jantung adalah frekuensi denyut jantung (banyaknya denyutan selama satu menit) dikalikan volume darah sedenyut yang keluar dari jantung. Bagi orang yang terlatih, kenaikan curah jantung akan jauh lebih tinggi. Hal tersebut bertujuan untuk membuang CO2 yang dihasilkan ketika latihan (Rilantono, 2012). 3. Pengaruh latihan terhadap tekanan darah
29
Meningkatnya hormon epinefrin saat latihan akan menyebabkan semakin kuatnya kontraksi otot jantung. Meskipun demikian tekanan sistol tidak langsung meningkat drastis karena pengaruh epinefrin pada pembuluh darah dapat menyebabkan pelebaran (dilatasi). Pelebaran pembuluh darah akan sangat tergantung pada kondisinya. Jika pembuluh darah sudah mengalami pengerasan maka pembuluh darah akan menjadi kaku, tidak elastis, sehingga pelebaran akan terbatas. Dengan demikian kenaikan tekanan darah saat latihan akan dapat terjadi. Peningkatan pelebaran pembuluh darah saat latihan juga disebabkan karena meningkatnya suhu tubuh. Banyaknya keringat yang keluar akan menyebabkan plasma darah keluar, volume darah menurun, sehingga tekanan darah tidak naik berlebihan (Yulianto, 2010). 4. Pengaruh latihan terhadap darah Pada saat latihan akan banyak sel-sel darah yang pecah baik sel darah merah, sel darah putih maupun sel pembekuan darah. Ketika terjadi gerakan mendarat maka akan terjadi benturan kaki dengan lantai menyebabkan banyaknya butir darah yang pecah. Demikian juga benturan-benturan yang lain misalnya dengan bola juga akan dapat menyebabkan pecahnya sel-sel darah. Jika latihan dilaksanakan terus-menerus tidak ada hari untuk pemulihan maka sel-sel darah akan semakin berkurang. Sebagai akibatnya adalah semakin menurunnya kadar Hb, dan imunitas atau daya tahan terhadap penyakit infeksi menurun. Oleh karena itu dalam melaksanakan latihan setiap minggu perlu adanya satu hari istirahat dengan tidur yang cukup (Yulianto, 2010).
30
5. Pengaruh latihan terhadap distribusi darah Pada saat berlatih darah akan banyak mengalir ke otot-otot yang terlibat dalam gerak. Darah akan berfungsi untuk mencukupi kebutuhan latihan baik dalam pemenuhan nutrisi untuk kebutuhan energi maupun mengangkut sisa metabolisme. Semakin tinggi intensitas latihan, darah yang mengalir ke otot akan semakin banyak (Yulianto, 2010). 6. Pengaruh latihan terhadap pernafasan Pada saat berlatih, pernafasan menjadi lebih dalam. Hal tersebut menyebabkan peningkatan tekanan udara dalam paru, sehingga difusi (pertukaran gas) antara O2 dan CO2 juga akan meningkat yang disertai dengan peningkatan frekuensi pernafasan yang menyebabkan ventilasi (udara yang masuk selama satu menit) juga akan meningkat. Semakin tinggi intensitas latihan, frekuensi pernafasan juga akan semakin tinggi, sehingga ventilasi juga akan semakin tinggi (Alsagaff dan Mukty, 2002). 7. Pengaruh latihan terhadap lemak Meningkatnya kerja jantung dengan lebih keras menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen yang berarti metabolisme tubuh juga menigkat sehingga makin banyak lemak yang dipakai untuk pembakaran (Kafiz, 2014). 2.6 Burpee Interval Training Burpee Interval Training (BIT) merupakan suatu bentuk latihan kombinasi dari Basic Burpee atau Squat Thrust dengan Sprint Interval Training (SIT). Burpee sendiri diciptakan oleh Royal H. Burpee, seorang fisiologis dari New York City pada tahun 1939. Tujuan awal diciptakan Burpee adalah untuk menilai kebugaran
31
individu (Tamarkin, 2014). Menurut kamus Oxford sendiri, burpee didefinisikan sebagai latihan fisik yang terdiri dari squat thrust yang berawal dan berakhir pada posisi berdiri. Latihan ini terdiri dari 4 (empat) hitungan gerakkan dasar yang melibatkan hampir seluruh otot tubuh dan dilakukan dengan sangat cepat (Tamarkin, 2014). Burpee Interval Training termasuk jenis latihan interval dimana melibatkan serangkaian intensitas rendah ke tinggi dengan diselingi waktu istirahat atau bantuan (Heyward, Vivian H, 2006). Periode intensitas tinggi biasanya mendekati kondisi anaerobik, sedangkan periode pemulihan merupakan aktivitas intensitas rendah (Kerr, Hamish, 2011). Konsep yang digunakan pada Burpee Interval Training adalah latihan intenval intensitas tinggi berdasar pada Sprint Interval Training (SIT) dan termasuk dalam High-Intensity Interval Training (HIIT). Yang dimaksud dengan interval intensitas tinggi adalah latihan yang ditandai dengan percepatan berulang dengan upaya intensitas yang relatif, diselingi oleh periode istirahat sebagai pemulihan. Bentuk yang paling sering digunakan adalah interval training Wingate Test, dimana menerapkan 30 detik “total” pengerahan tenaga dan kecepatan gerakan semaksimal mungkin dan diselingi 4 sampai 5 menit istirahat sebanyak 6 interval latihan. Satu interval terdiri dari 30 detik gerakan burpee ditambah dengan waktu istirahat sebanyak 4 sampai 5 menit. Perminggunya dilakukan tiga sesi latihan dengan total waktu keseluruhan untuk satu latihan adalah ± 3 menit. Penambahan jeda waktu istirahat membantu pembuangan sisa metabolisme dari otot akibat dari latihan dilakukan. Model latihan tersebut akan membantu tubuh meningkatkan volume
32
konsumsi oksigen. Hal tersebut dikarenakan, pada saat latihan maupun pada fase istirahat setelah latihan konsumsi oksigen tubuh akan jauh meningkat akibat gerakan yang dilakukan pada saat latihan sehingga hal tersebut akan meningkatkan kapasitas maksimum dari tubuh dalam mengkonsumsi oksigen (Kolt, 2007). Menurut American College of Sports Medicine menyatakan bahwa lebih banyak oksigen yang digunakan pada saat melakukan latihan interval dengan intensitas tinggi dari pada latihan non interval. Terjadi peningkatan kecepatan metabolic rate setelah melakukan latihan karena tubuh membakar lemak dan kalori dengan cepat. Burpee Interval Training meningkatkan kerja jantung dengan lebih keras sehingga konsumsi oksigen pun meningkat yang berarti metabolisme tubuh juga menigkat sehingga semakin banyak lemak yang dipakai untuk pembakaran. Selain metabolisme pada saat kita melakukan latihan yang meningkat, metabolisme pada saat kita beristirahat pun meningkat, hal ini dikenal dengan istilah Resting Metabolic Rate (RMR) atau tingkatan metabolisme pada saat kita beristirahat selama 24 jam setelah melakukan latihan (Kafiz, 2014). 2.7 Latihan Aerobik Intensitas Ringan Latihan aerobik dengan intensitas ringan merupakan salah satu bentuk latihan yang sudah menjadi standar dalam meningkatkan kebugaran fisik dimana latihan ini lebih menggunakan energi yang berasal dari pembakaran dengan oksigen. Pemberian latihan aerobik yang dilakukan secara teratur dan dengan durasi yang cukup akan memperbaiki kerja jantung dan paru dalam meningkatkan daya tahan kardiorespirasi. Hal tersebut diperkuat berdasarkan penelitian Palar pada tahun 2015, bahwa pemberian latihan aerobik secara teratur akan meningkatkan
33
aliran darah dan mempercepat pembuangan zat-zat sisa metabolisme sehingga pemulihan berlangsung dengan cepat, dan seseorang tidak akan mengalami kelelahan setelah melaksanakan tugas, serta masih dapat melakukan aktivitas lainnya. Latihan aerobik dengan intensitas ringan memiliki beberapa model latihan, salah satunya dengan berjalan kaki. Jalan aerobik atau disebut juga jalan sehat adalah
jalan
kaki
yang
dilakukan
dengan
tujuan
meningkatkan
dan
mempertahankan denyut jantung pada zona pelatihan 60-69% MHR selama 30 menit tanpa henti selama 3-4 kali dalam seminggu. Sama seperti olahraga pada umumnya, fase latihan aerobik ringan dengan jalan juga melalui fase-fase yang hampir mirip, yaitu, diawali dengan fase pemanasan, yang bertujuan mempersiapkan tubuh untuk menghadapi latihan yang lebih intensif kemudian dilanjutkan dengan fase latihan inti berupa peningkatan fungsional seluruh organ tubuh untuk mencapai target heart rate dengan durasi 15-30 menit. Diakhiri dengan fase pendinginan dengan tujuan mencegah penimbunan asam laktat pada otot, menurunkan kerja jantung dan nadi sehingga kondisi tubuh kembali ke keadaan semula (Nala, 2011).