3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bioekologi Takokak (Solanum Torvum Swartz) 2.1.1 Morfologi dan taksonomi Takokak merupkan jenis tumbuhan obat yang memiliki nama daerah terong cepoka, terong pipit (Indonesia), takokak (sunda), terong cekoka, cemongkak, poka, terongan, cepoka, cong belut (jawa). Habitusnya berupa perdu yang seluruhnya dilapisi dengan bulu bintang yang putih kuning dengan tinggi 2-4 m. Sistem perakaran berupa akar tunggang berwarna kuning cokelat. Batang berbentuk bulat, berkayu, berwarna putih kotor atau keunguan, berduri tajam serta tegak, berbulu pada waktu muda. Cabang berbentuk bulat. Tanaman ini berdaun tunggal, tersebar, dan bertangkai. Panjang tangkai 1,5-10,5 cm, tangkai berbulu bintang rapat, sering mempunyai duri tempel. Helaian daun berbentuk bulat telur dengan ukuran 27-30 x 20-24 cm, bercangap, bersisi tidak seimbang, bagian pangkal runcing, bagian ujung runcing, bagian tepi rata, berwarna hijau pada
permukaan atas. Ibu tulang daun
menonjol di bagian bawah, berduri
tempel, tulang daun sekunder menyirip. Perbungaan majemuk dengan bungabunga kantong yang putih berbentuk bintang, tangkai karangan bunga 0-0,5 cm, berbulu bintang padat, bertaju, berbintik ungu ketika kuncup. Kelopak berbulu, bertaju 5, runcing bintang, sisi luar berbulu bintang, bertaju 5, taju dihubungkan dengan selaput tipis. Benangsari berjumlah 5, bertangkai dengan panjang ± 1 cm. Kepala putik berwarna putih atau hijau. Buah bertipe buni, berbentuk bulat dengan diameter 12-15 mm, berwarna hijau ketika muda, dan jingga setelah tua. Biji berbentuk pipih, kecil, licin, dan berwarna kuning pucat (Heyne 1987, Zuhud et al. 2003). Klasifikasi takokak berdasarkan Lawrence (1964) adalah sebagai berikut : Divisi
: Embryophyta Siphonogama
Sub divisi : Angiospermae Kelas
: Dicotyledone
Bangsa
: Solanales
4
Suku
: Solanaceae
Marga
: Solanum
Jenis
: Solanum torvum Swartz
2.1.2 Ekologi dan penyebaran Tumbuhan ini banyak tumbuh di hutan-hutan, di tepi sungai, di ladang, di kebun, kadang-kadang dibudidayakan di halaman. Tumbuh dengan baik di berbagai
jenis tanah dengan karakteristik lahan yang tidak terlalu berair,
ternaungi sedang atau tersinar matahari, dan pada ketinggian tempat 1-1800 mdpl. Tumbuhan ini selalu tumbuh secara tersebar (Heyne 1987, Zuhud et al. 2003). Tumbuhan ini berasal dari Amerika, kemudian tersebar luas ke wilayah Asia. Penyebaran tumbuhan ini di Indonesia meliputi Sumatera, Kalimantan, Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Ambon, Maluku, Halmahera, Ternate, dan Irian Jaya (Zuhud et al. 2003). 2.2 Budidaya Tumbuhan ini telah lama dibudidayakan. Tumbuhan ini mudah diperbanyak dengan biji, caranya dengan terlebih dahulu memilih benih dari buah yang segar dengan kondisi yang baik. Tanaman ini dapat disemaikan di persemaian terlebih dahulu atau langsung ditanam di lapangan. Pemeliharaan dilakukan dengan pemberian pupuk kandang atau pupuk organik yang telah masak, penyiraman secara teratur dan penyiangan gulma untuk membantu mempercepat pertumbuhan tanaman. Penanaman dilakukan pada awal musim hujan atau pada akhir musim kemarau (Zuhud et al. 2003). 2.3 Sifat Organoleptik dan Efek Farmakologi/ Manfaat Empirik Buah takokak memiliki rasa pedas dan sejuk bila dimakan, mempunyai sifat agak beracun. Buah takokak bermanfaat untuk melancarkan sirkulasi darah, menghilangkan darah beku, menghilangkan sakit, dan menghilangkan batuk (Zuhud et al. 2003). Selain itu buah takokak merupakan suatu obat herbal rakyat, yang digunakan sebagai obat penenang, pencernaan, haemostatic dan diuretik. Penelitian terhadap kandungan kimia buah tanaman Solanum torvum
telah
banyak dilakukan, dan dilaporkan bahwa tanaman ini bersifat hepatotoksik (efek
5
samping kerusakan sel-sel atau jaringan hati dan sekitarnya akibat konsumsi suatu obat) dan antivirus (Yuan et al. 2011). 2.4 Kandungan Kimia Akar tumbuhan takokak mengandung jurubin. Daun, bunga, dan buah tanaman takokak mengandung saponin dan haronoid. Daun dan bunga tanaman takokak juga mengandung neoklorogenin, panikulogenin, dan alkeloid. Selain itu buah tanaman takokak juga mengandung solosin, klorogenin, sisalagenon, tervogenin, protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, vit. A, B1, dan C (Zuhud et al. 2003). Buah takokak mengandung alkaloid dan senyawa solasodina yang dapat digunakan sebagai substrat untuk produksi steroid penting dalam farmakologi (Amador et al. 2007). 2.5 Kegunaan Buah takokak memiliki khasiat sebagai obat tekanan darah tinggi, katimilmul, dan penambah nafsu makan. Sedangkan daun tanaman takokak memiliki khasiat sebagai obat jantung mengipas (kondisi jantung yang seakan bergoyang-goyang), sakit kepala, dan jantung berdebar (Zuhud et al. 2003). Hasil penelitian Bari et al. (2010) mengungkapkan bahwa kloroform dan ekstrak metanol akar S.torvum sangat aktif terhadap Streptococcus - β - haemolyticus, dan Vasin factum. Hasil analisis konsentrasi hambat minimum (KHM) menunjukkan bahwa ekstrak metanol pada akar dapat menghambat pertumbuhan bakteri bahkan pada konsentrasi rendah (64-128 μg mL-1). 2.6 Pelestarian Pemanfaatan Tumbuhan Obat 2.6.1 Usaha pelestarian tumbuhan obat Indonesia sebagai salah satu Negara yang menghasilkan tumbuhan obat tradisional telah mencoba melakukan usaha pelestarian tumbuhan obat. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi kondisi tumbuhan obat yang semakin terancam keberadaannya di alam. Di Indonesia sejalan dengan usaha pelestarian jenis tumbuhan dan hewan, usaha pelastarian tumbuhan obat pun memperoleh perhatian yang sama, terutama dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini. Seperti juga usaha pelestarian pada umumnya, pelestarian tumbuhan obat
6
ditempuh melalui dua cara, yaitu insitu dan eksitu (Sastrapradja & Sastrapradja 1990). Secara insitu cara ini merupakan cara terbaik untuk mempertahankan spesies tumbuhan, sebab dengan cara ini evolusinya masih berjalan, yang memungkinkan pengadaptasian dengan perubahan-perubahan alaminya yang terjadi. Akan tetapi pengelolaan kawasan pelestarian insitu ini sulit, terutama di daerah padat penduduk. Secara eksitu, usaha pelestarian dilakukan di kebun koleksi, kebun botani, atau di kebun-kebun pribadi. Cara ini tidak dapat mengganti cara insitu, tetapi merupakan pelengkap yang terkadang perlu ditempuh (Sastrapradja & Sastrapradja 1990). 2.6.2 Pemanfaatan tumbuhan obat Tumbuhan obat merupakan komponen penting dalam pengobatan tradisional yang telah digunakan sejak lama di Indonesia umumnya
masyarakat yang
bermukim di pedesaan yang telah akrab dengan tumbuhan obat. Tumbuhan obat tersebut digunakan oleh keluarga untuk penanggulangan pertama terhadap serangan penyakit sebelum mendapat pengobatan dari dukun atau puskesmas terdekat. Bahkan beberapa dukun cukup terampil dalam meramu beberapa jenis tumbuhan obat sehingga berkhasiat untuk pengobatan serta mahir pula bila diperlukan untuk menolong persalinan. Dukun ini adalah penduduk setempat, umumnya kaum ibu yang mempunyai pengalaman dalam cara pengobatan tradisional yang diperoleh dari nenek moyangnya (generasi terdahulu) yang diturunkan ke generasi sekarang serta tahu persis penggunaan tumbuhan obat itu dipakai tunggal atau langsung dikonsumsi baik dalam bentuk segar maupun diproses terlebih dahulu (Roemantyo & Wiriadinata. 1990). Keuntungan obat tradisional yang langsung dirasakan oleh masyarakat selain kemudahan dalam memperolehnya adalah bahan bakunya dapat ditanam di pekarangan sendiri serta murah dan dapat diramu sendiri di rumah, sehingga hampir setiap orang Indonesia pernah menggunakan tumbuhan obat untuk mengobati penyakit atau kelainan yang timbul pada tubuh selama hidupnya, baik
ketika masih bayi, anak-anak, maupun setelah dewasa. Penggunaan
tumbuhan obat secara besar di masyarakat dilakukan karena manfaatnya secara langsung dapat dirasakan secara turun temurun, walaupun mekanisme kerjanya
7
secara ilmiah masih belum banyak diketahui. Selain manfaat yang dirasakan, penggunaan tumbuhan obat pun dilatarbelakangi sulitnya jangkauan fasilitas kesehatan, terutama di daerah-daerah pedesaan yang terpencil (Zein 2005). Menurut Roemantyo dan Riswan (1989) diacu dalam
Roemantyo dan
Wiriadinata (1990) cara pengobatan tradisional pengolahannya sangat sederhana yaitu tumbuhan tersebut hanya direbus atau digunakan dalam bentuk segar untuk menanggulangi dan menjaga kesehatannya. Apabila cara ini tidak berhasil mereka lalu beralih kepada cara pengobatan modern. Cara ini masih mereka tempuh karena adanya kendala ekonomi keluarga yang
pas-pasan serta di beberapa
tempat masih belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan yang dimonitor oleh pemerintah. Masyarakat pemanfaat tumbuhan obat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar berdasarkan intensitas pemanfaatan tumbuhan obat (Aliandi & Roemantyo 1994), yaitu : (1). Kelompok pertama adalah kelompok masyarakat asli yang hanya menggunakan pengobatan tradisional, umumnya tinggal di pedesaan atau daerah terpencil yang tidak memiliki sarana dan prasarana kesehatan. Kelompok ini berusaha mencari sendiri pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit, sesuai dengan norma dan adat yang berlaku. (2). Kelompok kedua adalah kelompok masyarakat yang menggunakan pengobatan tradisional dalam skala keluarga, umumnya tinggal di pedesaan yang memiliki sarana dan prasarana terbatas. Pada daerah ini sudah tersedia puskesmas, namun tenaga medis, peralatan, dan obat-obatan ada dalam jumlah dan kondisi terbatas. Selain itu kondisi ekonomi masyarakat pun umumnya masih rendah sehingga pengobatan tradisional merupakan alternatif dalam pemenuhan kesehatan masyarakat. Pada kelompok kedua ini, pemerintah telah memasyarakatkan TOGA (Tumbuhan Obat Keluarga). Program ini sesuai untuk
kelompok masyarakat yang menggunakan
tumbuhan obat dalam skala keluarga dan bertujuan untuk penanggulangan penyakit rakyat, perbaikan status gizi dan melestarikan sumberdaya alam hayati. (3). Kelompok ketiga adalah kelompok industriawan obat tradisional.
8
Suku-suku bangsa di Indonesia telah banyak memanfaatkan tumbuhan obat untuk kepentingan pengobatan tradisional. Pengetahuan yang dimiliki suku-suku tersebut mengenai pengobatan tradisional berbeda-beda, termasuk pengetahuan mengenai tumbuhan obat (Aliandi & Roemantyo 1994). 2.6.3 Prinsip pelestarian pemanfaatan Sampai saat ini spesies tumbuhan obat yang telah dimanfaatkan dalam skala ekonomis
sebagian
besar
diambul
langsung
dari
alam
pada
saat
diperlukan.disamping itu diantara seluruh spesies tumbuhan obat baru sebagian kecil yang telah diteliti khasiat dan kandungan bahan aktifnya. Hal ini memberikan gambaran bahwa pengembangan pemanfaatan tumbuhan obat mempunyai
prospek
pemanfaatan
ini
berorientasi
pada
yang
harus
baik.
didasarkan
Namun demikian, atas
pengembangan
prinsip kelestarian hasil atau
ketersediaannya di alam, sehingga kesinambungan
pemanfaatan tersebut akan terjamin. Menurut Zuhud dan Haryanto
(1990), prinsip pelestarian pemanfaatan
tumbuhan obat harus mencakup : a. Upaya konservasi genetik (dan spesies) tumbuhan obat Salah satu alasan diperlukannya upaya konservasi sumberdaya genetik tumbuhan adalah pentingnya tumbuhan sebagai bahan baku bagi obat-obatan. Dengan adanya upaya konservasi sumberdaya genetik tersebut akan menjamin kelestarian spesies tumbuhan obat yang selanjutnya akan menjamin pelestarian pemanfaatannya (Zuhud 1991). Konservasi sumberdaya genetik meliputi tiga sasaran pokok yang saling berkaitan, yaitu (Desmukh 1986 diacu dalam Zuhud & Haryanto
1990)
:
(1)
pengawetan
kekayaan
spesies;
(2)
memelihara
kesnekaragaman genetik; dan (3) mencegah kepunahan spesies. Pendekatanpendekatan yang dapat dilakukan dalam mencapai ketiga sasaran konservasi sumberdaya genetik yaitu penetapan kawasan konservasi, penetapan “sanctuary area” di Kawasan Hutan Produksi, pembangunan kebun koleksi, pembangunan kebun raya/taman hutan raya, pembangunan bank plasma nutfah, serta integrasi pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam.
9
b. Pengembangan pemanfaatan berdasarkan kemampuan alam untuk melakukan regenerasi Kegiatan pemanenan langsung di alam harus sesuai dengan kemampuan alam untuk memproduksi populasi tumbuhan obat atau dengan kata lain jumlah panenan maksimum harus sama dengan riap maksimum yang akan dicapai pada saat populasi sama dengan setengah nilai daya dukung habitatnya (Zuhud & Haryanto 1990). Oleh karena itu pemanenan harus didukung dengan pengetahuan mengenai potensi tumbuhan obat di alam, bio-ekologinya serta dinamika populasinya. c. Mengembangbiakkan tumbuhan obat di luar habitat aslinya untuk tujuan ekonomis dan konservasi eksitu melalui usaha penangkarannya Penangkaran tumbuhan obat merupakan segala kegiatan yang bertujuan untuk memperbanyak populasi tumbuhan obat (yang belum dibudidayakan) dengan tetap mempertahankan kemurnian spesies maupun varietasnya, sehingga kelestarian spesies maupun varietas tersebut dapat dipertahankan (Zuhud & Haryanto 1990). Penangkaran tumbuhan obat dapat dilakukan untuk kepentingan ekonomi maupun konservasi. Kegiatan utama penangkaran meliputi penelitian bioekologis jenis yang akan ditangkarkan, pengumpulan dan seleksi bibit, pengembangbiakan baik secara generatif maupun vegetatif, pemeliharaan dan pembesaran, pemanenan, seta pengembalian ke alam (restocking) untuk spesies endemik atau langka. Melalui usaha penangkaran spesies tumbuhan obat umumnya, khususnya yang langka/endemik, kegiatan pemanfaatan dapat dilakukan tanpa kekhawatiran akan ancaman kepunahan. Di samping itu usaha penangkaran merupakan langkah dari usaha pembudidayaan tumbuhan obat. 2.6.4 Garis besar program pelestarian pemanfaatan Program pelestarian pemanfaatan tumbuhan obat dapat dikelompokkan menjadi dua golongan besar menurut tujuan utamanya (Zuhud & Haryanto 1991), yaitu: (1). Peningkatan efisiensi pemanfaatan tumbuhan yang sudah diketahui berguna, dan
10
(2). Penapisan spesies tumbuhan yang diduga mengandung bahan aktif yang bermanfaat. Dua kelompok program ini memerlukan pendekatan yang berbeda, tetapi keduaya dapat dilaksanakan secara paralel. Dalam peningkatan efisiensi pemanfaatan tumbuhan obat, pengetahuan mengenai bioekologi yang mencakup penyebaran, populasi, karakteristik tempat tumbuh, persyaratan ekologis yang diperlukan untuk hidupnya, hama dan penyakit potensial, fenologi dan perkembangbiakannya merupakan data dasar yang sangat penting. Sedangkan dalam penapisan tumbuhan obat yang diduga mengandung bahan aktif yang bermanfaat diperlukan data dasar mengenai aspek fisiologi dan metabolismenya. 2.7 Produktivitas Tanaman Produktivitas tanaman berpengaruh terhadap produksi buah yang dihasilkan. Semakin meningkatnya produktivitas tanaman produksi buah akan semakin meningkat, begitu pula sebaliknya. Rendahnya produktivitas antara lain disebabkan oleh tata cara pemanenan yang kurang baik terhadap tanaman, belum berkembangnya teknik budidaya serta yang paling penting adalah terjadinya serangan pathogen penyebab penyakit. Selain penyakit, rendahnya produktivitas buah juga dapat disebabkan oleh serangan hama (Wahyuningsih 2009). Menurut Notodimedjo (1997) diacu dalam Hidayat (2005), Faktor penyebab rendahnya produktivitas tanaman, antara lain : kesuburan tanah rendah, kurang sinar matahari, iklim tidak cocok, pertumbuhan vegetatif yang dominan dan air tanah yang berlebihan (sukulen). Kekurangan sinar matahari dapat mempengaruhi terhambatnya pembungaan. Kekurangan cahaya matahari menyebabkan pohon tumbuhnya lebat dan dahan-dahan serta ranting-ranting terlalu rapat, sehingga bunga tidak muncul. Bioregulators telah digunakan untuk peningkatan kualitas dan produktivitas buah-buahan. Aplikasi asam giberelat (GA ) asam naftalen asetat (NAA), dan Ethephon secara terpisah atau dalam campuran telah memberikan pengaruh yang signifikan pada set buah, presentase bahan kering buah, persentase padatan terlarut buah, pemasakan buah dan hasil pohon (Aljuburi et al. 2001 ). Hasil penelitian Aljuburi et al. (2001 ) menunjukkan bahwa aplikasi NAA atau
11
campuran pengatur tumbuh akan mengurangi presentase bahan kering buah, pemasakan buah dan meningkatkan persentase daging buah, produksi buah per tandan dan per pohon.