BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Usahatani Cabai Rawit Ilmu
usahatani
adalah ilmu
yang
mempelajari
bagaimana
seorang
mengusahakan dan mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya. Menurut Prawirokusumo (1990) dalam Suratiyah (2006:9), ilmu usahatani merupakan ilmu terapan yang membahas atau mempelajari bagaimana membuat atau menggunakan sumberdaya secara efisien pada suatu usaha pertanian, peternakan, atau perikanan (Suratiyah, 2006:8). Tanaman cabai -
-
ai yang dulunya
merupakan tanaman liar dan disebarkan oleh burung (cabai burung) mempunyai nama ilmiah Capsicum Frutescens, C. pendulum, C. baccatum, dan C. chinense. Karena ukuran buahnya yang kecil, di Indonesia cabai ini dikenal dengan nama cabai rawit (Setiadi, 2007:2). Menurut Sarpian (2003:2), terdapat beberapa varietas cabai rawit, diantaranya yaitu: 1. Cabai kecil Cabai kecil juga sering disebut cabai jeprit. Karakteristik utama cabai ini adalah buahnya kecil-kecil. Bila masih muda, buahnya berwarna hijau dan setelah tua (masak) jadi merah menyala. Rasanya sangat pedas dan beraroma merangsang karena kadar minyak aetheris-nya banyak. 2. Cabai putih Cabai putih yang sering disebut cengek ini memiliki ukuran buah lebih besar dari cabai kecil. Panjang buahnya 1 – 3 cm dan lebar 2,5 – 12 mm. Bila masih muda, buahnya berwarna putih dan setelah masak jadi merah jingga (merah agak kuning). Rasa buah yang masih muda kurang pedas. Akan tetapi, setelah masak rasanya menjadi pedas. Walaupun demikian, rasa pedas cabai putih ini belum sebanding pedasnya cabai kecil.
3. Cabai ceplik Cabai ceplik juga sering disebut cabai hijau. Ciri utama cabai ini ialah ukuran buahnya hampir sama dengan cabai putih. Perbedaannya dengan cabai putih terletak pada warna buah. Bila masih muda, buahnya hijau agak putih dan setelah masak menjadi merah menyala. Rasanya pedas, tetapi masih lebih pedas cabai kecil atau cabai putih. Menurut Tjahjadi (1991:19), ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman cabai. Faktor-faktor tersebut antara lain iklim, tinggi rendahnya letak geografisnya, kesuburan tanah, dan faktor biotik seperti gangguan hama dan patogen, serta tumbuhan pengganggu. 1. Faktor iklim Faktor iklim yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman cabai meliputi sinar matahari, curah hujan, kelembaban, suhu udara, angin, dan penguapan. Tanaman cabai sangat memerlukan sinar matahari. Apabila kurang mendapat sinar matahari di persemaian atau pada awal pertumbuhannya, tanaman cabai akan mengalami etiolasi, jumlah cabang sedikit dan akibatnya buah cabai yang dihasilkan juga berkurang, karena bunga cabai akan muncul dari setiap cabang. Di daerah tertentu, orang menanam cabai di rumah plastik atau rumah kaca, untuk menghindari curah hujan. Walaupun biaya penanaman dengan cara ini cukup tinggi, tetapi hasil pemasukan juga berlipat ganda. Sebab, harga cabai pada musim penghujan dapat menjadi dua atau tiga kali lipat daripada harga pada musim kemarau. Tanaman cabai dapat tumbuh dengan baik di daerah yang mempunyai kelembaban udara yang tinggi sampai sedang. Kelembaban udara yan – udara yang terlalu rendah atau terlalu tinggi akan menyebabkan turunnya produksi cabai. Angin yang bertiup cukup keras juga akan merusak tanaman cabai. Tiupan angin yang kencang akan mematahkan ranting, menggugurkan bunga dan buah, bahkan dapat merobohkan tanaman. Penguapan yang tinggi dapat menyebabkan
produksi cabai menurun. Untuk mengurangi faktor penguapan, tanaman cabai harus disiram dua atau tiga hari sekali. 2. Tinggi rendahnya letak geografis Tanaman cabai dapat tumbuh dengan baik di dataran rendah atau di dataran tinggi. Dengan kata lain, tanaman cabai tidak membutuhkan suatu ketinggian tempat yang khusus untuk pertumbuhannya. Tinggi rendahnya suatu tempat biasanya berhubungan langsung dengan suhu udara dan kelembaban udara. 3. Kesuburan tanah Kesuburan tanah memegang peranan sangat penting untuk tanaman cabai. Selain sebagai penyangga akar, tanah juga berfungsi sebagai penyedia air, zat-zat hara, dan udara bagi pernafasan akar tanaman. Tanah yang subur dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara optimal. Tanaman cabai tumbuh baik pada kemasaman tanah (pH) 5,0 – 7,5. Pada kemasaman tanah yang sangat rendah, yaitu sekitar 4,0, tanaman cabai masih dapat tumbuh dengan baik, tetapi produksi buah agak berkurang, karena beberapa unsur hara akan sulit diserap. Pemberian kapur untuk meningkatkan pH jarang dilakukan pada penanaman cabai, karena dengan pemupukan TSP yang cukup sebagai pupuk dasar sudah dapat meningkatkan pH. 4. Faktor biotik Selain faktor-faktor abiotik, yaitu iklim dan tanah, yang perlu diperhatikan juga faktor biotik. Hama, patogen, dan gulma adalah faktor biotik yang sering menggagalkan panenan cabai. Menurut Rukmana (2002:24), lingkungan tumbuh yang paling cocok untuk membudidayakan cabai rawit berdasarkan luas areal penanamannya di berbagai daerah dijumpai di dataran rendah yang mempunyai tipe iklim D³ dan E³, yaitu daerah yang mempunyai bulan basah antara 0 – 5 bulan, dan bulan kering antara 4 – 6 bulan. Penanaman cabai rawit di dataran rendah lebih efisien, karena produktivitas per satuan waktu lebih tinggi dibandingkan dengan penanaman di dataran medium atau dataran tinggi.
B. Peluang Bisnis Cabai Rawit Krisis
moneter
yang
melanda
Indonesia
sejak
tahun
1997
telah
menghancurkan berbagai sektor usaha. Namun, sektor agrobisnis merupakan salah satu sektor yang tidak terkena imbas krisis tersebut. Lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga Rp 15.000 per US dolar, tampaknya malah memberi keuntungan yang berlipat bagi para pelaku usaha di sektor pertanian. Hal ini bisa terjadi karena banyak hasil-hasil usaha sektor agribisnis yang dilempar ke pasar luar negeri dengan transaksi penjualan dalam dolar. Sementara itu, biaya-biaya, terutama ongkos produksi, menggunakan rupiah (Anonim, 2010:1). Warisno dan Dahana (2010:11), mengemukakan bahwa permintaan cabai dari tahun ke tahun senantiasa mengalami peningkatan. Minimal terdapat tiga faktor penyebab, yaitu meningkatnya jumlah penduduk, meningkatnya tingkat pendapatan masyarakat, dan peningkatan konsumsi cabai per kapita. Jumlah penduduk Indonesia meningkat setiap tahunnya setidaknya 5 – 10 juta penduduk. Hal ini merupakan pasar potensial dimasa mendatang. Peningkatan pendapatan masyarakat juga tentu saja akan meningkatkan konsumsi pangan, termasuk pangan pelengkap seperti cabai. Faktor lain yang juga meningkatkan permintaan adalah meningkatnya konsumsi cabai per kapita. Sejak awal Tahun 1990 an, konsumsi cabai per kapita meningkat sebesar 1,5 – 2 persen setiap tahunnya. Selain dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan industri pengolahan yang berbahan baku cabai, peningkatan permintaan terhadap suatu komoditas (dalam hal ini cabai rawit) juga dipengaruhi oleh elastisitas pendapatan
komoditas
tersebut
(cabai).
Elastisitas
pendapatan
adalah
perbandingan (rasio) antara presentase perubahan jumlah produk (cabai) yang dikonsumsi dengan presentase perubahan pendapatan. Semakin tinggi elastisitas pendapatan suatu komoditas, semakin tinggi pula peningkatan permintaan jika pendapatan meningkat (Cahyono, 2003:9). Santika (1995) dalam Cahyono (2003:10), cabai merupakan komoditas sayuran penting yang tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari, baik dalam konsumsi rumah tangga maupun aneka industri
pengolahan yang berbahan baku cabai. Pemanfaatannya sebagai bahan baku industri menyebabkan cabai mempunyai peluang bisnis yang cerah sebagai komoditas yang bernilai ekonomi tinggi. Peluang pemasarannya tidak hanya terbatas di dalam negeri, tetapi juga memiliki peluang pemasaran yang luas ke luar negeri (ekspor). Cabai rawit dapat diekspor ke berbagai negara, misalnya Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Inggris, Swedia, Prancis, Swiss, Spanyol, Italia, Kanada, Belgia, Jepang, Singapura, Malaysia, dan lain-lain. Di pasar internasional, setiap tahun diperdagangkan sekitar 30.000 – 40.000 ton cabai.
C. Perencanaan Laba Perencanaan merupakan salah satu bagian dari manajemen yang sangat penting dalam mengatur suatu keadaan atau kegiatan dimana seseorang harus merencanakannya agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai sesuai rencana. Laba merupakan selisih antara total penerimaan seseorang dengan total biaya yang dikeluarkan selama melakukan kegiatan operasi. Jadi, perencanaan laba dapat diartikan suatu perencanaan manajemen dalam mengatur aliran keuangan agar memperoleh keuntungan baik dimasa kini maupun dimasa yang akan datang. Menurut Kuswadi (2006:210), laba tidak lain adalah pendapatan dari hasil penjualan dikurangi biaya-biaya pengadaan dan pemasaran. Perusahaan harus selalu menghasilkan laba optimal dalam rangka memuaskan pihak-pihak yang berkepentingan (stake holder), yaitu para pemegang saham, manajemen, konsumen,
karyawan,
pemerintah,
masyarakat
dan
sebagainya.
Dalam
menetapkan besarnya volume dan harga penjualan serta laba, perlu diingat adanya keterbatasan seperti, misalnya kapasitas mesin, jumlah tenaga kerja, penyediaan bahan baku, dan sebagainya. Laba akan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan dan faktor-faktor yang masih dapat dikendalikan oleh perusahaan. Laba yang direncanakan harus diikuti oleh pengendalian. Jika tidak, perencanaan laba akan menjadi tidak berarti. Menurut Gade (2005:16), perhitungan laba rugi perusahaan dilakukan dengan membandingkan anatara pendapatan dalam suatu periode tertentu dengan biayabiaya untuk memperoleh pendapatan tersebut. Selisih dari pendapatan dan biaya-
biaya akan merupakan laba atau rugi untuk periode tersebut. Jika terjadi selisih lebih pendapatan atas biaya-biaya yang terjadi berarti perusahaan mendapatkan laba, sedangkan jika terjadi selisih kurang pendapatan atas biaya-biaya yang terjadi maka perusahaan menderita kerugian. Laba yang sering digunakan sebagai pengukur kemampuan perusahaan dalam menjalankan kegiatan utamanya adalah laba usaha. Karena laba usaha merupakan keuntungan yang benar-benar hanya didapat dari kegiatan utama perusahaan. Laba usaha sering disebut juga laba operasi. Menurut Nafarin (2007:788), laba (income) adalah perbedaan antara pendapatan dengan keseimbangan biaya-biaya dan pengeluaran untuk periode tertentu. Laba dapat dibedakan menjadi laba akuntan dengan laba ekonom dan laba akunting dgn laba ekonomi. Laba akunting merupakan titik perhatian utama dalam laporan keuangan. Laba mempunyai arti penting sebagai dasar pengenaan pajak, penentuan dividen, dan penentuan kebijakan investasi. Laba ekonomi merupakan sumber penciptaan nilai di perusahaan dan tingkat imbalan atau pengembalian ditentukan berdasarkan tingkat resiko yang diasumsikan oleh pemodal. Pengertian laba akuntan disini adalah definisi laba menurut para akuntan. Para akuntan berpendapat laba adalah kelebihan dapatan terhadap beban. Pengertian laba ekonom disini adalah definisi laba menurut para ekonom. Adam smith berpendapat bahwa laba adalah jumlah yang dikonsumsi tanpa mengganggu modal dan Hick berpendapat bahwa laba adalah jumlah yang dapat dikonsumsi seseorang dalam suatu periode tanpa mempengaruhi keadaan orang tersebut. Menurut Fuad dkk, (2000:168), laba menurut pengertian akuntansi keuangan berbeda dengan laba menurut pengertian akuntansi biaya. Menurut akuntansi keuangan, pengertian laba sebatas pada laba masa lalu (historical income) sedangkan laba menurut pengertian akuntansi manajemen meliputi laba masa lalu dan laba masa datang (future income). 1. Laba masa lalu Laba masa lalu adalah laba bersih atau rugi bersih yg dicapai perusahaan pada masa lalu. 2. Laba masa datang
Laba masa datang adalah laba yang diprediksikan akan diperoleh dimasa depan. Laba ini pada umumnya berbeda untuk beberapa alternatif yg akan dipilih. D. Analisis Struktur Biaya Menurut Fuad dkk, (2000:153), biaya adalah satuan nilai yang dikorbankan dalam suatu proses produksi untuk mencapai suatu hasil produksi. Menurut Gaspersz (2006:247), biaya dalam ekonomi manajerial mencerminkan efisiensi sistem produksi, sehingga konsep biaya juga mengacu pada konsep produksi, tetapi apabila pada konsep produksi kita membicarakan penggunaan input secara fisik dalam menghasilkan output produksi, maka dalam konsep biaya kita menghitung penggunaan input itu dalam nilai ekonomi yang disebut biaya. Sesuai dengan konsep produksi jangka pendek, dimana terdapat input tetap (fixed inputs) dan input variable (variable inputs), pada dasarnya biaya yang diperhitungkan dalam produksi jangka pendek adalah biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Biaya tetap (fixed cost), merupakan biaya yang dikeluarkan untuk pembayaran input-input tetap (fixed inputs) dalam proses produksi jangka pendek. Biaya variabel (variable cost), merupakan biaya yang dikeluarkan untuk pembayaran input-input variabel (variable inputs). Menurut Kuswadi (2005:19), biaya adalah semua pengeluaran untuk mendapatkan barang atau jasa dari pihak ketiga. Barang atau jasa dapat dijual kembali, baik yang berkaitan dengan usaha pokok perusahaan maupun tidak. Dalam perhitungan laba rugi, besarnya biaya ini akan mengurangi laba atau menambah rugi perusahaan. Dalam perhitungan laba rugi, macam-macam biaya yang sering digunakan ialah: 1. Biaya langsung dan tidak langsung a. Biaya langsung (direct cost) adalah biaya yang langsung dibebankan pada objek atau produk, misalnya bahan langsung (bahan baku), upah pekerja yang terlibat langsung dalam proses produksi, biaya iklan, ongkos angkut, dan sebagainya.
b. Biaya tidak langsung (indirect cost) adalah biaya yang sulit atau tidak dapat dibebankan secara langsung dengan unit produksi, misalnya gaji pimpinan, gaji mandor, biaya iklan untuk lebih dari satu macam produk, dan sebagainya. Biaya tidak langsung disebut juga biaya overhead. Biaya overhead terdiri atas biaya overhead pabrik, biaya overhead penjualan serta biaya overhead umum dan administrasi. 2. Biaya tunai dan tidak tunai a. Biaya tunai adalah biaya yang saat ini atau di masa yang akan datang timbul dan diakui sebagai biaya serta dibayarkan secara tunai. Misalnya, biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, dan sebagainya. b. Biaya tidak tunai adalah biaya yang saat ini atau di waktu yang akan datang tidak akan dan tidak pernah dikeluarkan secara tunai. Misalnya, biaya penyusutan. 3. Biaya tetap, variabel, dan semi variabel a. Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang jumlahnya tidak berubah dalam rentang waktu tertentu, berapa pun besarnya penjualan atau produksi perusahaan. Misalnya, sewa gedung kantor. b. Biaya variabel (variable cost) adalah biaya yang dalam rentang waktu dan sampai batas-batas tertentu jumlahnya berubah-ubah secara proporsional. c. Biaya semi variabel adalah biaya yang sulit digolongkan ke dalam kedua jenis biaya di atas (tidak termasuk ke dalam biaya tetap atau biaya variabel). Menurut Usry dan Hammer (1991:40), secara umum, biaya variabel dan biaya tetap mempunyai karakteristik berikut: 1. Biaya variabel a. Perubahan jumlah total dalam proporsi yang sama dengan perubahan volume. b. Biaya per unit relatif konstan meskipun volume berubah dalam rentang (range) yang relevan.
c. Dapat dibebankan kepada departemen operasi dengan cukup mudah dan tepat. d. Dapat dikendalikan oleh seorang penyedia operasi. 2. Biaya tetap a. Jumlah keseluruhan yang tetap dalam rentang (range) keluaran yang relevan. b. Penurunan biaya per unit bila volume bertambah dalam rentang yang relevan. c. Dapat
dibebankan
kepada
departemen-departemen
berdasarkan
keputusan manajerial atau menurut metode alokasi biaya. d. Tanggung jawab pengendalian lebih banyak dipikul oleh manajemen eksekutif daripada oleh penyedia operasi. Menurut Hanafie (2010:199), biaya produksi dapat dibagi menjadi dua, yaitu biaya-biaya yang berupa uang tunai (misalnya, untuk upah kerja, persiapan atau penggarapan lahan, serta biaya-biaya untuk membeli pupuk dan obat-obatan), serta biaya-biaya yang dibayarkan dalam bentuk in-natura (misalnya, biaya-biaya panen, bagi hasil, sumbangan-sumbangan, dan pajak). Besar kecilnya biaya berupa uang tunai ini sangat mempengaruhi pengembangan usahatani. Terbatasnya jumlah uang tunai yang dimiliki petani, apalagi ketika fasilitas perkreditan belum ada, sangat menentukan berhasil tidaknya pembangunan pertanian. Penerapan teknologi baru untuk meningkatkan produksi dewasa ini hampir semuanya menggunakan factor produksi yang memerlukan biaya uang tunai yang cukup besar.
E. Analisis Titik Impas Menurut Herjanto (2007:151), analisis pulang pokok (break-even analysis) adalah suatu analisis yang bertujuan untuk menemukan satu titik dalam kurva biaya-pendapatan yang menunjukkan biaya sama dengan pendapatan. Titik tersebut disebut sebagai titik pulang pokok (break-even point, BEP). Dengan mengetahui titik pulang pokok, analis dapat mengetahui pada tingkat volume penjualan atau pendapatan berapa perusahaan mencapai titik impasnya, yaitu tidak
rugi tetapi juga tidak untung. Apabila penjualan melebihi titik itu maka perusahaan mulai mendapatkan untung. Menurut Kasmir (2010:332), analisis titik impas atau analisis pulang pokok atau dikenal dengan nama analisis Break Even Point (BEP) merupakan salah satu analisis keuangan yang sangat penting dalam perencanaan keuangan perusahaan. Analisis titik impas sering disebut analisis perencanaan laba (profit planning). Analisis ini biasanya lebih sering digunakan apabila perusahaan ingin mengeluarkan suatu produk baru. Artinya dalam memproduksi produk baru tentu berkaitan dengan masalah biaya yang harus dikeluarkan, kemudian penentuan harga jual serta jumlah barang atau jasa yang akan di produksi atau di jual ke konsumen. Penggunaan analisis titik impas memiliki beberapa tujuan yang ingi dicapai, yaitu: 1. Mendesain spesifikasi produk Dalam mendesain suatu produk, diperlukan suatu pedoman yang memberi arah bagi manajemen untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan biaya dan harga. Analisis titik impas memberikan perbandingan antara biaya dengan harga untuk berbagai desain sebelum spesifikasi produk ditetapkan. Hal ini disebabkan biaya sangat besar pengaruhnya terhadap harga. Dengan analisis titik impas, kita dapat menguji terlebih dahulu kelayakan suatu produk.
2. Menentukan harga jual persatuan Penetuan harga jual per satuan sangat penting agar harga jual dapat diterima pelanggan. Di samping pertimbangan biaya yang akan dikeluarkan, harga jual juga terkait dengan pihak pesaing yang memiliki produk yang sejenis. Jika penentuan harga jual yang tidak realistis, perusahaan tidak akan mampu menutupi semua atau sebagian biaya yang akan dikeluarkan. Demikian pula jika melebihi harga jual dari pesaing dan tidak diimbangi dengan kualitas dan pelayanan, perusahaan juga tidak akan mampu memaksimalkan penjualan seperti yang telah ditentukan. 3. Menentukan jumlah produksi atau penjualan minimal agar tidak mengalami kerugian
Maksud penentuan jumlah produksi atau penjualan minimal agar tidak mengalami kerugian adalah agar perusahaan mampu menentukan batas jumlah produksi dalam kondisi tidak rugi dan tidak laba dari kapasitas produksi yang dimilikinya.
Dengan
demikian,
akan
memudahkan
perusahaan
untuk
mempertimbangkan apakah harga jual sudah layak jika dikaitkan dengan biaya yang dikeluarkan dan kapasitas produksi yang dimiliki. 4. Memaksimalkan jumlah produksi Arti memaksimalkan jumlah produksi adalah dengan analisis titik impas, kita akan atau tahu, apakah jumlah produksi sudah maksimal atau belum. Tujuannya adalah agar jangan sampai ada kapasitas produksi yang menganggur. Kemudian perusahaan juga mampu menjaga agar berproduksi secara efisien. 5. Merencanakan laba yang diinginkan Arti menentukan perencanaan laba yang diinginkan adalah manajemen mampu merencanakan laba yang diinginkan dengan kapasitas produksi yang dimiliki tentunya. Besarnya laba dapat kita ukur dari batas minimal produk atau dari total rupiah yang diproduksi. Kemudian mampu merencanakan atau menentukan jumlah keuntungan setiap unit produksi yang dijual. Menurut Kuswadi (2006:197), dalam analisis break even, kita mempunyai asumsi-asumsi berikut: 1. Biaya-biaya dapat diidentifikasi sebagai biaya variabel atau biaya tetap. 2. Biaya tetap akan konstan, tidak mengalami perubahan meskipun volume produksi atau kegiatan berubah. Hubungan antara biaya tetap dan biaya variabel tidak bervariasi. 3. Biaya variabel per unit akan tetap sama. Biaya variabel akan berubah secara proposional dalam jumlah secara keseluruhan, namun biaya per unitnya tetap sama. 4. Harga jual per unit akan tetap sama, berapa pun banyak unit produk dijual (kenyataannya sering terjadi pemberian diskon untuk pembelian dalam volume yang besar). Jadi, sedikit atau pun banyak yang dibeli, harga per unit tidak berubah.
5. Perusahaan menjual atau memproduksi hanya satu jenis produk. Jika menjual lebih dari satu jenis produk, harus dianggap sebagai satu jenis produk dengan kombinasi yang selalu tetap dengan kata lain, bauran penjualannya konstan. 6. Dalam perencanaan atau pada waktu mengestimasi besarnya BEP, barang yang diproduksi dianggap terjual semua dalam periode yang bersangkutan (yang diperhitungkan). Secara manual, nilai break even point dalam unit, rupiah, dan penerimaan dapat diketahui dengan rumus sebagai berikut : a. BEP (unit) didasarkan agar pedagang dapat mengetahui titik impas penjualan suatu barang berdasarkan jumlah barang yang harus diproduksi atau di jual. BEP (unit) dapat ditentukan dengan jumlah biaya tetap dibagi dengan selisih harga jual produk dengan biaya variabel kemudian dibagi dengan jumlah produk. b. BEP (harga/rupiah) didasarkan agar pedagang dapat mengetahui titik impas penjualan suatu barang berdasarkan harga jual barang tersebut. BEP (harga/rupiah) dapat ditentukan dengan total biaya dibagi dengan jumlah produk. c. BEP (penerimaan) didasarkan agar pedagang dapat mengetahui titik impas penjualan suatu barang berdasarkan total penerimaan atas barang tersebut. BEP(penerimaan) dapat ditentukan dengan biaya tetap dibagi dengan selisih nilai 1 dengan biaya variabel kemudian dibagi dengan total penerimaan. Analisis titik impas dapat dilihat pada gambar berikut:
Y Penerimaan dan Biaya
TR TC BEP
VC FC
Volume produksi (kg)
X
Gambar 1. Kurva Analisis Titik Impas
Berdasarkan Gambar 1, dapat dijelaskan bahwa BEP adalah terletak pada perpotongan garis penerimaan dan biaya. Daerah di sebelah kiri titik Break Event yaitu bidang antara garis biaya total dengan garis penerimaan merupakan daerah rugi karena hasil penjualan lebih rendah dari biaya total. Daerah disebelah kanan garis biaya total dengan garis penerimaan merupakan daerah laba karena hasil penjualan lebih tinggi dari biaya total.
F. Penelitian Terdahulu Santi (2002),
j
“
alisis Break Even Point
Sebagai Dasar Perencanaan Laba PT. Roda Nada Karya”. Metodologi analisis yang dilakukan yaitu dengan metode analisis data kuantitatif seperti perhitungan terhadap break even point dan variable yang digunakan dalam perhitungan seperti biaya tetap, biaya variabel, tingkat penjualan pada break even point dan tingkat penjualan pada laba yang direncanakan. Dan analisis data kualitatif yaitu analisis terhadap keakuratan perhitungan break even point dan perencanaan penjualan dan laba, bila terdapat penyimpangan maka dilakukan penerapan teori yang berlaku dalam perhitungan break even point yang sebenarnya yang didukung oleh perbaikan pengklasifikasian biaya perusahaan. Hasil analisis yang diperoleh adalah adanya perbedaan jumlah total pada biaya tetap dan variabel setelah dilakukan pengalokasian biaya semivariabel. Pengalokasian biaya semivariabel ini dilakukan dengan membandingkan tiga metode yaitu metode titik sebar statistik, metode titik tertinggi dan terendah dan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil. Setelah dilakukan perbandingan dari ketiga metode tersebut, yang memiliki akurat yang lebih adalah metode kuadrat terkecil karena pada metode ini semua data yang ada pada perusahaan digunakan sebagai dasar perhitungan.
Setelah dilakukan pengalokasian tersebut, dilakukan perhitungan break even dengan menggunakan data dengan pengalokasian biaya semivariabel. Terdapat perbedaan hasil perhitungan antara perusahaan dan hasil analisis. Perbedaan tersebut juga terdapat pada margin pengaman dan perencanaan laba perusahaan. Setelah diketahui hasil dari ketiga perhitungan tersebut, maka ketiga perhitungan tersebut dinyatakan dalam bentuk grafik dan terdapat pula grafik yang menyatakan perbedaan antara perhitungan perusahaan dengan perhitungan analisis pada grafik tersebut. Marhaeni (2011),
j
“
Ev
Point sebagai Alat Perencanaan Laba pada Industri Kecil Tegel di Kecamatan Pedurunga ”
6
manufaktur tegel, dimana metode yang digunakan adalah purposive sampling yaitu suatu metode pengambilan sampel yang mengambil obyek dengan kriteria tertentu. Banyaknya sampel yang sesuai dengan kriteria- kriteria yang telah ditentukan sebanyak 6 perusahaan manufaktur tegel yang tersebar di Kecamatan Pedurungan Semarang. Analisis data menggunakan metode analisis trend linear dengan didahului analisis break even point. Kemudian diolah dengan menggunakan uji moving average. Hasil dari uji moving average membuktikan hasil Break Even Point yang cukup dapat memuluskan fluktuasi Break Even Poin pada tahun yang dimaksud sehingga terjadi perbedaan yang tidak cukup jjauh. Melalui analisa Break Even Point maka diketahui berapa biaya yang harus dikeluarkan dan berapa besar labanya, dengan demikian maka pimpinan dapat menekan biaya produksi dengan tidak mengurangi keuntungan. Seperti pada tahun 2009 dengan perkiraan hasil penjualan 6.338.537.220 \dan biaya keseluruhan Rp 2.422.045.998 maka akan diperoleh laba bersih sebesar 3.916.491.232. Melalui analisa trend maka ramalan BEP tahun depan dapat diketahui, antara lain mengenai volume penjualan tegel tahun 2009 sebesar 6.338.537.220, dengan demikian terjadi peningkatan dari tahun sebelumnya. Begitu juga dengan biaya lainnya antara lain biaya bahan baku tahun. Analisis Break Even Point dapat mengetahui ramalan BEP yang akan datang sehingga pimpinan dapat mencapai tujuan sesuai dengan waktu yang direncanakan.
Abdurrachi
(2
)
j
“
Break
Even Point Sebagai Dasar Perencanaan Laba Dan Penjualan Pada Home Industry K
” M
analisis Break Even Point multiproduk. Untuk merencanakan penjualan menggunakan alat bantu analisis yaitu metode peramalan least square. Dari hasil analisis perhitungan Break Even Point dapat diketahui bahwa pada tahun 2009 home industry Brosem telah melakukan penjualan di atas tingkat Break Even Point. Titik impas penjualan tersebut dicapai sebesar Rp 548.766.456 atau 31.527 unit. Sedangkan penjualan yang sebenarnya sebesar Rp 761.546.000 dimana hal ini menunjukkan bahwa Brosem telah memperoleh keuntungan dari hasil penjualan yang dilakukan. Tingkat laba yang diharapkan perusahaan mengalami peningkatan sebesar 40% untuk tahun 2010 dan 60% untuk tahun 2011. Dari target laba tersebut diperoleh perencanaan penjualan untuk tahun 2010 sebesar Rp 883.932.000 dengan Margin Of Safety sebesar 33,77%. Sedangkan untuk perencanaan penjualan tahun 2011 diperoleh sebesar 952.127.450 dengan Margin Of Safety sebesar 35,44%. Rencana penjualan ini jumlahnya sama dengan ramalan penjualan yang dihasilkan dari metode peramalan least square. Bagi peneliti selanjutnya disarankan agar mengkaitkan analisis Break Even Point dengan keefisiensian produksi yang sudah dilakukan oleh sebuah perusahaan. j
Puspita (2012), T
P
PR K
f H
M
“
Break Even
” M
ini menggunakan pendekatan expost facto karena variabel yang diteliti tidak dikenai suatu tindakan, perlakuan atau manipulasi, melainkan hanya meneliti dan mengungkapkan faktorfaktor yang diteliti berdasarkan keadaan yang sudah ada. Data diperoleh dengan menggunakan teknik dokumentasi dan observasi. Analisis data menggunakan rumus break even point dan margin of safety. PR. Kreatifa Hasta mandiri adalah perusahaan yang memproduksi rokok. Jenis produksinya yaitu rokok Rush dan rokok Exo. Hasil analisis sebagai berikut: (1) Break even point total tahun 2009 yaitu Rp.14.517.416.341,00, untuk rokok Rush Rp.9.920.234.500,00, untuk rokok Exo Rp.4.960.117.250,00. Break even point total
tahun
2010
yaitu
Rp.21.618.352.500,00,
untuk
rokok
Rush
RP.12.917.011.500,00, untuk rokok Exo Rp.8.385.300.364,00. Break even point total
tahun
2011
yaitu
Rp.
8.706,410.182,00,
untuk
rokok
Rush
RP.5.130.563.143,00, untuk rokok Exo Rp.3.482.564.073,00.(2) Margin of safety total tahun 2009 yaitu 34%, untuk rokok Rush 22%, untuk rokok Exo 46%. Margin of safety total tahun 2010 yaitu 31%, untuk rokok Rush 28%, untuk rokok exo 35%. Margin of safety total tahun 2011 yaitu 53%, untuk rokok Rush 51%, untuk rokok Exo 56%. (3) Perubahan elemen penentu break even berpengaruh terhadap perencanaan laba yaitu bila harga jual naik mengakibatkan break even point naik dan laba turun. Perubahan biaya variabel dan biaya tetap apabila naik mengakibatkan break even point naik dan laba turun sedangkan bila biaya turun break even point akan turun dan laba naik. Perusahaan menetapkan profit margin tahun 2009 sebesar 25% tingkat penjualan minimal yang harus dicapai sebesar Rp.37.200.879.375,00. Profit margin tahun 2010 sebesar 20% tingkat penjualan minimal yang harus dicapai sebasar Rp.57.648.940.000,00. Profit margin tahun 2011 sebesar 35% tingkat penjualan minimal yang harus dicapai sebesar Rp.23.942.628,00. Yunus (2012), melakukan penelitian dengan judul “
T
I
dan
Keuntungan Pada Usahatani Padi Sawah di Desa Dutohe Barat, Kecamatan K
K
” M
survey yang terdiri dari survey data primer dan survey data sekunder, dimana data primer dimaksudkan untuk mendapatkan informasi data dari sumber utama yaitu petani padi sawah melalui wawancara dengan menggunakan angket atau kuisioner. Data sekunder diperoleh dari Kantor Kecamatan, Badan Pusat Statistik, Dinas Pertanian, dan Badan Pelaksanaan Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kuantitas produk pada saat titik impas yaitu 51,12 kilogram. Dan biaya produksi/penerimaan pada saat titik impas yaitu 2961 rupiah per kilogram. Sedangkan untuk keuntungan per unit (kilogram) pada usahatani padi sawah yakni 606.373 rupiah. Besarnya pendapatan yang diperoleh adalah Rp.12.652.037 dengan nilai R/C Ratio yaitu 2,53.
G. Kerangka Pikir Berdasarkan tinjauan pustaka diatas dapat diperoleh kerangka pikir seperti yang tertera pada gambar 2.
Manfaat Cabai Rawit
Kebutuhan Cabai Rawit
Pedagang Cabai Rawit
Penerimaan
Rugi
Impas : BEP Biaya (FC/1-VC/TR) Gambar 2.
Biaya
Impas
Impas : BEP Harga (TC/Q)
Pendapatan
Untung/Laba
Impas : BEP Produksi (FC/P-VC/Q)
Kerangka Pikir Analisis Titik Impas Sebagai Alat Perencanaan Laba Pedagang Cabai Rawit di Pasar Tradisional Mingguan Kota Gorontalo.
Pada Gambar 2, dapat dilihat kerangka pikir analisis titik impas pedagang rawit di pasar tradisional mingguan Kota Gorontalo. Kerangka pikir di atas cabai diawali dengan meninjau manfaat cabai rawit. Cabe rawit merupakan tanaman hortikultura yang menjadi salah satu rempah-rempah terpenting diantara tanaman
rempah-rempah lainnya. Hal ini menjadikan cabai sangat dibutuhkan oleh masyarakat karena dianggap sebagai pelengkap makanan. Karena sangat dibutuhkan dan dicari oleh masyarakat, tidak heran cabai menjadi salah satu tanaman rempah-rempah yang memiliki tingkat permintaan yang tinggi. Permintaan cabai yang tinggi menjadikan banyak masyarakat melakukan kegiatan bisnis pada komoditas ini, yaitu dengan menjadi pengusaha cabai rawit atau lebih dikenal dengan pedagang cabai rawit. Pedagang cabai rawit akan mengeluarkan biaya selama proses berdagang cabai rawit dan akan memperoleh penerimaan dan pendapatan. Biaya-biaya tersebut merupakan pengeluaran keseluruhan baik berupa biaya tetap maupun biaya variabel. Penerimaan yang dimaksud adalah seluruh pendapatan yang diterima dari hasil penjualan cabai rawit. Sedangkan pendapatan merupakan penerimaan bersih dari keseluruhan penjualan cabai rawit. Berdasarkan biaya dan penerimaan maka akan terjadi beberapa kemungkinan, yaitu menderita kerugian karena jumlah biaya lebih besar dibandingkan dengan penerimaan, mengalami impas karena jumlah biaya sama dengan penerimaan, atau mendapatkan laba karena jumlah biaya lebih kecil dibandingkan dengan penerimaan. Berdasarkan konsep tersebut, maka dalam kerangka pikir terdapat tiga analisis titik impas, yaitu analisis titik impas berdasarkan produksi, harga, dan penerimaan. BEP produksi melihat keadaan impas pada tingkat penjualan tertentu, BEP harga melihat keadaan impas pada tingkat harga tertentu, dan BEP penerimaan melihat keadaan impas pada tingkat penerimaan tertentu.
H. Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah, teori-teori, dan kerangka pikir diatas maka hipotesis dalam penelitian ini yaitu: 1. Struktur biaya pedagang cabai rawit yang berada di pasar tradisional mingguan Kota Gorontalo adalah bervariasi yang terdiri dari biaya sewa tempat, retribusi pasar, biaya kebersihan, harga beli cabai rawit, biaya tenaga kerja, dan biaya transportasi.
2. Pedagang cabai rawit yang berada di pasar tradisional mingguan Kota Gorontalo melewati titik impas dengan nilai BEP bervariasi.