BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Waduk Saguling Waduk merupakan danau buatan (man made lake) yang dibangun dengan
membendung aliran sungai atau daerah yang berada pada Daerah Aliran Sungai (DAS) telah menjadi wahana dimana masyarakat dapat memanfaatkannya untuk budidaya ikan di perairan darat (Mulyadi dan Atmaja 2011). Waduk memiliki beberapa manfaat diantaranya dapat digunakan sebagai lahan irigasi, PLTA, dan penyedia air baku. Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 35 tahun 1991 pasal 15, pembangunan Waduk yang ditujukan untuk kesejahteraan
dan keselamatan
umum diselenggarakan oleh Pemerintah atau badan usaha milik negara. Waduk Saguling dibangun pada tahun 1985, gagasan pembangunan Waduk kaskade sungai Citarum berasal dari para ahli pengairan pada abad ke 19 setelah melalui survei awal antara lain topografi dan hidrologi.
Waduk ini
merupakan sebuah badan air besar yang memiliki volume air sekitar 2.165 x 105 m3, yang perannya selain mejadi sumber tenaga listrik di pulau Jawa dan Bali, namun dimanfaatkan juga sebagai tempat budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA), pertanian dan pariwisata. Perubahan peruntukan Waduk tersebut berdampak pada peningkatan kepadatan penduduk sekitar Waduk yang bermata pencaharian bertani secara ekstensif dan pembudidaya di KJA. Adanya perubahan peruntukan tersebut berakibat pada percepatan penurunan kualitas perairan Waduk Saguling (Wangsaatmaja 2004). Aliran air sungai yang menjadi sumber pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Saguling hingga saat ini kualitasnya semakin menurun, bahkan kandungan gas ammonium dari air sungai yang tercemar itu telah berdampak pada kerusakan komponen dan peralatan PLTA Saguling karena terjadi korosifitas dan mempengaruhi usia dan peralatan. Pencemaran air sungai yang dihasilkan dari industri ataupun pemukiman yang ada di Bandung Raya itu terindikasi dengan bau gas yang menyengat di kawasan PLTA Saguling (Pikiran Rakyat 2011).
7
8
Meutia dan Emar (2001), menyatakan beban pencemar di sungai Citarum masuk ke Waduk Saguling dan menyebabkan penurunan kualitas air Saguling dimana kandungan oksigen di beberapa tempat di Saguling mendekati nol pada kedalaman lima meter. Menurut PPSDAL- UNPAD Bandung (2012), kualitas air Waduk Saguling telah melebihi baku mutu untuk air minum dan baku mutu untuk budidaya perikanan seperti kegiatan budidaya keramba jaring apung (KJA).
2.2
Kualitas Air untuk Kehidupan Biota. Kualitas air yaitu sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen lain didalam air, yang dinyatakan dengan beberapa parameter, yaitu parameter fisika (suhu, kekeruhan, padatan terlarut), parameter kimia, (pH, Oksigen terlarut, BOD, Kadar logam) dan parameter biologi (kelimpahan plankton, bakteri) (Effendi 2003). Parameter kualitas air yang digunakan untuk keperluan perikanan di Indonesia telah tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Kriteria kualitas air berdasarkan pemanfaatannya memiliki empat kelas dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Air Berdasarkan Peruntukannya. Klasifikasi Air Berdasarkan Kelas
Peruntukan
Kelas 1
Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
Kelas 2
Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana atau sarana rekreasi air. pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain untuk mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaannya tersebut.
Kelas 3
Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mepersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut.
Kelas 4
Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. (Sumber : Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001)
9
Sesuai dengan peraturan yang tertera pada Tabel 1. Untuk keperluan perikanan digunakan klasifikasi kualitas Nomor 3 dan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001, dipaparkan pula mengenai kriteria mutu kualitas air kelas 3 pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Kriteria Mutu Kualitas Air Kelas 3 Parameter Fisika Temperatur (oC) Residu terlarut (mg/L) Residu tersuspensi (mg/L) Kimia pH BOD (mg/L) COD (mg/L) DO (mg/L) Total Fosfor (mg/L) NO3 sebagai N (mg/L) Arsen (mg/L) Kobalt (mg/L) Boron (mg/L) Selenium (mg/L) Cadmium (mg/L) Khrom (mg/L) Tembaga (mg/L) Timbal (mg/L) Air raksa (mg/L) Seng (mg/L) Sianida (mg/L) Flourida (mg/L) Nitrat sebagai N (mg/L) Khlorin bebas (mg/L) Belerang sebagai H2S (mg/L) Amonia sebagai NH3 (mg/L) Mikrobiologi Fecal coliform (jml/100 ml) Total coliform (jml/100 ml) (Sumber : Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 82 Tahun 2001)
2.2.1
Kadar Maksimum
Devisiasi 3 1000 400 6-9 6 50 3 (batas minimum) 1 20 1 0,2 1 0,05 0,01 0,05 0,02 0,03 0,0002 0,05 0,02 1,5 0,06 0,03 0,0002 0,02 2000 10000
Suhu Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur
proses kehidupan dan penyebaran organisme. Perubahan suhu perairan akan mempengaruhi proses-proses biologis yang terjadi di dalam air, yang pada akhirnya akan memengaruhi aktifitas biologis di dalamnya (Abel 1989). Suhu air merupakan faktor penentu serta pengendali kehidupan flora dan fauna akuatis. Jenis dan keberadaan flora dan fauna akuatis sering kali berubah dengan adanya perubahan suhu air. Kenaikan suhu air akan mengakibatkan
10
kenaikan aktifitas biologi, sehingga memerlukan banyak oksigen di dalam perairan tersebut. Peningkatan suhu dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kecepatan metabolisme organisme air, yang selanjutnya akan meningkatkan konsumsi oksigen sehingga mengakibatkan penurunan kelarutan gas dalam air, khususnya oksigen (Boyd 1988). Maramis et al. (2006), menyatakan bahwa hubungan suhu dengan logam berat tidak ada korelasi terhadap kandungan logam berat dalam air.
2.2.2
Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) adalah suatu ukuran dari konsentrasi ion hidrogen
dan menunjukkan kondisi air. Perairan dengan tingkat pH lebih kecil dari 4,8 dan lebih besar dari 9,2 sudah dapat dianggap tercemar (Brook et al. 1989). Ikan yang hidup di perairan air tawar, angka pH yang dianggap sesuai untuk kehidupan ikanikan tersebut berkisar 6,5 hingga 8,4. Sementara itu kebanyakan jenis ganggang tidak dapat hidup di perairan dengan pH lebih dari 8,5 (Asdak 2001). Nilai pH akan mempengaruhi konsentrasi logam berat di perairan, dalam hal ini kelarutan logam berat akan lebih tinggi pada pH rendah, sehingga menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar. Umumnya pada pH yang semakin tinggi, maka kestabilan akan bergeser dari karbonat ke hidroksida. Hidroksida ini mudah sekali membentuk ikatan permukaan dengan partikel yang terdapat pada badan perairan. Senyawa hidroksida dengan partikel-partikel yang ada di badan perairan akan mengendap dan membentuk lumpur (Zulfa 2011). Menurut PP no.82 tahun 2001, tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, pH yang baik untuk kegiatan perikanan adalah 6-9.
2.2.3
Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dapat didefinisisan sebagai kadar oksigen yang terlarut
dalam suatu badan perairan. Kadar oksigen terlarut di perairan alami sangat bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfir. Semakin besar suhu dan ketinggian serta semakin kecil tekanan atmosfir, maka kadar oksigen terlarut semakin kecil. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi
11
secara harian dan musiman, tergantung pada pencampuran dan pergerakan massa air, aktifitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk ke badan air (Effendi 2003). Oksigen terlarut yang rendah pada air mengakibatkan sensifitas ikan terhadap zat kimia akan meningkat. Kandungan oksigen terlarut dapat dijadikan petunjuk adanya pencemaran bahan organik di perairan. Jika bahan organik melimpah maka aktifitas bakteri yang menguraikannya menjadi bertambah sehingga oksigen terlarut menjadi rendah karena dikonsumsi oleh bakteri (Effendi 2003). Menurut PP Nomor 82 tahun 2001 oksigen terlarut yang baik untuk kegiatan perikanan minimal 3 mg/L. Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas yang paling penting bagi kehidupan biota perairan (Effendi 2003).
2.3
Karakteristik Dan Toksisitas Logam Berat Air tawar mengandung logam yang berasal dari buangan air limbah, erosi,
dan dari udara secara langsung. Air tawar mengandung material anorganik dan organik yang lebih banyak dari air laut. Material tersebut mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi logam, sehingga pencemaran logam pada air tawar lebih mudah terjadi (Alaerts 1984). Logam yang memiliki nomor atom besar biasanya disebut dengan logam berat apabila dalam jumlah kecil diperlukan untuk hidup sebagai elemen mikro seperti besi, tembaga dan seng. Subowo et al. (1999), menyatakan logam berat adalah unsur logam yang mempunyai massa jenis logam lebih dari 5 g/cm3, antara lain Cd, Hg, Pb, Zn, dan Ni. Logam berat Cd dan Pb dinamakan logam berat non esensial dan pada tingkat tertentu menjadi logam beracun bagi makhluk hidup. Menurut Palar, (1994) apabila logam esensial ini masuk dalam jumlah berlebihan maka akan berubah fungsi menjadi zat racun bagi tubuh. Menurut Sarjono (2009) logam berat memiliki sifat diantaranya, yaitu : 1. Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan kebanyakan secara alami sulit terurai.
12
2. Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan, dan akan membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi organisme tersebut. 3. Mudah terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam dalam air. Disamping itu sedimen mudah tersuspensi karena pergerakan masa air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalam sekala waktu tertentu. Logam berat ialah unsur logam dengan berat molekul tinggi, dalam kadar rendah pada umumnya sudah beracun bagi makhluk hidup. Logam berat ini dapat berbentuk organik, anorganik terlarut atau terikat dalam suatu partikel (Harahap 1991). Sesuai dengan pernyataan Hamidah (1980), bahwa logam-logam di dalam perairan ditemukan dalam dua bentuk, yaitu: 1. Terlarut, adalah ion logam bebas air dan logam yang membentuk kompleks dengan senyawa organik dan anorganik. 2. Tidak terlarut, terdiri dari partikel yang berbentuk koloid dan senyawa kompleks metal yang terabsorbsi pada zat tersuspensi. Secara umum logam berat memiliki pengaruh yang negatif pada proses biologi utamanya dalam keadaan terlarut bahkan dalam bentuk suspensi diketahui beracun bagi ikan dan manusia yang mengkonsumsinya. Unsur logam berat ini dapat terakumulasi dalam tubuh organisme sebagai akibat terjadinya interaksi antara logam berat dan sel atau jaringan tubuh organisme tersebut (Syahminan 1996). Secara langsung maupun tidak langsung toksisitas dari polutan itulah yang kemudian menjadi pemicu terjadinya pencemaran pada lingkungan sekitar, apabila kadar logam berat sudah melebihi ambang batas yang ditentukan dapat membahayakan bagi kehidupan (Koestoer 1995). Kelompok elemen esensial maupun non esensial dapat bersifat toksik atau racun bagi kehidupan biota perairan, terutama apabila terjadi peningkatan kadarnya dalam perairan. Oleh sebab itu, logam berat dapat mengumpul (terakumulasi) di dalam tubuh suatu biota dan tetap tinggal dalam tubuh dalam jangka waktu yang lama sebagai racun (Fardiaz 2005).
13
Tingginya kandungan logam berat di suatu perairan dapat menyebabkan kontaminasi, akumulasi bahkan pencemaran terhadap lingkungan seperti biota, sedimen, air dan sebagainya (Lu 1995). Laws (1981), berdasarkan kegunaannya, logam berat dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu: 1. Golongan yang dalam konsentrasi tertentu berfungsi sebagai mikronutrien yang bermanfaat bagi kehidupan organisme perairan, seperti Zn, Fe, Cu, Co. 2. Golongan yang sama sekali belum diketahui manfaatnya bagi organisme perairan, seperti Hg, Cd, dan Pb. Menurut Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1990) dalam Marganof (2003), sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokan ke dalam 3 kelompok, yaitu bersifat toksik tinggi yang terdiri dari atas unsurunsur Hg, Cd, Pb, Cu dan Zn (Tabel 3), bersifat toksik sedang terdiri dari unsurunsur Cr, Ni dan Co, sedangkan bersifat tosik rendah terdiri atas unsur Mn dan Fe. Tabel 3. Standar Baku Mutu Air Terhadap Logam Berat Standar Baku Perikanan (mg/l)* EPA (ppm)**
Logam
Simbol
Timbal
Pb
0,01
0,065
Kadmium
Cd
0,01
0,0043
Keterangan : * PP No 82 tahun 2001 ** Environmental Protection Agency. 1973. Water Quality Criteria (Sumber : Erlangga 2007)
Menurut Darmono (1995), sifat logam berat sangat unik, tidak dapat dihancurkan secara alami dan cenderung terakumulasi dalam rantai makanan melalui proses biomagnifikasi. Menurut Erlangga (2007), Pecemaran logam berat ini menimbulkan berbagai permasalahan diantaranya : 1. Berhubungan dengan estetika (perubahan bau, warna dan rasa air). 2. Berbahaya bagi kehidupan tanaman dan binatang. 3. Berbahaya bagi kesehatan manusia. 4. Menyebabkan kerusakan pada ekosistem
14
Faktor yang memengaruhi tingkat toksisitas logam berat antara lain suhu, salinitas, pH, dan kesadahan. Penurunan pH dan salinitas perairan menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar. Peningkatan suhu menyebabkan toksisitas logam berat meningkat. Sedangkan kesadahan yang tinggi dapat mengurangi toksisitas logam berat, karena logam berat dalam air dengan kesadahan tinggi membentuk senyawa kompleks yang mengendap dalam air. Tingkat toksisitas logam berat untuk biota perairan dipengaruhi oleh jenis logam, spesies biota, daya permeabilitas biota, dan mekanisme detoksikasi (Darmono 2001).
2.3.1
Logam Berat Timbal (Pb). Timbal (Pb) termasuk kedalam logam-logam golongan IV-A dengan
nomor atom 207,21 yang secara alami ditemukan dalam tanah. Logam ini merupakan logam organik yang berwarna putih kebiru-biruan, berat dan lunak. Kebanyakan logam berat Pb ditemukan dalam bentuk senyawa dengan unsur lain. Logam berat Pb tidak menghasilkan bau dan tidak berasa dan dapat bereaksi dengan senyawa-senyawa organik seperti timbal oksida (PbO), timbal klorida (PbCl2), dan lain-lain. Logam berat Pb banyak terkandung di dalam batuan bumi, dan dapat terlepas ke lingkungan akibat letusan gunung berapi, siklus geokimia, atau semburan dari dasar laut, dan sumber logam berat itu sendiri dapat berasal dari aktifitas manusia (industri). Logam berat Pb secara alami tersebar luas pada batuan dan lapisan kerak bumi (Clark 1986 dalam Erlangga 2007). Sudarmaji et al. (2006) menyatakan bahwa, industri yang berpotensi sebagai sumber pencemaran logam berat Pb adalah semua industri yang memakai logam berat Pb sebagai bahan baku maupun bahan penolong , misalnya pada industri pengecoran maupun pemurnian, industri battery, industri bahan bakar, industri kabel, industri kimia yang menggunakan bahan pewarna. Logam berat Pb memiliki sifat-sifat khusus yaitu : 1. Merupakan logam yang lunak. 2. Merupakan logam yang tahan terhdap peristiwa korosi atau karat. 3. Memiliki kerapatan yang lebih besar disbanding dengan logam-logam biasa kecuali emas dan merkuri.
15
4. Memiliki titk lebur yang rendah 327,5oC. 5. Merupakan penghantar listrik. (www.diskusiskripsi.com) Logam berat Pb dapat mencemari lingkungan udara yang sangat tinggi disebabkan logam berat Pb merupakan hasil sampingan dari pembakaran kendaraan bermotor (Darmono 1995), serta logam berat Pb dapat masuk ke dalam badan perairan melalui pengkristalan logam berat Pb di udara dengan bantuan air hujan (Heryando 2004). Senyawa ini diketahui memilki daya racun yang kuat. Konsentrasi logam berat Pb yang mencapai 188 mg/L dapat mebunuh ikan, sedangkan krustase setelah 245 jam akan mengalami kematian, apabila pada badan air konsentrasi logam berat Pb adalah 2,75-49 mg/L (Palar 2004). Menurut Rahde dalam Widowati et al (2008), masuknya logam berat Pb bisa terjadi melalui jalur oral (lewat makanan, minuman) pernafasan, kontak lewat kulit, kontak lewat mata serta lewat parental. Orang dewasa mengabsorbsi logam berat Pb sebesar 5-15% dari keseluruhan logam berat Pb yang dicerna, sedangkan anak-anak mengabsorbsi logam berat Pb lebih besar yaitu 41,5% (Widowati et al 2008). Paparan bahan pencemaran logam berat Pb dapat menyebabkan gangguan pada organ yaitu, gangguan neurologi, gangguan terhadap fungsi ginjal, gangguan terhadap sistem reproduksi, gangguan terhadap sistem hemolitik, dan gangguan terhadap sistem syaraf (Sudarmaji 2006).
2.3.2
Logam Kadmium (Cd) Kadmium (Cd) memiliki nomor atom 48, berat atom 112,40 dengan titik
cair 321ºC dan titik didih 765ºC. Logam berat Cd merupakan logam alami dalam kerak bumi yang tidak memiliki rasa maupun aroma spesifik (SNI 7387:2009). Menurut Palar (2004), kadmium merupakan logam lunak (ductile) berwarna putih perak dan mudah teroksidasi. Logam berat Cd merupakan salah satu jenis logam berat yang berbahanya karena elemen ini beresiko tinggi terhadap pembuluh darah. Apabila kadmium masuk ke dalam tubuh maka sebagian besar akan terkumpul di dalam ginjal, hati
16
dan sebagian dikeluarkan lewat saluran pencernaan. Logam berat Cd biasa ditemukan sebagai mineral yang terikat dengan unsur-unsur lain seperti oksigen, klorin dan sulfur (Sudarmaji 2006). Menurut Clark (1986) dalam Erlangga (2007), sumber logam berat Cd yang berasal dari perairan berasal dari : 1. Uap, debu dan limbah dari pertambangan timah dan seng. 2. Air bilasan dari elektroplating. 3. Besi, tembaga dan industri logam non ferrous yang menghasilkan abu dan uap serta limbah dan endapan yang mengandung kadmium. 4. Seng yang digunakan untuk melapisi logam mengandung kira-kira 0,2% logam berat Cd sebagai bahan ikutan (impurity); semua Cd ini akan masuk ke perairan melalui proses korosi dalam kurun waktu 4-12 tahun. 5. Pupuk pospat dan endapan sampah. Logam berat Cd akan mengalami proses biotransformasi dan bioakumulasi dalam organisme hidup (tumbuhan, hewan dan manusia). Dalam biota perairan jumlah
logam
yang
terakumulasi
akan
terus
mengalami
peningkatan
(biomagnifikasi) dan dalam rantai makanan biota yang tertinggi akan mengalami akumulasi logam berat Cd yang lebih besar. Apabila manusia terpapar akut oleh logam berat Cd menyebabkan gejala mual (nausea), muntah, diare, kram otot, anemia, dermatitis, pertumbuhan lambat, kerusakan ginjal dan hati, gangguan kardiovaskular, episema, dan degenerasi testicular (Reagan dan Mast 1990 dalam Sudarmaji 2006). Menurut SNI 7387:2009, dalam kondisi asam lemah kadmium akan mudah terabsorbsi ke dalam tubuh. Sebanyak 5% logam berat Cd diserap melalui saluran pencernaan dan terakumulasi dalam hati dan ginjal. Toksisitas timbal terhadap organisme akuatik berkurang dengan meningkatnya kesadahan dan kadar oksigen terlarut. Toksisitas timbal lebih rendah daripada kadmium (Cd), merkuri (Hg), dan tembaga (Cu) akan tetapi lebih toksik daripada kromium (Cr), mangan (Mn), barium (Ba), zinc (Zn), dan Besi (Fe). Toksisitas kadmium dipengaruhi oleh pH dan kesadahan. Keberadaan zinc dan logam berat Pb dapat meningkatkan toksisitas logam berat Cd (Effendi 2000).
17
2.4
Mekanisme Masuknya Logam Berat Pada Ikan. Kemampuan suatu jaringan organ tubuh biota mengakumulasi Cd dan Pb
dalam air atau sedimen dapat dianalisis menggunakan faktor biokonsentrasi. Faktor biokonsentrasi adalah proses perpindahan logam berat dari air ke dalam jaringan biota sehingga kepekatannya melebihi beberapa kali sumbernya. Proses biokonsentrasi logam berat dalam organ tubuh biota mencakup pemindahan unsur atau senyawa kimia dari dalam air melalui jaringan insang, kulit dan saluran pencernaan makanan (Harteman 2011) Ikan memperoleh pasokan oksigen dari insang dengan difusi melalui membran bagian luarnya. Senyawa kimia masuk melalui insang yang langsung bersentuhan dengan lingkungan air dan setelah melewati insang, bahan-bahan kimia termasuk logam berat Pb dan Cd akan terbawa ke dalam sistem pernafasan dan akan menembus sel epitel endothelial kapiler darah sehingga masuk ke dalam darah. Selanjutnya akan terikat ke dalam aliran darah dan akhirnya masuk dalam proses metabolisme (Connel 1995). Proses pengambilan (up-take) logam berat dari perairan melalui insang sangat tergantung dari fungsi ventilation yaitu masuknya sejumlah air ke dalam insang sebagai akibat dari kontraksi otot filamen insang, dan juga kinerja mekanisme pompa operkulum yang akan menyedot air dari luar untuk masuk ke dalam rongga antara operkulum dan insang (Hughes et al. 1973). Besarnya volume air yang masuk akan sangat tergantung dari ukuran bukaan mulut ikan dan bukaan operkulum (Brown dan Muwir 1970 dalam Hughes et al. 1973). Senyawa logam berat Pb dan Cd yang masuk bersama makanan, akan masuk ke dalam alur pencernaan, setelah mengalami absorbsi di usus, senyawa logam berat Pb dan Cd akan dibawa ke hati oleh vena porta hepatik. Selanjutnya di dalam hati senyawa logam berat Pb dan Cd mengalami metilasi lambat menjadi Pb2+ dan Cd2+, kemudian akan masuk ke dalam darah dan akan teroksidasi sempurna menjadi logam berat Pb dan Cd bivalensi. Bersama peredaran darah, Pb2+ dan Cd2+ yang masuk ke hati akan mengalami metabolisme, terdegradasi dan melepaskan Pb2+ dan Cd2+, sehingga dapat menghambat enzim proteolitik dan menyebabkan kerusakan sel (Lu 1995). Ochiai dalam Connel dan Miller (1995),
18
telah membagi mekanisme toksisitas ion-ion logam secara umum ke dalam tiga kategori yaitu: a. Menahan gugus fungsi biologi yang esensial dalam biomolekul (misalnya protein dan enzim). b. Menggantikan ion logam esensial dalam biomolekul. c. Mengubah konformasi biomolekul. Logam berat Pb dan Cd yang tadinya masuk ke dalam hati akan terbagi dua yaitu sebagian akan terakumulasi pada hati, sedangkan sebagian lainnya akan masuk ke empedu. Dalam kantong empedu, Logam berat akan dirombak menjadi senyawa logam berat Pb dan Cd anorganik yang kemudian akan dikirim lewat darah ke ginjal, dimana sebagian akan terakumulasi pada ginjal dan sebagian lagi dibuang bersama urin (Palar 1994). Jumlah logam berat Pb dan Cd yang terakumulasi pada tubuh ikan tergantung dari ukuran, umur dan kondisi ikan. Distribusi dan akumulasi logam tersebut sangat berbeda-beda untuk organisme air. Hal ini tergantung pada spesies, konsentrasi logam dalam air, pH, fase pertumbuhan dan kemampuan untuk pindah tempat (Darmono, 1995). Sanusi (1980) dalam Darmono (2003), mengemukakan bahwa proses akumulasi logam berat Pb dan Cd di dalam tubuh hewan air terjadi karena pengambilan logam berat Pb dan Cd (uptake rate) oleh organisme air lebih cepat dibandingkan dengan proses ekskresi. Menurut Darmono (1995), senyawa-senyawa kimia yang telah berikatan dengan protein dan membentuk metallotionein tersebut akan dibawa oleh darah. Faktor yang mempengaruhi daya toksisitas logam dalam air terhadap makhluk hidup adalah sebagai berikut : 1. Bentuk ikatan kimia dari logam yang terlarut. Logam memiliki beberapa tingkat bahaya tergantuh bentuk ikatan unsur dan senyawa. Contohnya Cr6+ bersifat toksik bila dibandingkan dengan Cr3+. 2. Pengaruh interaksi antar logam dan toksikan lainnya 3. Pengaruh lingkungan seperti suhu, salinitas, pH dan kadar oksigen yang terlarut dalam air (DO).
19
4. Kondisi biota, fase siklus hidupnya, besar ukuran organisme, jenis kelamin dan kecukupan kebutuhan nutrisi. 5. Kemampuan biota untuk menghindar dari pengaruh polusi. Logam berat Pb dan Cd merupakan logam yang terlibat dalam proses enzimatik, terikat dengan protein (ligan binding). Ikatan logam berat Pb dan Cd dengan protein jaringan membentuk senyawa metallotionein. Metallotionein merupakan protein aditif yang berperan dalam proses homeostatis organisme dalam mentolelir logam berat (Darmono 1995).
2.5
Deskripsi Ikan Patin (Pangasius sp) Ikan patin (Pangasius sp) merupakan ikan air tawar yang memiliki nilai
ekonomis penting di Jawa Barat. Departemen Kementrian Perikanan dan Aquaculture FAO (Food and Agriculture Organization) menempatkan patin di urutan kelima setelah ikan mas (Cyprinus carpio), nila (Oreochromis niloticus), lele (Clarias sp) dan gurami (Osphronemus gouramy). Ikan patin memiliki berbagai keunggulan diantara ikan air tawar lainnya, diantaranya sebagai ikan yang rakus terhadap makanan sehingga dalam enam bulan ikan patin dapat mencapai panjang 35-40 cm, selain itu ikan ini tidak memerlukan aliran air yang deras dan mampu hidup dalam kadar DO yang rendah (Gufran dan Kordi 2010). Menurut Saanin (1984), Secara taksonomi ikan patin diklasifikasikan sebagai berikut: Filum Sub filum Kelas Sub kelas Ordo Sub ordo Famili Genus Spesies
: Chordata : Vertebrata : Pisces : Teleostei : Ostariophysi : Siluroidea : Pangasidae : Pangasius : Pangasius sp
Khairuman dan Suhenda (2009), menyatakan ikan patin banyak ditemukan di sungai dan danau karena ikan ini merupakan ikan yang hidup di perairan umum. Menurut Djariah (2001), ikan patin memiliki warna tubuh putih keperakperakan dan punggung kebiru-biruan, bentuk tubuh memanjang, kepala relatif
20
kecil, ujung kepala terdapat mulut yang dilengkapi dua pasang sungut pendek, pada sirip punggung memiliki sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi patil yang bergerigi dan besar di sebelah belakangnya. Sirip ekor membentuk cagak dan bentuknya simetris (Gambar 2). Ikan patin tidak mempunyai sisik, sirip dubur relatif panjang yang terletak di atas lubang dubur terdiri dari 30-33 jari-jari lunak sedangkan sirip perutnya memiliki enam jari-jari lunak, dan sirip dada mempunyaii 12-13 jari-jari lunak (Susanto dan Amri 2002).
Gambar 2. Pangasius sp Sifat-sifat biologis yang dimiliki ikan patin yaitu nokturnal atau melakukan aktifitas pada malam hari seperti halnya catfish lainnya, dan muncul ke permukaan air untuk mengambil oksigen langsung dari udara karena memiliki alat bantu pernafasan berupa labyrinth. Ikan patin merupakan ikan sungai, muara sungai, dan danau. Larva ikan patin dapat hidup pada perairan sampai salinitas 5 ppt. Patin biasanya bersembunyi di dalam liang-liang di tepi sungai habitat hidupnya dan termasuk ikan dasar, hal ini bisa dilihat dari bentuk mulutnya yang agak ke bawah (Susanto dan Amri 2002). Ikan patin mampu bertahan hidup pada perairan yang kondisinya sangat jelek dan akan tumbuh normal di perairan yang memenuhi persyaratan ideal sebagaimana habitat aslinya. Kandungan oksigen (O2) yang cukup baik untuk kehidupan ikan patin berkisar 2-5 ppm dengan kandungan karbondioksida (CO2) tidak lebih 12,0 ppm. Nilai pH atau derajat keasaman adalah 7,2-7,5, konsentrasi sulfida (H2S) dan ammonia (NH3) yang masih dapat ditoleransi yaitu 1 ppm. Keadaan suhu air yang optimal untuk kehidupan ikan patin antara 280-290C, dan
21
menyukai perairan yang memiliki fluktuasi suhu rendah, kehidupannya mulai terganggu apabila suhu perairan menurun sampai 140-150C ataupun meningkat diatas 350C, selain itu aktifitas pergerakannya terhenti apabila perairan mencapai suhu dibawah 60C atau diatas 420C (Djariah 2001). Menurut Djariah (2001),
Ikan patin memerlukan sumber energi yang
berasal dari makanan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Patin merupakan ikan pemakan segala (omnivora), tetapi cenderung ke arah karnivora. Patin di alam makanan utama ikan patin berupa udang renik (crustacea), insekta dan moluska. Sementara makanan pelengkapnya berupa rotifera, ikan kecil dan daun-daunan yang ada di perairan (Susanto dan Amri 2002). Ikan patin adalah jenis ikan yang memiliki banyak keunggulan diantaranya sebagai salah satu bahan makanan yang mengandung berbagai macam zat nutrisi, memiliki tekstur dagingnya yang lembut serta rasanya gurih, dan mengandung banyak lemak serta tidak terlalu berduri sehingga dapat dimakan segar maupun dibuat fillet. Sebagai salah satu sumber protein hewani, patin mengandung asam lemak tak jenuh (omega-3), yodium, selenium, flourida, zat besi, magnesium, zink, taurin, dan coenzyme Q10. Tubuh ikan patin didominasi oleh daging, yaitu mencapai 49 %, sedangkan komposisi lainnya yaitu kulit, tulang, kepala, jeroan dan gelembung renang (Faridah 2012). Komposisi kimia ikan patin segar menurut Maghfiroh (2000) disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Komposisi Kimia Daging Ikan Patin (Pangasius sp). Komposisi Kadar (%) Air Abu Protein Lemak Karbohidrat
82,22 0,74 14,53 1,09 1,43
Sumber : Maghfiroh (2000)
2.6
Histopatologi. Histopatologi adalah cabang biologi yang mempelajari kondisi dan fungsi
jaringan dalam hubungannya dengan penyakit. Histopatologi sangat penting
22
dalam kaitan dengan diagnosis penyakit karena salah satu pertimbangan dalam penegakan diagnosis adalah melalui hasil pengamatan terhadap jaringan yang diduga terganggu. Histopatologi dapat dilakukan dengan mengambil sampel jaringan atau dengan mengamati jaringan setelah kematian terjadi. Pembuatan preparat histopatologi disebut mikroteknik. Pembuatan preparat histopatologi terdiri dari tiga tahapan besar yaitu fiksasi jaringan dan parafinasi, pemotongan jaringan serta pewarnaan jaringan (Angka et.al. 1990.).
2.6.1
Insang dan Histopatologinya Insang terdiri atas lengkung insang yang tersusun dari tulang rawan
berwarna putih memiliki fungsi sebagai penopang insang, gill racker berfungsi sebagai penyaring air pernafasan yang melalui insang, dan filamen (lamela primer) insang yang tersusun dari jaringan lunak yang berbentuk seperti sisir berwarna merah muda yang menjadi tempat pertukaran oksigen, karena dalam filamen insang memiliki banyak pembuluh kapiler dan sebagai cabang dari arteri insang. Tiap filamen insang mempunyai banyak lamela sekunder dengan dinding tipis (Erlangga 2007). Lamela primer memiliki epithelium sehingga pada lamela primer memiliki beberapa lapis sel, pada lamela ini terdapat 2 bentuk sel yaitu sel chloride dan sel monocyte. Sel chloride berfungsi sebagai tempat pertukaran garam, pembuangan garam pada ikan laut dan pengambilan garam untuk ikan tawar, serta sel monocyte berfungsi sebagai penghasil mucus (Erlangga 2007). Faktor yang menyebabkan kerusakan histologi ikan adalah adanya zat penyebab iritasi yang terus menerus masuk kedalam sel atau jaringan dan kemudian dapat mempengaruhi kehidupan organisme (Moyes 2006 dalam Widayati et al. (2009). Toksisitas logam berat yang melukai insang dan struktur jaringan luar lainnya dapat menimbulkan kematian terhadap insang yang disebabkan oleh proses anoxemia yaitu terhambatnya fungsi pernafasan yakni sirkulasi dan ekskresi dari insang (Erlangga 2007). Menurut penelitian Harteman (2011), akumulasi Hg, Cd dan Pb yang tersebar dalam jaringan sel insang ikan Badukang, ikan Sembilang di muara
23
sungai Kahayan dan Ketingan memiliki toksisitas subletal Hg, Cd dan Pb yang dapat menyebabkan nekrosis, lisis, autrofi dan hipertrofi (Gambar 3.).
a. Insang Normal
b. Insang yang Rusak
Gambar 3. Kondisi Histologi Insang Ikan Badukang yang Tercemar Logam Berat dengan Pewarnaan H & E. (Sumber: Harteman 2011) Pada Gambar 3. tersebut terlihat adanya abnormalisasi yang terjadi pada insang ikan Badukang yang menyebabkan terganggunya sistem pernafasan diantaranya nekrosis, lisis, autrofi dan hipertrofi menyebabkan kemampuan sel lamela menyaring oksigen menurun. Hal ini menyebabkan kegiatan sel jaringan insang menyaring dan menyerap semakin meningkat, sehingga konsentrasi Hg, Cd dan Pb di dalam sel jaringan insang semakin tinggi. Hg, Cd dan Pb yang terkandung dalam air laut terakumulasi dalam sel lamela insang dengan cara difusi menembus selaput sel (Heath 1987).
2.6.2
Hati dan Histopatologinya Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh yang merupakan organ vital dan
berfungsi sebagai detoksifikasi serta mensekresikan bahan kimia yang digunakan untuk proses pencernaan, selain itu berperan penting dalam proses metabolisme dan transformasi bahan pencemar di lingkungan, dengan demikian hati merupakan organ yang paling banyak mengakumulasi zat toksik sehingga mudah terkena efek toksik (Ressang 1984 dalam Juhriyyah 2008). Sebagian zat toksik yang masuk ke dalam tubuh setelah diserap oleh sel akan dibawa ke hati oleh vena porta hati, sehingga hati berpotensi mengalami
24
kerusakan. Zat toksik tersebut dapat mempengaruhi struktur histologi hati sehingga mengakibatkan patologis hati seperti pembengkakan sel, rangkaian nekrosis atau bridging nekrosis, degenerasi intralobular dan fokal nekrosis, fibriosis dan cirrhosis (Loomis 1978). Menurut penelitian Harteman (2011), nekrosis hati pada ikan dengan morfologi abnormal cenderung lebih tinggi dibandingkan ikan normal, hal ini terjadi karena logam berat yang terakumulasi di dalam sel jaringan organ hati melebihi ambang batas toleransi optimum. Akumulasi Hg, Cd, dan Pb dalam jaringan hati ikan Badukang dan ikan Sembilang menyebabkan nekrosis, lisis dan hipertrofi. Kerusakan jaringan tersebut menyebabkan fungsi detoksifikasi, produksi empedu, dan kemampuan sel hati menyimpan gula menurun. Perubahan Struktur gambaran hati dapat dilihat pada Gambar 4.
a. Hati Ikan Morfologi Normal
b. Hati Ikan Morfologi Abnormal
Gambar 4. Kondisi Histologi Hati Ikan Badukang yang Tercemar Logam Berat dengan Pewarnaan H & E. (Sumber : Harteman 2011)
2.6.3
Daging dan Histopatologinya Otot lurik merupakan komponen utama pembentuk daging pada ikan.
Serabut otot lurik terdiri dari sarkoplasma, myofibril, nukleus dan sarkolema. Sarkoplasma mengisi ruang diantara myofibril, terutama terdapat di sekitar nukleus dan akhir dari inervasi syaraf serabut. Sarkoplasma adalah pemasok bahan makanan dan berperan penting dalam kontraksi otot, serta memiliki nukleus
25
berbentuk oval atau gelendong yang tajam dan bervariasi di dalam beberapa ukuran (Hibiya 1995). Perubahan patologis yang terjadi pada otot antara lain perubahan serabut otot, perubahan nucleus sel otot, bengkak berawan (cloudy swellimg), degenerasi hyaline, degenerasi granular, degenerasi lemak sampai nekrosa serabut otot infiltrasi sel-sel radang menunjukkan derajat keparahannya dan membantu menentukan kausanya. Jenis-jenis sel radang yang biasa ditemui antara lain limfosit, neutrofil, histosit, dan fibroblast dari endomisium. Hemoragi pada jaringan dan kongesti pembuluh darah dapat diidentifikasi dari eritrosit pada preparat histopatologi. Udema merupakan bentuk patologi karena adanya penumpukan lokasi antar serabut menjauh dan meregang (Hibiya 1995). Hasil penelitian Harteman (2011), jaringan otot ikan Badukang, ikan Sembilang di muara sungai Kahayan dan Katingan tidak mengandung logam berat Hg, Cd serta Pb kecuali dalam sel darah, jaringan ikat, dinding pembuluh darah dan sekitarnya (Gambar 5.).
a. Daging Ikan Morfologi Normal
b. Daging Ikan Morfologi Abnormal
Gambar 5. Kondisi Histologi Otot Ikan Badukang Yang Tercemar Logam Berat dengan Pewarnaan H & E. (Sumber : Harteman 2011)