BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Timbal (Pb) 2.1.1. Gambaran umum timbal (Pb) Timbal (Pb) merupakan suatu logam berat yang lunak berwarna kelabu kebiruan dengan titik leleh 327 ºC dan titik didih 1.620 ºC. Pada suhu 550– 600 ºC timbal menguap dan bereaksi dengan oksigen dalam udara membentuk timbal oksida. Walaupun bersifat lentur, timbal sangat rapuh dan mengkerut pada pendinginan, sulit larut dalam air dingin, air panas dan air asam. Timbal dapat larut dalam asam nitrit, asam asetat dan asam sulfat pekat. Bentuk oksidasi yang paling umum adalah timbal (II) dan senyawa organometalik yang terpenting adalah timbal tetra etil (TEL: tetra ethyl lead), timbal tetra metil (TML : tetra methyl lead) dan timbal stearat. Merupakan logam yang tahan terhadap korosi atau karat, sehingga sering digunakan sebagai bahan coating (Saryan, 1994. Palar, 2004 dalam Suciani, 2007). Keterlibatan aktivitas manusia terutama dalam proses industrialisasi di abad 19 dan 20 telah mengakibatkan pencemaran lingkungan. Penggunaan logam timbal dalam industri menghasilkan polutan yang bersifat merugikan kehidupan biologik. Sumber utama polusi timbal pada lingkungan berasal dari proses pertambangan, peleburan dan pemurnian logam tersebut, hasil limbah industri, dan asap kendaraan bermotor (Darmono, 2001 dalam Kurniawan 2008). Menurut WHO (1995) asupan yang diperkenankan dalam seminggu Acceptable Daily Intake (ADI) untuk timbal direkomendasikan bagi orang dewasa 50 μg/kg berat badan dan bayi atau anak-anak 25 μg/kg berat badan. Di alam, timbal terdapat dalam dua bentuk yaitu gas dan partikel. Timbal yang terbanyak di udara adalah timbal anorganik dan terutama berasal dari pembakaran tetraethyl Pb (TEL) dan tetramethyl Pb (TEMEL) yang terdapat dalam bahan bakar kendaraan bermotor. Selain sumber-sumber di atas, logam berat ini juga terdapat pada gelas, pewarna, keramik, pipa, pelapis kaleng tempat makanan, beberapa obat tradisional dan kosmetik (Todd et al, 1996 dalam
Universitas Sumatera Utara
Anggraini, 2008). Pakar lingkungan sependapat bahwa timbal merupakan kontaminan terbesar dari seluruh debu logam di udara (Winarno, 1993 dalam Anggraini, 2008). Beberapa penelitian mengenai timbal pernah dilakukan antara lain: penelitian Ferdiaz (1992) melaporkan bahwa polusi timbal yang terbesar berasal dari pembakaran bensin. Menurut Wade, dkk., (1993) timbal organik seperti TEL dan MTL banyak digunakan sebagai bahan aditif bensin, tetapi penggunaannya berkurang secara drastis di Amerika Serikat mulai tahun 1970-an sedangkan di Mexico TEL dan TML digunakan sebagai bahan aditif bensin sejak 5 tahun yang lalu. Meskipun populasi yang terpapar timbal mengalami penurunan, keracunan yang bersifat kronis masih menjadi masalah kesehatan umum di Meksiko dan seluruh dunia yang berdampak jutaan anak-anak dan orang dewasa (Todd, dkk., 1996; Bodgen, dkk., 1997). Timbal yang diabsorpsi diangkut oleh darah ke organ–organ tubuh sebanyak 95%, timbal dalam darah diikat oleh eritrosit. Sebagian timbal plasma dalam bentuk yang dapat berdifusi dan diperkirakan dalam keseimbangan dengan pool Pb tubuh lainnya yang dibagi menjadi dua yaitu ke jaringan lunak (sumsum tulang, sistem saraf, ginjal, hati) dan ke jaringan keras (tulang, gigi, kuku, rambut). Pajanan melalui saluran pernapasan dan saluran pencernaan terutama oleh Pb karbonat dan Pb sulfat. Masukan timbal 100 hingga 350 μg/hari dan 20 μg/hari diabsorbsi melalui inhalasi uap timbal dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Maka sejalan dengan lama dan tingkat pemaparan terhadap partikel timbal, maka hal tersebut dapat menimbulkan gangguan kesehatan salah satunya adalah gangguan profil darah (Palar; 1994).
2.1.2. Keracunan Timbal (Pb) Ukuran keracunan suatu zat ditentukan oleh kadar dan lamanya pemaparan. Keracunan dibedakan menjadi keracunan akut dan keracunan kronis. Keracunan akut yaitu keracunan yang terjadi sebagai akibat pemaparan yang terjadi dalam waktu relatif singkat (dapat terjadi dalam waktu 2-3 jam), dengan kadar yang relatif besar. Keracunan akut yang disebabkan oleh timbal biasanya
Universitas Sumatera Utara
terjadi karena kecelakaan misalnya: peledakan atau kebocoran yang tiba-tiba dari uap logam timbal. Kerusakan sistem ventilasi di dalam ruangan. Keracuan yang kronis yaitu terjadi karena absorbsi timbal dalam jumlah kecil, tetapi dalam jangka waktu yang lama dan terakumulasi dalam tubuh. Durasi waktu dari pemulaan terkontaminasi sampai terjadi gejala atau tanda-tanda keracunan mungkin di dalam beberapa bulan bahkan sampai beberapa tahun (Ariens, 1978). Keracunan yang disebabkan oleh timbal dalam mempengaruhi berbagai jaringan dan organ tubuh. Organ-organ tubuh yang menjadi sasaran dari keracunan timbal adalah sistem peredaran darah, sistem saraf, sistem urinaria, sistem reproduksi, sistem endokrin dan jantung (Palar, 1994).
2.1.3. Bentuk-Bentuk Utama Keracunan timbal (Pb) Adapun bentuk-bentuk utama keracunan timbal adalah: (1) Keracunan timbal anorganik a. Keracunan akut Keracunan akut timbal anorganik sekarang jarang terjadi, keracunan ini biasanya disebabkan oleh inhalasi timbal oksida dalam jumlah besar di industri atau pada anak kecil yang disebabkan karena tertelannya cat yang mengandung timbal dalam dosis besar. Bila absorbsi timbal lebih lambat, maka kolik abdomen dan ensefalopati dapat ditemukan dalam beberapa hari. Gangguan yang menyerupai keracunan timbal yaitu appenditis, ulkus peptik dan pankreatitis. b. Keracunan kronis Manifestasi keracunan kronik timbal yang paling sering adalah kelemahan, anoreksia keguguran, tremor, turunnya berat badan, sakit kepala dan gejala-gejala saluran pencernaan. Hubungan nyeri abdomen yang berulang dan kelemahan otot penggerakan tanpa nyeri menunjukkan kemungkinan adanya keracunan timbal. Gejala neurologik paling khas yang ditemukan pada keracunan kronik timbal adalah wristdrop (pergelangan tangan terkulai). Diagnosis keracunan timbal
Universitas Sumatera Utara
ditegaskan dengan mengukur kadar timbal dalam darah dan mengidentifikasikan kelainan metabolisme porfirin.
(2) Keracunan Pb organik Keracunan timbal organik biasanya disebabkan oleh Pb tetraetil atau tetrametil, yang digunakan sebagai zat anti-knock dalam bensin. Pb organik sangat mudah menguap dan larut dalam lemak. Jadi zat ini dapat dengan mudah di absorbsi melalui kulit dan saluran pernafasan. Keracunan Pb organik yang berat dapat menimbulkan gangguan akut sistem saraf pusat. Hal ini dapat berkembang dengan cepat, menimbulkan halusinasi, imsomnia, sakit kepala, dan iritabilitas (mirip gejala putus alkohol berat).
Tabel 2.1. Tingkat keracunan Pb dalam darah pada anak-anak Kelompok
Kadar Pb di darah
Efek pada anak- anak
1
<10 μg/dL
Gangguan
Belajar
Gangguan Pendengaran 2a/2b
10-14
μg/dL
μg/dL
15-19 Pertumbuhan
lamban,
masalah belajar Sakit kepala,
berat
badan
menurun 3
20-44 μg/dL
gangguan system saraf
4
45-69 μg/dL
Anemia,
nyeri
perut
yang hebat 5
>69 μg/dL
Kerusakan
otak
mengakibatkan kematian
(Sumber: Center For Disease and Prevention, 2000)
Universitas Sumatera Utara
Pb organik relatif sedikit menimbulkan kelainan hematologi. Pb tetraetil dan tetrametil dimetabolisme oleh hati menjadi Pb trialkil dan anorganik. Pb trialkil berperan penting pada sindrom keracunan akut. Kebanyakan pemaparan Pb organik terjadi pada waktu pembersihan tangki penyimpanan bensin atau terhisapnya bensin yang mengandung Pb. Pemaparan Pb organik yang masif menimbulkan kejang-kejang yang dapat berakhir dengan koma dan kematian. Kadar Pb dalam darah dan urine relatif tidak dapat dipercaya pada keracunan Pb tetapi dapat dievaluasi ke depan setelah bekerja 10 tahun tetapi tergantung dari jumlah paparan dan lama bekerja (Katzung, 1984).
2.1.4. Efek timbal (Pb) pada darah Kira-kira 90% Pb yang masuk ke dalam sirkulasi darah menuju ke eritrosit, ada juga yang ke albumin darah, α-globulin dan protein lain. Plumbum mempengaruhi sistem peredaran darah dengan berbagai cara: a. Dengan memperlambat pematangan normal sel darah merah dalam sumsum tulang, hal ini menyebabkan terjadinya anemia. b. Mempengaruhi kelangsungan hidup sel darah merah. Sel darah merah yang diberi perlakuan dengan timbal, memperlihatkan peningkatan tekanan
osmosis
memperlihatkan
dan
kelemahan
penghambatan
pergerakan.
Na-K-ATPase
Selain yang
itu
juga
meningkatkan
kehilangan kalium intrasel. Pengaruh ini menjelaskan bahwa kejadian anemia pada peristiwa keracunan plumbum keracunan plumbum disertai oleh penyusutan waktu hidup sel darah merah. c. Menghambat biosintesis hemoglobin dengan cara menghambat aktivitas enzim δ-ALAD dengan enzim ferrokelatase (WHO, 1997). Pada gangguan awal dari biosintesis hem belum terlihat adanya gangguan klinis, gangguan hanya dapat terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium. Pada kadar timbal darah 10 μg/dL timbal menghambat aktivitas enzim δ-aminolevulinat dehidratase (ALAD) dalam eritroblas sumsum tulang dan eritrosit. Hal ini mengakibatkan peningkatan kadar δ-aminolevulinat (δ-ALA) dalam serum dan
Universitas Sumatera Utara
kemih. Kelompok-kelompok ribosom dapat dilihat pada sel berbintik basofilik sebagai basofil pungtata meskipun tidak ada anemia. Kadar ALAD yang tinggi dapat menimbulkan aksi neurotoksik (Adnan, S. 2001). Timbal menyebabkan 2 macam anemia, yang sering disertai dengan eritrosit berbintik basofilik. Dalam keadaan keracunan timbal akut terjadi anemia hemolitik, sedangkan pada keracunan timbal yang kronis terjadi anemia mikrositik hipokromik, hal ini karena menurunnya masa hidup eritrosit akibat interfensi logam timbal dalam sintesis hemoglobin dan juga terjadi peningkatan korproporfirin dalam urin (ATSDR, 2003). Menurut Adnan, kadar timbal dalam darah yang dapat menyebabkan anemia klinis adalah sebesar 70 μg/dL atau 0,7 mg/L. Sedangkan menurut US Department of Health and Human Services kadar timbal dalam darah yang dapat menimbulkan gangguan terhadap hemoglobin adalah sebesar 50 μg/dL atau sebesar 0,5 mg/L. Pada pematangan eritrosit, timbal menyebabkan defisiensi enzim G-6PD dan penghambatan enzim pirimidin-5’-nukleotidase sehingga terjadi akumulasi degradasi RNA (pyrimidine nucleotides) serta ribosom eritrosit yang ditandai dengan ditemukannya Basophilic Stippling (terdapat bintik biru atau bintik basofilik pada eritrosit).
Gambar 2.1. Gambaran eritrosit basophilic stippling (Harald et al, 2004)
Universitas Sumatera Utara
Hal ini menyebabkan turunnya masa hidup eritrosit dan meningkatnya kerapuhan membran eritrosit, sehingga terjadi penurunan jumlah eritrosit (Ganiswara, et al 1995 dalam Nelma, 2008). Pada penelitian ini ditemukan pada kelompok mencit yang diberikan perlakuan timbal asetat 20mg/kgBB secara intraperitoneal selama 2 hari. Keadaan ini sesuai dengan penelitian Kurniawati (1996) menyebutkan bahwa penelitian larutan timbal dapat menyebabkan kerusakan eritrosit (Kurniawati, 1996). Hal ini juga didukung oleh penelitian (Wahyuni, 2000) yang menyatakan pemberian larutan timbal dapat menurunkan nilai volume padat eritrosit (PCV/ packed cell volume). Pb dalam sirkulasi
Sumsum tulang
Sel stem hematopoetik
Eritroblast Basophilic Stippling Skema 2.1. Efek plumbum pada sel stem hematopoetik (Mugahi, 2000) 2.1.5. Radikal bebas Timbal merupakan unsur yang dapat meningkatkan pembentukan radikal bebas dan menurunkan kemampuan antioksidan tubuh sehingga dapat menyebabkan kerusakan organ. Suatu radikal bebas dapat dinyatakan sebagai spesies yang terdiri dari satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas ini dapat bereaksi dengan berbagai cara. Salah satunya adalah apabila dua radikal bertemu maka elektron yang tidak berpasangan tadi akan bergabung membentuk ikatan kovalen (Halliwel, 1987).
Universitas Sumatera Utara
Radikal bebas ditemukan baik melalui faktor eksogen maupun endogen serta mempengaruhi kehidupan sel. Radikal terpenting dalam tubuh adalah radikal derivat dari oksigen yang disebut kelompok oksigen reaktif (reactive oxygen spesies ROS) (Arief, 2006 dalam Nelma, 2008). Radikal bebas diproduksi dalam sel yang secara umum melalui reaksi pemindahan elektron, menggunakan mediator enzimatik atau non-enzimatik. Produksi radikal bebas dalam sel dapat sel dapat terjadi secara rutin maupun sebagai reaksi terhadap rasangan Superoksida terbentuk karena adanya proses auto oksidasi Hb (yang besarnya 3% auto oksidasi per hari) menjadi methemoglobin. Superoksida secara spontan mengalami dismutase sehingga terbentuk H2O2 dan O2. Akan tetapi, kecepatan reaksi akan mengalami peningkatan yang luar biasa akibat kerja enzim superoksida dismutase bila terdapat suatu rangsangan (timbal) (Retnogitawati, 1995). Eritrosit dilengkapi antioksidan berupa enzim seperti copper-zinksuperoxide dismutase (CuZn-SOD), glutation peroksidase (GSH-Px), katalase (Cat) dan glutation reduktase (Suryohudoyono, 2000). Sintesis antioksidan yang berupa enzim dalam eritrosit yang berupa enzim dalam eritrosit ini terjadi selama eritropoesis. Sedangkan pada eritrosit dewasa, enzim-enzim ini tidak disintesis lagi, hal ini berkaitan dengan hilangnya inti sel pada eritrosit dewasa sebagai peredam dampak negatif ROS (Surohudoyono, 2000). 2.2. Hemoglobin 2.2.1. Gambaram umum hemoglobin Hemoglobin adalah suatu senyawa protein dengan Fe yang dinamakan protein terkonjugasi. Sebagai intinya Fe dan dengan rangka protoporphyrin dan globin (tetra phirin) yang menyebabkan warna darah merah. Oleh karena itu hemoglobin dinamakan juga zat warna darah. Bersama-sama dengan eritrosit Hb dengan karbondioksida menjadi karboxyhemoglobin dan warnanya merah tua.
Universitas Sumatera Utara
Kadar hemoglobin dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu umur, jenis kelamin, kehamilan, menstruasi, asupan makanan, kebiasaan minum teh atau kopi (dapat menurunkan penyerapan besi), kebiasaan merokok dan penyakit infeksi. Selain itu ada beberapa masalah klinis yang menyebabkan penurunan kadar hemoglobin seperti anemia, kanker, penyakit ginjal, pemberian cairan intravena berlebihan dan penyakit atau infeksi kronis; juga pemberian obat-obatan dalam waktu yang lama seperti antibiotika, aspirin, sulfonamide, primaquin, kloroquin. Kurangnya asupan makanan yang mengandung Fe juga dapat menyebabkan penurunan kadar hemoglobin. Tingkat absorbsi Fe dipengaruhi oleh faktor penunjang seperti vitamin C serta faktor penghambat seperti tanin, asam fitat dan serat (Easter N, 1997). Kadar normal hemoglobin pada laki-laki 13 – 16 g/dL dan pada perempuan 12 – 14 g/dL (Gibson, 2005).
2.2.2. Fungsi Hemoglobin Adapun fungsi-fungsi dari hemoglobin berupa: a. Mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di dalam jaringanjaringan tubuh. b. Mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh jaringanjaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar. c. Membawa karbondioksida dari jaringan-jaringan tubuh sebagai hasil metabolisme ke paru-paru untuk dibuang (Hematologi, Pusat Pendidikan tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan).
2.2.3. Biosintesis Hemoglobin Hemoglobin adalah konjugasi antara protein dan heme (suatu kompleks protoporfirin dengan besi). Biosintesis porfirin berasal dari derivate ko-enzim A dari asam suksinat pada siklus Krebs dalam mitokondria dan dari asam amino glisin. Hasil kondensasi antara glisin dengan suksinil-ko A adalah asam alfa amino beta ketoadipat yang dengan cepat dikarboksilasi menjadi asam delta aminolevulenat. Sintesis tersebut terjadi di dalam mitokondria.
Universitas Sumatera Utara
Dalam sitoplasma, dua molekul delta-aminolevulenat akan dikatalisir oleh enzim delta-aminolevulinic acid dehydratase membentuk 1 molekul porfirinogen dan 2 molekul air. Kemudian, 4 unit porfirinogen mengalami kondensasi membentuk polimer siklik yaitu uroporfirinogen. Ada 2 isomer uroporfibilinogen, yaitu isomer tipe I dan isomer tipe III. Heme berasal dari isomer tipe III. Uroporfirinogen III diubah menjadi koproporfirinogen III. Reaksi tersebut dikatalisir oleh uroporfirinogen dekarboksilase.
Gambar 2.2. Biosintesis hemoglobin (Murray et al, 2003)
Universitas Sumatera Utara
Koproporfiriinogen III memasuki mitokondria, selanjutnya diubah menjadi protoporfirinogen. Dari 15 kemungkinan isomer hanya satu yang dibentuk, yaitu protoporfirinogen IX. Proto porfirinogen IX dioksidasi oleh enzim protoporfirinogen oksidase
menghasilkan protoporfirin IX. Oksidasi ini
mengahasilkan ikatan rangkap terkonjugasi yang merupakan ciri porfirin. Tahap akhir pembentukan heme adalah pemasukan ion ferro ke dalam protoporfirin yang dikatalisir oleh enzim ferrokatalase (Murray et al, 2003).
Gambar 2.3. Biosintesis hemoglobin (Murray et al, 2003)
2.2.4. Pematangan eritrosit Sel matang adalah sel yang telah berdiferensiasi mencapai tahap saat sel tersebut telah memiliki kemampuan untuk melaksanakan segala fungsi khususnya. Proses dasar pematangan adalah sintesis hemoglobin dan pembentukan suatu badan kecil, berbentuk bikonkaf tanpa inti, yakni eritrosit. Selama pematangan eritrosit, terjadi beberapa perubahan besar. Volume sel berkurang, dan anak inti mengecil sampai tidak tampak dengan mikroskop cahaya. Garis tengah inti berkurang dan kromatinnya tampak makin padat sampai inti terlihat piknotik dan akhirnya didorong keluar dari sel. Terjadi perubahan jumlah poliribosom (sifat basofilik berkurang) yang diikuti secara bersamaan oleh peningkatan jumlah
Universitas Sumatera Utara
hemoglobin (protein asidofilik) di dalam sitoplasma. Mitokondria lain berangsur menghilang. Terdapat tiga sampai pembelahan sel di antara proeritroblas dan eritrosit yang matang. Perkembangan eritrosit semenjak sel pertama yang dapat dikenali sampai terjadinya pelepasan retikulosit ke dalam darah membutuhkan waktu sekitar 7 hari. Hormone eritropoeitin dan zat-zat seperti besi, asam folat, dan sianokobalamin (vitamin B12) penting untuk produksi eritrosit (Juncqueira L C & Carneiro J. H M Djauhari, 2003).
Gambar 2.4. Pematangan Eritrosit . (Juncqueira L C & Carneiro J. H M Djauhari, 2003) 2.2.5. Diferensiasi eritrosit Diferensiasi dan maturasi eritrosit melibatkan pembentukan (berturutturut) proeritroblas, eritroblas basofilik, eritrosit polikromatofilik, eritroblas ortomatofilik (normoblas), retikulosit, dan eritrosit. Sel pertama yang dapat dikenali dalam seri eritroid adalah proeritroblas. Proeritroblas adalah sel besar dengan kromatin berupa anyaman longgar, dan anak inti yang terlihat jelas; sitoplasma sel ini bersifat basofilik. Tahap selanjutnya
Universitas Sumatera Utara
adalah eritrosit basofilik, dengan sitoplasma basofilik kuat dan inti padat tanpa terlihat anak intinya. Sifat basofilia kedua jenis sel ini desebabkan oleh banyaknya poliribosom yang terlihat dalam sintesis hemoglobin. Selama tahap berikutnya poliribosom berkurang dan sitoplasma mulai dipenuhi hemoglobin. Pada tahap ini, pemulasan menghasilkan berbagai warna dalam sel-eritroblas kromatofilik. Pada tahap berikutnya, inti terus memadat, dan tidak ada sitoplasma basofilik, yang menghasilkan suatu sitoplasma basofilik, yang menghasilkan suatu sitoplasma asidofilik-eritroblas ortokromatofilik. Pada suatu saat, sel ini menjulurkan suatu rangkaian penonjolan sitoplasma dan mendorong keluar intinya yang terbungkus selapis tipis sitoplasma. Sisa sel masih mempunyai sedikit poliribosom yang, bila dipulas dengan pewarna “brilliant cresyl blue” (pulasan supravital), akan beragragsi membentuk jalinan terpulas. Inilah sel retikulosit, yang segera kehilangan poliribosomnya dan berubah menjadi eritrosit matang (Juncqueira L C & Carneiro J. H M Djauhari, 2003).
Gambar 2.4. Gambaran eritrosit normal pada mencit dengan pulasan Giemsa (Islamulhayati, Keman, S., Yudhastuti, R., 2005).
2.3.
Madu
2.3.1. Gambaran Umum Madu Madu adalah cairan manis yang berasal nektar tanaman yang diproses oleh lebah menjadi madu dan tersimpan dalam sel-sel sarang lebah. Madu merupakan hasil sekresi lebah, karena madu ditempatkan dalam bagian khusus di perut lebah yang disebut perut madu yang terpisah dari perut besar. Nektar yang dihisap madu
Universitas Sumatera Utara
mengandung 60% air sehingga lebah harus menurunkan menjadi 20% atau lebih rendah lagi untuk membuat madu. Penurunan kadar air ini melalui proses fisika dan kimia. Proses fisika penurunan kadar air mulai terjadi saat lebah menjulurkan lidahnya (proboscis) untuk memindahkan madu dari perut madu ke sarang lebah, di sarang kadar air terus diturunkan melalui putaran sayap-sayap lebah yang menyirkulasikan hawa hangat ke dalam sarang lebah. Sedangkan proses kimianya terjadi di dalam perut lebah dimana enzim invertase mengubah sukrosa (disakarida)
menjadi glukosa dan
fruktosa
yang
keduanya
merupakan
monosakarida (Hariyati, 2010). Di Indonesia jenis lebah yang paling banyak digunakan sebagai penghasil madu adalah lebah lokal (Apis cerana), lebah hutan (Apis dorsata) dan lebah Eropa (Apis melifera). Ada banyak jenis madu menurut karakteristiknya. Karakteristik madu dapat dibedakan berdasarkan sumber nektar, letak geografi, dan teknologi pemrosesannya. Jenis madu berdasarkan sumber nektarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu monoflora dan poliflora. Madu monoflora merupakan madu yang diperoleh dari satu tumbuhan utama. Madu ini biasanya dinamakan berdasarkan sumber nektarnya, seperti madu kelengkeng, madu rambutan dan madu randu. Madu monoflora mempunyai wangi, warna dan rasa yang spesifik sesuai dengan sumbernya. Madu monoflora juga disebut madu ternak, karena madu jenis ini pada umumnya diternakkan. Sedangkan madu poliflora merupakan madu yang berasal dari nektar beberapa jenis tumbuhan bunga. Lebah cenderung mengambil nektar dari satu jenis tanaman dan baru mengambil dari tanaman lain bila belum mencukupi. Contoh dari madu jenis ini adalah madu hutan. Madu hutan adalah madu yang diproduksi oleh lebah liar. Madu ini berasal dari lebah liar yang bernama Apis dorsata. Sumber pakan dari lebah ini adalah tumbuhtumbuhan obat yang banyak tumbuh di dalam hutan hujan tropis di Indonesia. Madu hutan juga sangat baik untuk kesehatan karena mengandung antibiotik alami yang diproduksi oleh lebah-lebah liar (Hariyati, 2010). 2.3.2. Kandungan dan Khasiat Madu sebagai Antioksidan Madu merupakan salah satu nutrisi alami sumber energi. Satu kilogram madu mengandung 3.280 kalori atau setara dengan 50 butir telur ayam, 5,7 liter
Universitas Sumatera Utara
susu, 25 buah pisang, 40 buah jeruk, 4kg kentang dan 1,68 kg daging (Suranto, 2007 dalam Dewi, 2010). National Honey Board 2005 mengungkapkan salah satu kelebihan madu yaitu sebagai sumber antioksidan. Penelitian menunjukkan bahwa madu kaya akan antioksidan. Jumlah dan kandungan antioksidan sangat tergantung pada sumber nektarnya. Madu yang berwarna gelap (seperti madu manuka) terbukti memiliki kadar antioksidan yang lebih tinggi daripada madu yang berwarna terang (seperti madu akasia) (Suranto, 2007 dalam Dewi, 2010). Table 2.2. Komposisi Madu Kandungan
Rata-rata
Kisaran
Deviasi Standar
Fruktosa/Glukosa
1,23
0,76-1,86
0,126
Fruktosa %
38,38
30,91-44,26
1,77
Glukosa %
30,31
22,89-44,26
3,04
Maltose %
7,3
2,7-16,0
2,1
Sukrosa %
1,31
0,25-7,57
0,87
Gula %
83,27 %
Mineral %
0,169
0,020-1,028
0,15
Asam bebas
0,43
0,13-0,92
0,16
Nitrogen
0,041
0,000-0,133
0,026
Air %
17,2
13,4-22,9
1,5
Ph
3,91
3,42-6,01
-
Total keasaman
29,12
8,68-59,49
10,33
168,6
57,7-56,7
70,9
meq/kg Protein mg/100g
(Suranto, 2007, dalam Dewi, 2010) Ahli dari Universitas Illinois yang meneliti 19 sampel madu yang berasal dari 14 sumber tumbuhan yang berbeda semakin mengukuhkan bahwa tiap madu memiliki efek antioksidan yang berbeda. Sebuah penelitian yang dilakukan di University of Zagreb Croatia menemukan bahwa konsumsi madu bisa menghentikan perkembangan tumor dan penyebarannya (Suranto, 2007 dalam Dewi, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3. Kandungan Vitamin dan Mineral dalam Madu
Nutrisi
Unit
Jumlah Ratarata dalam 100 gr Madu
Rekomendasi Kebutuhan sehari (RDA)
Kalori
Kkal
304
2.800
Vitamin : A B1 (thiamin) B2 (riboflavin)
IU Mg Mg
0,004-0,006 0,002-0,06
5.000 1,5 1,7
Mg
0,11-0,36
20
B6 (piridoksin)
Mg
0,008-0,32
2,0
Asam pantotenat Asam folat B12 (sianokobalamin)
Mg Mg Mg
0,02-0,11 -
10 0,4 6
C D
IU IU
2,2-2,4 -
60 400
-
30 0,3
Asam (niasin)
nikotinat
E (tokoferol) Biotin Mineral : Kalsium
Mg
4-30
1.000
Klorin Tembaga Yodium Besi
Mg Mg Mg Mg
2-20 0,01-0,12 1-3,4
0,15 18
Magnesium Fosfor Kalium
Mg Mg Mg
0,7-13 2-60 10-470
400 1,00 -
Natrium Seng
Mg Mg
0,6-40 0,2-0,5
15
(Suranto, 2007, dalam Dewi, 2010)
Universitas Sumatera Utara
Madu berperan sebagai antioksidan sehingga dapat mencegah kerusakan hepar. Manifestasinya adalah terjadi peningkatan nitrit oxide (NO) dalam jaringan hati yang berfungsi dalam mengeliminasi radikal bebas (Erguder, 2008 dalam Dewi, 2010). Kandungan vitamin E telah banyak diteliti yang berfungsi sebagai penghambat tumor hati dan uterus, mempertahankan berat badan tikus yang disakiti, jumlah eritrosit dan leukosit, kadar Hb, menghambat patofisiologi tumor indung telur dan endometriosis (Hanim dkk, 1998, dalam Dewi, 2010). Beberapa penelitian mengungkapkan efek antioksidan yang bermacammacam yang terkandung pada madu. Antioksidan merupakan senyawa penetral radikal bebas. Radikal bebas merupakan molekul yang tidak stabil yang terusmenerus menyerang tubuh dari luar seperti sinar matahari, polusi dan asap rokok maupun yang menyerang tubuh dari dalam seperti metabolisme dan kehidupan normal. Molekul ini mengalami suatu reaksi berantai yang menimbulkan jutaan radikal bebas baru yang merusak protein, sel, jaringan dan organ tubuh. Radikal bebas ini menyebabkan penuaan, perubahan degeneratif, radang, dan penyakit yang membuat lama hidup menjadi singkat. Radikal bebas bisa merusak sel melalui proses oksidasi, apabila berlangsung lama dapat menyebabkan berbagai penyakit kronis seperti penyakit jantung dan kanker (IPTEKnet, 2005 dalam Dewi, 2010). Konsumsi madu untuk pencegahan penyakit pada manusia adalah 1-2 kali/hari 1 sendok makan. Sedangkan untuk menyembuhkan suatu penyakit, dianjurkan untuk minum lebih banyak yaitu 3-4 kali/hari 1 sendok makan (Suranto, 2007). Proteksi madu terhadap kerusakan eritrosit (Blasa, 2007) Ekstrak fenol dari madu telah dibuktikan memberikan efek inhibisi kepada kerusakan oksidatif yang diakibatkan oleh radikal bebas pada eritrosit. Selain itu, flavonoid dari kandungan madu juga menghambat hemolisis yang diakibatkan oleh radikal-radikal bebas tertentu. Efek proteksi dari madu dikarenakan flavonoid yang bersifat lipofilik berikatan dengan membran sel eritrosit, dan akan berfungsi sebagai pelindung terhadap radikal-radikal bebas.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Konsep Pemikiran
Pb dalam sirkulasi darah
Madu
Radikal bebas Ekstra fenol, flavonoid, berbagai vitamin dan mineral yang berfungsi sebagai Antioksidan Sumsum tulang
Sel stem hematopoetik Hasil: Pengurangan jumlah Erythrocyte Basophilic Stippling pada gambaran hapusan darah mencit Eritroblast Basophilic Stippling
Universitas Sumatera Utara