8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lingkungan Irwan (1992) mendefinisikan lingkungan sebagai suatu sistem kompleks yang berada di luar individu yang mempengaruhi pertumb uhan dan perkembangan organisme, lingkungan merupakan ruang tiga dimensi dan organisme termasuk bagian di dalamnya. Manusia bersama tumbuhan, hewan dan jasad renik menempati suatu ruang tertentu, selain makhluk hidup, dalam ruang tersebut juga terdapat benda tak hidup (abiotik) seperti udara, air dan tanah. Ruang yang ditempati suatu makhluk hidup bersama dengan benda tak hidup di dalam disebut lingkungan hidup (Soemarwoto 1983). Menurut UU RI No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Lingkungan bersifat dinamis dalam arti berubah-ubah setiap saat (Irwan 1992). Pencemaran lingkungan adalah perubahan lingkungan yang tidak menguntungkan, sebagian karena tindakan manusia, disebabkan perubahan pola penggunaan energi dan materi, tingkatan radiasi, bahan-bahan fisika dan kimia, dan jumlah organisme. Perbuatan ini dapat mempengaruhi langsung manusia, atau tidak langsung melalui air, hasil pertanian, peternakan, benda-benda, perilaku dalam apresiasi dan rekreasi di alam bebas (Sastrawijaya 1991).
2.2. Pencemaran Udara Udara adalah salah satu bagian dari lingkungan abiotik. Manusia setiap detik
selama
hidupnya
akan
membutuhkan
udara.
Wardhana
(1994)
mendefinisikan udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap, tergantung pada suhu udara, tekanan udara dan lingkungan sekitarnya. Gas-gas tersebut antara lain; nitrogen ( dan karbon dioksida (
), oksigen (
)
). Slamet (1994) menyatakan bahwa secara rata-rata
manusia tidak dapat mempertahankan hidupnya tanpa udara lebih dari tiga menit.
9
Udara di alam tidak pernah dijumpai dalam keadaan bersih tanpa polutan sama sekali, selain disebabkan oleh polutan alami seperti aktivitas vulkanik dan pembusukan sampah, pencemaran udara juga dapat disebabkan oleh aktivitas manusia seperti transportasi dan proses industri (Fardiaz 1992). Arti pencemaran udara menurut Soenarmo (1996) diacu dalam Satria (2006) adalah masuknya zat pencemar ke dalam udara atau atmosfer, baik secara alami (debu vulkanik, debu meteorit, pancaran garam dari laut) maupun akibat dari aktivitas manusia (gas beracun, partikel, panas dan radiasi nuklir sebagai hasil sampingan pemupukan tanaman, pembasmian hama, pengecatan, pembakaran rumah tangga, transportasi dan bermacam- macam kegiatan industri) yang melayang dalam udara dan bergerak sesuai dengan gerakan dan tingkah laku udara dalam jumlah yang melebihi ambang batas yang masih diperkenankan untuk kesehatan makhluk hidup maupun estetika. Menurut Wardhana (1994), pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam jumlah tertentu serta berada di udara dalam waktu yang cukup lama, akan dapat mengganggu kehidupan manusia, hewan dan tanaman. Menurut Soedomo (2001), pencemaran udara akibat aktivitas manusia (antropogenik) secara kuantitatif sering lebih besar. Berdasarkan polanya, sumber pencemar dibagi menjadi (Tjasyono 1999): a. Sumber titik kontinyu, pada umumnya oleh pabrik-pabrik perindustrian yang memancarkan zat pencemar ke dalam udara melalui cerobong pembuangan. b. Sumber garis, yaitu sumber yang mengeluarkan pancaran zat pencemar berupa garis yang memanjang, misalnya jalan raya, daerah industri sepanjang tepi sungai/pantai dan lain- lain. c. Sumber bidang, merupakan sumber pencemaran kompleks yang dipancarkan dari suatu daerah seperti kawasan industri, perkotaan dan sebagainya. Dahlan (2004) mengklasifikasikan jenis pencemar di udara berdasarkan ciriciri fisiknya, yaitu : a. Partikel adalah pencemar udara yang dapat berada bersama-sama dengan bahan atau bentuk pencemar lainnya, misalnya debu dan timbal.
10
b. Gas, meliputi semua jenis pencemar udara yang berbentuk gas dan berukuran molekuler, misalnya CO, HC,
,
dan lainnya.
Kristanto (2002) membedakan jenis pencemar berdasarkan asal dan kelanjutan perkembangannya di udara yaitu: a. Pencemar udara primer adalah jenis pencemar dalam bentuk yang hampir tidak berubah, sama seperti pada saat dibebaskan dari sumbernya dan banyak berasal dari kegiatan manusia seperti industri dan transportasi. b. Pencemar udara sekunder adalah jenis pencemar yang sudah berubah karena reaksi tertentu antara dua atau lebih kontaminan/polutan. Contoh reaksi yang menimbulkan polutan sekunder adalah reaksi fotokimia.
2.3. Partikel Debu sebagai Salah Satu Jenis Pence mar Udara 2.3.1. Karakteristik partikel debu Partikel adalah pencemar udara yang dapat berada bersama-sama dengan bahan atau bentuk pencemar lainnya (Wardhana 1994), salah satu jenis partikel adalah debu (dust), yaitu suatu satuan campuran material atau partikel padat dalam beragai ukuran (diameter). Partikel debu merupakan bahan pencemar udara yang menjadi perhatian, khususnya partikel debu yang dihasilkan dari pengolahan bahan padat proses industri (Gindo & Harri 2008). Partikel debu dibedakan menjadi partikel debu mengendap (deposit particulate matter) yang berada hanya sementara di udara dan partikel debu melayang (suspended particulate matter) yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap (Pudjiastuti 2002). Kristanto (2002) mengemukakan bahwa partikel debu memiliki sifat-sifat sebagai berikut: a. Dapat mengendap karena dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi. b. Memiliki permukaan yang selalu basah karena dilapisi oleh air. c. Mampu membentuk gumpalan karena permukannya yang selalu basah. d. Bersifat listrik statis, artinya mampu menangkap partikel lain yang berlawanan. e. Bersifat opsis, artinya mampu memancarkan cahaya pada saat gelap. Menurut WHO (1996) diacu dalam Pudjiastuti (2002), partikel debu yang membahayakan bagi kesehatan berukuran 0,1 sampai 10 mikron. Berikut karakteristik ukuran partikel debu menurut Pudjiastuti (2002):
11
a. Debu yang berukuran antara 5-10 mikron bila terhisap akan tertahan dan tertimbun pada saluran napas bagian atas. b. Debu yang berukuran antara 3-5 mikron tertahan dan tertimbun pada saluran napas tengah. c. Debu yang berukuran 1-3 mikron disebut debu respirabel merupakan yang paling berbahaya karena tertahan dan tertimbun mulai dari bionkiolus terminalis sampai alveoli. d. Debu yang berukuran kurang dari 1 mikron tidak mudah mengendap di alveoli. e. Debu yang berukuran antara 0,1-0,5 mikron berdifusi keluar masuk alveoli, bila terbentur alveoli debu tersebut tertimbun di alveoli. 2.3.2. Pengaruh partikel debu terhadap kesehatan Partikel debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin akan menyebabkan iritasi pada mata dan menghalangi daya tembus pandang mata atau visibility. Logam beracun yang terkandung dalam partikel debu merupakan bahaya yang terbesar bagi kesehatan (Iksan 2008). Umumnya, udara yang tercemar hanya mengandung logam berbahaya sekitar 0,01% sampai 3 % dari seluruh partikel debu di udara, tetapi logam tersebut dapat bersifat kumulatif dan kemungkinan dapat terjadi reaksi sinergistik pada jaringan tubuh. Logam yang terkandung di udara yang dihirup mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan dosis sama yang berasal dari makanan atau air minum (Iksan 2008). Partikel debu yang mencemari udara dapat merugikan tanaman, hewan dan manusia. Dampak dari tercemarnya udara oleh debu bagi kesehatan manusia umumnya menyerang saluran pernapasan. Dampak yang paling sering dirasakan adalah infeksi pada saluran pernapasan (Acute Respiratory Infections) atau lebih dikenal dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) paling banyak diderita anak-anak karena sistem pertahanan tubuh anak masih rendah (Prabu 2009a). Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) meliputi infeksi akut saluran pernapasan bagian atas dan bawah mulai dari hidung, sinus, ruang telinga tengah, selaput paru sampai gelembung paru. Secara umum ISPA disebabkan oleh efek pencemaran udara terhadap saluran pernapasan yang menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat berhenti sehingga tidak dapat
12
membersihkan saluran pernapasan akibat iritasi oleh bahan pencemar (Rasmaliah 2004). Hal tersebut menyebabkan kesulitan bernapas sehingga benda asing tertarik dan bakteri lain tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernapasan. Penularan ISPA dapat melalui air ludah, darah, bersin serta udara pernapasan yang mengandung kuman.
2.4. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.1 Tahun 2007 tentang penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan mendefinisikan bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Sedangkan menurut Undang- undang RI No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mendefinisikan Ruang
Terbuka
Hijau
(RTH) sebagai
area
memanjang/jalur
dan/atau
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Selanjutnya, tipologi RTH menurut undang- undang tersebut seperti dijelaskan pada Gambar 2.
Sumber Data : Naskah Akedemis Draft RUU PR (2006) diacu dalam Budiyono (2006).
Gambar 2 Tipologi RTH. Berdasarkan fisik kealamiannya, bentuk RTH terbagi menjadi bentuk RTH alami (habitat liar/alami dan kawasan lindung) dan bentuk RTH non alami atau RTH binaan (pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olah raga dan
13
pemakaman). Pembangunan RTH untuk memenuhi berbagai fungsi dasar yang secara umum dibedakan menjadi: a. Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis yang menjamin keberlanjutan suatu wilayah kota secara fisik, RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro, sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat satwa, penyerap (pengolah) polutan dari udara, air dan tanah, serta penahan angin. b. Fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitektural, sosial/budaya, dan fungsi ekonomi merupakan pendukung dan penambah nilai kualitas lingk ungan. Misalnya RTH akan menciptakan suasana serasi dan seimbang antara berbagai bangunan gedung, infrastruktur jalan dengan pepohonan, taman kota serta jalur hijau jalan. Selain itu, RTH dapat menjadi media komunikasi warga, tempat rekreasi, tempat pendidikan dan penelitian. Pola RTH kota merupakan struktur RTH yang ditentukan oleh hubungan fungsional
(ekologis,
sosial,
ekonomi,
arsitektural)
antar
komponen
pembentuknya (Ruhiko 2007) yang terdiri dari: a. RTH struktural merupakan RTH yang mempunyai pola hierarki planologis yang bersifat antroposentris, miaslnya struktur RTH berdasarkan fungsi sosial dalam melayani kebutuhan rekreasi luar ruang (outdoor recreation) penduduk perkotaan (taman perumahan, taman lingkungan, taman kecamatan, taman kota, taman regional dan seterusnya) b. RTH non struktural merupakan RTH yang umumnya tidak mengikuti pola hierarki planologis karena bersifat ekosentris, misalnya struktur RTH yang dibentuk oleh konfigurasi ekologis bentang alam (RTH kawasan lindung, RTH perbukitan yang terjal, RTH sempadan sungai, RTH sempad an danau, RTH pesisir) Berdasarkan status kepemilikan RTH diklasifikasikan menjadi RTH publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki oleh pemerintah dan RTH privat atau non publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan milik privat. Ruang Terbuka Hijau mempunyai kekuatan untuk membentuk karakter kota dan menjaga kelangsungan hidupnya. Penataan RTH dalam Permendagri No. 1 Tahun 2007 ditujukan untuk:
14
a. Menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan b. Mewujudkan kesimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan di perkotaan c. Meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah, bersih dan nyaman
2.5. Pekarangan sebagai Salah Satu Bentuk RTH Proses perjalanan hidup manusia memerlukan unsur estetika, kenikmatan, kebahagiaan dan kenyamanan yang terangkum dalam asrinya lingkungan hidup. Menurut Prasetyo (2006), asrinya lingkungan hidup yang lebih dekat dengan manusia dapat diwujudkan melalui keberadaan pekarangan pada pemukiman. Pekarangan berasal dari kata karang yang berarti pohon-pohonan (Karyono et al. 1977 diacu dalam Prasetyo 2006). Arti kata pekarangan ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh Soemarwoto (1983) bahwa pekarangan adalah sebidang lahan dengan batas tertentu, ada bangunan tempat tinggal di atasnya dan umumnya ditanami dengan berbagai jenis tumbuhan. Dalam rangka mengoptimalkan lahan pekarangan (DPU 2008), maka RTH pekarangan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan atau kebutuhan lainnya. Rumah dengan pekarangan luas dapat dimanfaatkan sebagai tempat menanam tanaman hias dan tanaman produktif (menghasilkan buah-buahan, sayur dan bunga), sedangkan rumah dengan lahan pekarangan yang tidak terlalu luas, dapat dimanfaatkan pula untuk menanam tanaman obat keluarga/apotik hidup dan tanaman pot sehingga dapat menambah nilai estetika sebuah rumah. Sebagai pengefisiensian ruang, tanaman pot dimaksud dapat diatur dalam susunan/bentuk vertikal. Irwan (1992) mengemukakan bahwa ekosistem pekarangan menyimpan potensi yang sangat besar karena memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi yang sangat bermanfaat sebagai sumber karbohidrat, mineral, vitamin dan protein baik yang nabati maupun hewani (karena di pekarangan biasanya juga terdapat ternak), selain itu pekarangan dapat juga dijadikan sebagai media pendidikan misalnya tempat melakukan percobaan-percobaan. Fungsi pekarangan dapat beragam maknanya dan akan berbeda satu dengan lainnya tergantung dari bagaimana pemiliknya mengelola (Prasetyo 2006). Secara
15
terinci Soemarwoto (1983) memilah- milah fungsi pekarangan sebagai berikut: a. Fungsi hidrologi, terlihat dari sedikitnya yang terjadi di pekarangan. b. Pencagaran sumberdaya gen, terwujud dengan adanya banyak jenis di pekarangan. c. Efek iklim mikro, pekarangan menurunkan suhu akibat dari penguapan oleh tumbuhan di dalamnya. d. Fungsi sosial, pekarangan merupakan simbol status penghuninya. e. Fungsi produksi baik produksi subsisten (untuk keperluan sendiri) maupun produksi komersial. f. Fungsi estetika yang memberikan keindahan, kesejukan dan kenyamanan. Jelas bahwa segala macam kegiatan dapat dilaksanakan di pekarangan meliputi aspek estetika, fungsional dan pelestarian lingkungan. Begitu banyak aspirasi penghuninya dapat diaplikasikan di pekarangan sehingga pekarangan dapat dijadikan simbol status penghuninya (Irwan 1992). Vegetasi pekarangan dapat ditata sedemikian rupa sehingga mampu berfungsi sebagai pembentuk ruang, pereduksi pencemar udara, pengendalian suhu udara, memperbaiki kondisi tanah dan sebagainya. Anonim (2008) memberikan kriteria pemilihan vegetasi untuk RTH pekarangan sebagai berikut: a. Memiliki nilai estetika yang menonjol b. Sistem perakaran masuk ke dalam tanah, tidak merusak konstruksi dan bangunan c. Tidak beracun, tidak berduri, dahan tidak mudah patah d. Ketinggian tanaman bervariasi e. Jenis tanaman tahunan atau musiman f. Tahan terhadap hama penyakit tanaman g. Mampu menjerap dan menyerap cemaran udara h. Sedapat mungkin merupakan tanaman yang mengundang kehadiran burung.
2.6. Sikap Sikap dapat didefinisikan sebagai perasaan, pikiran dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya (Sujarwo 2004). Sejalan dengan pernyataan Saragih (2007)
16
sikap pada dasarnya meliputi rasa suka dan tidak suka, penilaian serta reaksi menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap objek, orang, situasi dan mungkin aspek-aspek lain dunia, termasuk ide abstrak dan kebijaksanaan sosial. Menurut Calhoun dan Acocella (1990), suatu sikap adalah sekelompok keyakinan dan perasaan yang melekat tentang objek tertentu dan kecenderungan bertindak terhadap objek tersebut dengan cara tertentu. Jadi sikap belum merupakan suatu tindakan, akan tetapi masih merupakan kecenderungan untuk bertingkah laku (Mar’at 1982 diacu dalam Garnadi 2004). Berdasarkan definisi-definisi tersebut, suatu sikap terbentuk dipengaruhi oleh tiga komponen meliputi komponen kognitif (pengetahuan dan keyakinan), afektif (perasaan/emosi) dan konatif (tindakan). Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional, sedangkan komponen konatif merupakan aspek kecenderungan tingkah laku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang (Sobur 2003 diacu dalam Saragih 2007). Sikap memiliki tiga fungsi (Calhoun & Acocella 1990): a. Fungsi organisasi, keyakinan yang terkandung dalam sikap memungkinkan kita mengorganisasikan pengalaman sosial kita. b. Fungsi kegunaan, kita menggunakan sikap untuk menegaskan sikap orang lain dan selanjutnya memperoleh persetujuan sosial. c. Fungsi perlindungan, sikap menjaga diri dari ancaman terhadap harga diri kita. Sikap dapat diukur secara tidak langsung maupun langsung. Secara tidak langsung dilakukan dengan menanyakan pendapat atau pertanyaan kepada responden terhadap suatu objek, sedangkan secara langsung dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis yang dijawab responden dengan pendapat sanggat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju (Notoadmodjo 2003 diacu dalam Herman 2005).