BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan Umum Kepariwisataan
Pariwisata merupakan kegiatan yang dilakukan di luar untuk melepaskan diri
dari hal-hal yang rutin dilakukan sehari-hari. Oleh karena itu, biasanya kegiatan
dalam kepariwisataan selalu ada perpindahan yang terjadi (pergi ke suatu tempat). Untuk penjelasan yang lebih jelas dalam hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan kepariwisataan akan dijelaskan pada sub bab berikut ini:
2.1.1
Pengertian Pariwisata
Menurut Sihite (2000), pariwisata adalah perjalanan yang direncanakan oleh seseorang bukan untuk mencari nafkah atau menetap di tempat tersebut. Perjalanan yang dilakukan berupa kegiatan tamasya atau rekreasi dan biasanya dilakukan untuk sementara waktu. Dalam hal ini pernyataan Fandeli (2001), menguatkan dengan menyatakan pariwisata adalah keseluruhan kegiatan, proses dan kaitan-kaitan yang berhubungan dengan perjalanan dan persinggahan dari orang-orang di luar tempat tinggalnya serta tidak dengan maksud mencari nafkah. Pariwisata menurut Schularad (dalam Subadra, 2007), adalah sejumlah kegiatan terutama yang ada kaitannya dengan kegiatan perekonomian yang secara langsung berhubungan dengan masuknya adanya pendiaman dan bergeraknya orang-orang keluar masuk suatu kota atau daerah dan negara. Sedangkan definisi pariwisata menurut WTO (dalam Muljadi, 2010), Pariwisata merupakan berbagai kegiatan yang dilakukan sekelompok orang yang mengadakan perjalanan untuk tinggal di luar kebiasaan lingkungannya dan tidak lebih dari satu tahun berturut-turut untuk kesenangan, bisnis, dan keperluan lain. Berdasarkan beberapa pengertian pariwisata di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pariwisata merupakan kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang untuk dapat berpindah tempat dari daerah asal menuju daerah tujuan yang baru, dimana tujuan dari kegiatan ini bukan untuk mencari nafkah ataupun menetap di
daerah yang baru. Oleh karena itu, pariwisata merupakan kegiatan yang bersifat
sementara. Pariwisata juga memberikan dampak negatif bagi alam akibat kunjungan wisatawan, untuk itu perlu dikembangkan pariwisata yang dapat mengurangi dampak
negative tersebut, seperti wisata ekologi atau sering disebut ecotourism.
2.1.2 Pengertian Ecotourism Wisata ekologi atau sering disebut ecotourism merupakan salah satu jenis wisata yang termasuk ke dalam jenis wisata minat khusus. Wisata ekologi ini berbeda dengan wisata yang dilakukan secara massal pada umumnya. Pengertian dari wisata
ekologi pertama kali dikemukakan oleh organisasi The Ecotourism Society (dalam Fandeli, 2000), yang menyatakan bahwa wisata ekologi adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Semula wisata ekologi dilakukan oleh wisatawan pecinta alam yang menginginkan di daerah tujuan wisata tetap utuh dan lestari, di samping budaya dan kesejahteraan masyarakatnya tetap terjaga. Pengertian lain dikemukakan oleh Australian Department of Tourism (dalam Fendeli, 2000), yang berpendapat bahwa wisata ekologi adalah wisata berbasis pada alam dengan mengikutkan aspek pendidikan dan interpretasi terhadap lingkungan alami dan budaya masyarakat dengan pengelolaan kelestarian ekologis. Pengertian ini memperjelas bahwa wisata ekologi bukan seperti bentuk pariwisata lain yang hanya berbasis bisnis, melainkan wisata ekologi
lebih cenderung mengarah kepada
pariwisata minat khusus, alternative tourism atau special interest tourism dengan obyek dan daya tarik wisata alam Definisi yang dikemukakan menurut World Conservation Union (1996) : “Ecotourism is environmentally responsible travel and visitation to natural areas, in order to enjoy and appreciate nature (and any accompanying cultural features, both past and present) that promote conservation, have a low visitor impact and provide for beneficially active socio-economic involvement of local peoples.”
Wisata
ekologi
dapat diartikan sebagai
perjalanan dalam lingkungan
bertanggung jawab dan mengunjungi kawasan alam untuk menikmati dan menghargai alam (dan keistimewaan budaya masa lalu maupun masa kini). Dimana
perjalanan ini menaikkan fungsi konservasi, sedikit memiliki pengaruh akibat pengunjung yang melakukan perjalanan, dan menyediakan manfaat sosial-ekonomi
secara langsung untuk penduduk lokal. Lascurian (dalam Multiply, 2010), mengemukakan bahwa wisata ekologi adalah pariwisata yang menyangkut perjalanan ke kawasan alam yang secara relatif belum terganggu dengan tujuan untuk mengagumi, meneliti, dan menikmati pemandangan
indah seperti: tumbuh-tumbuhan, binatang liar, termasuk unsur kebudayaan yang ditemukan di daerah tujuan. Menurut Ismayanti (2010), wisata ekologi adalah perjalanan yang disengaja ke kawasan-kawasan alamiah untuk memahami budaya dan sejarah lingkungan sambil menjaga agar keutuhan kawasan tidak berubah dan menghasilkan peluang untuk pendapatan masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa wisata ekologi adalah salah satu bagian dari wisata alam. Dimana dalam wisata ekologi keaslian dan kealamian sebuah kawasan alam merupakan daya tarik utamanya. Wisata ekologi merupakan bentuk wisata yang sarat ilmu pengetahuan dan juga bentuk wisata yang ikut berupaya aktif melestarikan keaslian alam. Ecotourism adalah pariwisata yang mulai dikembangkan saat ini karena memiliki prinsip-prinsip dan manfaat yang dapat menguntungkan pihak yag terkait di dalamnya. 2.1.3
Manfaat Ecotourism
Menurut Sugiama, pengembangan sebuah kawasan ecotourism dapat memberi manfaat bagi berbagai pihak. Berikut ini beberapa manfaat untuk masing-masing pihak yang terlibat dalam ecotourism: 1. Bagi Wisatawan: a) Mendapatkan pengalaman mengenai lingkungan alam. b) Menyadarkan untuk melestarikan alam.
c) Mengetahui secara langsung mengenai kebudayaan setempat.
d) Terlibat dalam kehidupan masyarakat setempat (drifter)
e) Merasakan masakan khas daerah yang dituju (gastronomi)
2. Bagi penduduk setempat/masyarakat lokal:
a) Keterbukaan lapangan kerja.
b) Menambah pendapatan.
c) Menyadarkan untuk melestarikan lingkungan alam.
d) Mengetahui kebiasaan pengunjung.
3. Bagi pelestarian alam:
a) Meningkatkan kesadaran untuk pelestarian lingkungan alam. b) meminimalisir biaya dalam menjaga keutuhan alam (flora dan fauna). c) Membantu pemerintah setempat untuk memasyarakatkan pelestarian alam. d) Meningkatkan pemasukan tambahan pemerintah setempat (berupa pajak dan restribusi).
2.1.4
Prinsip Ecotourism
Sugiama (2011, hal.12) mengatakan bahwa ecotourism yang dikembangkan harus berlandaskan pada prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Meminimalisasi dampak buruk 2. Membangun lingkungan dan budaya yang sadar serta respek pada kelestarian. 3. Menciptakan pengalaman bermakna bagi pengnjung dan masyarakat setempat. 4. Menyediakan
dana
yang
ditujukan
untuk
memelihara
lingkungan
(conservation) 5. Mencukupi dana dan memberi wewenang luas pada penduduk setempat untuk mengendalikan pelestarian lingkungan. 6. Menumbuhkan kepekaan pemerintah beserta penduduk dalam berpolitik, memperhatikan lingkungan, dan iklim social yang berpihak pada kelestarian.
2.2 Pelaku wisata
Menurut Janianton Damanik dan Helmut Weber (dalam Wardiyanto, 2011) pihak-pihak yang dapat berperan sebagai pelaku pariwisata adalah sebagai berikut:
1. Wisatawan
Wisatawan memiliki tujuan dalam melakukan kegiatan pariwisata, yaitu untuk
memperoleh kesenangan hidup dengan cara menikmati atau mengerjakan
sesuatu yang ada di tempat yang dikunjunginya dan membuatnya senang tanpa memikirkan imbalan atau bersifat sukarela. Untuk kepentinga tersebut,
wisatawan meninggalkan tempat tinggalnya menuju tempat lain dalam waktu
sementara.
2. Industri Pariwisata Industri Pariwisata adalah industri yang menghasilkan produk atau jasa yang ditujukan secara khusus untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Industri ini sangat penting dalam pengembangan pariwisata. Mereka dapat berperan sebagai pelaku wisata , yakni sebagai pihak yang berperan sebagai penghasil barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan dan harapan wisatawan. 3. Pendukung jasa wisata Kedatangan wisatawan di suatu daerah tujuan wisata memerlukan berbagai kebutuhan, ada yang merupakan kebutuhan pokok yang akan dipenuhi oleh industry pariwisata ada yang merupakan kebutuhan pendukung yang bisa dipenuhi oleh industry/penyedia jasa pendukung. Pendukung jasa wisata adalah usaha yang memproduksi barang/jasa yang bukan secara khusus ditujukan untuk wisatawan, tetapi dapat digunakan untuk mendukung pelayanan kepada wisatawan agar wisatawan mendapatkan pelayana yang berkualitas dan sesuai dengan apa yang dibutuhkannya. 4. Pemerintah Pemerintah sebagai pemilik otoritas kewilayahan suatu daerah/ Negara, memiliki peran yang sangat penting dan strategis, yakni sebagai pihak yang memiliki kewenangan dalam masalah pembuatan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pengembangan pariwisata, misalnya dalam hal pengaturan
penggunaan lahan dan penyediaan berbagai infrastruktur yang digunakan untuk pengembagan pariwisata.
5. Masyarakat Lokal
Peran masyarakat pembangunan di Indonesia mulai berkembang sedang
terjadinya krisis ekonomi yang disusul dengan maraknya reformasi di
berbagai bidang pada tahun 1997-1998. Sejak saat itu terjadi proses
desentralisasi yang ditandai dengan terbitnya UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan
pusat dan daerah.
Masyarakat lokal sebagai pihak yang menerima kedatangan wisatawan, perlu dilibatkan dalam proses pengembangan pariwisata, agar keberhasilanya lebih terjamin. Kegagalan pengembangan wisata daerah yang tidak melibatkan masyarakat pada umumnya disebabkan perencana/ pengembang kurang memahami konteks ekonomi, sosial, dan politik yang berkembang. Dengan tidak melibatkan masyarakat, pengembang akan meiliki keterbatasan dalam memahami permasalahan kolektif yangterjadi di masyarakat. Kondisi seperti itu menyebabka masyarakat tidak memiliki rasa tanggung jawab untuk melaksanakan dan mendukung suatu produk perencanaan. Dengan begitu, pelibatan masyarakat menjadi sebuah hal yang sangat penting. Masyarakat dapat memainkan peranan yang strategis, misalnya mereka dapat menjadi para pelaku usaha pariwisata, sebagai pengelola usaha pariwisata maupun sebagai penyedia jasa pariwisata. Partisipasi aktif masyarakat sangat penting untuk menciptakan kondisi yang konduksif bagi wisatawan sehingga kedatangannya benar-benar berkesan. Partisipasi masyarakat akan timbul jika masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya pariwisata pada kehidupan mereka.
Pemerintah
memiliki
tanggung jawab
dalam
menyadarkan
masyarakat, akan tetapi pihak lain juga dapat berperan sepert LSM dan perguruan tinggi.
6. Lembaga Swadaya Masyarakat LSM dapat memainkan peran yang besar dalam pengembangan pariwisata
daerah atau pariwisata alternative. Organisasi non pemerintah ini telah
menunjukan peran pentingnya dalam upaya-upaya melestarikan alam da
budaya yang menjadi daya tarik di berbagai daerah tujuan wisata.
Peran lain yang sering dilakukan oleh LSM adalah dalam pemberdayaan
masyarakat.
Pada
umumnya
kegiatan
mereka
dalam
pemberdayaan
masyarakat ini dilakukan sendiri, bekerja sama dengan pemerintah, sesama
LSM dan masyarakat lokal.
2.3
Stakeholders System Menurut Drumm dan Moore ada 6 elemen penting (crucial elements) yang akan
menjadikan keberhasilan sebuah kawasan menjadi kawasan wisata ekologi : 1. Berdampak positif terhadap perlindungan atau kelestarian lingkungan alam. 2. Melibatkan
stakeholders
(individuals,
communities,
ecotourist,
tour
operators, and government institutions) dalam perencanaan, pengembangan implementasi dan fase monitoring. 3. Respek terhadap culture local atau masyarakat setempat. 4. Menciptakan pendapatan dan berkelanjutan bagi komunitas local dan bagi stakeholders tertentu termasuk bagi perusahaan swasta maupun tour operators. 5. Menciptakan pendapatan untuk mengkonservasi alam. 6. Memberikan pengetahuan dan pengalaman bagi seluruh stakeholders mengenai konservasi.
Gambar 2.1 The Tourism Stakeholders System Sumber: (Weaver dalam Sugiama, 2011, hal.29)
Gambar diatas mencerminkan pihak-pihak yang tercakup dalam mengembangkan kepariwisataan. Masing-masing pihak memiliki peranan yang berbeda-beda sesuai kapasitas dan kapabilitasnya. Wisatawan adalah pihak yang menikmati layanan kepariwisataan, adapun masyarakat setempat (host community) adalah masyarakat lokal yang dapat menyediakan berbagai layanan yang dibutuhkan wisatawan. Pemerintah setempat memegang peranan penting terutama dalam membuat regulasi dan mengendalikan serta mengawasi kepariwisataan dimana kawasan wisata itu berbeda. Berbagai bisnis kepariwisataan antara lain tours operators, travel agent, transportasi dan lain-lainnya juga memiliki kontribusi tinggi dalam mengembangkan kepariwisataan. Universitas sangat penting dalam menciptakan lulusannya sebagai tenaga terampil dan ahli dalam kepariwisataan berbagai ilmu pengetahuan serta penelitian banyak dilahirkan dari universitas yang mengkaji kepariwisataan. Demikian pula community college dapat berperan dalam menghasilkan tenaga terampil melalui pemberian kursus-kursus dan pelatihan kepariwisataan. Non Government Organization (NGOs) seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) setempat dapat membantu dalam merencanakan dan mengendalikan kepariwisataan yang berkembang. Sedangkan pemerintah tempat asal wisatawan terutama berperan penting dalam mendukung atau memfasilitasi perjalanan wisatawan seperti menyediakan perijinan perjalanan dan lainnya. Masyarakat lokal juga merupakan
bagian dari stake holder yang berpengaruh pada perkembangan pariwisata di
daerahnya. Sikap dari masyarakat menentukan kepuasan wisatawan yang berkunjung ke daerahnya karena jika masyarakat menerima dan mendukung perkembangan
pariwisata yang terdapat di daerahnya, maka wisatawan akan merasa puas karena dilayani dengan ramah dan dilengkapi fasilitas dari masyarakat lokal seperti toko
souvenir. 2.4 Pengertian Sikap Sikap adalah evaluasi, perasaan emosional dan kecenderungan tindakan yang menguntungkan atau tidak menguntungkan dari seseorang terhadap obyek atau
gagasan (Kotler: 2007). Sedangkan Webb (2005, hal. 250) berpendapat bahwa an attitude may be defined as a learned predisposition to respond in a consistently favorable or unfavorable manner with respect to a given object. Louis Thurstone (dalam Sugiama, 2008, hal. 92) salah seorang ahli psikologi social yang dikenal luas dalam bidang ilmunya. Ia berhasil menciptakan “teknik pembutan skala” yang kemudian dikenal dengan skala thurstone. Menurut thurstone sikap adalah jumlah keseluruhan dari kecenderungan dan perasaan, prasangka dan bias, dugaan, gagasan, ketakutan, dan hukuman mengenai suatu hal. Jika dihubungkan dengan pariwisata, sikap memiliki arti tentang bagaimana tindakan, perasaan, emosional dan pengaruh antar pihak yang terkait, seperti masyarakat lokal yang menerima kunjungan wisatawan maupun yang tidak dan menentukan kepuasan dari wsatawan sendiri. Dalam perencanaan pariwisata perlu juga memperhatikan bagaimana tahapan dari sikap masyarakat lokal. 2.4.1 Tahapan Sikap Terkait dengan pengembangan pariwisata, dinyatakan oleh Dokey dalam Gunawan dan Herlina (2000), terdapat lima tahapan sikap masyarakat yang perlu dijadikan pertimbangan dalam penyusunan rencana pariwisata. Sikapnya yaitu: 1. Euphoria
Tahap ini pariwisata berada dalam awal masa pengenalan dan hal baru
yang baik bagi masyarakat maupun wisatawan. Menghadapi hal yang baru dalam hidupnya pada umumnya masyarakat merasa senang apalagi
mendatangkan keuntungan. Masyarakat sangat antusias terhadap pembangunan pariwisata yang ada di daerahnya. Mereka menyambut baik kedatangan
wisatawan di daerahnya, bahkan mereka membantu dan sangat berharap
wisatawan yang datang semakin banyak. Wisatawan juga merasakan situasi yang sangat menyenangkan dalam kegiatan berwisatanya karena selain daya tarik yang dinikmatinya dalam kondisi terbaik, mereka juga mendapatkan
sambutan penduduk setempat dengan sangat antusias. Keadaan seperti itu membuat masing-masing pihak merasa mendapatkan kepuasan sehingga wisatawan memiliki kesan yang baik terhadap hal yang dialaminya di daerah tujuan wisata. 2. Apathy Dengan makin berkembangnya pariwisata, wisatawan yang datang ke daerahnya terus berkembang dan semakin banyak. Karena telah merasakan keuntungan ekonomi, masyarakat kemudian menganggap bahwa wisatawan yang datang dapat dijadikan sasaran untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomis bagi mereka. Kontak antara wisatawan dengan masyarakat setempat yang dulunya bersifat informal, akrab dan lebih bersifat sosial kemudian menjadi formal dan bernilai ekonomis dari yang awalnya personal. Sementara itu, masyarakat/pengembang pariwisata kurang memberikan perhatian pada kapasitas daya dukung sumber daya pariwisata yang ada di daerah itu, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara kemampuan daya dukung sumber daya yang ada dengan kebutuhan wisatawan yang datang. Keadaan dapat membahayakan perkembangan pariwisata, sumber daya yang ada bisa rusak. 3. Iritasi Pada tahap ini pariwisata telah mencapai titik jenuh dari perkembangan pariwisata. Jumlah wisatawan yang mengunjungi obyek dan daya tarik wisata mencapai tingkat maksimal, sedangkan sarana/prasarana pendukung sudah
tidak dapat memenuhi lagi kebutuhan wisatawan sehingga sumber daya
pariwisata yang ada menjadi rusak. Ketidakseimbangan antara kebutuhan wisatawan yang datang dengan kapasitas daya dukung yang ada semakin
menonjol. Dengan kurangnya kapasitas daya dukung wisata dari sumber daya yang ada, wisatawan menjadi tidak dapat menikmati suasana yang dihadapi.
Hal ini sering diperparah dengan kurangnya pelayanan yang diberikan oleh
pengelola pariwisata atau oleh masyarakat setempat. Kondisi demikian ini membuat masyarakat dan wisatawan mulai merasakan kejenuhan terhadap keadaan yang terjadi dan mulai merasakan ketidaknyamanan banyaknya
wisatawan yang ada di daerahnya. 4. Antagonisme Dengan semakin meningkatnya wisatawan yang datang, sementara daya dukung yang ada di wilayah setempat tidak mengalami perkembangan, rasa tidak nyaman bagi kedua belah pihak semakin berkembang. Wisatawan semakin tidak mendapatkan pelayanan yang menyenangkan. Lebih dari itu perasaan terganggu mulai lebih terlihat di masyarakat, dan masyarakat mulai menunjukkan kebosanan pada wisatawan yang datang. Mereka kemudian mulai merasa kedatangan wisatawan tidak lagi menguntungkan tetapi justru mengusik kenyamanan hidup mereka. 5. Tahap akhir/ final Karena masyarakat terlalu besar keinginannya untuk mengambil keuntungan ekonomi dari wisatawan yang datang tanpa memikirkan masalah kemampuan daya dukung sumber daya yang ada dan kualitas pelayanan terhadap wisatawan, kegiatan pariwisata di daerah itu tidak dapat berkembang secara berkelanjutan. Masyarakat tidak menyadari bahwa hal-hal yang dulunya menjadi daya tarik bagi wisatawan, dihargai oleh penduduk dan wisatawan yang datang ke daerah tersebut, kini telah rusak, berubah atau telah hilang sama sekali. Wisatawan pun tidak mendapatkan apa yang diharapkannya sehingga tidak mempunyai kesan yang baik.
2.4.2 Karakteristik sikap Menurut Suhartanto (2008, hal.65), sikap mempunyai karakteristik , yaitu: 1. Sikap memiliki objek
Sikap mempunyai objek apakah berbentuk barang nyata atau tidak nyata
seperti sebuah konsep. Selanjutnya objek tersebut dapat berupa dapat
berupa satu item seperti seseorang atau beberapa item seperti sekelompk
orang. 2. Sikap mempunyai arah, tingkatan, intensitas
Sikap dapat mengekspresikan arah, derajat dan intensitas, arah tersebut dapat menunjukan rasa suka dan tidak suka. Rasa sua dan tidak suka konsumen mempunyai derajat yang berbeda pada tiap-tiap konsumen, sedangkan intensitas merupakan tingkat kepercayaan terhadap objek tersebut.
3. Sikap mempunyai struktur Struktur dalam sikap sangat kompleks dimana pusatnya adalah nilai dan konsep diri orang tersebut. 4. Sikap yang dipelajari Sikap merupakan hasil dari proses pembelajaran baik langsung maupun tidak langsung. Karena sikap merupakan sesuatu yang dipelajari, maka ada kecenderungan bahwa sikap semakin lama akan semakin kuat, setidaknya semakin lama akan semakin sulit untuk berubah.
2.4.3
Dimensi Sikap Menurut Engel dalam Yulistiano dan Suryadi (2003) menjabarkan dimensi
sikap sebagai berikut: 1. Valance Mengacu pada sikap positif, sikap negative atau netral 2. Externity Intensitas kesukaan dan ketidak sukaan
3. Resistance Tingkat dimana sikap kebal terhadap perubahan 4. Persistence
Merefleksikan bahwa sikap dapat berubah secara perlahan
5. Konfidence Tidak semua sikap berada pada tingkat keyakinan yang sama
2.5 Pengertian Partisipasi Menurut Ach. Wazir Ws., et al. (1999, hal.29) partisipasi bisa diartikan sebagai
keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Dengan pengertian itu, seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggungjawab bersama. Partisipasi masyarakat menurut Isbandi (2007, hal.27) adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. Mikkelsen (1999) membagi partisipasi menjadi 6 (enam) pengertian, yaitu: 1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan. 2. Partisipasi adalah “pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan. 3. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri. 4. Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu.
5. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya
memperoleh informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak social.
6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri,
kehidupan, dan lingkungan mereka.
Dari tiga pakar yang mengungkapkan definisi partisipasi di atas, dapat dibuat
kesimpulan bahwa partisipasi adalah keterlibatan aktif dari seseorang, atau sekelompok orang (masyarakat) secara sadar untuk berkontribusi secara sukarela dalam program pembangunan dan terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
monitoring sampai pada tahap evaluasi. Jika dikaitkan dengan pariwisata, maka partisipasi adalah keterlibatan secara aktif masyarakat lokal dalam mengembangkan sebuah objek wisata yang berada di daerahnya dan memperhatikan kepuasan wisatawan. Masyarakat dikatakan berpartisipasi terhadap pengembagan pariwisata di daerahnya tidak hanya karena sumbangan ataupun dalam bentuk uang lainya, tetapi terdapat juga bentuk partisipasi lainnya. 2.5.1
Bentuk Partisipasi
Ada beberapa bentuk partisipasi yang dapat diberikan masyarakat dalam suatu program pembangunan, yaitu partisipasi uang, partisipasi harta benda, partisipasi tenaga, partisipasi keterampilan, partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial, partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, dan partisipasi representatif. Dengan berbagai bentuk partisipasi yang telah disebutkan diatas, maka bentuk partisipasi dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk nyata (memiliki wujud) dan juga bentuk partisipasi yang diberikan dalam bentuk tidak nyata (abstrak). Bentuk partisipasi yang nyata misalnya uang, harta benda, tenaga dan keterampilan sedangkan bentuk partisipasi yang tidak nyata adalah partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial, pengambilan keputusan dan partisipasi representatif. Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan Partisipasi harta benda
adalah partisipasi dalam bentuk menyumbang harta benda, biasanya berupa alat-alat
kerja atau perkakas. Partisipasi tenaga adalah partisipasi yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan
suatu program. Sedangkan partisipasi keterampilan, yaitu memberikan dorongan melalui keterampilan yang dimilikinya kepada anggota masyarakat lain yang
membutuhkannya. Dengan maksud agar orang tersebut dapat melakukan kegiatan
yang dapat meningkatkan kesejahteraan sosialnya. Partisipasi buah pikiran lebih merupakan partisipasi berupa sumbangan ide, pendapat atau buah pikiran konstruktif, baik untuk menyusun program maupun untuk
memperlancar pelaksanaan program dan juga untuk mewujudkannya dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan guna mengembangkan kegiatan yang diikutinya. Partisipasi sosial diberikan oleh partisipan sebagai tanda paguyuban. Misalnya arisan, menghadiri kematian, dan lainnya dan dapat juga sumbangan perhatian atau tanda kedekatan dalam rangka memotivasi orang lain untuk berpartisipasi. Pada partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, masyarakat terlibat dalam setiap diskusi/forum dalam rangka untuk mengambil keputusan yang terkait dengan kepentingan bersama. Sedangkan partisipasi representatif dilakukan dengan cara memberikan kepercayaan/mandat kepada wakilnya yang duduk dalam organisasi atau panitia. Penjelasan mengenai bentuk-bentuk partisipasi dan beberapa ahli yang mengungkapkannya dapat dilihat dalam Tabel 2.1. Tabel 2.1. Pemikiran Tentang Bentuk Partisipasi Nama Pakar
Pemikiran Tentang Bentuk Partisipasi
(Hamijoyo, 2007: 21;
Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk
Chapin, 2002: 43 & Holil,
memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian
1980: 81)
kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan.
(Hamijoyo, 2007: 21; Holil, Partisipasi harta benda adalah partisipasi dalam
1980: 81 & Pasaribu dan
bentuk menyumbang harta benda, biasanya berupa
Simanjutak, 2005: 11)
alat-alat kerja atau perkakas.
(Hamijoyo, 2007: 21 &
Partisipasi tenaga adalah partisipasi yang diberikan
Pasaribu dan Simanjutak,
dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha
2005: 11)
yang dapat menunjang keberhasilan suatu program.
(Hamijoyo, 2007: 21 &
Partisipasi keterampilan, yaitu memberikan dorongan
Pasaribu dan Simanjutak,
melalui keterampilan yang dimilikinya kepada
2005: 11)
anggota masyarakat lain yang membutuhkannya.
Dengan maksud agar orang tersebut dapat melakukan
kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan
sosialnya.
(Hamijoyo, 2007: 21 &
Partisipasi buah pikiran adalah partisipasi berupa
Pasaribu dan Simanjutak,
sumbangan berupa ide, pendapat atau buah pikiran
2005: 11)
konstruktif, baik untuk menyusun program maupun untuk memperlancar pelaksanaan program dan juga untuk mewujudkannya dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan guna mengembangkan kegiatan yang diikutinya.
(Hamijoyo, 2007: 21 &
Partisipasi sosial, Partisipasi jenis ini diberikan oleh
Pasaribu dan Simanjutak,
partisipan sebagai tanda paguyuban. Misalnya arisan,
2005: 11)
menghadiri kematian, dan lainnya dan dapat juga sumbangan perhatian atau tanda kedekatan dalam rangka memotivasi orang lain untuk berpartisipasi.
(Chapin, 2002: 43 & Holil, Partisipasi dalam proses pengambilan keputusan. 1980: 81)
Masyarakat terlibat dalam setiap diskusi/forum dalam rangka untuk mengambil keputusan yang terkait dengan kepentingan bersama.
(Chapin, 2002: 43 & Holil, Partisipasi representatif. Partisipasi yang dilakukan 1980: 81)
dengan cara memberikan kepercayaan/mandat kepada wakilnya yang duduk dalam organisasi atau panitia.
2.5.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Angell (dalam Ross, 1967, hal.130) mengatakan partisipasi yang tumbuh dalam masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kecenderungan seseorang dalam berpartisipasi, yaitu: 1. Usia
Faktor usia merupakan faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap
kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang ada. Mereka dari kelompok usia menengah ke atas dengan keterikatan moral kepada nilai dan norma masyarakat yang lebih mantap, cenderung lebih banyak yang berpartisipasi daripada mereka yang dari
kelompok usia lainnya. 2. Jenis kelamin Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan bahwa pada dasarnya tempat perempuan adalah “di dapur” yang berarti bahwa dalam banyak masyarakat peranan perempuan yang terutama adalah mengurus rumah tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran perempuan tersebut telah bergeser dengan adanya gerakan emansipasi dan pendidikan perempuan yang semakin baik. 3. Pendidikan Dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi. Pendidikan dianggap dapat mempengaruhi sikap hidup seseorang terhadap lingkungannya, suatu sikap yang diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat. 4. Pekerjaan dan penghasilan Hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena pekerjaan seseorang akan menentukan berapa penghasilan yang akan diperolehnya. Pekerjaan dan penghasilan yang baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat mendorong seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Pengertiannya bahwa untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan, harus didukung oleh suasana yang mapan perekonomian. 5. Lamanya tinggal Lamanya seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu dan pengalamannya berinteraksi dengan lingkungan tersebut akan berpengaruh pada partisipasi seseorang.
Semakin lama ia tinggal dalam lingkungan tertentu, maka rasa memiliki terhadap
lingkungan cenderung lebih terlihat dalam partisipasinya yang besar dalam setiap kegiatan lingkungan tersebut.
