BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Upaya hukum Kasasi a. Pengertian Upaya hukum Kasasi Sebelum penulis kemukakan pengertian kasasi, terlebih dahulu penulis akan mengemukakan pengertian upaya hukum. Upaya hukum menurut R. Atang Ranoe Milhardja, yaitu “Suatu usaha melalui saluran hukum dari pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap keputusan hakim yang di anggapnya kurang adil atau kurang tepat”(Andi sofyan dan Abd. Asis, 2014:267). Pengertian upaya hukum terdapat dalam Pasal 1 butir 12 KUHAP menyatakan bahwa “upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini” . Upaya hukum di bagi menjadi dua yaitu : a) Upaya hukum biasa : Banding dan kasasi. b) Upaya hukum luar biasa : kasasi terhadap kepentingan hukum dan peninjauan kembali. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat arti kasasi adalah pembatalan atau pernyataan tidak sah oleh Mahkamah Agung terhadap putusan hakim karena putusan itu menyalahi atau tidak sesuai benar dengan undang-undang Tirtaamidjaja merumuskan penegrtian kasasi sebagai berikut: “Kasasi ialah suatu jalan hukum yang gunanya untuk melawan keputusan-keputusan yang dijatuhkan dalam tingkat tertinggi yaitu keputusan-keputusan yang tak dapat dilawan atau tak dapat dimohon bandingan, baik karena kedua jalan hukum ini tidak diperbolehkan oleh undangundang, maupun oleh karena ia telah dipergunakan” (Leden Marpaung, 2004:4).
10
11
b. Alasan Pengajuan Kasasi Alasan-alasan kasasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 253ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa: dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 KUHAP, guna menentukan : 1) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagai mestinya; 2) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undangundang; 3) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas. Pihak yang mengajukan permohonan kasasi harus memiliki alasan kuat karena menurut ketentuan Pasal 248 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa, pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang memuat alasan permohonan kasasinya, maka sejalan dengan ketentuan tersebut pengajuan memori kasasi harus secara jelas mengemukakan alasan-alasan permohonan kasasinya. Dikabulkan atau tidaknya permohonan kasasi disamping tergantung pada syarat-syarat formil juga tergantung pada syarat materiil, yaitu tentang alasan-alasan kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP. M. Yahya Harahap menyatakan bahwa , sedapat mungkin permohonan kasasi memperlihatkan dalam memori kasasi bahwa putusan pengadilan yang di kasasi mengandung : 1) Kesalahan penerapan hukum; 2) Atau Pengadilan
dalam
mengadili
dan memutus
perkara tidak
melaksanakan cara mengadili menurut ketentuan undang-undang; 3) Atau pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, baik hal itu mengenai wewenang absolut maupun relatif atau pelampauan wewenang dengan cara memasukkan hal-hal yang nonyuridis dalam pertimbanganya (M.Yahya Harahap, 2012:565).
12
Alasan permohonan kasasi diatur secara limitatif dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP tetapi dalam prakteknya sering dijumpai beberapa alasan kasasi yang tidak dibenarkan dalam Pasal tersebut. M. Yahya Harahap menyatakan alasan kasasi yang tidak dibenarkan undang-undang yaitu : 1) Keberatan putusan pengadilan tinggi menguatkan putusan pengadilan negeri. 2) Keberatan atas penilaian pembuktian. 3) Alasan kasasi yang bersifat pengulangan fakta. 4) Alasan yang tidak menyangkut persoalan perkara. 5) Berat ringannya hukuman atau besar kecilnya jumlah denda. 6) Keberatan atas pengembalian barang bukti. 7) Keberatan kasasi mengenai novum ( M.Yahya Harahap, 2012:567-572). c. Tata Cara Pengajuan Kasasi Tata cara pengajuan permohonan upaya hukum kasasi telah ditetapkan dalam KUHAP yaitu sebagai berikut: 1) Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada Panitera Pengadilan Negeri yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 hari (empat belas) hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan ( Pasal 245 ayat (1) KUHAP); 2) Permintaan tersebut oleh Panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara (Pasal 245 ayat (2) KUHAP); 3) Dalam hal pengadilan Negeri menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan oleh Penuntut Umum maupun oleh terdakwa atau oleh Penuntut Umum dan terdakwa sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain (Pasal 245 ayat (3) KUHAP); 4) Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1) telah lewat tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang
13
bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan (Pasal 246 ayat (1) KUHAP); 5) Dalam hal tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (1), pemohon terlambat mengajukan permohonan kasa si maka hak untuk permohonan kasasi itu gugur (Pasal 246 ayat (2) KUHAP); 6) Selama perkara permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi itu dapat dicabut sewaktu-waktu dan apabila sudah dicabut, permohonan kasasi dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi ( Pasal 247 ayat (1) KUHAP; 7) Jika pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung, berkas tersebut tidak jadi dikirimkan (Pasal 247 ayat (2) KUHAP); 8) Apabila perkara telah mulai diperiksa, akan tetapi belum diputus, sedangkan sementara itu pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani membayar biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hingga saat pencabutannya (Pasal 247 ayat (3) KUHAP); 9) Permohonan Kasasi hanya dapat dilakukan satu kali (Pasal 247 ayat (4) KUHAP). d. Tata Cara Pemeriksaan Kasasi Tata cara dan prosedur pemeriksaan pada tingkat kasasi diatur dalam Pasal 253 ayat (2) dan (3) KUHAP. Pemeriksaan kasasi dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1) Pemeriksaan dilakukan dengan sekurang-kurangnya 3 orang hakim. Jika dianggap perlu, terutama untuk memeriksa dan memutus perkara tertentu yang dianggap memerlukan pemikiran dan pendapat yang matang, dapat dibentuk mejelis yang terdiri dari 5 atau 7 orang hakim. 2) Pemeriksaan berdasar berkas perkara. Berkas perkara yang dimaksud adalah berita acara pemeriksaan dari penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang pengadilan, semua surat-surat yang timbul di persidangan yang ada
14
hubungannya dengan perkara, putusan pengadilan tingkat pertama, putusan tingkat banding. 3) Pemeriksaan tambahan yang memiliki tahap yakni pemeriksaan tambahan didasarkan atas putusan sela, Mahkamah Agung sendiri dapat melaksanakan pemeriksaan tambahan. Dan dilakukan dengan tenggang waktu pemeriksaan perkara yang terdakwanya berada dalam tahanan yakni 14 hari sejak Mahkamah Agung mengeluarkan perintah penahanan kepada terdakwa. 4) Tenggang waktu pemeriksaan perkara yang terdakwanya berada dalam tahanan . Berdasarkan ketentuan undang-undang membedakan membedakan tenggang waktu pemeriksaan antara perkara yang “terdakwanya di tahan” dengan yang “tidak ditahan”. Terhadap perkara kasasi yang terdakwanya ditahan, undang-undang mewajibkan Mahkamah Agung untuk memeriksa dalam waktu 14 hari dari tanggal penetapan perintah penahanan dikeluarkan. Sedangkan pemeriksaan kasasi yang terdakwanya tidak di tahan , undangundang tidak menentukan tenggang waktu pemeriksaan (M.Yahya Harahap, 2012:573-577). e. Bentuk Putusan Mahkamah Agung Setelah melakukan pemeriksaan terhadap syarat formal dan pemeriksaan pokok perkara Mahkamah Agung dapat menjatuhkan putusan yang dapat berbentuk : 1) Menyatakan kasasi tidak dapat diterima. Putusan ini di jatuhkan dalam tingkat kasasi apabila permohonan kasasi yang di ajukan tidak memenuhi syaratsyarat formal yang diatur dalam Pasal 244, Pasal 245, dan Pasal 248 ayat (1) KUHAP.yang dapat terjadi karena hal sebagai berikut: a) Permohonan kasasi terlambat diajukan; b) Tidak mengajukan memori kasasi; c) Memori kasasi terlambat disampaikan. 2) Putusan kasasi yang menolak permohonan kasasi, dijatuhkan setelah menguji perkara yang di kasasi dengan ketentuan Pasal 253 ayat (1) dan dalam putusan
15
pengadilan yang di kasasi sudah tepat, tidak terdapat cacat dan kesalahan yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 253 ayat (1). 3) Mengabulkan permohonan kasasi. Berarti putusan pengadilan yang di kasasi dibatalkan oleh Mahkamah Agung atas alasan putusan pengadilan yang di kasasi mengandung pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 253 ayat (1) (M.Yahya Harahap, 2012:586-591). 2. Tinjauan Tentang Penuntut Umum a. Pengertian Penuntut Umum KUHAP membedakan perngertian antara Jaksa dengan Penuntut Umum. Pasal 1 butir 6 KUHAP menegaskan bahwa 1) Jaksa adalah pejabat yang di beri wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 2) Penuntut Umum adalah jaksa yang di beri wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Pengertian Jaksa dan Penuntut umum juga di tegaskan didalam Undangundang Nomor 16 Tahun 2004, pada Pasal 1 butir 1 menegaskan bahwa, ”Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan UndangUndang”, sementara dalam Pasal 1 butir 2 menegaskan bahwa, “Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”. Berdasarkan isi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RepublikIndonesia tersebut, menunjukan bahwa kewenanganpenuntutan yang dimiliki Kejaksaan merupakan halyang urgen dalam mengemban visi dan misi Kejaksaan dalam penegakan hukum (Noven Verderikus Bulan.2014.”Dasar Pertimbangan Penuntut
16
Umum dalam Pengajuan Peninjauan Kembali Perkara Pidana(Putusan MA No.70/Pid.B/ 2010/PN. Kpg tanggal 21 Juni 2010)”.Masalah-masalah Huku,vol.43 No.3 : 396). b. Tugas dan Wewenang Penuntut Umum Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia kewenangan dari kejaksaan di bidang pidana adalah : 1) Melakukan penuntutan. 2) Melaksanakan penetapan hakim dalam putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 3) Melakukan pengawasan, terhadap pelaksaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat. 4) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang 5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaanya dikoordinasikan dengan penyidik. Wewenang Penuntut Umum sebagaiman di atur di dalam Pasal 14 KUHAP adalah : 1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau pembantu penyidik; 2) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka menyempurnakan penyidikan dan penyidik; 3) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan lanjutan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
17
4) Membuat surat dakwan; 5) Melimpahkan perkara kepengadilan; 6) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; 7) Melakukan penuntutan; 8) Menutup perkara demi kepentingan hukum; 9) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab; sebagai penuntut umum menurut undang-undang; 10) Melaksanakan penetapan hakim. 3. Tinjauan tentang Judex Facti judex facti dan judex juris merupakan dua tingkatan peradilan di Indonesia berdasarkan cara mengambil keputusan. Peradilan Indonesia terdiri dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi adalah judex facti sedangkan Mahkamah Agung adalah Judex juris. Judex facti berwenang memeriksa fakta dan bukti dari suatu perkara. Judex facti memeriksa bukti-bukti dari suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara tersebut, Sedangkan Judex juris hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara dan tidak memeriksa fakta dari perkaranya. Andy Hamzah menjelaskan bahwa tugas dari pengadilan dalam perkara pidana adalah “Tugas pengadilan dalam perkara pidana ialah mengadili semua delik yang tercantum dalam perundang-undangan pidana Indonesia yang di ajukan (dituntut) kepadanya untuk di adili.” (Andi Hamzah, 2011:107). a. Pengadilan Negeri Kekuasaan mengadili pada pengadilan negeri terdapat dua macam kekuasaan (kompentensi) yaitu : 1) Kompentensi Absolute
18
Kompetensi absolut merupakan kekuasaan yang berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili kepada satu macam pengadilan (Pengadilan Negeri). Untuk mengadili dan memeriksa perkara hanya satu pengadilan negeri saja yang berwenang mengadilinya , dan tanpa adanya kewenangan pengadilan lain , atau kekuasaan mengenai perkara apa yang ia berwenang mengadilinya. Menurut Pasal 50 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, bahwa kompetensi Pengadilan Negeri “bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama” (Andi sofyan dan Abd. Asis, 2014:30). 2) Kompetensi Relatif Kompetensi relatif adalah kekuasaan yang berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili di antara satu macam pengadilan (pengadilan negeri) atau kekuasaan mengadili perkara-perkara berhubungan dengan daerah hukumnya. Mengenai kompetensi relatif Pengadilan Negeri diatur dalam Pasal 84,85,86 KUHAP. a) Pasal 84 KUHAP menyatakan bahwa : (1) Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. (2) Pengadilan Negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan. (3) Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum pelbagai Pengadilan Negeri, maka tiap Pengadilan Negeri itu masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu.
19
(4) Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum pelbagai Pengadilan Negeri, diadili oleh masing-masing Pengadilan Negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut. b) Pasal 85 KUHAP menyatakan bahwa :
Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala` kejaksaan negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman u ntuk menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain daripada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud. c) Pasal 86 KUHAP menyatakan bahwa :
Apabila seorang melakukan tindak pidana di Luar Negeri yang dapat diadili menurut hukum Republik Indonesia, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya. b. Pengadilan Tinggi Kekuasaan untuk mengadili pada pengadilan tinggi sebagaiman di atur di dalam Pasal 87 KUHAP, yang menyebutkan bahwa Pengadilan tinggi berwenang “mengadili perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding”. Menurut pasal 51 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2004 tentang Peradilan Umum menyatakan bahwa 1) Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perkara perdata di tingkat banding. 2) Pengadilan Tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.
20
4. Tinjauan tentang Putusan Pengadilan a. Pengertian Putusan Pengadilan Pengertian putusan hakim dan putusan pengadilan sering disamakan. Namun, secara yuridis, pengertian yang lebih baku adalah putusan pengadilan, bukan putusan hakim. Hal ini didasarkan pada pengertian putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP yang berbunyi “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”(Sri Sutatiek.2013.”Akuntabilitas Moral Hakim dalam Memeriksa, Mengadili dan Memutus Perkara agar Putusanya Berkualitas”.ARENA HUKUM.Vol.6 No.1 : 3). Berdasarkan ketentuan KUHAP putusan hakim pada hakikatnya dapat di kategorisasikan ke dalam dua jenis, yaitu putusan akhir dan putusan yang bukan putusan akhir. Apabila suatu perkara oleh majelis hakim diperiksa sampai selesai pokok perkaranya, hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 182 ayat 3 dan ayat 8, Pasal 197, dan Pasal 199 KUHAP dinamakan dengan putusan akhir. Sedangkan mengenai putusan yang bukan putusan akhir dalam praktik dapat berupa penetapan atau putusan sela yang bersumber pada ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP(Lilik Mulyadi, 2007:146-147). Putusan apa yang akan di jatuhkan oleh Pengadilan, tergantung hasil mufakat musyawarah Hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan (M.Yahya Harahap, 2012:347). Hakim diberikan banyak keleluasaan ketika menyelesaikan sengketa. keleluasaan ini dapat memanifestasikan dirinya dalam memberikan keputusan yang tidak sesuai dengan keputusan sebelumnya (Anthony Niblett.2013.”Tracking inconsistent judicial behavior”. International Review of Law and Economics.Vol.34 : 9).
21
b. Bentuk Putusan Pengadilan Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (11) KUHAP, bentuk putusan pengadilan digolongkan menjadi tiga, yaitu: 1) Putusan bebas Putusan bebas berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrijpraak) atau acquittal. Terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, maksudnya dibebaskan dari pemidanaan atau dengan kata lain terdakwa tidak dipidana (M.Yahya Harahap, 2012:347). Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 191 ayat (1), yang menjelaskan bahwa “jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas”. 2) Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (Onslag van rechtvervolging) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum diatur dalam Pasal 191 Ayat (2), yang menjelaskan bahwa: “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi tindakan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum ”. Mengenai bentuk putusan ini Lilik Mulyadi menjelaskan bahwa “Pada putusan jenis ini dapat disbutkan bahwa apa yang didakwakan penuntut umum kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. Akan tetapi, terdakwa tidak dapat dipidana karena perbuatan yang di lakukan bukan merupakan tindak pidana, melainkan merupakan ruang lingkup hukum perdata”( Lilik Mulyadi, 2007:151).
22
3) Putusan Pemidanaan Maksut putusan pemidanaan berdasarkan pasal 193 ayat (1) KUHAP yaitu “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”. Sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) KUHAP penjatuhan putusan pemidanaan yang di dakwakan kepada terdakwa di dasarkan pada penilaian pengadilan. Apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimum pembuktian yang di tentukan di dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya”( M.Yahya Harahap, 2012:354). c. Isi Putusan Pengadilan Pasal 197 ayat (1) KUHAP diatur formalitas yang harus dipenuhi suatu putusan hakim Ketentuan tersebut adalah : 1) Kepala putusan berbunyi : DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. 2) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tempat lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa. 3) Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan. 4) Pertimbangan yang disusun sacara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi
dasar
penentuan
kesalahan
sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.
terdakwa
Tuntutan
pidana
23
5) peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa. 6) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal. 7) Pernyataan kesalahan terdakwa pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan delik disertai denjgan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. 8) Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti. 9) Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. 10) Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutuskan dan nama panitera. Apabila putusan tidak memuat ketentuan yang di tentukan dalam pasal 197 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l KUHAP tidak terpenuhi akan berakibat putusan batal demi hukum (Pasal 197 ayat (2) KUHAP). 5. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Penipuan Perbuatan pidana atau biasa di sebut tindak pidana menurut Moeljano adalah “perbuatan yang di larang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut”(Moeljatno, 2002:54). Setiap tindak pidana yang ada di dalam KUHP pada umumnya dapat di jabarkan ke dalam unsur-unsur menjadi dua macam unsur yaitu unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Unsur-unsur subjektif dari tindak pidana adalah : a. Kesengajaan atauketidaksengajaan (dolus atau culpa);
24
b. Maksud atau Voornemenpada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP; c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat dalam kejahatankejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain; d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad yang terdapat dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; e. Perasaan takut yang antara lain terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Unsur-unsur objektif dari tindak pidana adalah : a. Sifat melawan hukum atau wederrechttelijkheid; b. Kualitas dari pelaku; c. Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat(P.A.F. Lamintang, 2013:193-194). Tindak pidana penipuan dalam Kitap Undang-undang Hukum Pidana bukanlah suatu definisi melainkan hanyalah untuk menetapkan unsur-unsur suatu perbuatan sehingga dapat dikatakan sebagai penipuan dan pelakunya dapat dipidana. Penipuan menurut Pasal 378 KUHP yaitu: “Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
25
B. Kerangka Pemikiran 1. Bagan Kerangka Pemikiran
Tindak pidana penipuan
Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 226/PID.B/2014/ PN.TNG
Putusan Lepas dari segala tuntutan hukum
Permohonan kasasi oleh penuntut umum
Mengabulkan Putusan Mahkamah Agung No.
permohonan kasasi
1085 K/PID/2014
penuntut umum
Gambar 1. Kerangka Pemikiran 2. Penjelasan Putusan pengadilan yang di jatuhkan tergantung hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan yang di hubungkan dengan segala sesuatu yang yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang di dakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa
26
diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP). Upaya hukum yang dapat Jaksa penuntut umum lakukan terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum yaitu dengan mengajukan kasasi tanpa proses banding terlebih dahulu. Terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum dapat di ajukan kasasi menurut Pasal 244 KUHAP , dengan alasan dalam pasal tersebut hanya tertera putusan bebas yang tidak dapat di ajukan kasasi. Dikabulkan atau tidaknya permohonan kasasi disamping tergantung pada syarat-syarat formil juga tergantung pada syarat materiil, yaitu tentang alasanalasan kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP.