BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes aegypti Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit DBD. Penularan tersebut melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. 1. Klasifikasi [6] Berdasarkan klasifikasi nyamuk Aedes aegypti digolongkan sebagai berikut : Kingdom : Anamalia Philum : Arthropoda Klas : Hexapoda Ordo : Diptera Subordo : Meniatocera Famili : Culicidae Subfamili : Culicinae Genus : Aedes Subgenus : Stegomyla Species : Aedes aegypti 2. Siklus Hidup [7,8] Siklus hidup nyamuk Ae. aegypti mengalami metamorfosis sempurna terdapat empat stadium, yaitu stadium telur, stadium larva, pupa dan dewasa. Stadium nyamuk
stadium telur
dewasa
stadium pupa
stadium jentik
Gambar 2.1 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti
a. Stadium telur Telur yang baru dikeluarkan berwarna putih tetapi sesudah 1-2 jam berubah menjadi hitam. Telur diletakkan satu persatu terpisah di atas permukaan air dalam keadaan menempel pada dinding tempat perindukannya. Seekor nyamuk betina meletakkan telur rata – rata sebanyak 10 butir setiap kali bertelur. Pada kondisi normal telur Ae. aegypti yang direndam akan menetas sebanyak 80% pada hari pertama dan 95% pada hari kedua. b. Stadium Jentik/Larva Setelah 2 – 4 hari telur menetas menjadi larva yang hidup di dalam air. Larva Ae. aegypti bentuknnya memanjang tanpa kaki dengan bulu – bulu sederhana yang tersusun bilateral. Sifat larva Ae. biasa bergerak lincah
dan
aktif,
memperlihatkan
gerakkan
–
gerakkan
naik
kepermukaan air dan turun ke dasar secara berulang – ulang. Larva aktif mencari makanan di dasar, oleh karena itu larva Ae. disebut pemakan makanan di dasar (bothomfeeder). Pada saat larva mengambil oksigen dari udara, larva menempatkan siphonnya diatas permukaan air sehingga abdomennya terlihat menggantung pada permukaan air seolah – olah badan larva berada pada posisi membentuk sudut (±450 dengan permukaan air). [9] Larva berubah menjadi pupa memerlukan waktu 4 – 9 hari dan mengalami empat tahap perkembangan yaitu instar I, II, III, IV. Perubahan instar ditandai dengan pengelupasan kulit yang disebut moulting. Pada instar I
tubuhnya sangat kecil, warna transparan,
panjang 1 – 2 mm, duri – duri (spine) pada dada (thorax) belum begitu jelas, dan corong pernafasan (siphon) belum hitam.
Perkembangan
instar I ke II berlangsung dalam waktu 2 – 3 hari. Larva instar II bertambah besar dengan ukuran 2,5 – 3,9 mm, duri dada belum jelas dan corong pernapasan sudah berwarna hitam. Instar II ke instar III dalam waktu dua hari dan perubahan instar III ke instar IV dalam waktu dua hari. [9]
Larva instar III dan instar IV mempunyai ciri – ciri yang sama yaitu telah lengkap struktur anatominya dan jelas, tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada biasa (thorax), dan perut (abdomen). Pada bagian kepala sepasang mata majemuk, sepasang antena tanpa duri – duri dan alat – alat mulut tipe penguyah (chewing). Kelangsungan hidup larva dipengaruhi oleh Suhu air, pH air perindukkan, keterbatasan makanan dan kepadatan larva serta adanya predator. Temperatur optimal untuk perkembangan larva adalah 25 0C – 270C, larva akan mati pada suhu kurang dari 10 0C. Kadar pH air akan menurunkan kadar O2 dan CO dalam air. Peningkatan pH air akan menurunkan kadar CO, sementara O2 akan mengendap hingga kadarnya akan menurun juga. Kadar O2 dan CO di air juga berpengaruh terhadap pembentukan enzim sinokrom oksidase larva Aedes aegypti. Larva dapat hidup dalam pH 4 – 8. Pertumbuhan larva Aedes aegypti juga dipengaruhi oleh volume air dalam tempat perindukan, karena semakin banyak air maka semakin banyak pula makanan yang dibutuhkan. Larva juga biasanya memangsa mikroorganisme yang ada di dalam air. Adanya makanan tersebut larva mengalami pertumbuhan dan perkembangan dengan merusak kulit yang lama menjadi kulit yang baru yang berbentuk lebih besar. Namun ada juga beberapa jenis larva Aedes aegypti yang memangsa jentik yang lain. c. Stadium Kepompong/Pupa Pada stadium ini, tidak makan tetapi masih memerlukan oksigen yang diambilnya melalui tabung pernafasan (breathing trumpel) dan biasanya 2 – 4 hari. Pupa berbentuk koma dan terdiri dari bagian bulat dan ekor, bagian bulat adalah gabungan kepala dan dada. sedangkan ekor adalah abdomen kepompong yang tetap bergerak cepat apabila terganggu. Pupa sangat sensitif terhadap pergerakan air dan belum dapat dibedakan antara jantan dan betina.
d. Stadium Nyamuk Dewasa Nyamuk Ae. aegypti
tubuhnya berwarna hitam dengan bercak –
bercak putih keperakan (putih kekuningan). Di bagian dorsal thorax terdapat bentuk bercak yang khas berupa dua garis sejajar di bagian tengah dan dua garis melengkung di tengahnya. Bentuk abdomen nyamuk betina lancip ujungnya dan memiliki cerci yang lebih panjang dari cerci nyamuk – nyamuk lainnya. Jumlah nyamuk jantan dan nyamuk betina yang menetas dari sekelompok telur pada umumnya sama banyak. Umur nyamuk jantan lebih pendek dari nyamuk betina, dan terbang tidak jauh dari tempat perindukannya. Sedangkan nyamuk betina umumnya lebih panjang dari jantan dan perlu menghisap darah untuk pertumbuhan telurnya. 3. Bionomik Nyamuk Aedes aegypti menyukai tempat – tempat yang berisi air jernih dan tidak langsung beralaskan tanah, tempat perindukan atau perkembangan tersebut dibedakan menjadi 3 yaitu : a. Tempat Perindukan Sementara Terdiri dari berbagai macam tempat penampungan air, misalnya: kaleng bekas, pecahan botol, pecahan gelas, talang air, pot bunga dan tempat – tempat penampungan genangan air bersih. b. Tempat Perindukan Permanen Adalah tempat penampungan air untuk keperluan rumah tangga seperti: bak penampungan air bersih (reservoir, bak mandi, gentong – gentong air, dan bak cuci di kamar mandi) c. Tempat Perindukan Alamiah Berupa genangan air pada lubang pohon, misalnya: yang terdapat pada celah – celah atau lubang – lubang pohon (pisang, kelapa, aren atau juga pada bekas potongan pohon bambu dan lubang bekas batang atau cabang pohon yang tumbang dan lain – lain.
4. Pengendalian Vektor (Larva nyamuk Aedes aegypti) Ada beberapa macam cara untuk pengendalian larva nyamuk Aedes aegypti antara lain : a. Enverophmental Control (secara lingkungan) Cara ini dilakukan dengan cara mengubur kaleng – kaleng atau wadah – wadah sejenis seperti ban bekas, vas bunga dan yang dapat menampung air hujan dan membersihkan yang potensial yang dijadikan sebagai sarang nyamuk, misalnya semak belukar, got. b. Biological Control (secara hayati) Pengendalian secara hayati menggunakan organisme lain yang bersifat predator, parasitic, atau patogenik dan pada umumnya ditemukan pada habitat yang sama dengan larva yang menjadi mangsa. c. Chemical Control (secara kimia) Cara ini dilakukan dengan cara pemberian larvasida pada tempat – tempat penampungan air. 1). Larvasida di tempat – tempat air minum Insektisida yang dipakai adalah abate 1 ppm. Biasanya dipakai abate sand granule 1 %. Pada pemberian abate sebaiknya diperhitungkan volume penuh setiap kontiner, meskipun pada waktu pembubuhan abate kontiner itu belum terisi penuh. Abate sebagai larvasida dapat aktif selama 3 bulan. 2). Larvasida di tempat – tempat air yang bukan untuk minum. a). Derivat – derivat minyak bumi (kerosone, minyak tanah, minyak diesel dan lain – lian) mempunyai daya larvasida yang bersifat sementara. b). Larvasida dengan efek residual, dapat digunakan berbagai macam insektisida golongan CHCD atau organophosphat dalam bentuk suspensi, larutan, granule atau bentuk padat. Umpama : DDT 1,25 – 5 %, Dieldrin 1,25%, Malathion 2,5%, Fenthion 1,25%, Gardena 2,5 %, Abate 1,75%.
Selain insektisida sintetis, dapat juga memanfaatkan bahan aktif yang bisa dijadikan sebagai insektisida alami yang ramah lingkungan yaitu dengan memanfaatkan daun pegagan. B. Insektisida [10,11] Insektisida adalah bahan yang mengandung persenyawaan kimia yang digunakan untuk membunuh serangga. Insektisida yang baik mempunyai sifat sebagai berikut: 1) Mempunyai daya bunuh yang besar dan cepat serta tidak berbahaya bagi binatang vertebrata termasuk manusia dan ternak; 2) Murah harganya dan mudah didapat dalam jumlah besar; 3) Mempunyai susunan kimia yang stabil dan tidak mudah terbakar; 4) mudah dipergunakan dan dapat dicampurkan dengan berbagai macam bahan pelarut; 5) tidak berwarna dan tidak berbau yang tidak menyenangkan. Menurut cara masuknya ke dalam tubuh serangga, insektisida dibagi dalam : 1. Racun kontak (contact poison) Insektisida masuk melalui eksoskelet ke dalam badan serangga dengan perantara tarsus (jari – jari kaki) pada waktu istirahat di permukaan yang mengandung residu insektisida. Pada umumnya dipakai untuk memberantas serangga yang mempunyai bentuk mulut tusuk isap. 2. Racun perut (stomach poison) Insektisida masuk ke dalam badan serangga melalui mulut, jadi harus dimakan. Biasanya serangga yang diberantas dengan menggunakan insektisida ini mempunyai bentuk mulut untuk mengigit, lekat isap, kerap isap dan bentuk menghisap. 3. Racun pernapasan (fumigants) Insektisida masuk melalui sistem pernapasan (spirakel) dan juga melalui permukaan badan serangga. Insektisida ini dapat digunakan untuk memberantas semua jenis serangga tanpa harus memperhatikan bentuk mulutnya. Penggunaan insektisida ini harus hati – hati sekali terutama bila digunakan untuk pemberantasan serangga di ruang tertutup.
Menurut macam bahan kimia insektisida dibagi menjadi tiga jenis yaitu insektisida anorganik, insektisida organik dan insektisida organik sintetik. Insektisida anorganik terdiri dari sulfur, merkuri, golongan arsenikum, golongan flour. Insektisida organik terdiri dari peritrum, rotenon, nikotin, sabadila, dan golongan insektisida berasal dari bumi (minyak tanah, minyak solar, minyak pelumas). Sedangkan Insektisida organik sintetik terdiri dari golongan organik klorin (DDT, dieldrin, klorden, BHC, linden), golongan organik fosfor (malation, paration, diazinon, feritrotion, abate, DDVP, dichorvos), golongan organik nitrogen (dinitrofenol), golongan sulfur/karbamat (baygon, sevin), golongan tiosianat (letena, tanit)
C. Tanaman Tuba 1. Deskripsi Tanaman [4,12] Tuba adalah nama jenis-jenis tumbuhan dari Asia Tenggara dan kepulauan di Pasifik barat-daya yang biasa digunakan untuk meracun ikan. Meski ada beberapa jenis tuba (lihat: Tuba (disambiguasi)), yang umumnya diacu sebagai tuba adalah dari jenis Derris elliptica Bth. , anggota suku Fabaceae (Leguminosae). Nama-nama lainnya adalah tuba akar, tuwa laleur, areuy kidang (Sd.), jenu, jelun, tungkul (Jw.), tobha, jheno, mombul (Md.) dan lain-lain. Tuba merupakan tumbuhan memanjat (liana) berkayu, yang merambat dan membelit hingga setinggi 10m. Ranting-ranting yang tua berwarna kecoklatan, dengan lentisel serupa jerawat. Daun-daun tersebar, majemuk menyirip ganjil beranak daun 7-15 helai, bertangkai 13-23 cm; anak daun bertangkai pendek, memanjang sampai bentuk lanset atau bundar telur terbalik, 4-24 × 2-8 cm, dengan sisi bawah keabu-abuan atau kebiruan, sering berambut rapat; daun yang muda coklat-ungu. Bunga terkumpul dalam tandan, dengan sumbu yang berambut rapat, tangkainya 12-26 cm. Kelopak bunga berbentuk cawan, berambut coklat rapat, tinggi 6-8 mm, hanya bagian bawah yang tumbuh sempurna. Bendera (mahkota) hijau dengan warna ros pucat, berambut rapat di bagian luar, bundar telur sampai
oval lebar, lk. 2 cm garis tengahnya, pada pangkalnya dengan 2 telinga yang memutar membalik. Tumbuh liar dalam semak-semak dekat tepi hutan, tepi sungai, dan kadang-kadang ditanam di kebun atau pekarangan. Di Jawa didapati mulai dari dataran rendah hingga ketinggian sekitar 1500 m dpl.
Gambar 2.2 Tanaman Tuba Klasifikasi Tanaman Tuba: Kingdom
: Plantae
Division
: Magnoliophyta
Class
: Magnoliopsida
Ordo
: Fabales
Family
: Fabaceae
Genus Species
: Derris : Derris elliptica
2. Bahan Aktif Akar tanaman Tuba (Derris elliptica) mengandung 0,3 – 12 % rotenon (rotenone) sejenis racun kuat untuk ikan dan serangga (insektisida). Rotenon adalah salah satu anggota dari senyawa isoflavon, sehingga rotenon termasuk senyawa tergolongan flavonoid. Nama lain rotenon adalah tubotoxin (C23H22O6). Tuboxin merupakan insektisida alami yang kuat, titik lelehnya 1630 C, larut dalam eter dan aseton, sedikit larut dalam etanol. Jika terbuka terhadap cahaya dan udara akan mengalami perubahan warna
kuning terang menjadi kuning pekat, orange dan terakhir menjadi hijau tua dan akan diperoleh kristal yang mengandung racun serangga.[5] Rotenon diklasifikasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia cukup berbahaya. Rotenon cukup beracun untuk manusia dan hewan mamalia yang lain tetapi sangat beracun untuk serangga dan kehidupan laut termasuk ikan. Toksisitas ini lebih tinggi pada ikan dan serangga karena lipofilik rotenon mudah diambil melalui insang atau trakea, tetapi tidak mudah melalui kulit atau melalui saluran pencernaan. Dosis mematikan terendah bagi seorang anak adalah 143 mg/kg. Kematian pada manusia yang disebabkan rotenon jarang terjadi karena efeknya menyebabkan muntah. Senyawa rotenon akan rusak bila terkena sinar matahari, biasanya memiliki masa singkat enam hari di lingkungan dan dalam air rotenon dapat berlangsung enam bulan.[13] Disamping rotenon sebagai bahan aktif utama, bahan aktif lain yang terdapat pada akar tanaman Tuba adalah deguelin, elliptone dan toxicarol. [12]
Gambar 2.3 Struktur Kimia Rotenon [12] 3. Manfaat [4, 12] Tanaman tuba merupakan penghasil bahan beracun yang dapat digunakan untuk pengendalian hama serangga, baik di luar ruangan maupun di dalam ruangan. Tanaman tuba sering digunakan sebagai racun ikan. Namun dapat juga dapat digunakan sebagai insektisida, yaitu untuk pemberantasan hama pada tanaman sayuran, tembakau, kina, kelapa sawit, lada, teh, coklat dan lain – lain.
D. Flavonoid Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok fenol yang terbesar yang ditemukan dialam. Istilah flavonoid diberikan untuk senyawa – senyawa fenol yang berasal dari kata flavon, yaitu nama dari salah satu jenis flavonoid yang terbesar jumlahnya dalam tumbuhan. Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan hutan kecuali alga dan hornworth, pada bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, bunga dan biji.[14] Flavonoid biasanya dikenal dengan vit C atau citrit. Flavonoid dapat digolongkan dalam tanaman metabolit sekunder.[15] Flavonoid mempunyai tiga jenis struktur umum yaitu flavonoida atau 1,3-diarilpopana, isoflavonoida atau 1,2-diarilpropana, dan neoflavonoida atau 1,1-diarilpropana. Senyawa – senyawa isoflavonida dan neoflavonoida hanya ditemukan dalam beberapa jenis tumbuna terutama suku Leguminosae.[16]
E. Ekstrak Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengektraksikan zat aktif dari simplisa nabati atau simplisa hewani dengan menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk tersisa diperlukan sedemikian rupa sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan substansi dari campurannya dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Ekstraksi dapat dilakukan dengan cara dingin yaitu maserasi atau perkolasi dan digunakan untuk tanaman yang mengandung zat – zat yang tidak tahan pemanasan, sedangkan ekstraksi cara panas, dapat dilakukan dengan soxhlet, refluks ataupun infusa dan digunakan untuk tanaman yang mengandung zat yang tahan pemanasan.
[17]
Pelarut untuk ekstraksi dikatakan sesuai bila memenuhi syarat – syarat antara lain mudah dipisahkan dari substansi yang diekstrak, tidak menimbulkan reaksi kimia yang tidak diinginkan dan tidak toksik. Pelarut yang digunakan untuk ekstrak akar tuba menggunakan metanol.
F. Kerangka Teoritis Penularan DBD
Nyamuk Aedes aegypti
Pupa Nyamuk Aedes aegypti
pH air, Suhu air, Keterbatasan makanan, Volume air, kepadatan larva, dan predator
Telur Nyamuk Aedes aegypti
Larva Nyamuk Aedes aegypti
fisik
Abate
kimia Sintetis kimia
biologi
ekstrak akar tuba
Kematian larva
Sumber : 4, 6, 7 Gambar 2.4 Kerangka Teoritis
kimia nabati
G. Kerangka Konseptual
Variabel Bebas Konsentrasi ekstrak akar Tuba
Variabel Terikat Jumlah kematian larva Nyamuk Aedes aegypti
Variabel Pengganggu − pH air * − Suhu air* − Volume air #
Keterangan : * = diukur # = dikendalikan Gambar 2.5 Kerangka Konseptual
H. Hipotesis Penelitian “Ada pengaruh konsentrasi flavonoid dalam ekstrak akar tuba terhadap kematian larva nyamuk Aedes aegypti”.