BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.Konsumsi Energi dan Protein Manusia membutuhkan makanan untuk kelangsungan hidupnya. Makanan merupakan sumber energi untuk menunjang semua kegiatan atau aktifitas manusia. Manusia yang kurang makanan akan lemah baik daya kegiatan, pekerjaan fisik atau daya pemikirannya karena kurangnya zat-zat makanan yang diterima tubuhnya yang dapat menghasilkan energi. Seseorang tidak dapat menghasilkan energi yang melebihi dari apa yang diperoleh dari makanan kecuali jika meminjam atau menggunakan cadangan energi dalam tubuh, namun kebiasaan meminjam ini akan dapat mengakibatkan keadaan yang gawat, yaitu kekurangan gizi khususnya energi (Suhardjo, 2003). Kebijaksanaan pangan dalam pembangunan jangka panjang I telah berhasil membawa Indonesia berswasembada beras dan memberi peluang untuk pengembangan produksi bahan pangan lainnya. Upaya ini berhasil meningkatkan ketersediaan energi dari 2035 Kal pada tahun 1968 menjadi 2701 Kal pada tahun 1990. Angka ini sudah melebihi angka kecukupan rata-rata yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 332/Menkes/SK/IV/1994 tanggal 16 April 1994 berdasarkan rekomendasi Widyakarya Pangan dan Gizi 1993 yaitu 2150 Kal. Ketersediaan protein yang telah melebihi kebutuhan rata-rata penduduk di tingkat nasional, namun karena distribusi pendapatan yang belum merata, menimbulkan belum semua rumah tangga
terpenuhi kecukupan pangannya.
Masalah lain adalah ketersediaan pangan yang cukup di tingkat rumah tangga ternyata belum menjamin tercukupinya kebutuhan gizi setiap anggota keluarga terutama wanita dan anak-anak., yang disebabkan oleh tingkat kemampuan ekonomi, ketidak mengertian, serta pengaruh adat, kebiasaan dan kebudayaan.
Repelita VI telah menetapkan bahwa salah satu sasaran perbaikan gizi adalah tercapainya konsumsi rata-rata per orang per hari untuk energi 2150 Kal dan protein 46,2 gram, untuk mencapai hal tersebut di masyarakat harus tersedia
4
energi per orang per hari sebesar 2500 Kal dan 55 gram protein, dimana 15 gram berasal dari protein hewani yang terdiri atas 9 gram protein ikan dan 6 gram protein yang berasal dari ternak. Tingkat konsumsi energi, protein dan zat gizi lainnya bagi penduduk Indonesia perlu dipantau secara periodik. Tahun 1995 hasil pemantauan konsumsi yang pertama menghasilkan rata-rata tingkat konsumsi energi per orang per hari sebesar 1986 kal dan rata-rata tingkat konsumsi protein per orang per hari sebesar 49,8 gram. ( Departemen Kesehatan RI, 1999) Kekurangan energi protein (KEP) merupakan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (Supariasa, 2002). Orang yang mengidap gejala klinis KEP ringan dan sedang pada pemeriksaan hanya nampak kurus. Namun gejala klinis KEP berat secara garis besar dapat dibedakan menjadi 3 yaitu Marasmus,Kwasiorkor, atau Marasmic-Kwasiorkor. 1.Tanda-tanda Marasmus : Anak tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit, wajahnya seperti orang tua kulit keriput, jaringan lemak subkitis sangat sedikit, rewel, cengeng sering diare kronik atau sebaliknya konstipasi susah buang air. Tekanan darah, detak jantung dan pernapasan berkurang (Supariasa, 2002). 2.Tanda-tanda Kwasiorkor : Terjadi oedema, umumnya seluruh tubuh terutama pada punggung kaki. Wajah membulat dan sembab, pandangan mata sayu. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit, rontok.Perubahan status mental, apatis dan rewel. Pembesaran hati Otot mengecil (hipotrofi) lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk. Kelainan kulit berupa bercakmerah muda yang luas dan berubah menjadi coklat kehitaman dan terkelupas, sering disertai penyakit infeksi, umumnya akut, anemia dan diare (Supariasa, 2002)
5
1. Ketersediaan pangan Ketersediaan pangan dalam rumah tangga yang dipakai dalam pengukuran mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga . Penentuan jangka waktu ketersediaan
makanan
pokok
di
pedesaan
biasanya
dilihat
dengan
mempertimbangkan jarak antara musim tanam dengan musim tanam berikutnya (Suhardjo, 2003). Ketersediaan pangan yang mengacu pada jarak waktu antara satu musim panen dengan musim panen berikutnya hanya berlaku pada rumah tangga dengan sektor pertanian sebagian sumber mata pencaharian pokok. Ukuran ketersediaan makanan pokok tersebut memiliki kelemahan jika diterapkan pada rumah tangga yang memiliki sumber penghasilan dari sektor non-pertanian (Suhardjo, 2003)
2.
Stabilitas ketersediaan Stabilitas ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga diukur berdasarkan
kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan anggota rumah tangga dalam sehari.Satu rumah tangga dikatakan memiliki stabilitas ketersediaan pangan jika mempunyai persediaan pangan diatas culting point (240 hari untuk Provinsi Lampung dan 360 hari untuk Provinsi NTT) dan anggota rumah tangga dapat makan 3 (tiga) kali sehari sesuai dengan kebiasaan makan penduduk di daerah tersebut, dengan asumsi bahwa di daerah tertentu masyarakat mempunyai kebiasaan makan 3 (tiga) kali sehari, frekuensi makan sebenarnya dapat menggambarkan keberlanjutan ketersediaan pangan dalam rumah tangga. Dalam satu rumah tangga salah satu cara untuk mempertahankan ketersediaan pangan dalam jangka waktu tertentu adalah dengan mengurangi frekuensi makan atau mengkombinasikan bahan makanan pokok (misal beras dengan ubi kayu). Kombinasi antara ketersediaan makanan pokok dengan frekuensi makan 3 kali perhari disebut cukup makan, 2 kali disebut kurang makan, dan 1 kali disebut sangat kurang makan, sebagai indikator kecukupan pangan, menghasilkan indikator stabilitas ketersediaan pangan yang dapat dilihat pada tabel berikut:
6
Tabel 1 Penetapan Indikator Stabilitas Ketersediaan Pangan Di Tingkat Rumah Tangga (dengan contoh Kabupaten di Provinsi Lampung dan NTT) Kecukupan Frekuensi makan anggota rumah tangga Ketersediaan pangan >3 kali 2 kali 1kali >240 hari Stabil Kurang stabil Tidak stabil >360 hari 1-239 hari Kurang stabil Tidak stabil Tidak stabil 1-364 hari Tidak ada persediaan Tidak stabil Tidak stabil Tidak stabil Sumber : Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi, 2004 3.
Keterjangkauan terhadap pangan Indikator keterjangkauan dalam pengukuran ketahanan pangan ditingkat
rumah tangga dilihat dari kemudahan rumah tangga memperoleh pangan yang diukur dari pemilikan lahan (misal sawah untuk provinsi Lampung dan ladang untuk provinsi (NTT) serta cara rumah tangga untuk memperoleh pangan. Akses yang diukurberdasarkan pemilikian lahan dikelompokkan dalam 2 (dua) kategori yitu akses langsung (direct access),jika rumah tangga memiliki lahan sawah /ladang dan akses tidak langsung (indirect access) jika rumah tangga tidak memiliki lahan sawah/ladang. Cara rumah tangga memperoleh pangan juga dikelompokan dalam 2 (dua) kategori yaitu : 1) produksi sendiri dan 2) membeli. Indikator
aksesibitas/keterjangkauan
rumah
tangga
terhadap
pangan
dikelompokkan dalam kategori seperti pada tabel berikut.
Tabel 2 Penetapan Indikator Aksesibiliatas/Keterjangkauan Pangan Di Tingkat Rumah Tangga Pemilikan Cara rumah tangga memperoleh bahan pangan Sawah/ladang Punya Akses langsung Akses tidak langsung Tidak punya Akses tidak langsung Sumber : Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi, 2004 Dari pengukuran indikator aksesilibitas ini kemudian diukur indikator stabilitas ketersediaan pangan yang merupakan penggabungan dari stabilitas ketersediaan pangan ini menunjukan suatu rumah tangga apakah : mempunyai
7
persediaan pangan cukup, konsumsi rumah tangga normal dan mempunyai akses langsung terhadap pangan.Indikator kontinyuitas ketersediaan pangan ditingkat rumah tangga dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 3 Penetapan Indikator Kontinyutas Ketersediaan Pangan Di Tingkat Rumah Tangga Akses terhadap pangan Akses langsung
Stabilitas ketersediaan pangan rumah tangga Stabil Kurang stabil Tidak stabil Kontinyu Kurang kontinyu Tidak kontinyu
Akses tidak langsung Kurang kontinyu Tidak kontinyu Sumber : Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi, 2004
Tidak kontinyu
4. Kualitas/ Keamanan pangan Kualitas /keamanan jenis pangan yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan gizi. Ukuran kualitas pangan seperti ini sangat sulit dilakukan karena melibatkan berbagai macam jenis makanan dengan kandungan gizi yang berbeda beda, sehingga ukuran keamanan pangan hanya dilihat dari “ada” atau tidaknya bahan makanan yang mengandung protein hewani dan atau nabati yang dikonsumsi dalam rumah tangga, karena itu ukuran kualitas pangan dilihat dari data pengeluaran untuk konsumsi makanan (lauk–pauk) sehari hari yang mengandung protein hewani dan atau nabati. Berdasarkan kriteria ini rumah tangga dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu : rumah tangga dengan kualitas baik adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran untuk lauk pauk berupa protein hewani dan nabati atau protein hewani saja, rumah tangga dengan kualitas pangan kurang baik adalah rumah tangga yang memeliki pengeluaran untuk lauk pauk berupa protein nabati saja, rumah tangga dengan kualitas pangan tidak baik adalah rumah tangga yang tidak memiliki pengeluaran untuk lauk pauk berupa protein baik hewani maupun nabati. Ukuran kualitas pangan ini tidak mempertimbangkan jenis makanan pokok. Alasan yang mendasarkan adalah karena kandungan energi dan karbohidrat antara beras, jagung dan ubi kayu/tiwul sebagai makanan pokok di desa- desa penelitian tidak berbeda secara signifikan (Syahrir, 2002)
8
5. Indeks ketahanan pangan Indeks ketahanan pangan dihitung dengan cara mengkombinasikan keempat indikator ketahanan pangan (ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan pangan, keberlanjutan dan kualitas/keamanan pangan). Kombinasi antara kecukupan ketersediaan pangan dan frekuensi makan memberikan indikator stabilitas
ketersediaan
pangan,
selanjutnya
kombinasi
antara
stabilitas
ketersediaan pangan dengan akses terhadap pangan memberikan indikator kontinuitas ketersediaan pangan. Indek ketahanan pangan diukur berdasarkan gabungan antara indikator kontinuitas ketersediaan pangan dengan kualitas keamanan pangan. Indeks ketahanan pangan ditingkat rumah tangga dikategorikan seperti terlihat pada tabel ini. Tabel 4 Indeks Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Kontinyuitas ketersediaan Pangan Kontinyu
Kualitas/keamanan pangan: konsumsi protein hewani dan /atau nabati Protein hewani Protein nabati saja Tidak ada dan nabati/protein konsumsi protein hewani saja hewani dan nabati Tahan Kurang Tahan Tidak tahan
Kurang kontinyu
Kurang tahan
Tidak tahan
Tidak tahan
Tidak kontinyu
Tidak tahan
Tidak tahan
Tidak tahan
Sumber : Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi, 2004 Berdasarkan matrik tersebut, maka rumah tangga dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu : (a) rumah tangga tahan pangan, adalah rumah tangga yang memiliki persediaan pangan /makanan pokok secara kontinyu (diukur dari persediaan makan selama jangka masa satu panen dengan panen berikutnya dengan frekuensi makan 3 kali atau lebih per hari serta akses langsung) dan memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan nabati atau protein hewani saja. (b) Rumah tangga kurang tahan pangan adalah rumah tangga yang memiliki kontinyuitas pangan /makan pokok kontinyu tetapi hanya mempunyai pengeluaran untuk protein saja. Kontinyuitas ketersediaan pangan/makanan kurang kontinyu dan mempunyai pengeluaran untuk protein hewani dan nabati. (c) Rumah tangga tidak tahan pangan adalah rumah tangga yang ditandai oleh kontinyuitas
9
ketersediaan pangan kontinyu, tetapi tidak memiliki pengeluaran untuk protein hewani maupun nabati. Kontinyuitas ketersediaan pangan kontinyu kurang kontinyu dan hanya memiliki pengeluaran untuk protein hewani atau nabati, atau tidak untuk kedua-duanya. Kontinyuitas ketersediaan pangan tidak kontinyu walaupun memiliki pengeluaran untuk protein hewani dan nabati. Kontinyuitas ketersediaan pangan tidak kontinyu dan hanya memiliki pengeluaran untuk protein nabati saja, atau tidak untuk kedua duanya (Syahrir, 2002) 6. Konsumsi pangan anak balita Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Oleh karena itu, pangan harus tersedia pada setiap saat dan tempat dengan mutu yang memadai. Pangan dengan nilai gizi yang cukup dan seimbang, merupakan pilihan terbaik untuk dikonsumsi guna mencaai status gizi dan kesehatan yang optimal. Bagi tubuh nilai suatu bahan pangan ditentukan oleh isinya atau zat gizi apa yang dikandungnya. Zat gizi yang terkandung dalam pangan digunakan untuk memberikan energi pada tubuh, untuk pertumbuhan dan untuk memperbaiki jaringan tubuh yang rusak serta mengatur proses dalam tubuh. Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Kebiasaan mengkonsumsi pangan yang baik akan menyebabkan setatus gizi yang baik pula, dan keadaan ini dapat terlaksana apabila telah tercipta keseimbangan antara banyaknya jenis jenis zat gizi yang dikonsumsi dengan banyaknya gizi yang dibutuhkan tubuh. Anak balita merupakan golongan yang berada dalam masa pertumbuhan yang pesat. Dalam usia ini anak memerlukan asuan gizi yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya 7. Pengukuran ketahanan pangan rumah tangga Di Indonesia telah ditetapkan pengukuran ketahanan pangan rumah tangga dari tingkat konsumsi energi dan protein. Suatu rumah tangga dikatakan tahan pangan jika jumlah konsumsi energi dan proteinnya lebih besar dari kecukuan energi dan protein yang dibutuhkan (> 100%). Jika konsumsi energi dan
10
protein lebih kecil dari kecukupan, maka rumah tangga tersebut dikatakan rawan ketahanan pangan. Ketahanan pangan tingkat rumah tangga dapat diketahui melalui pengumpulan data konsumsi dan ketersediaan pangan dengan cara survai pangan secara langsung dan hasilnya dibandingkan dengan angka kecukupan yang telah ditetapkan. Selain pengukuran konsumsi dan ketersediaan pangan melalui survai tersebut dapat pula digunakan data mengenai sosisal ekonomi dan demografi untuk mengetahui resiko ketahanan pangan seperti, pendapatan, pendidikan, struktur keluarga, harga pangan, pengeluaran pangan dan sebagainya. B. Faktor yang mempengaruhi konsumsi energi protein 1. Pendapatan Keluarga Dalam kehidupan sehari-hari pendapatan erat kaitannya dengan gaji, upah, serta pendapatan lainnya yang diterima seseorang setelah orang itu melakukan pekerjaan dalam kurun waktu tertentu (Mulyanto Sumardi dan Hans Pieter Evers, 1984). UMR ( Upah Minimum Regional Kabupaten Jepara Tahun 2009 Perkapita Rp 702.000,00 ). Ada beberapa definisi pengertian pendapatan, menurut Badan Pusat Statistik sesuai dengan konsep dan definisi (1999) pengertian pendapatan keluarga adalah seluruh pendapatan dan penerimaan yang diterima oleh seluruh anggota Rumah Tangga Ekonomi (ARTE). Sedangkan menurut Mulyanto Sumardi dan Hans Dieter Evers ( 1984), pendapatan adalah jumlah penghasilan riil dari seluruh anggota rumah tangga yang disumbangkan untuk memenuhi kebutuhan bersama maupun perseorangan dalam rumah tangga. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pendapatan adalah segala bentuk penghasilan atau penerimaan yang nyata dari seluruh anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Mulyanto Sumardi dan Hans Dieter Evers (1984) menyebutkan pendapatan rumah tangga merupakan jumlah keseluruhan dari pendapatan formal, pendapatan informal dan pendapatan subsistem. Pendapatan formal, informal, dan pendapatan subsistem yang dimaksud dalam konsep diatas dijelaskan sebagai berikut : a) Pendapatan formal adalah pendapatan yang diperoleh dari hasil pekerjaan pokok. 11
b) Pendapatan informal adalah pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan diluar pekerjaan pokok. c) Pendapatan Subsistem yaitup pendapatan yang diperoleh dari sektor produksi yang di nilai dengan uang. Jadi yang dimaksud dengan pendapatan keluarga adalah seluruh penghasilan yang diperoleh dari semua anggota keluarga yang bekerja. Umumnya, jika pendapatan naik, jumlah dan jenis makanan cenderung ikut membaik juga. Tingkat penghasilan ikut menentukan jenis pangan apa yang akan dibeli dengan adanya tambahan uang. Semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula persentase dari penghasilan tersebut dipergunakan untuk membeli buah, sayur mayur dan berbagai jenis bahan pangan lainnya. Jadi penghasilan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas. Antara penghasilan dan gizi, jelas ada hubungan yang menguntungkan. Pengaruh peningkatan penghasilan terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga lain yang mengadakan interaksi dengan status gizi yang berlawanan hampir universal (Sediaoetama, 2003 ). Ahli ekonomi berpendapat bahwa dengan perbaikan taraf ekonomi maka tingkat gizi pendukung akan meningkat. Namun ahli gizi dapat menerima dengan catatan, bila hanya faktor ekonomi saja yang merupakan penentu status gizi. Kenyataannya masalah gizi bersifat multi kompleks karena tidak hanya faktor ekonomi yang berperan tetapi faktor-faktor lain ikut menentukan. Oleh karena itu perbaikan gizi dapat dianggap sebagai alat maupun sebagai sasaran dari pada pembangunan (Suhardjo, 2003). 2. Besarnya Keluarga Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang sangat miskin, akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya, jika yang harus diberi makanan jumlahnya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga yang besar tersebut (Suhardjo, 2003). Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin paling rawan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling
12
kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Sebab seandainya besar keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anakyang sangat muda memerlukan pangan relatif lebih banyak dari pada anak-anak yang lebih tua. Dengan demikian anak-anak yang muda mungkin tidak diberi cukup makan (Suhardjo, 2003). Anak-anak, wanita yang sedang hamil dan menyusui merupakan kelompok yang rawan akan kekurangan gizi. Apabila mereka hidup dalam keluarga dengan jumlah yang besar dan kesulitan dalam persediaan pangan tentunya masalah gizi atau gangguan gizi terutama kurang energi protein akan timbul (Suhardjo, 2003). Konsumsi pangan yang cukup, baik kualitas maupun kuantitas yng tepat kepada setiap anggota keluarga sangat penting untuk mencapai gizi yang baik. Pangan harus dibagikan untuk memenuhi kebutuhan gizi setiap orang dalam keluarga. Anak, wanita hamil dan menyusui harus memperoleh sebagian besar pangan yang kaya akan protein. Semua anggota keluarga sesuai dengan kebutuhan perorangan, harus mendapat bagian energi, protein dan zat-zat gizi lain yang cukup setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan tubuh (Suhardjo, 2003). 3. Pendidikan Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses perbuatan, cara mendidik (Notoatmojo, 2003). Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mudah ia menerima informasi yang diberikan sehingga semakin bertambah pula pengetahuan yang didapatkannya. Pendidikan berasal dari kata " didik " yaitu mengajari seseorang supaya menjadi pandai dan berakhlak yang baik. Pendidikan adalah hal, cara, hasil atau proses kerja mendidik yang dapat membentuk manusia menjadi orang yang berguna ( Badudu, 1996.) Pendidikan merupakan suatu usaha yang terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spriritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (UU RI No. 20,2003)
13
Pendidikan secara formal
adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan
berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dikembangkan. Dimolai dari SD,SMP,SMU,PT (UU RI No. 20, 2003) 4. Pengetahuan Pengetahuan seseorang terhadap obyek mempunyai intensitas atau tingkatan yang berbeda-beda. Menurut Notoatmojo (2005) pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu : a) Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajarinya atau rangsangan yang telah diterima (Notoatmojo, 1993). Oleh sebab itu “tahu” ini adalah merupakan tingkatan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya. Contoh: dapat menyebutkan tanda-tanda kekurangan kalori dan protein pada anak balita (Notoatmojo, 2003). b) Memahami (comprehension) Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak
sekedar
dapat
menyebutkan
tetapi
orang
tersebut
harus
dapat
menginterpretasikan secara benar tentang obkek yang diketahui tersebut. Misalnya orang yang memahami cara pemberantasan penyakit Demam berdarah bukan hanya sekedar menyebutkan 3M (mengubur, menutup dan menguras). Tetapi harus dapat menjelaskan mengapa harus menutup, menguras dan sebagainya tempat-tempat penampungan air tersebut (Notoatmojo,2003). c) Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya: dapat menggunakan rumus statistik dalm penghitungan-penghitungan hasil penelitian,
14
dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) didalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan (Notoatmojo, 2003). d) Analisis (analysis) Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan kemudian mencari hubungan antar komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai dapat membedakan atau memisahkan, mengelompokkan dan membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut. Misalnya dapat membedakan antara nyamuk Aedes Agepty dengan nyamuk biasa, dapat membuat diagram (Flow chart) siklus hidup cacing kremi dan sebagainya (Notoatmojo, 2003) e) Sintesis (Syntesis) Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk menerangkan atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki, dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada. misalnya: dapat membuat atau meringkas dengan kata-kata atau didengar dapat membuat kesimpulan tentang artikel yang telah dibaca. f) Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku dimasyarakat., misalnya : seorang ibu dapat menilai atau menentukan seorang anak menderita malnutrisi atau tidak atau seseorang dapat menilai manfaat ikut keluarga berencana dan sebagainya (Notoatmojo, 2003). Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kadalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut. Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seseorang mampu menyusun menu yang baik untuk dikonsumsi. Semakin baik pengetahuan gizi
15
seseorang, maka ia akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang diperolehnya untuk dikonsumsi (Sediaoetama, 2000). Semakin bertambah pengetahuan ibu maka seorang ibu akan semakin mengerti jenis dan jumlah makanan untuk dikonsumsi seluruh anggota keluarganya termasuk pada anak balitanya. Hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan anggota keluarga, sehingga dapat mengurangi atau mencegah gangguan gizi pada keluarga (Suhardjo, 1986). Kurangnya pengetahuan dan salah konsepsi tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan adalah umum dijumpai setiap negara di dunia. Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi, penyebab lain yang penting dari gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan dan kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari (Suhardjo, 2003). Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan terhadap penyediaan bahan makanan terutama makanan bergizi yang sangat dibutuhkan bagi anak-anak dan keluarganya. Disamping itu pendidikan berpengaruh pula pada faktor sosial ekonomi lainya seperti pendapatan, pekerjaan, kebiasaan hidup, makanan, perumahan dan tempat tinggal (Kardjati, 1985). Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Hal ini bisa dijadikan landasan untuk membedakan metode penyuluhan yang tepat. Dari kepentingan gizi keluarga, pendidikan diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi didalam keluarga dan bisa mengambil tindakan secepatnya (Suhardjo, 2003) Secara biologis ibu adalah sumber hidup anak. Tingkat pendidikan ibu banyak menentukan sikap dan tindak-tanduk menghadapi berbagai masalah, misal memberikan ASI eksklusif, Makanan pendamping ASI yang cukup gizi, memintakan vaksinasi untuk anaknya, memberikan oralit waktu diare, atau kesediaan menjadi peserta KB. Anak-anak dari ibu yang mempunyai latar pendidikan lebih tinggi akan mendapat kesempatan hidup serta tumbuh lebih baik. Keterbukaan mereka untuk menerima perubahan atau hal baru guna pemeliharaan kesehatan anak maupun salah satu penjelasannya (Kardjati, 2003).
16
5. Kesehatan Kurang energi dan protein
menghambat reaksi imunologis dan
berhubungan dengan tingginya prevalensi dan beratnya penyakit infeksi. Penyakit infeksi pada anak-anak yaitu kurang protein (Kwashiorkor) atau Marasmus (kurang kalori) sering didapatkan pada taraf yang sangat berat. Infeksi sendiri mengakibatkan penderita kehilangan bahan makanan melalui muntah-muntah dan diare. Gizi kurang dan diare sering dihubungkan satu sama lain, walaupun diakui sulit menentukan kelainan yang mana terjadi lebih dulu, gizi kurang diare atau sebaliknya . Akses kesehatan mencakup pelayanan kedokteran(medical service) dan pelayanan kesehatan masyarakat (public healthservice). Secara umum akses kesehatan masyarakat adalah merupakan sub sistem akses kesehatan, yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran masyarakat. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa akses kesehatan masyarakat tidak melakukan pelayanan kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan) (Notoatmodjo, 2005) Akses kesehatan dibedakan menjadi 3 bentuk pelayanan yaitu: a) Pelayanan kesehatan tingkat pertama (primary health care) Pelayanan jenis ini diperlukan untuk masyarakat yang sakit ringan dan masyarakat yang sehat untuk meningkatkan kesehatan mereka atau promosi kesehatan. Bentuk pelayanan ini misalnya, Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling, dan Balkesmas (Notoatmodjo, 2005). b) Pelayanan kesehatan tingkat kedua (secondary health service) pelayanan kesehatan jenis ini diperlukan oleh kelompok masyarakat yang memerlukan perawatan menginap, yang sudah tidak bias ditangani oleh pelayanan kesehatan primer. Bentuk pelayanan ini misalnya, rumah sakit tipe C dan D. (Notoatmodjo, 2005). c) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga (tertiary health service) pelayanan kesehatan ini diperlukan oleh sekelompok masyarakat atau pasien yang sudah tidak dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan sekunder. Pelayanan yang sudah kompleks, misalnya rumah sakit tipe A dan B (Notoatmodjo, 2005).
17
Dalam suatu sistem akses kesehatan, ketiga strata atau jenis pelayanan tersebut tidak berdiri sendiri, namun berada dalam suatu sistem, dan saling berhubungan. Apabila akses kesehatan primer tidak dapat melakukan tindakan medis tingkat primer, maka menyerahkan tanggung jawab tersebut kepada pelayanan diatasnya. Penyerahan tanggung jawab dari suatu akses kesehatan ke akses kesehatan yang lain ini disebut rujukan, ialah suatu sistem penyelenggaraan akses kesehatan yang melaksanakan pelimpahan tanggung jawab timbal balik terhadap suatu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara vertikal (dari unit yang lebih mampu menangani, atau secara horizontal antar unit-unit yang setingkat kemampuannya (Notoatmodjo, 2005). Upaya akses kesehatan dasar diarahkan kepada peningkatan kesehatan dan status gizi pada golongan rawan gizi seperti pada wanita hamil, ibu menyusui, bayi dan anak-anak kecil, sehingga dapat menurunkan angka kematian. Pusat kesehatan yang paling sering melayani masyarakat, membantu mengatasi dan mencegah gizi kurang melalui program-program pendidikan gizi dalam masyarakat. Akses kesehatan yang selalu siap dan dekat dengan masyarakat akan sangat membantu meningkatkan derajat kesehatan. Dengan akses kesehatan masyarakat yang optimal kebutuhan kesehatan dan pengetahuan gizi terutama kebutuhan konsumsi energi protein keluarga, masyarakat akan terpenuhi (Suhardjo, 2003).
18
C. Kerangka Teori FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KONSUMSI ENERGI PROTEIN (UNICEF)
PENDIDIKAN PENDAPATAN PENGETAHUAN
BESAR KELUARGA
PEMILIHAN BAHAN MAKANAN
DAYA BELI
KESEHATAN
KETERSEDIAAN BAHAN MAKANAN RUMAH TANGGA • •
KETERSEDIAAN ENERGI KETERSEDIAAN PROTEIN
KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN BALITA Sumber : UNICEF dalam Soekirman ,1999 (dengan modifikasi)
19
D. KerangkaKonsep
Variabel Bebas
Variabel Terikat
Ketersediaan Energi Rumah tangga Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Balita Ketersediaan Protein Rumah tangga
E. Hipotesis 1. Ada hubungan antara ketersediaan energi rumah tangga dengan tingkat konsumsi energi balita 2. Ada hubungan antara ketersediaan
protein rumah tangga
dengan tingkat konsumsi protein balita
20