BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. PAJAK 1. Pengertian Pajak Menurut S.I.Djajadiningrat (Resmi,2009:1) Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara umum. Soemitro dalam bukunya Mardiasmo (2016:1) mendefinisikan pajak sebagai iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang ( yang dapat dipaksakan ) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi pajak menurut Undang–Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada pasal 1 ayat 1 Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan undang–undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar– besarnya kemakmuran rakyat. Dari beberapa pengertian pajak di atas dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Pembayaran wajib (pribadi atau badan) berupa uang bukan barang kepada negara atau pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah. b. Pemungutan pajak berdasarkan Undang-Undang atau peraturan yang berlaku serta pelaksanaannya dapat dipaksakan. c. Tidak ada kontra prestasi atau jasa timbal balik dari negara yang dapat dirasakan langsung oleh pembayar pajak. d. Digunakan untuk membiayai pembangunan negara. 2. Fungsi Pajak Halim, Bawono dan Dara (2014:04) mengemukakan pajak mempunyai dua fungsi, yaitu : a. Fungsi Budgetair (Penerimaan) Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Contoh : Penerimaan pajak sebagai salah satu sumber penerimaan APBN b. Fungsi Regulerend (Mengatur)
Pajak
berfungsi
sebagai
alat
untuk
mengatur
masyarakat
atau
melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Contoh : a) Memberikan
insentif
pajak
(tax
holiday)
untuk
mendorong
peningkatan investasi di dalam negeri b) Pengenaan pajak yang tinggi terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras. c) Pengenaan tarif pajak nol persen atas ekspor untuk mendorong peningkatan ekspor produk dalam negeri. 3. Penggolongan Jenis Pajak Jenis pajak dapat digolongkan menjadi 3 yaitu menurut golongan, sifat dan lembaga pemungutnya (Mardiasmo, 2016:07) : a. Menurut golongannya 1) Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan. 2) Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai. b. Menurut sifatnya 1) Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memerhatikan keadaan diri wajib pajak.
Contoh : Pajak Penghasilan 2) Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memerhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. c. Menurut Lembaga Pemungutnya 1) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Materai. 2) Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas : a) Pajak Propinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. b) Pajak Kabupaten/Kota, contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan. 4. Pemungutan Pajak Pemungutan pajak dapat ditentukan melalui sistem, cara, asas dan syarat menurut Undang-Undang Perpajakan. a. Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak menurut Ilyas dan Burton (2010) dibagi menjadi empat macam, yaitu : 1) Official Assesment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang. 2) Semiself Assesment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada fiskus dan Wajib Pajak untuk menentukan besarnya pajak seseorang yang terutang. 3) Self Assesment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak. 4) With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong/memungut besarnya pajak yang terutang. b. Cara Pemungutan Pajak 1) Stelsel Riil atau Nyata Merupakan cara pengenaan pajak yang didasarkan pada objek yang sesungguhnya, yang benar-benar ada, dan dapat ditunjuk. Stelsel
nyata mempunyai kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahan stelsel ini adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode. ( Purwono,2013:13 ; Mardiasmo,2016:8) 2) Stelsel Anggapan / Fiktif Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun, sehingga penerimaan pajak oleh pemerintah dapat diperoleh sepanjang tahun, sedangkan
kelemahannya
adalah
pajak
yang
dibayar
tidak
berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya atau tidak realistis. ( Halim, Bawono dan Dara,2014:06) 3) Stelsel Campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar daripada pajak menurut anggapan,
maka Wajib Pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali. (Mardiasmo,2016:09) c. Asas Pemungutan Pajak Asas pemungutan pajak dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu (Mardiasmo, 2016:09) : 1) Asas Domisili ( asas tempat tinggal ) Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalan megeri. 2) Asas Sumber Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memerhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. 3) Asas Kebangsaan Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. d. Syarat Pemungutan Pajak Menurut Purwono (2013:14) syarat pemungutan pajak dibedakan menjadi 5 yaitu : 1) Syarat Keadilan Pemungutan pajak dilaksanakan secara adil baik dalam peraturan maupun realisasi pelaksanaannya 2) Syarat Yuridis
Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang yang ditujukan untuk menjamin adanya hukum yang menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk negara maupun untuk warganya. 3) Syarat Ekonomis Pemungutan pajak tidak boleh menghambat ekonomi rakyat, artinya pajak tidak boleh dipungut apabila justru menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat. 4) Syarat Finansial Pemungutan pajak dilaksanakan dengan pedoman bahwa biaya pemungutan tidak boleh melebihi hasil pemungutannya. 5) Syarat Sederhana Sistem pemungutan pajak harus dirancang sesederhana mungkin untuk memudahkan pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak. 5. Tarif Pajak Menurut Waluyo (2010:17) tarif pajak adalah tarif untuk menghitung besarnya pajak terutang (pajak yang harus dibayar). Dalam pajak penghasilan presentase tarifnya dapat dibedakan menjadi 2 (tarif) sebagai berikut : a. Tarif Marginal, tarif ini berlaku untuk suatu kenaikan dasar pengenaan pajak b. Tarif Efektif, tarif pajak yang efektif berlaku atau harus diterapkan atas dasar pengenaan pajak tertentu.
Sedangkan berdasarkan struktur tarif yang berhubungan dengan pola presentase tarif pajak ada 4 (empat) macam tarif, yaitu: 1) Tarif Sebanding/Proposional Tarif berupa persentase yang tetap terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. Misalnya, PPN dengan tarif 10% dikenakan terhadap penyerahan suatu barang kena pajak. Dengan jumlah dasar pengenaan pajak semakin besar dengan tarif persentase tetap akan menyebabkan jumlah utang pajak menjadi lebih besar. ( Mardiasmo,2008:20; Halim,Bawono dan Dara,2014:08) 2) Tarif Tetap Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. Misalnya, bea materai untuk cek dan bilyet giro berapapun jumlahnya dikenakan bea materai yang sama, yaitu sebesar Rp3.000. ( Mardiasmo,2008:20 ; Halim,Bawono dan Dara,2014:08) 3) Tarif Progresif Tarif ini berupa persentase yang meningkat apabila jumlah yang dikenai pajak juga meningkat. Contohnya tarif pajak untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. ( Purwono,2013:14 ; Halim, Bawono dan Dara,2014:08) 4) Tarif Degresif
Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar. (Mardiasmo,2008:20 )
B. PENGURANGAN ATAU PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI ( PPSA ) 1. Pengertian Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015 mengatur tentang pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan penyampaian surat pemberitahuan, pembetulan surat pemberitahuan dan keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak. a. Sanksi Administrasi Landasan hukum mengenai sanksi administrasi diatur dalam masingmasing pasal undang-undang ketentuan umum perpajakan. Sanksi administrasi dapat dijatuhkan apabila wajib pajak melakukan pelanggaran terutama atas kewajiban yang ditentukan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan seperti yang tercantum dalam UndangUndang No.16 Tahun 2009. Sanksi administrasi yang termasuk dalam ruang lingkup PPSA yaitu :
1) Denda
karena
keterlambatan
penyampaian
SPT
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 Undang-Undang KUP 2) Bunga karena pembetulan SPT Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2a) Undang-Undang KUP 3) Bunga karena pembetulan SPT Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2a) Undang-Undang KUP 4) Bunga karena keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang dalam SPT Masa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang KUP 5) Bunga karena keterlambatan pembayaran atau penyetoran kekurangan pajak yang tercantum dalam SPT Tahunan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2b) Undang-Undang KUP 6) Denda terkait Faktur Pajak sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang KUP. b. Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) 1) Pengertian SPT Menurut Undang-Undang No.16 Tahun 2009 Surat Pemberitahuan tahunan adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak
dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 2) Batas Waktu Penyampaian SPT Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah : a) Untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak. Khusus untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak. b) Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau c) Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. 3) Sanksi Terlambat atau Tidak Menyampaikan SPT Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Umum
dan Tata Cara
Perpajakan
apabila Surat
Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan, dikenai sanksi administrasi berupa : a) Denda administrasi
Rp 500.000,00 untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp 100.000,00 untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, Rp 1.000.000,00 untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, Rp 100.000,00 untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi. b) Bunga Pajak yang terutang pada SPT Tahunan lebih besar daripada penghitungan
pajak
sementara
saat
perpanjangan
penyampaian SPT Tahunan, atas selisihnya tidak dikenakan sanksi berupa bunga sebesar 2% sebulan Dilakukan pembetulan SPT dimana pembetulan tersebut mengakibatkan terjadinya kurang bayar, atas kekurangan bayar pembetulan SPT tersebut dikenakan bunga 2% sebulan. c) Sanksi Pidana Karena kealpaan, SPT Tahunan tidak disampaikan atau disampaikan tapi isinya tidak benar, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 tahun dan atau denda setinggitingginya sebesar dua kali jumlah pajak yang terutang. Karena sengaja, SPT Tahunan tidak disampaikan atau disampaikan tapi isinya tidak benar dipidana dengan pidana
kurungan selama-lamanya 6 tahun dan atau denda setinggitingginya sebesar 4 kali jumlah pajakterutang. c. Surat Tagihan Pajak Menurut Pasal 1 Undang-Undang No 16 Tahun 2009 Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. Sedangkan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No.16 Tahun 2009 Direktorat Jenderal Pajak dapat mengeluarkan STP jika terjadi hal-hal berikut : 1) Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang bayar 2) Hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung 3) Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga 4) Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya 2. Dasar Hukum Pengurangan/Penghapusan Sanksi Administrasi (PPSA) Dasar hukum PPSA adalah Pasal 36 ayat (1a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan dengan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2009. Secara lengkap berbunyi:
“ Direktorat Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan
karena
kekhilafan
Wajib
Pajak
atau
bukan
karena
kesalahanny;b.mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;c. Mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14yang tidak benar; atau d. Membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa: 1. Penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau 2. Pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak”. Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP menyebutkan “ karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya”. Ini merupakan alasan dikurangkannya atau dihapuskannya sanksi administrasi. Maka dari itu, setiap Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan yang akan mengajukan permohonan tersebut harus membuat surat pernyataan yang menyatakan bahwa keterlambatan penyampaian SPT, keterlambatan pembayaran pajak, dan/atau pembetulan SPT dilakukan karena kekhilafan atau bukan karena kesalahan dan ditandatangani di atas materai oleh Wajib Pajak sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2015.
3. Ruang Lingkup PPSA Dalam PMK 91/PMK.03/2015, yang dapat diajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi adalah sebagai berikut : a. Keterlambatan penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya dan/atau SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya. b. Keterlambatan pembayaran atau penyetoran atas kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya. c. Keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak sebagaimana tercantum dalam SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya, dan atau d. Pembetulan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan kemauan sendiri atas SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya dan/atau SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar 4. Tata Cara dan Syarat Pengajuan PPSA Dalam rangka mendapatkan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi Wajib Pajak harus mengajukan permohonan dengan syarat sebagai berikut : a. 1 (satu) permohonan untuk 1(satu) Surat Tagihan Pajak b. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
c. Ditandatangani oleh Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak orang pribadi atau wakil Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak badan, dan tidak dapat dikuasakan. d. Disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Permohonan Pengurangan/Penghapusan Sanksi Administrasi juga harus dilengkapi dokumen berupa : 1) Surat pernyataan yang menyatakan bahwa keterlambatan penyampaian SPT, keterlambatan pembayaran pajak, dan/atau pembetulan SPT dilakukan karena
kekhilafan atau bukan
karena
kesalahan dan
ditandatangani diatas materai oleh Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak orang pribadi atau wakil Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak badan 2) Fotocopy SPT atau SPT pembetulan yang disampaikan atau print-out SPT atau SPT pembetulan berbentuk dokumen elektronik yang disampaikan. 3) Fotocopy bukti penerimaan atau bukti pengiriman surat yang dianggap sebagai bukti penerimaan penyampaian SPT atau SPT pembetulan. 4) Fotocopy Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan pajak terutang yang tercantum dalam SPT Masa atau bukti pelunasan kekurangan pajak yang tercantum dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan atau bukti pelunasan pajak yang kurang bayar yang tercantum dalam SPT pembetulan 5) Fotocopy Surat Tagihan Pajak
Permohonan pengurangan atau penghapusan Sanksi Administrasi dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali. Apabila Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan Sanksi Administrasi yang kedua, maka permohonan tersebut harus diajukan setelah Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pajak atas permohonan yang pertama dikirim. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan penghapusan sanksi administrasi diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan Wajib Pajak. Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan telah lewat tetapi Direktorat Jenderal Pajak tidak menerbitkan Surat Keputusan atau tidak mengembalikan permohonan Wajib Pajak maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan dan DJP harus menerbitkan Surat Keputusan sesuai dengan permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak.