BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Mangrove Hutan mangrove merupakan salah satu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, dan muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi dengan garam. Berdasarkan letaknya tersebut, hutan mangrove berperan penting sebagai pemyambung (interface) antara ekosistem daratan dan lautan yang oleh karenanya hutan mangrove dikategorikan sebagai ekosistem hutan yang unik (Kusmana dan Onrizal, 2003). Wibisono (2005) menyatakan bahwa ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu tipe hutan hujan tropis yang terdapat di sepanjang garis panta perairan tropis yang mempunyai ciri-ciri tersendiri yang sangat unik. Hutan ini merupakan peralihan habitat lingkungan darat dan lingkungan laut, maka sifatsifat yang dimiliki tidak persis sama seperti sifat-sifat yang dimiliki hutan hujan tropis di daratan. Kenyataan menunjukkan bahwa keberadaan komunitas mangrove ini biasanya tumbuh selain di wilayah pantai tropis juga bisa ditemui di wilayah sub tropis1. Selain itu, areal tumbuh hutan mangrove umumnya terletak di sekitar muara sungai (estuaria), pantai karang, teluk yang tenang dan pulau-pulau di dalam teluk tersebut. Wilayah hutan mangrove di Indonesia meliputi tempattempat seperti Pantai Cilacap dan sekitarnya termasuk pantai di Segara Anakan dan Pantai Nusa Kambangan, daerah Ujung Kulon, Pantai Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu, sedikit di pantai utara Jawa Barat, Pantai timur Sumatra sampai Sumatra Selatan, Pantai Kalimantan Timur dan sedikit di Kalimantan Barat, Pantai Sulawesi Selatan (sekitar Kabupaten Wulu), Pantai Teluk Tomori (Morowari), dan Pantai di Papua Barat.
1
Biasanya sampai pada lintang geografis 25⁰ LU dan 25⁰ LS. Bahkan di pantai timur Afrika, pantai Australia, dan Selandia Baru, sebaran mangrove masih bisa tumbuh sampai pada posisi lintang antara 35⁰-40⁰ LS.
8
Mengacu pada pengertian mangrove yang telah disebutkan di atas, maka ekosistem mangrove tidak hanya sebagai ekosistem yang terdiri dari monokultur kehidupan
melainkan
multikultur
biota
hayati
yang
sangat
kompleks.
Keanekaragaman hayati yang dimiliki ekosistem mangrove mampu beradaptasi pada kondisi perairan laut dan daratan. Komponen yang terdapat pada ekosistem mangrove baik berupa komponen biotik (beragam flora, fauna, serta organisme lainnya yang memiliki kekhasan tersendiri) dan komponen abiotik (tanah, air, bebatuan) yang terangkum membentuk kesatuan kawasan penyangga kehidupan di laut dan daratan. Namun, sebaran hutan mangrove kini mengalami pengurangan di setiap tahunnya akibat ulah manusia.
2.1.2 Fungsi Mangrove Menurut Kusmana dan Onrizal (2003), beberapa penelitian menunjukkan bahwa ekosistem mangrove memiliki fungsi yang sangat penting di dalam menjaga kestabilan ekosistem di sekitarnya. Secara fisik, keberadaan hutan mangrove dapat mengendalikan abrasi pantai, mengurangi tiupan angin kencang dan terjangan gelombang laut atau memperkecil gelombang tsunami, menyerap dan mengurangi pencemaran (polutan), mempercapat laju sedimentasi sehingga daratan bertambah luas,dan mengendalikan intrusi laut. Secara biologis, hutan mangrove berfungsi sebagai tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground) dan tepat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis biota laut. Selain itu ekosistem mangrove juga sebagai tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung dan sumber plasma nutfah. Secara ekonomis, hutan mangrove dapat menghasilkan kayu, madu, obat-obatan, minuman, makanan, tanin, dll. Selain itu, untuk kegiatan produksi dan tujuan lain ekosistem mangrove berfungsi untuk pemukiman, pertambangan, industri, infrastruktur, transportasi, rekreasi, dan lain-lain. Wibisono (2005) menyebutkan terdapat 4 fungsi ekosistem hutan mangrove yaitu sebagai berikut: 1. Sebagai tempat peralihan dan penghubung antara lingkungan darat dan lingkungan laut, karena itu sifat-sifat biota yang hidup di dalamnya mempunyai ciri-ciri khas yang merupakan pertemuan antara biota yang
9
sepenuhnya hidup di darat dengan biota yang sepenuhnya hidup di perairan laut. Biota ini misalnya terdiri dari berbagai jenis ketam, kepiting (Scylla serata), mimi (Limulus tachypleus), berbagai jenis burung merandai yang hidupnya tergantung dari biji-bijian yang terdapat dalam hutan bakau, berbagai jenis reptil terutama ular, berbagai jenis primata terutama bekantan, dan berbagai jenis ikan. 2. Sebagai penahan erosi pantai karena hempasan ombak dan angin serta sebagai pembentuk daratan baru. Hal ini dimungkinkan mengingat sistem perakaran vegetasi hutan bakau yang begitu rumit tersebar di bawah permukaan tanah, dengan demikian pantai bisa bertahan dari bahaya erosi. Selain itu, gambaran sistem perakaran tersebut juga mampu sebagai penampung sedimentasi baik yang berasal dari aliran sungai maupun dari dasar perairan laut atau pantai yang tersapu ombak sehingga terbentuk daratan baru. 3. Merupakan tempat yang ideal untuk berpijah (nursery ground) dari berbagai jenis larva ikan dan udang yang bernilai ekonomi penting seperti larva ikan julung-julung (Hemiramphus far), ikan belanak (Mugil cephalus), larva udang dari jenis Peneus merguiensis (banana prawn), dan sebagainya. 4. Sebagai cadangan sumber alam (bahan mentah) untuk dapat diolah menjadi komoditi perdagangan yang bisa menambah kesejahteraan penduduk setempat. Pemanfaatan tersebut tetap harus mengacu kepada kepentingan keseimbangan dan kelestarian daya dukung lingkungan hutan bakau. 2.1.3 Interaksi atau Hubungan Sosial Interaksi sosial merupakan salah satu bentuk umum dari proses sosial karena sebagai pusat aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar orang perorangan ataupun antara orang dengan kelompok atau bisa juga antar kelompok dengan kelompok (Gillin dan Gillin, 1954 dalam Soekanto, 2002). Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia dapat terjadi pada aras masyarakat yang akan terlihat mencolok apabila terjadi perbenturan antara kepentingan perorangan
10
dengan kepentingan kelompok. Interaksi sosial antara kelompok-kelompok sosial tersebut tidak bersifat pribadi. Syarat terjadinya interaksi sosial adalah adanya kontak sosial (social-contact) dan komunikasi (Soekanto, 2002). Proses sosial yang terjadi ini kemudian mengalami dinamika sosial lain yang disebut perubahan sosial yang terus-menerus bergerak secara simultan dalam sistem-sistem sosial yang lebih besar. Syarat terjadinya interaksi sosial adalah kontak sosial dan komunikasi. Menurut Soekanto (2002), kontak sosial secara harfiah adalah bersamasama menyentuh. Secara fisik kontak sosial baru terjadi apabila ada hubungan fisikal. Sebagai gejala sosial hal itu bukanlah semata-mata hubungan badaniah, karena hubungan sosial dapat terjadi tdak hanya dengan menyentuh seseorang, tetapi seseorang dapat berhubungan dengan orang lain tanpa harus menyentuhnya. Kontak sosial dapat terjadi dalam lima bentuk yaitu: a. Proses sosialisasi yang berlangsung antara pribadi orang-perorang yang memungkinkan seseorang dapat mempelajari norma-norma yang terdapat di lingkungannya. Menurut Bungin (2001), proses ini terjadi melalui proses objektivasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. b. Kontak sosial antara orang per orang dengan suatu kelompok masyarakat atau sebaliknya. c. Kontak sosial antara suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya dalam satu komunitas. d. Kontak sosial antara orang per orang dengan komunitas masyarakat global di dunia internasional. e. Kontak sosial antara orang per orang, kelompok, masyarakat, dan dunia global dimana kontak sosial terjadi secara simultan di antara mereka. Hubungan atau interaksi sosial menurut Gillin dan Gillin (1954) dalam Soekanto (2002), interaksi sosial terdiri dari dua macam yaitu proses yang asosiatif dan proses yang disosiatif. Proses asosiatif singkatnya dapat berarti hubungan sosial yang bersifat mendekatkan sedangkan proses disosiatif bersifat menjauhkan pihak-pihak yang terlibat dalam satuan interaksi tersebut.
11
2.1.3.1 Proses Asosiatif Menurut Gillin dan Gillin (1954) dalam Soekanto (2002), proses asosiatif adalah suatu proses terjadinya saling pengertian dan kerjasama timbal balik antara orang per orang atau kelompok satu dengan yang lainnya, dimana proses ini menghasilkan pencapaian tujuan akhir bersama. 1) Kerjasama (cooperation) adalah usaha bersama antara individu atau kelompok untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Proses cooperation terjadi apabila di antara individu atau kelompok tertentu menyadari adanya kepentingan atau ancaman yang sama. Kerjasama terbagi lagi ke dalam bentuk: a. Gotong royong adalah proses yang berupa aktivitas tolong-menolong dan pertukaran tenaga, barang, maupun emosi dalam bentuk timbal balik antara mereka. b. Bargaining adalah proses kerjasama dalam bentuk perjanjian pertukaran kepentingan,kekuasaan, barang, ataupun jasa yang terjadi antara dua pihak atau lebih di bidang politik, budaya, hukum, maupun militer. c. Co-optation adalah proses kerjasama yang terjadi di antara invidu atau kelompok yang terlibat dalam sebuah organisasi atau negara dimana terjadi proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik untuk menciptakan stabilitas. d. Coalition adalah interaksi yang terjadi pada dua oraganisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama kemudia melakukan kerjasama untuk mencapai tujuan tersebut. Coalition pada umumnya tidak menyebabkan ketidakstabilan struktur di masing-masing organisasi, karena coalition biasanya terjadi pada unit program dan dukungan politis. e. Joint-venture adalah kerjasama dua atau lebih organisasi perusahaan bisnis untuk pengerjaan proyek-proyek tertentu. 2) Akomodasi (accomodation) merupakan proses sosial yang menunjukkan pada suatu keadaan yang seimbang (equilibrium) adalam interaksi sosial antara individu dan kelompok di dalam masyarakat, terutama yang ada hubungannya dengan norma dan nilai sosial yang berlaku. Bentuk-bentuk akomodasi adalah sebagai berikut:
12
a. Coersion adalah bentuk akomodasi yang terjadi karena adanya paksaan maupun kekerasan fisik atau psokologis. b. Compromise merupakan proses akomodasi dimana pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya agar tercapai penyelesaiannya oleh pihak ketiga atau badan yang lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan pihak yang berselisih. c. Mediation adalah proses akomodasi yang dibantu oleh pihak ketiga yang netral. d. Conciliation ialah bentuk akomodasi yang melalui usaha untuk mempertemukn kepentingan-kepentingan pihak yang berselisih. e. Tolerantion merupakan bentuk akomodasi yang terjadi secara tidak formal dan dikarenakan adanya pihak-pihak yang menghindari diri dari pertikaian. f. Stalemate merupakan pencapaian akomodasi yang bertikai dan memiliki kekuatan yang sama berhenti pada satu titik tertentu dan menahan diri. g. Adjudication adalah kondisi dimana proses akomodasi mengalami jalan buntu sehingga diselesaikan di pengadilan. 3) Asimilasi, yaitu proses percampuran dua atau lebih budaya yang berbeda sebagai akibat dari proses sosial, kemudan menghasilkan budaya baru yang berbeda dengan budaya aslinya. 2.1.3.2 Proses Disosiatif Proses disosiatif adalah proses perlawanan (oposisi) yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok dalam proses sosial yang terjadi di antara mereka dalam suatu masyarakat (Soekanto, 2002). Bentuk-bentuk proses disosiatif dapat digolongkan seperti persaingan, kompetisi, dan konflik. Interaksi yang bersifat disosiatif terkait pemanfaatan dan pengelolaan alam, dapat dilihat pada suatu pola hubungan antara kelompok masyarakat yang memiliki hak, baik hak mengelola dan hak mengatur kewenangan, sementara itu kelompok masyarakat lain tidak memiliki kekuasaan (powerless). Struktur semacam ini menyebabkan watak individualisme berkembang subur. Akibatnya, tidak jarang jika masyarakat yang sebenarnya tidak terlibat dalam perusakan lingkungan, tetapi justru ikut menanggung akibatnya. Tidak hanya itu, watak
13
egoisme ini i memberri kesempaatan kelomp pok perusaak lingkunggan untuk dapat menyelam matkan diri ke tempatt yang leb bih baik seebab memilliki sumberrdaya materiil yang y bisa digunakan d u untuk mem mbeli daerahh jauh berkkualitas (Susilo, 2009).
2.1.4 Hub bungan Sosial dan Ekoologis dalam Pengelollaan Sumb berdaya Ala am Sebagai makhhluk sosial, manusia tiidak pernahh bisa hidupp seorang diri d di mana pun dan kapan pun, manussia senantiaasa melakukkan kerjasam ma dengan pihak p lain. Mannusia mem mbentuk peengelompok kan sosial (social gr grouping) dalam d upayanya mempertaahankan dan d mengembangkan kehidupannnya. Interraksiinteraksi sosial s itulaah yang kem mudian meelahirkan yaang dinamaakan lingku ungan sosial. Liingkungan sosial terssebut sebag gai tempatt berlangsuungnya berrbagai macam intteraksi sosiaal antara orang atau keelompok maasyarakat beeserta pranaatanya dengan siimbol dan nilai serta norma yan ng sudah m mapan2 sertta terkai deengan lingkungaan alam (ekoosistemnya)) dan lingku ungan binaaan atau buataan (tata ruan ng). Secara skeematis kom mponen-kom mponen interrakstif lingkkungan hiduup tersebut dapat digambarkkan ke dalam m tiga aspekk, yaitu asp pek alam (naatural aspecct), sosial (ssocial aspect), dan d binaan (man-madee/build aspeect). Walauupun ada tigga aspek namun dalam praaktik masinng-masing kategori tiidak dapat tidak dapat dikaji secara s parsial, karena k ketiiganya meerupakan saatu kesatuuan integraal yang diisebut ekosistem m (Soetaryonno, 2002). Lingkungan m Alam
Linggkungan Sosial
Lingkungan Binaan / Buatan
Kesaatuan lingkunngan hiduup manusia daalam kajiaan pengelolaaan lingkkungan hidupp (wilayah yang dikkelola dan berbasiskan ekossistem, tata ruuang, dan prannata sosial)
Gambar 1. Komponen G K Lingkungan L n Hidup Sumbber: Soetary yono (2002))
2
Kemapanaan ditandai dengan d adanyya pemahamaan dan kepatuuhan setiap aanggota masy yarakat terhadap praanata, simbol,, nilai, dan noorma yang dissepakati bersaama dan berlaangsung secaraa terus menerus darri generasi ke generasi berikkutnya melalu ui proses sosiaalisasi.
14
Relasi manusia belangsung dalam komunitas ekologis yang berarti bahwa manusia bisa berkembang menjadi penuh dan utuh justru dalam relasi dengan semua kenyataan kehidupan dan alam. Manusia tidak hanya memiliki hubunganhubungan dengan manusia saja. Relasi manusia seharusnya memperhatikan dirinya sebagai ecological self dalam artian bahwa manusia harus menyadari ia akan berhasil menjadi manusia yang sempurna hanya dalam kesatuan asasi dengan alam atau memalui interaksi positif manusia dengannya secara keseluruhan dan dengan bagian lain dari alam (Susilo, 2009). Perilaku tidak ramah lingkungan dengan paham antroposentrisme3 mengabaikan masalah-masalah lingkungan yang tidak langsung menyentuh kepentingan manusia. Kepentingan manusia untuk mengeksploitasi selalu berubah dan berbeda kadarnya. Manusia hanya memikirkan kepentingan jangka pendek yang berorientasi pada kepentingan ekonomi. Paham antroposentrisme mewarnai interaksi antara manusia dengan lingkungan, tidak lepas dari rasa percaya diri manusia yang berlebihan. Hukum alam bisa dikesampingkan, sebab ia memiliki sifat yang pasif dan bergantung pada manusia, sedangkan kebutuhan manusia berubah dengan sifat tidak terbatas (Susilo, 2009). 2.1.4.1 Lingkungan Sosial Pesisir atau Nelayan Menurut Purba (2002), pengertian lingkungan sosial pesisir kurang lebih sama dengan konsep masyarakat pesisir atau komunitas pesisir yang dpakai oleh beberapa kalangan. Dalam pendekatan geografi-budaya lingkungan sosial pesisir secara umum mencakum kesatuan-kesatuan hidup manusia yang berdiam dan mengembangkan kehidupan sosial di daerah yang relatif dekat dengan laut dan secara khas menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di atas perairan laut. Bagi komunitas ini, ketergantungan hidup mereka kepada sumberdaya alam daratan juga sama besarnya dengan ketergantungan mereka kepada sumberdaya perairan. Masrakat pesisir dibagi menjadi beberapa kategori seperti: a. Masyarakat Perairan Masyarakat Peairan merupakan kesatuan sosial yang hidup dari sumberdaya perairan (laut, sungai atau pantai), cenderung terasing dari kontak 3
Memendang alam sebagai suatu yang perlu dikuasai. Alam yang menguntungkan manusia saja yang perlu dilindungi dan dimanfaatkan, sementara alam yang tidak menguntungkan ditelantarkan (Yusuf, 2000).
15
kontak dengan masyarakat lain, lebih banyak berada di lingkungan perairan daripada darat, dan berpindah-pindah tempat di suatu wilayah (teritorial) perairan tertentu. Kehidupan sosial mereka cenderung egaliter, dan hidup dalam kelompokkelompok kekerabatan setingkat klen kecil. b. Masyarakat Nelayan Masyarakat nelayan pada umumnya pada umumnya telah bermukim secara tetap di daerah-daerah yang mudah mengalami kontak dengan masyarakat lain. Golongan masyarakat pesisir yang dapat dianggap paling banyak memanfaatkan hasil laut dan potensi lingkungan perairan dan pesisir untuk kelangsungan hidupnya. Sistem ekonomi mereka tidak lagi berada pada tingkat subsisten yaitu sudah masuk ke sistem perdagangan, karena hasil laut yang mereka peroleh tidak dikonsumsi sendiri, tetapi didistribusikan kepada pihak lain. c. Masyarakat Pesisir Tradisional Masyarakat pesisir ini memang berdiam dekat dengan perairan laut, akan tetapi sedikit sekali menggantungkan kelangsungan hidupnya dari sumberdaya laut. Mereka sebagian besar hidup dari pemanfaatan sumberdaya daratan. Dalam kehidupan sehari-hari nampak sekali mereka lebih menguasai pengetahuan mengenai lingkungan darat daripada perairan, lebih mengembangkan kearifan lingkungan darat daripada laut. Sementara itu, menurut Purba (2002) permasalahan yang kerap dihadapi masyarakat pesisir terkait pemanfaatan lingkungan hidup adalah penurunan daya dukung lingkungan (carrying capacity) yang berbanding terbalik dengan tekanan akibat peningkatan jumlah populasi manusia dan penggunaan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Akibat tuntutan hidup dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong manusia untuk lebih mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan pesisir. Sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidup dan berkat dukungan teknologi modern daerah pesisir sekarang dieksploitasi. Pantai tidak sekedar digali tetapi juga ditimbun, sehingga daratan menjadi lebih luas (reklamasi) untuk dijadikan pemukiman, pabrik, pelabuhan dan lahan wisata. Lingkungan pesisir semakin banyak kehilangan dukungan bagi keanekaragaman hayatinya, dan selanjutnya menimbulkan kerugian bagi masyarakat pesisir
16
tradisional yang selama ini menggantungkan hidup kepada sumberdaya alamiah tersebut. 2.1.5 Struktur Agraria Hutan Mangrove dan Pesisir Berdasarkan konsepsi pendekatan terpadu didalam pengelolaan ruang kawasan pantai dan hutan mangrove, terdapat pembagian dua kelompok besar kawasan pantai, yaitu kawasan pantai berhutan (bervegetasi) dan kawasan pantai tak berhutan. Selanjutnya berdasarkan daya dukung dan daya topang masingmasing kelompok kawasan ini dapat diperuntukkan sebagai kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan yang termasuk di dalam kawasan lindung adalah: 1. Hutan produksi terbatas 2. Hutan lindung terdiri dari kawasan lindung pantai/hutan lindung mutlak, bantaran sungai dan jalur hijau sepanjang pantai dan sekeliling danau dan sekitar, sumber air di wilayah pesisir, kawasan pelindung pantai dari ancaman bencana alam, serta lahan gambut pesisir yang peka akan degradasi lingkungan. 3. Kawasan suaka alam dan suaka margasatwa 4. Kawasan konservasi alam lainnya seperti taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, cagar biosfir, cagar budaya dan laboratorium lapangan. Pengklasifikasian fungsi kawasan pantai dan hutan mangrove di Indonesia belum sepenuhnya mengikuti peraturan perundangan yang ada. Hal ini berakibat kepada timbulnya berbagai pelanggaran-pelanggaran pengelolaan lahan dan perusakan kawasan pantai. Pengelolaan kawasan lindung pantai seharusnya lebih menitikberatkan kepada pertimbangan ekologisnya daripada kajian sosial ekonomisnya (Dephut, 2010). Menurut Kusumastanto (2007), persoalan penting yang menjadi penyebab kemiskinan nelayan adalah ketimpangan struktur agraria di pesisir, yang dapat dibedakan antara isu agraria di desa pesisir yang berada di pulau besar (main land) dan di desa pesisir yang berada di pulau kecil (small island). Desa pesisir di pulau besar memuliki sejmlah isu-isu kritis baik di tanah maupun di air. Pada sumber agraria tanah, isu yang muncul adalah tentang status lahan pemukiman, pola penguasaan areal pertambakan, pola penguasaan lahan produksi garam dan
17
mangrove. Permasalahan utama dalam isu itu adalah siapa yang dominan dalam penguasaan lahan. 2.1.6 Pengertian Konflik Menurut Fisher et al. (2000) seperti yang dikutip oleh Ilham (2006), konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Konflik timbul karena keseimbangan antara hubungan-hubungan sosial, seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah diskriminasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak terelakkan, yang dapat bersifat positif
atau
negatif.
Aspek
positif
muncul
ketika
konflik
membantu
mengidentifikasi proses pengelolaan sumberdaya dan lingkungan yang berjalan tidak efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak jelas, dan menjelaskan kesalahpahaman (Hendricks, 2008). Konflik adalah pertentangan antar banyak kepentingan, nilai, tindakan, atau arah, serta sudah merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan ada. Maka konflik merupakan suatu kesatuan yang tak terelakkan, yang dapat bersifat positif maupun negatif. Aspek positif konflik muncul ketika konflik membantu mengidentifikasi sebuah proses pengelolaan lingkungan dan sumberdaya yang tidak berjalan secara efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak jelas, dan menjelaskan kesalahpahaman. Konflik akan selalu dijumpai dalam kehidupan manusia atau kehidupan masyarakat sebab untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia melakukan berbagai usaha yang dalam pelaksanaannya selalu dihadapkan pada sejumlah hak dan kewajiban. Sejauh mana dan bagaimana bentuk hak yang dimiliki seseorang akan bersifat dinamis. Jika hak yang dimiliki seseorang merupakan bagian dari hak sekelompok orang (hak komunal), atau bila hak itu memerlukan pengakuan oleh orang lain, maka dalam merealisasikannya dapat menimbulkan benturanbenturan. Benturan akan semakin nampak terutama apabila terdapat rasa tidak adil
18
dalam merealisasikan hak tersebut, dan faktor inilah yang merupakan pemicu bagi konflik dan sengketa yang kemudian timbul. Kriekhoff (1993) sebagaimana dikutip oleh Fuad dan Maskanah (2000) berpendapat bahwa konflik dapat timbul di antara individu satu dengan yang lain (antar individu) dan antar kelompok individu. Konflik antar individu meliputi: (a) antara individu dengan individu lain dari kelompok yang berbeda, dan (2) antara individu-induvidu dalam suatu kelompok (within a group atau inter group), misalnya perebutan tanah antar anggota suku, yang disebut pula konflik interhouse atau inter generational. Sedangkan yang termasuk konflik antar kelompok (intra goup atau intra house) dapat berupa konflik antar sub-sub kelompok yang otonom dalam satu kelompok, dan konflik antar kelompok besar yang otonom dalam masyarakat. Fisher et al (2001) membagi dan menjelaskan konflik berdasarkan tipetipe yang selalu ada dalam kehidupan masyarakat yaitu sebagai berikut: 1.
Tanpa konflik, berarti bahwa konflik sedang terjadi. Konflik memiliki kesan umum yang lebih baik, terasa suasana damai pada kondisi ini dan senantiasa tetap terjaga jika masing-masing pihak saling mengganggu serta hidup bersemangat dan dinamis.
2.
Konflik laten, sifatnya tersembunyi sehingga perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif.
3.
Konflik terbuka, konflik ini berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.
4.
Konflik di permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi. Menurut Fuad dan Maskanah (2000) konflik dapat berwujud konflik
tertutup (latent), mencuat (emerging) dan terbuka (manifest). Konflik tertutup (latent) dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak kutub konflik, bahkan yang paling potensial sekalipun. Konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaian
19
masalahnya sendiri belum berkembang. Konflik terbuka (manifest) merupakan konflik dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai untuk bernegosiasi, mungkin pula menemukan jalan buntu. Berdasarkan level permasalahannya, terdapat dua jenis konflik yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang dilawan oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan makro-mikronya lebih cepat diketahui. Sedangkan konflik horizontal terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam kaitan makro agak sulit untuk digambarkan dengan jelas. Pengkajian lingkungan selalu dicirikan dengan konflik dan kontroversi. Ini merupakan konsekuensi perbedaan nilai dan kepentingan yang terdapat pada masyarakat majemuk dalam kaitannya dengan penggunaan dan pengeloaan tanah, air, dan sumber alam. Penyelesaian sengketa biasanya sulit dicapai untuk dua hal yang saling berkaitan. Pertama, keuntungan dan dan kerugian pembangunan cenderung terbagi tidak merata termasuk hal-hal tak terukur yang sulit untuk dibandingkan. Kedua, banyak kelompok dengan pandangan dan interpretasi yang berbeda selalu terlibat (Sadler dan Armour, 1987 sebagaimana dikutip oleh Mitchell, 2007). 2.1.6.1 Pemetaan dan Pengelolaan Konflik Pada proses pemetaan dan selanjutnya pada tahap pengelolaannya, diperlukan tahapan seperti (1) identifikasi tahap-tahap konflik berserta aktor (stakeholder) yang telibat di dalamnya; (2) mencari solusi; (3) mengembangkan pendekatan untuk manajemen konflik (Hendricks, 2008). Khususnya dalam konflik yang menyakngkut pengelolaan sumberdaya alam, terdapat definisi sekaligus alternatif penyelesaiannya seperti yang termaktub dalam perundangundangan yang mengatur tentang wewenang pengelolaan ligkungan hidup dalam pasal 8 ayat (1) Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23 Tahun 1997) yang meyebutkan bahwa sumberdaya alam yang dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh Pemerintah. Kemudian dijelaskan pada ayat (2) butir (3) bahwa untuk melaksanakan ketentuan berdasarkan pasal (1), pemerintah mengatur pembuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan/atau subyek
20
hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, termasuk suberdaya genetika (Harjasumantri, 2000). Ketika sengketa muncul berkaitan dengan berbedanya kepentingan tentang alokasi sumberdaya dan lingkungan, paling tidak empat pendekatan dapat dipakai untuk penyelesaiannya: (1) politis, (2) administrasi, (3) hukum, dan alternatif penyelesaian masalah. Berbagai pendekatan ini tidak selalu berdiri sendiri, beberapa dapat digunakan secara bersama (Mitchell, 2007). 2.1.7 Faktor Penyebab Degradasi Mangrove Dewasa ini area pesisir semakin banyak yang mengalami penurunan kualitas karena salah satu penyebabnya adalah degradasi ekosistem hutan mangrove: 1. Pertumbuhan penduduk. 2. Meningkatnya
tuntutan
ekonomi
dan
teknologi
masyarakat
(Harjasumantri: 2000) 3. Pengalihan fungsi hutan mangrove menjadi pemukiman, tambak, pabrik, kawasan wisata, dan lain-lain 4. Perebutan sengketa lahan dan pemanfaatan hutan mangrove oleh berbagai pihak (negara, swasta, dan masyarakat) sehingga menyebabkan ekosistem mangrove menjadi kawasan yang open access yang tidak mendapatkan control penuh dari pihak-pihak yang berkonflik. 5. Rendahnya
kesadaran
masyarakat
dan
tingginya
ketergantungan
masyarakat untuk hidup di wilayah pesisir. Sedangkan menurut Kusmana dan Onrizal (2003) terdapat tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu (1) pencemaran, (2) konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan dan (3) penebangan yang berlebihan. Beberapa faktor pendukung lainnya turut pula menimbulkan terjadinya kerusakan dengan berbagai dampaknya pada hutan mangrove. 2.1.7.1 Pencemaran Pencemaran yang terjadi pada areal mangrove terutama disebabkan oleh minyak dan logam berat. Dua sumber utama pencemaran areal mangrove ini merupakan dampak negatif dari areal pelayaran, industri, serta kebocoran pada pipa/tanker industri dan tumpahan dalam pengangkutan. Pencemaran dapat
21
meracuni tumbuhan dalam rumpun mangrove serta biota yang hidup di dalamnya. Bahkan, pencemaran akibat minyak dan logam berat akan berdampak pada kualitas sumberdaya pesisir dan mengurangi pendapatan masyarakat nelayan yang hidupnya bergantung pada sumberdaya pesisir khususnya ekosistem hutan mangrove (Kusmana dan Onrizal, 2003). 2.1.7.2 Konversi Lahan Hutan Lebih dari 70% penduduk Indonesia tinggal dan kehidupannya bergantung pada ekosistem hutan mangrove4. Sebagian dari berbagai praktik eksploitasi terhadap hutan mangrove justru mengancam kelestarian sumberdaya hutan mangrove itu sendiri yang pada akhirnya akan mengancam kehidupan masyarakat sendiri dan generasi yang akan datang. Beberapa bentuk kegiatan yang melakukan konversi hutan mangrove antara lain adalah sebagai berikut: 1. Budidaya Perikanan Konversi hutan mangrove untuk budidaya perikanan, terutama untuk tambak udang windu (Penaeus monodon, P. merguensis dan P. indicus) maupun tambak ikan telah menyebabkan terdegradasinya hutan mangrove yang subur dalam skala yang cukup luas. Luas areal tambak di ekosistem mangrove meningkat sebesar 14.4 persen dalam kurun dua tahun (dari tahun 1999 samai 2001) atau 7.2 persen per tahun, yaitu dari 393196 ha (1999) menjadi 450000 ha (2001)5. 2. Pertanian Sebagian besar pertanian di areal mangrove terdiri atas padi sawah dan perkebunan kelapa. Kegiatan ini dilakukan di kawasan pesisir dengan terlebih dahulu menebang habis (clear cutting) tegakan mangrovenya, sehingga sangat potensial menyebabkan hilangnya fungsi lindung lingkungan dari hutan mangrove. 3. Jalan raya, industri serta jalur dan pembangkit listrik
4
Widjojo, S. 2002. Pola Kerjasama antar Instansi Pusat dan Daerah dalam Pengelolaan Ekosistem Mengrove. Makalah Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mengrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002. 5 Ditjen Perikanan Budidya. 2002. Pengelolaan Ekosistem Mengrove untuk Perikanan Budidaya. Makalah Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mengrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002.
22
Areal mengrove banyak yang dikonversi untuk pembuatan jalan raya, bandara, pelabuhan, pembangunan pembangkit dan jalur listrik guna mendukung arus transportasi hasil industri, perdagangan, penduduk dan hasil-hasil lainnya yang melewati kawasan mangrove. 4. Produksi garam Garam dihasilkan dari air laut yang pembuatannya banyak dilakukan di areal mangrove. Tempat pembuatan garam ini merupakan areal mengrove yang dikonversi dan tingkat kerusakannya bersifat irreversible. Kegiatan produksi garam di Indonesia umumnya dilakukan pada areal mangrove yang memiliki curah hujan kurang dari 1.000 mm per tahun, misalnya contoh kasus masyarakat di Desa Oesapa Barat, Nusa Tenggara Timur yang memanfaatkan lahan mangrove untuk areal tambak garam (Therik, 2008). 5. Perkotaan Urbanisasi menyebabkan terjadinya konversi hutan mangrove yang lokasinya
berdekatan
dengan
perkotaan.
Selain
dijadikan
lokasi
pemukiman, hutan mangrove tersebut dikonversi pula untuk keperluan pembangunan infrastruktur pendukung, seperti jalan raya, pelabuhan, prasarana sanitasi/pembuangan limbah, dan lain-lain. 6. Pertambangan Pertambangan terutama minyak bumi, cukup banyak dilakukan di areal hutan mangrove. Lahan yang cukup luas diperluan untuk tempat penggalian sumur bor, tempat menyimpan minyak mentah, pipa, pelabuhan, perkantoran, dan pemukiman pekerja. Untuk keperluan tersebut tentunya dengan menebang habis hutan mangrovenya terlebih dahulu, sehingga memicu terjadinya degradasi mangrove. Selain itu, minyak yang mencemari mangrove dalam berbagai cara juga menyebabkan degradasi mangrove. 7. Daerah wisata Meningkatnya aktivitas ekonomi dan pembangunan, pada sisi lain akan mendorong meningkatnya kebutuhan untuk berekreasi atau wisata. Tentunya hal ini akan meningkatkan kebutuhan akan lahan sebagai tempat
23
pembangunan prasarana wisata, di mana salah satu pilihannya adalah dengan mengkonversi areal hutan mangrove.
2.1.8 Konflik Pemanfaatan Kawasan Ekosoistem Mangrove di Wilayah Pesisir. Konflik sumberdaya mangrove sebagaimana peristiwa konflik yang lain berawal pada ketimpangan kepentingan dari beberapa pihak. Selain itu, sumberdaya mangrove sebagai salah satu komponen sumberdaya pesisir (SDP) yang menjadi obyek konflik antara masyarakat dan pemerintah. Satria (2009) menyebutkan bahwa konflik antara pemerintah dan masyarakat pesisir diakibatkan oleh kuatnya intervensi kebijakan dari pemerintah. Parahnya, kebijakan itu seringkali tidak memihak masyarakat namun justru mengeliminasi hak-hak masyarakat dalam mengakses dan mengontrol SDP khususnya dalam konteks ini adalah sumberdaya mangrove. Konflik pemanfaatan lahan pesisir dapat disebut sebagai salah satu bagian dari konflik sumberdaya perikanan. Menurut Charles (2000), pemanfaatan lahan terjadi antara pihak pihak pesisir dengan pihak lain. Pihak lain tersebut memiliki motif-motif tertentu yang berseberangan dengan kepentingan masyarakat pesisir seperti motif ekonomi. Sementara menurut Sinurat (2000), konflik dalam sumberdaya pesisir terbagi menjadi dua yakni konflik pemanfaatan ruang dan konflik kewenangan dari ketimpangan berbagai sektor seperti sektor perikanan dan kelautan, sektor kehutanan, sektor perindustrian, sektor pariwisata dan sektor lainnya yang terkait. Menurut Yulianti (2006), pangkal permasalahan konflik pesisir adalah tidak adanya pengelolaan wilayah pesisir yang bersifat sistematis, terpadu dan komprehensif. Berkaitan dengan penjelasan sebelumya, Rudianto (2004) menyebutkan beberapa penyebab konflik di wilayah pesisir sebagai berikut: 1. Batas-batas status tanah kepemilikan yang tidak jelas (seperti hak milik, hak guna usaha, hak bangunan, hak pakai, hak membuka tanah dan hak memungut hasil sumberdaya), 2. Terjadi transfer of ownership, 3. Eksklusivisme penggunaan lahan karena adanya power of money.
24
4. Pemerintah daerah tidak konsisten menerapkan rencana tata ruang wilayah. 5. Lemahnya penegakan hukum (law enforcement). 2.2
Kerangka Pemikiran Gambar 2 menjelaskan tentang tata kelola sumberdaya mangrove yang
dilatarbelakangi oleh kebijakan konservasi hutan mangrove yang pada umumnya dilakukan dengan pendekatan top down oleh pemerintah. Pemasungan dan pembatasan hak akses masyarakat tentu akan terjadi sebagai suatu konsekuensi pengalihan kuasa dan fungsi pemanfaatan hutan mangrove. Kejadian ini tentu akan menimbulkan pola hubungan atau interaksi sosialekologi antara pihak yang saling bersentuhan dan memiliki kepentingan akan hutan mangrove. Pihak yang terlibat dalam hubungan atau interaksi sosial-ekologi di kawasan hutan mangrove adalah pemerintah dan masyarakat pesisir terkait dengan adanya ketetapan konservasi hutan mangrove berupa Suaka Marga Satwa Muara Angke. Hubungan atau interaksi sosial-ekologi terbagi menjadi interaksi yang bersifat asosiatif dan disosiatif yang dilihat dari segi keberagaman aktivitas yang dilakukan masyarakat pesisir di kawasan hutan mangrove. Hal ini akan menyebabkan timbulnya perubahan sosio-ekologis pada tataran kehidupan bermasyarakat yang dilihat dari perubahan kondisi hutan mangrove dan kohesivitas hubungan sosial-ekologi antara masyarakat dengan pemerintah ataupun dengan pihak swasta.
25
Kebijakan Konservasi dari Pemerintah (topdown)
HUTAN MANGROVE
Pemerintah
Swasta
Masyarakat
Hubungan/Interaksi Sosial-Ekologi Manusia-Alam: • Ekosentrisme • Antroposentrisme
Manusia-Manusia • Asosiatif • Disosiatif
• Penggunaan alat tangkap • Pembuangan limbah rumah tangga (sampah). • Pemanfaatan hasil hutan • Dukungan terhadap kebijakan pemerintah • Penangkapan satwa liar • Pembukaan lahan untuk bangunan, pemukiman. (luas lahan bukaan) • Dukungan dan rekasi terhadap pembangunan oleh swasta • Hubungan antar sesama masyarakat
Perubahan sosio-ekologis • Dimensi Perubahan Sosial • Kondisi ekosistem pesisir (banjir, hasil tangkapan nelayan, gangguan satwa liar ke pemukiman)
Gambar 2. Kerangka Analisis Penelitian
26
2.3
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran penelitian, peneliti mengajukan
beberapa dugaan mengenai hasil penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Terdapat perbedaan pola hubungan atau interaksi sosial-ekologi antar aktor (stakeholder) terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Muara Angke. 2. Terdapat interaksi sosial-ekologi yang bersifat asosiatif antar berbagai aktor (stakeholder) terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Muara Angke. 3. Terdapat interaksi sosial-ekologi yang bersifat disosiatif antar berbagai aktor (stakeholder) terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Muara Angke. 4. Terdapat perubahan lingkungan sebagai akibat dari interaksi sosialekologis antar berbagai aktor (stakeholder) terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove di Muara Angke.
2.4
Definisi Konseptual 1. Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersamasama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir (Satria, 2009). 2. Pemerintah adalah kelembagaan atau institusi formal yang memiliki wewenang dan kekuasaan legal untuk mengatur dan mengelola kehidupan dan lingkungan di wilayahnya melalui intervensi peraturan atau kebijakan. 3. Responden adalah anggota suatu rumahtangga masyarakat pesisir. 4. Konservasi hutan mangrove adalah upaya perlindungan untuk menjaga kelestarian dan eksistensi hutan mangrove beserta seluruh ekosistem hayati yang terdapat di dalamnya. 5. Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yangn dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-
27
kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia (Gillin dan Gillin, 1954 sebagaimana dikutip Soekanto,2002). 6. Interaksi ekologis adalah hubungan dinamis yang terjadi antara manusia dengan alam sekitarnya. 7. Interaksi sosial yang asosiatif adalah hubungan sosial yang sifatnya saling mendekatkan atau mempererat antara pihak-pihak yang terlibat yaitu masyarakat pesisir Muara Angke dengan pemerintah. Contohnya, akomodasi, kerjasama, gotong-royong. 8. Interaksi sosial yang disosiatif adalah hubungan sosial yang sifatnya saling menjauhkan antara pihak-pihak yang terlibat yaitu masyarakat pesisir Muara Angke dengan pemerintah. Contohnya, persaingan,pertentangan, konflik, dan perusakan. 2.5
Definisi Operasional 1. Penggunaan alat tangkap ikan adalah perilaku atau cara yang digunakan masyarakat pesisir untuk mendapatkan atau memanen hasil perikanan dengan menggunakan beberapa macam alat tangkap yang dimiliki. Penggunaan alat tangkap ini dapat dilihat dari tingkatan yang paling tidak ramah lingkungan sampai yang ramah lingkungan. Pengukuran: a. Menggunakan bom ikan = skor -2 b. Menggunakan racun pottasium = skor -1 c. Menggunakan jala atau kail biasa = skor 0 d. Menggunakan telapak tangan = skor +1 e. Tidak menangkap ikan untuk menjaga ekosistem = +2 2. Pembuangan limbah rumah tangga adalah perilaku atau cara masyarakat membuang limbah rumah tangga (berupa sampah dapur, sampah plastik, kertas, bekas bahan bangunan, selokan) yang dikaitkan dengan tempat yang digunakan sebagai pembuangan akhir sampah tersebut di kawasan hutan mangrove. Pengukurannya dapat dilihat dari tingkatan yang paling tidak ramah lingkungan sampai yang paling ramah lingkungan: a. Membuang semua limbah rumah tangga di hutan mangrove = skor -2 b. Membuang sampah plastik, kertas di muara sungai kawasan mangrove = skor -1
28
c. Tidak membuang sampah sembarangan di muara sungai dan hutan mangrove = skor 0 d. Memunguti sampah yang ada di muara sungai dan hutan mangrove = skor +1 e. Memunguti dan mendaur ulang sampah menjadi barang yang bermanfaat = skor +2 3. Pemanfaatan hasil hutan adalah perilaku arau cara yang digunakan masyarakat pesisir untuk memanen hasil hutan mangrove berupa kayu, ranting, daun untuk obat-obatan, madu guna memenuhi kehidupan ekonomis masyarakat. Pengukurannya dapat dilihat dari tingkatan yang paling eksploitatif sampai yang paling preservatif: a. Menebang habis kawasan hutan mangrove = skor -2 b. Mengambil kayu bakar, ranting, memanen madu, obat-obatan = skor -1 c. Tidak memanfaatkan atau memanen hasil hutan = skor 0 d. Menjaga kelestarian ekosistem hutan mangrove = skor +1 e. Menjaga kelestarian ekosistem hutan mangrove dengan menggunakan zonasi dan peraturan sesuai kearifan lokal = skor +2 4.
Gotong royong adalah suatu kegiatan rutin kemasyarakatan yang bersifat kerjasama saling bahu membahu dalam hal menjaga kebersihan lingkungan, khususnya kawasan pesisir dan bantaran Kali Angke. Pengukuran kegiatan ini dapat dilihat dari frekuensi waktu pelaksanaan kegiatan, yaitu: a.
Tidak pernah sama sekali = skor -2
b.
Setiap empat bulan = skor -1
c.
Setiap tiga bulan = skor 0
d.
Setiap dua bulan = skor +1
e.
Setiap bulan (rutin) = skor +2
5. Gerakan penghijauan hutan mangrove adalah kegiatan penanaman kembali pada kawasan hutan yang gundul sebagai upaya rehabilitasi fungsi dan eksistensi hutan mangrove di Muara Angke. Sikap responden terhadap kegiatan penghijuan hutan mangrove dapat dilihat dari pengukuran sebagai berikut:
29
a.
Mengabaikan, tidak mau tahu kondisi hutan mangrove dan menggagalkan upaya penghijauan di hutan mangrove = skor -2
b.
Melakukan penanaman mangrove karena terpaksa atau mengharap imbalan berupa uang intensif = skor -1
c.
Memiliki kesadaran untuk menanam mangrove, namun tidak pernah melakukannya = skor 0
d.
Melakukan penanaman mangrove untuk menjaga kelestarian hutan mangrove (kesadaran diri sendiri) = skor +1
e.
Mempelopori dan menjadi bagian penggeak warga serta melakukan penanaman mangrove bersama-sama dengan masyarakat = skor +2
6. Dukungan terhadap kebijakan pemerintah adalah sikap yang ditunjukkan masyarakat untuk mau atau tidak mau mematuhi peraturan yang ditetapkan pemerintah terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan hutan mangrove. Pengukurannya dapat dilihat dari tingkatan yang paling melanggar sampai yang paling mematuhi: a. Melanggar dan menentang peraturan secara brutal/perlawanan dengan merusak hutan mangrove yang masuk zona inti perlindungan = skor -2 b. Menentang tanpa ada perlawanan (aksi nyata) terhadap peraturan terkait dengan hutan mangrove = skor -1 c. Bersikap biasa saja terhadap peraturan yang ditetapkan pemerintah = skor 0 d. Mendukung, mematuhi, dan melaksanakan peraturan yang ditetapkan pemerintah terkait dengan hutan mangrove = skor +1 e. Mendukung dan ikut menghimbau warga lain untuk sama-sama mematuhi atau melaksanakan peraturan pemerintah = skor +2 7. Sikap responden terhadap pembangunan kawasan industri dan hunian elit PIK di sekitar lingkungan pemukiman responden dan hutan mangrove. a.
Sangat tidak setuju = skor -2
b.
Tidak setuju = skor -1
c.
Tidak tahu/netral = skor 0
d.
Setuju = +1
e.
Sangat setuju = +2
30
8. Bentuk reaksi responden terhadap pihak swasta yang melakukan pembangunan perumahan elit dan pertokoan di lingkungan Muara Angke. a.
Mendukung, ikut terlibat dan membantu pihak swasta, serta ikut mengambil keuntungan dari kegiatan tersebut = skor -2
b.
Mendukung namun tidak melibatkan diri dalam kegiatan tersebut dan tidak ada perlawanan terhadap pihak swasta = skor -1
c.
Tidak ada reaksi apapun terkait kegiatan yang dilakukan pihak swasta = skor 0
d.
Menentang namun tidak ada aksi nyata terhadap kegiatan tersebut = skor +1
e.
Menentang dan melakukan berbagai gerakan dan aksi sosial serta aksi politik dalam melawan bahkan menghentikan kegiatan yang dilakukan swasta di kawasan hutan mangrove = skor +2
9. Bentuk konflik yang terjadi antara masyarakat dengan pihak pemerintah dan atau swasta terkait dengan akses dan pemanfaatan di sekitar kawasan hutan mangrove. a.
Terjadi pertentangan antara kedua belah pihak hingga menimbulkan tragedi saling bunuh = skor -2
b.
Terjadi kekerasan dalam bentuk pekelahian/persaingan perebutan hak pengelolaan hutan mangrove misalnya: kerusuhan, tawuran = skor -1
c.
Terjadi kondisi saling mengancam pada kedua belah pihak yang berselisih = skor 0
d.
Terjadi perdebatan (beda pendapat) dan perbedaan kepentingan antara kedua pihak. = skor +1
e.
Terjadi penyebaran desas-desus (gossip) atau isu yang saling mejelekkan dan berprasangka secara sembunyi-sembunyi antara kedua belah pihak = skor +2
10. Penangkapan satwa liar adalah tindakan yang dilakukan warga untuk menangkap satwa liar yang terdapat pada kawasan lindung hutan mangrove guna dipelihara, diperjual-belikan, atau untuk dibunuh. Pengukurannya dapat dilihat dari tingkatan yang paling eksploitatif sampai yang paling preservatif:
31
a. Menangkap dan membunuh seluruh satwa yang ditemui di kawasan hutan mangrove = skor -2 b. Menangkap satwa untuk diperjual-belikan atau dipelihara = skor -1 c. Bersikap biasa saja atau tidak acuh pada keberadaan satwa liar di hutan mangrove = skor 0 d. Tidak menangkap dan membunuh satwa yang ada di hutan mangrove = skor +1 e. Tidak menangkap, membunuh, bahkan menkonservasi satwa yang ada di hutan mangrove bersama-sama dengan semua lapisan masyarakat = skor +2 11. Pembukaan lahan untuk bangunan dan pemukiman adalah tindakan yang dilakukan untuk mengurangi luasan lahan tutupan mangrove. Pengukuran dapat dilihat dari luasan lahan bukaan mangrove yang diakibatkan dari yang paling besar sampai yang paling kecil: a. Luas bukaan lahan ≥ 10 ha = skor -2 b. Luas bukaan lahan 0-10 ha = skor -1 c. Tidak memiliki lahan bukaan di kawasan hutan mangrove = skor 0 d. Menghindari untuk membuka lahan mangrove yang dilindungi untuk mendirinkan bangunan atau tambak = skor +1 e. Mencegah dan menghimbau warga untuk tidak membuka lahan di kawasan lindung hutan mangrove = skor +2 12. Hasil tangkapan ikan yang menjadi konsekuensi dari turunnya kualitas ekosistem pesisir diukur dari jumlah sabagai berikut: a.
Berkurang lebih dari setengah hasil tangkapan = skor -2
b.
Berkurang tidak lebih dari setengah hasil tangkapan = skor -1
c.
Tidak terjadi penurunan hasil tangkapan = skor 0
d.
Kenaikan hasil tangkapan kurang dari setengah hasil tangkapan = skor +1
e.
Kenaikan hasil tangkapan lebih dari setengah hasil tangkapan = skor +2
32
13. Banjir sebagai konsekuensi dari berkurangnya luasan hutan mangrove (setelah reklamasi pesisir dan sebelum reklamasi pesisir) sehingga terjadi kenaikan air laut dan merupakan dampak dari rusaknya ekosistem sungai Angke dari hulu ke hilir diukur menurut frekuensi sebagai berikut: a.
Banjir terjadi harian (hampir setiap hari) = skor -2
b.
Banjir terjadi mingguan = skor -1
c.
Banir terjadi bulanan = skor 0
d.
Baniir terjadi tahunan = skor +1
e.
Tidak terjadi banjir = skor +2
14. Gangguan satwa liar ke pemukiman penduduk akibat rusaknya atau menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove dapat diukur dengan melihat frekuensinya sebagai berikut: a.
Gangguan satwa terjadi harian (hampir setiap hari) = skor -2
b.
Gangguan satwa terjadi mingguan = skor -1
c.
Gangguan satwa terjadi bulanan = skor 0
d.
Gangguan satwa terjadi tahunan = skor +1
e.
Tidak terjadi gangguan satwa = skor +2