BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Sungai Sungai di Indonesia umumnya mempunyai sifat multiguna, mulai dari keperluan rumah tangga, keperluan hewan (mandi dan minum), transportasi, pengairan, dan sebagainya. Kebanyakan sungai di Indonesia telah mengalami penurunan fungsi akibat berbagai aktivitas manusia, tetapi masih merupakan sumberdaya perairan yang kaya akan organisme air (Widianingroem, 2010). Kehidupan di air dijumpai tidak hanya pada badan air tapi juga pada dasar air yang padat. Di dasar air, jumlah kehidupan sangat terbatas karena ketersediaan nutrient yang terbatas. Oleh karena itu, hewan yang hidup di air dalam hanyalah hewanhewan yang mampu hidup dengan jumlah dan jenis nutrient terbatas (Isnaeni, 2002).
Ekosistem air yang terdapat di daratan (Inland Water) secara umum dapat dibagi 2 yaitu perairan lentik (Lentic Water) atau juga disebut sebagai perairan tenang, misalnya danau, rawa, waduk, telaga, dan sebagainya dan perairan lotik (Lotic Water) disebut juga sebagai perairan yang berarus deras, misalnya sungai, kali, kanal, parit, dan sebagainya. Perbedaan utama antara perairan lotik (lotic) dan lentik (lentic) adalah dalam kecepatan arus air. Perairan lentik mempunyai kecepatan arus yang lambat serta terjadi akumulasi massa air yang berlangsung dengan cepat. Sungai Ular termasuk perairan lotik (Lotic Water) atau disebut juga perairan berarus deras (Barus, 2004). Ekosistem sungai (lotik) dibagi menjadi beberapa zona dimulai dengan zona krenal (mata air) yang umumnya terdapat di daerah hulu. Zona krenal dibagi menjadi rheokrenal, yaitu mata air yang berbentuk air terjun biasanya terdapat pada tebing-tebing yang curam, limnokrenal, yaitu mata air yang membentuk genangan air yang selanjutnya membentuk aliran sungai yang kecil dan beberapa mata air akan membentuk aliran sungai di daerah pegunungan yang disebut zona rithral, ditandai dengan relief aliran sungai yang terjal. Zona ritral dapat dibagi
Universitas Sumatera Utara
menjadi tiga bagian, yaitu epirithral (bagian yang paling hulu), metarithral (bagian tengah), dan hyporithral (bagian yang paling akhir). Setelah melewati zona hyporithral, aliran sungai akan memasuki zona potamal, yaitu aliran sungai pada daerah-daerah yang relatif lebih landai dibandingkan dengan zona rithral. Zona potamal dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu epipotamal, metapotamal, dan hypopotamal (Barus, 2004). Ekosistem sungai secara tata ruang dapat dibagi menjadi dua bagian : a. Ruang air yang berisi organisme hidup seperti tumbuhan air, plankton, ikan dan lain-lain. b. Ruang dasar sungai yang berisi populasi bentik atau bentos yang hidup dalam dan atau menempel pada sedimen. Secara ekologis organisme di perairan sungai dapat dibedakan menjadi dua zone atau subhabitat, yaitu : a. Subhabitat riam : merupakan bagian sungai yang airnya dangkal tetapi arusnya cukup kuat untuk mencegah terjadinya pengendapan sedimen dasar, sehingga dasar sungai bersifat keras. Pada daerah ini hidup organisme bentik atau perifiton khususnya yang dapat melekat atau berpegang erat pada substrat padat dan jenis ikan yang dapat berenang melawan arus. b. Subhabitat arus lambat : merupakan bagian sungai yang lebih dalam dan arusnya lebih lemah atau lambat dibandingkan subhabitat riam. Pada daerah ini partikel- partikel cenderung mengendap sebagai sedimen di dasar sungai. Pada daerah ini hidup organisme bentos, nekton dan kadang-kadang plankton (Suradi, 1993).
2.2. Bentos Bentos adalah semua organisme air yang hidupnya terdapat pada substrat dasar suatu perairan, baik yang bersifat sesil (melekat) maupun vagil (bergerak bebas). Berdasarkan tempat hidupnya, bentos dapat dibedakan menjadi epifauna yaitu bentos yang hidupnya di atas substrat dasar perairan dan infauna, yaitu bentos yang hidupnya tertanam di dalam substrat dasar perairan. Berdasarkan siklus hidupnya bentos dapat dibagi menjadi holobentos, yaitu kelompok bentos
Universitas Sumatera Utara
yang seluruh hidupnya bersifat bentos dan merobentos, yaitu kelompok bentos yang hanya bersifat bentos pada fase-fase tertentu dari siklus hidupnya (Barus, 2004). Hewan bentos dapat dikelompokkan berdasarkan ukuran tubuh yang bisa melewati lubang saring yang dipakai untuk memisahkan hewan dari sedimennya. Berdasarkan kategori tersebut bentos dapat dibagi atas : a.
Makrozoobentos, kelompok hewan yang lebih besar dari 1,0 mm. Kelompok ini adalah hewan bentos yang terbesar, jenis hewan yang termasuk kelompok ini adalah molusca, annelida, crustaceae, beberapa insekta air, dan larva dari diptera, odonata, dan lain sebagainya.
b.
Mesobentos, kelompok bentos yang berukuran antara 0,1 mm -1,0 mm. Kelompok ini adalah hewan kecil yang dapat ditemukan di pasir atau lumpur. Hewan yang termasuk kelompok ini adalah molusca kecil, cacing kecil, dan crustaceae kecil
c.
Mikrobentos, kelompok bentos yang berukuran lebih kecil dari 0,1 mm. Kelompok ini merupakan hewan yang terkecil. Hewan yang termasuk ke dalamnya adalah protozoa khususnya Cilliata (Lalli dan Pearsons, 1993)
Hewan bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis yang tergolong ke dalam kelompok makroinvertebrata air. Makroinvertebrata air dikenal juga dengan istilah makrozoobentos (Rosenberg dan Resh,1993). Hewan bentos memegang peranan penting dalam perairan seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik yang memasuki perairan. Hewan bentos, terutama yang bersifat herbivor dan detritivor dapat menghancurkan makrofit akuatik yang hidup maupun yang mati dan serasah yang masuk ke dalam perairan menjadi potonganpotongan
yang
menguraikannya
lebih menjadi
kecil,
sehingga
nutrien
bagi
mempermudah produsen
mikroba
perairan.
untuk
Kedudukan
makroinvertebrata air di dalam tingkatan trofik digolongkan ke dalam kelompok : a. Grazers dan Serapers, adalah herbivor pemakan tumbuhan air dan periphyton. Taksa yang termasuk ke dalam golongan ini adalah Ecdyonurus sp. (Ephemeroptera), Gastropoda, Elmis sp. dan Latelmis sp. (Coleoptera).
Universitas Sumatera Utara
b.
Shredders adalah detritivor pemakan partikel organik kasar. Takson yang tergolong ke dalam golongan ini adalah Tipula sp. (Diptera), Neumora sp. (Plecoptera).
c.
Collector adalah detritivor pemakan organik halus. Berdasarkan cara pengambilan makanannya collector dapat dibagi dua yaitu filter feeder dan deposit feeder. Golongan filter feeder adalah collector yang mengambil makanan dengan cara menyaring materi yang terlarut di dalam air. Karakteristik collector dari golongan ini adalah mempunyai fila di daerah mulut atau kaki sebagai alat pengumpul makanan. Taksa yang termasuk golongan filter feeder adalah Simulidae (Diptera), Rheotanytarsus sp, Hydropsyche sp. Golongan deposit feeder adalah collector yang mengambil makanan yang ada di permukaan dasar perairan. Taksa yang termasuk golongan ini adalah Chiromonidae, Orthoeladine, Diamesiae.
d.
Predator adalah carnivor pemakan hewan lain. Taksa yang termasuk golongan ini adalah Tanypodidae (Diptera), Perla sp (Plecoptera) dan Hirudinae
. Sebagai organisme dasar perairan, bentos memiliki habitat yang relatif tetap. Dengan sifat yang demikian, perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat mempengaruhi komposisi maupun kemelimpahannya. Komposisi
maupun
kepekaan/toleransinya
kemelimpahan terhadap
makroinvertebrata
perubahan
lingkungan.
tergantung Setiap
kepada
komunitas
memberikan respon terhadap perubahan kualitas habitat dengan cara penyesuaian diri pada struktur komunitas. Dalam lingkungan yang relatif stabil, komposisi dan kemelimpahan makroinvertebrata air relatif tetap (APHA,1992 ). Sebagaimana kehidupan biota lainnya, penyebaran jenis dan populasi komunitas bentos ditentukan oleh sifat fisika, kimia dan biologi perairan. Sifat fisik perairan seperti kedalaman, kecepatan arus, warna, kecerahan dan suhu air. Sifat kimia perairan antara lain, kandungan gas terlarut, bahan organik, pH, kandungan hara dan faktor biologi yang berpengaruh adalah komposisi jenis hewan dalam perairan diantaranya adalah produsen yang merupakan sumber
Universitas Sumatera Utara
makanan bagi hewan bentos dan hewan predator yang akan mempengaruhi kelimpahan bentos (Setyobudiandi, 1997).
2.3. Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas Air Pengkajian kualitas perairan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan analisis fisika dan kimia air serta analisis biologi. Untuk perairan yang dinamis, analisis fisika dan kimia air kurang memberikan gambaran sesungguhnya akan kualitas perairan, sedangkan analisis biologi khususnya analisis struktur komunitas hewan bentos, dapat memberikan gambaran yang jelas tentang kualitas perairan. Hewan bentos hidup relatif menetap, sehingga baik digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk ke habitatnya. Di antara hewan bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk makrozoobentos (Pradinda, 2008). Bioindikator
adalah
kelompok
atau
komunitas
organisme
yang
keberadaannya dan perilakunya di alam berhubungan dengan kondisi lingkungan, apabila terjadi perubahan kualitas air maka akan berpengaruh terhadap keberadaan dan perilaku organisme tersebut, sehingga dapat digunakan sebagai penunjuk kualitas lingkungan (Triadmodjo, 2008). Makrozoobentos adalah salah satu kelompok terpenting dalam ekosistem perairan sehubungan dengan peranannya sebagai
organisme
kunci
dalam
jaring
makanan.
Selain
itu
tingkat
keanekaragaman yang terdapat di lingkungan perairan dapat digunakan sebagai indikator pencemaran. Hewan bentos seringkali digunakan sebagai petunjuk bagi penilaian kualitas air. Jika ditemukan limpet air tawar, kijing, kerang, cacing pipih, siput memiliki operkulum, dan siput tidak beroperkulum yang hidup di perairan tersebut maka dapat digolongkan kedalam perairan yang berkualitas sedang (Pratiwi et al, 2004). Via-Norton, A. Maher and D. Hoffman (2002) menyatakan, berdasarkan kualitas perairan, khususnya perairan tawar, dapat ditemukan spesies indikator seperti terlihat pada Tabel 2.1 berikut :
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Spesies Indikator Kualitas Perairan Air Tawar Indikator untuk perairan berkualitas : Baik 1.Kelas Serangga • Order Plecoptera (Stonefly Nymphs), Common Stonefly Nymph (Family Perlidae), Roach - like Stonefly Nymph (Family Peltoperlidae), Slinder winter Stonefly Nymph (Family Capniidae), • Order Ephemeroptera (Mayfly Nymphs), BrushLegged Mayfly Nymph (Family Oligoneuridae) Flatheaded Mayfly Nymph (Family Hepta geniidae) Burrowing Mayfly Nymph (Family Ephemeridae), • Order Trichoptera (Caddisfly Larvae) NetSpinning Caddis Larva (Family Philopotamidae) Fingernet Caddis Larva (Family Philopotamidae) Case-making Caddis Larva (Various Families) Freeliving Caddis Larva (Family Ryacophilidae) Dobsonfly (Order Megaloptera, Family Corydalidae) Warter Penny • Order Coleoptera (Family Psephenidae dan Riffle Beetle, Family Elmidae)
Sedang
Buruk
1.Kelas Serangga • Order Odonata: Dragonfly Nymph, (Suborder Anisop tera), Damsefly Nymph , (Suborder Zygoptera) • Order Diptera : Watersnipe Fly Larvae (Family Athericidae) • Order Megaloptera, (Alderfly Larvae Family Sialidae), • Order Diptera: Cranefly Larvae (Family Tipulidae), Beetle Larvae • Order Coleoptera: Whirligig Beetle Larva (Family Gyrinidae), Predaceous Diving Beetle Larva (Family Dytiscidae), Crawling Water Beetle Larva (Family Haliplidae)
2.Kelas lain • Order Amphipoda: Scuds (Family Gammaridae) • Order Isopoda : Sowbugs (Family Asellidae) • Order Decapoda: Crayfish (Family Cambaridae)
1.Kelas Serangga • Order Diptera: Midg e Larva (FamilyChirono midae), • Order Diptera Blackfl y Larva (Family Simu lidae) 2.Kelas lain • Order Gastropo da: Pouch Snail (Family Physi dae), • Order Gastropo da : Planorbid Snail (Family Planor bidae) • Class Hirudinea (Lee ch) Aquatic Worm • Class Oligocha eta)
2.Kelas lain • Order Gastropoda: Gilled Snail (Family Viviparidae)
Universitas Sumatera Utara
2.4. Faktor Fisika, Kimia, dan Biologi Sifat fisika-kimia perairan sangat penting dalam ekologi. Oleh karena itu selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik, seperti makrozoobentos, perlu juga dilakukan pengamatan faktor-faktor abiotik (fisika- kimia) perairan, karena antara faktor abiotik dan biotik saling berinteraksi (Nybakken 1992). Menurut Barus (2004), dengan mempelajari aspek saling ketergantungan antara organisme dengan faktor-faktor abiotiknya maka akan diperoleh gambaran tentang kondisi dan kualitas perairan. Faktor abiotik (fisika-kimia) perairan yang mempengaruhi komunitas bentos antara lain:
2.4.1. Kecepatan Arus Kecepatan aliran sungai dipengaruhi oleh lebar dan kedalamann sungai. Sungai yang dalam dan lebar memiliki kecepatan aliran yang lebih besar (Rahayu, 2009). Kecepatan arus juga dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian antara bagian hilir dan hulu (topografi) badan air, dimana semakin tinggi perbedaan ketinggian (elevasi) tersebut maka arus semakin kuat. Kecepatan arus akan mempengaruhi komposisi substrat dasar (sedimen) dan juga akan mempengaruhi aktifitas makrozoobentos yang ada. Pada perairan lotik arus mempunyai peranan yang sangat pernting. Umumnya kecepatan arus berkisar pada nagka 3 m/det. Meskipun demikian sangat sulit untuk membuat suatu batasan mengenai kecepatan arus, karena kecepatan arus di suatu ekosistem air sangat berfluktuasi dari waktu ke waktu tergantung dari fluktuasi debit dan aliran air dan kondisi substrat yang ada. Pada musim penghujan misalnya akan meningkatkan debit air dan sekaligus mempengaruhi kecepatan arus. Adanya berbagai substrat pada dasar perairan menyebabkan kecepatan arus akan bervariasi. Pada alur sungai yang lurus arus tercepat berada pada bagian tengah sungai. Hal ini sesuai dengan hukum fisika mengenai gesekan (friction) yang menyatakan bahwa daerah yang terbebas dari gesekan akan mempunyai arus yang lebih cepat. Pada arus sungai yangt membelok (meander) kecepatan arus paling tinggi dijumpai pada bagian luar pinggir sungai, sesuai dengan hukum fisika tentang putaran massa sentrifugal. Pada daerah aliran tertentu akan terdapat suatu kondisi dengan
Universitas Sumatera Utara
gerakan air yang sangat lambat, umumnya terdapat dibelakang batu-batuan di dasar perairan. Daerah yang berarus lambat ini merupakan habitat yang sangat ideal bagi organisme air yang tidak mempunyai adaptasi khusus melawan arus yang deras (Barus, 2004). Arus sangat mempengaruhi sebaran atau perpindahan dari organisme bentos seperti membawa organisme bentos dari suatu tempat ke tempat lain di perairan (Supriharyono, 2000 dalam
Rizkya, et al., 2012).
Berdasarkan kecepatan arusnya, perairan dapat dikelompokkan menjadi: perairan berarus sangat cepat (>1m/dtk), cepat (0,5–1m/dtk), sedang (0,25–0,5m/dtk), lambat (0,1–0,2 m/dtk) dan sangat lambat (<0,1m/dtk) ( Mason , 1981 dalam Mariska, 2007) 2.4.2. Temperatur Air Dalam setiap penelitian pada ekosistem akuatik, pengukuran temperatur air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai jenis gas di air serta semua aktivitas biologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut hukum Van’t Hoffs kenaikan temperatur sebesar 10 0 C (hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir) akan meningkatkan laju metabolisme dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Akibat meningkatnya
laju
metabolisme,
akan
menyebabkan
konsumsi
oksigen
meningkat. Pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi (Brehm dan Meijering, 1990 dalam Barus, 2004). Suhu merupakan faktor penting dalam keberlangsungan proses biologi dan kimia yang terjadi di dalam air, seperti kehidupan dan perkembangbiakan organisme air. Suhu mempengaruhi kandungan oksigen di dalam air, proses fotosintesis tumbuhan air, laju metabolisme organisme air dan kepekaan organisme terhadap polusi, parasit dan penyakit. Pada kondisi air yang hangat, kapasitas oksigen terlarutnya berkurang. Oleh karena itu, pengukuran oksigen terlarut harus dilakukan pada tempat yang sama dengan pengukuran suhu.
Universitas Sumatera Utara
Suhu air bervariasi antar kedalaman sungai, danau, maupun badan air lainnya (Rahayu, 2009) 2.4.3. Penetrasi Cahaya Kemampuan penetrasi cahaya akan berbeda pada setap ekosistem air yang berbeda. Pada batas akhir penetrasi cahaya disebut titik kompensasi cahaya, yaitu titik pada lapisan air, dimana cahaya matahari mencapai nilai minimum yang menyebabkan proses assimilasi dan respirasi berada dalam keseimbangan. Dapat juga diartikan bahwa pada titik kompensasi cahaya ini konsentrasi karbondioksida dan oksigen akan berada dalam keadaan relative konstan. Bagi organisme air intensitas cahaya
berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung
kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya (Barus, 2004). Cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau zat terlarut tinggi.
Berkurangnya cahaya matahari disebabkan karena banyaknya
faktor antara lain adanya bahan yang tidak larut seperti debu, tanah liat, maupun mikroorganisme air yang mengakibatkan air menjadi keruh (Sastrawijaya, 1991)
2.4.4. Intensitas Cahaya Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifatsifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air. Vegetasi yang ada disepanjang aliran air juga dapat mempengaruhi intensitas cahaya yang masuk kedalam air karena tumbuh tumbuhan tersebut juga mempenyai kemampuan mengabsorbsi cahaya matahari. Efek ini terutama akan terlihat pada daerah hulu yang aliran airnya umumnya masih kecil dan sempit. Bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya. Larva dari Baetis rhodani akan bereaksi terhadap perubahan intensitas cahaya, dimana jika intensitas cahaya matahari berkurang, hewan ini akan ke luar dari tempat perlindungannya yang terdapat pada bagian bawah dari bebatuan didasar perairan, bergerak menuju ke bagian atas bebatuan untuk mencari makanan (Barus, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2.4.5. DO (Disolved Oxygen) Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air, yaitu untuk respirasi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi temperatur, dimana kelarutan maksimum 0
oksigen di dalam air pada temperatur 0 C sebesar 14,16 mg/l O , kelarutan ini 2
akan menurun jika temperatur air meningkat (Barus, 2004). Menurut Sanusi (2004), Nilai DO yang berkisar di antara 5,45 – 7,00 mg/l cukup bagi proses kehidupan biota perairan. Barus (2004), menegaskan bahwa nilai oksigen terlarut di perairan sebaiknya berkisar antara 6 – 8 mg/l, makin rendah nilai DO maka makin tinggi tingkat pencemaran ekosistem tersebut. Oksigen terlarut berasal dari oksigen di udara dan hasil fotosintesis tumbuhan air. Sangat dibutuhkan dalam kehidupan hewan dan tumbuhan air Kandungan oksigen di dalam air lebih sedikit dibandingkan dengan di udara Kandungan oksigen pada air yang bergerak lebih banyak dibandingkan dengan air yang tergenang. Kandungan oksigen berbeda antar musim, bahkan antar jam dalam satu hari, dan berubah sesuai dengan suhu dan ketinggian tempat Kekurangan oksigen akan menyebabkan tumbuhan atau hewan air sulit untuk berkembang (Rahayu, et al., 2009) 2.4.6. BOD ( Biochemichal Oxygen Demand ) BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikro organisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik, yang diukur pada temperatur 0
20 C. Untuk menguraikan senyawa organik yang terdapat di dalam limbah rumah tangga secara sempurna, mikro organisme membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanya. Mengingat bahwa waktu selama 20 hari dianggap terlalu lama dalam proses pengukuran, sementara dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa pengukuran 5 hari jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai kurang lebih 70%, maka pengukuran yang umum dilakukan adalah setelah 5 hari (BOD5) (Barus, 2004).
Nilai konsentrasi BOD menunjukkan kualitas suatu
perairan, perairan tergolong baik jika konsumsi O2 selama periode 5 hari berkisar sampai 5 mg/l O2, maka perairan tersebut tergolong baik dan apabila konsumsi O2
Universitas Sumatera Utara
berkisar antara 10 mg/l – 20 mg/l
akan menunjukkan tingkat pencemaran oleh
materi organik yang tinggi dan untuk air limbah nilai BOD umumnya lebih besar dari 100 mg/l ( Brower, et al., 1990). Jumlah BOD tergantung pada pH, suhu, jenis mikroorganisme dan jenis bahan organik dan anorganik yang terdapat di dalam air. Sumber BOD berasal dari daun-daun dan potongan kayu yang terdapat pada air yang tergenang, tumbuhan, atau hewan yang sudah mati, kotoran hewan, dan lain-lain. Semakin tinggi nilai BOD, semakin cepat oksigen di dalam air habis, sehingga akan membawa dampak negatif bagi perkembangan makhluk hidup yang ada di dalam air (Rahayu, et al., 2009) 2.4.7. COD (Chemical Oxygen Demand) COD adalah kebutuhan oksigen untuk menguraikan bahan organik secara kimia. Dengan mengukur nilai COD maka akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang mudah diuraikan secara biologis maupun terhadap yang sukar/tidak bisa diuraikan secara biologis (Barus, 2004). 2.4.8. pH (Derajat Keasaman) Organisme akuatik dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi amonia yang bersifat sangat toksik bagi organisme (Barus, 2004) 2.4.9. TDS (Total Dissolved Solid) TDS (Total Dissolve Solid) yaitu ukuran zat terlarut (baik itu zat organik maupun anorganik) yang terdapat pada sebuah larutan. TDS menggambarkan jumlah zat terlarut dalam part per million (ppm) atau sama dengan milligram per liter (mg/l). Umumnya berdasarkan definisi zat yang terlarut dalam air harus dapat
Universitas Sumatera Utara
melewati saringan yang berdiameter 2 micrometer (2×10-6 meter). Aplikasi yang umum digunakan adalah untuk mengukur kualitas cairan pada pengairan, pemeliharaan aquarium, kolam renang, proses kimia, pembuatan air mineral, dan lain-lain (Misnani, 2010). Analisa total padatan terlarut digunakan sebagai uji indikator untuk menentukan kualitas umum dari air. Sumber padatan terlarut total dapat mencakup semua kation dan anion terlarut (Oram, B., 2010). Sumber utama TDS dalam perairan adalah limpahan dari pertanian, limbah rumah tangga, dan industri. Unsur kimia yang paling umum adalah kalsium, fosfat, nitrat, natrium, kalium, dan klorida. Bahan kimia dapat berupa kation, anion, molekul, atau aglomerasi dari ribuan molekul. Kandungan TDS yang berbahaya adalah pestisida yang timbul dari aliran permukaan. Beberapa padatan total terlarut alami berasal dari pelapukan dan pelarutan batu dan tanah (Anonymous, 2010). 2.4.10. TSS (Total Suspended Solid) TSS (Total suspended solid atau padatan tersuspensi total) adalah residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal 2 μm atau lebih besar dari ukuran partikel koloid. TSS menyebabkan kekeruhan pada air akibat padatan tidak terlarut dan tidak dapat langsung mengendap. TSS terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil dari sedimen,
misalnya
tanah
liat,
bahan-bahan
organik
tertentu,
sel-sel
mikroorganisme, dan sebagainya (Nasution, 2008). TSS merupakan tempat berlangsungnya reaksi-reaksi kimia yang heterogen, dan berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan yang paling awal dan dapat menghalangi kemampuan produksi zat organik di suatu perairan (Tarigan dan Edward, 2003). TSS berhubungan erat dengan erosi tanah dan erosi dari saluran sungai. TSS sangat bervariasi, mulai kurang dari 5 mg/l yang yang paling ekstrem 30.000 mg/l di beberapa sungai. TSS ini menjadi ukuran penting erosi di alur sungai. Menurut Alabaster dan Lloyd (1982) padatan tersuspensi bisa bersifat toksik bila dioksidasi berlebih oleh organisme sehingga dapat menurunkan konsentrasi oksigen terlarut sampai dapat menyebabkan kematian pada ikan.
Universitas Sumatera Utara
2.4.11. Kandungan Nitrat dan Fosfat Amonium dan amoniak merupakan produk penguraian protein yang masuk ke dalam badan sungai terutama melalui limbah domestik. Konsentrasinya di dalam sungai akan semakin berkurang bila semakin jauh dari titik pembuangan yang disebabkan adanya aktifitas mikroorganisme di dalam air. Mikroorganisme tersebut akan mengoksidasi amonium menjadi nitrit dan akhirnya menjadi nitrat. Penguraian ini dikenal sebagai proses nitrifikasi. Proses oksidasi amonium menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri jenis Nitrosomonas, nitrit dioksidasi menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter. NH
4
+
O
(Amonium) NO
2
(Nitrit)
NO
2
Nitrosomonas +
O
2
(Nitrit) NO
2
Nitrobacter
3
(Nitrat)
Proses oksidasi tersebut akan menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut semakin berkurang, terutama pada musim kemarau saat curah hujan sangat sedikit dimana volume aliran air di sungai menjadi rendah. Dibarengi dengan tingginya temperatur dan apabila volume limbah tidak berkurang akan menyebabkan laju oksidasi tersebut meningkat tajam. Keadaan ini bisa mengakibatkan konsentrasi oksigen menjadi sangat rendah sehingga menimbulkan kondisi yang kritis bagi organisme air (Barus, 2004). Nitrat, Nitrit dan Amonia merupakan bentuk unsur nitrogen yang terdapat di dalam air. Bahan ini berasal dari pupuk yang larut, kotoran hewan, dan lain-lain. Berfungsi sebagai hara atau pupuk untuk tanaman air. Kandungan yang tinggi di dalam air akan meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas tumbuhan air sehingga kandungan oksigen di dalam air semakin berkurang dan menyebabkan hewan air sulit berkembang bahkan mati. Peristiwa ini disebut eutrofikasi. Kandungan yang tinggi di dalam air minum sangat berbahaya pada bayi, karena hemoglobin darah terikat oleh Nitrat, sehingga menyebabkan darah pada bayi kekurangan oksigen. Akibatnya bayi menjadi rentan terhadap penyakit hemoglobinosa (Rahayu, et al., 2009)
Universitas Sumatera Utara
Posfat merupakan bentuk dari unsur fosfor yang terdapat di dalam air. Zat ini berasal dari detergent sisa cucian, kotoran hewan, pupuk yang terlarut, dan lain-lain. Posfat berfungsi sebagai hara untuk tanaman air, dan dapat mengakibatkan proses eutrofikasi (Rahayu, et al., 2009) 2.4.12. Kandungan Organik Substrat Keadaan substrat dasar badan air juga penting untuk diketahui. Kehidupan organism air ada juga ketergantungannya dengan bahan dan ukuran partikel dasar badan air. Organisme air yang hidup pada substrat dasar suatu ekosistem air sangat tergantung kepada tipe substrat dan kandungan bahan nutrisi /organik yang terdapat didalam substart tersebut. Oleh karena itu analisis terhadap substrat baik berupa tipe maupun terhadap kandungan bahan organiknya, penting untuk dilakukan (Suin, 2002). Bahan organik berasal dari hewan atau tumbuhan yang membusuk lalu tenggelam ke dasar dan bercampur dengan substrat. Menurut Wetzel dan Likens (1979) dalam Yurika (2003), bahan organik dalam perairan terdiri dari senyawa senyawa organik dalam bentuk larutan (berukuran < 0,5 μm) sampai dalam bentuk partikel-partikel besar (berukuran > 0,5 μm), dari organisme hidup sampai yang sudah mati. Wood (1987) dalam Yurika (2003) menjelaskan bahwa bahan organik yang mengendap di dasar perairan merupakan sumber makanan bagi organisme benthik, sehingga jumlah dan laju pertambahannya dalam sedimen mempunyai pengaruh yang besar terhadap populasi organisme dasar. Sedimen yang kaya akan bahan organik biasanya
didukung
oleh melimpahnya fauna yang
didominasi oleh deposit feeder dan sebaliknya suspension feeder mendominasi sedimen dasar bertipe substrat pasir yang miskin akan bahan organik.
2.4.13. Bakteri Coli (Colifekal) Indikator utama yang dipakai dalam menentukan kualitas perairan berdasarkan parameter biologi adalah keberadaan bakteri Escerichia coli. Bakteri E.coli ini sangat peka terhadap proses disinfeksi dibandingkan dengan protozoa dan virus yang menyebabkan penyakit perut (Irianti dan Sasimartoyo, (2006)
Universitas Sumatera Utara
dalam Susanto, 2009). Bakteri Coli berasal dari saluran pencernaan dan membantu proses pencernaan pada manusia dan hewan. Bakteri ini dapat berada di dalam sungai dapat melalui perantara seperti mamalia, burung atau saluransaluran pembuangan. Bakteri Coli ini bersifat non patogenik. Keberadaannya merupakan petunjuk bahwa pada sungai tersebut telah terdapat kotoran yang kemungkinan mengandung mikroba pathogen. Apabila kandungan coliform > 200 koloni per 100 ml air menunjukkan bahwa kemungkinan telah terdapat mikroorganisme pathogen pada air tersebut (Rahayu, et al., 2009). Air yang tercemar oleh kotoran manusia maupun hewan tidak dapat digunakan untuk keperluan air minum, mencuci makanan, atau memasak karena dianggap mengandung mikroorganisme pathogen yang berbahaya bagi kesehatan, terutama pathogen penyebab infeksi saluran pencernaan (Fardiaz, 1992).
Universitas Sumatera Utara