BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Sosis Sosis merupakan makanan asing yang sudah akrab dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena rasanya enak. Makanan ini dibuat dari daging yang telah dicincang kemudian dihaluskan, diberi bumbu, dimasukkan ke dalam selonsong berbentuk bulat panjang simetris, baik yang terbuat dari usus hewan maupun pembungkus buatan (casing). Istilah sosis berasal dari bahasa Latin, yaitu salsus, yang artinya garam. Hal ini merujuk pada artian potongan atau hancuran daging yang diawetkan dengan penggaraman (Wau, 2010). Pada umumnya sosis dibuat dari daging sapi, daging ayam, dan daging babi. Sekarang ini telah dikembangkan sosis ikan, yaitu sosis yang terbuat dari daging ikan. Jenis ikan yang sering digunakan sebagai bahan baku adalah ikan tuna, ikan lele, ikan tengiri dan ikan kakap merah. Ikan lele yang banyak di pasaran adalah jenis lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan postur tubuh lebih besar dan dagingnya banyak, sehingga cocok untuk diolah menjadi sosis ilkan lele (Widjanarko, 2010). Bahan dasar pembuatan sosis ikan adalah daging dan emulsi. Emulsi merupakan dispersi dua cairan yang tidak saling melarutkan, dimana cairan yang satu terdispersi dalam cairan yang lain. Masalah yang sering dialami dalam pembuatan sosis adalah pecahnya emulsi karena penggilingan dan pemanasan yang berlebihan dan proses pengohan yang telampau cepat (Dotulong, 2009). Menurut Badan Standar Nasional (BSN) sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging halus (mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu-bumbu dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dan dimasukkan ke dalam selongsong sosis. Syarat mutu sosis menurut SNI 01-3820-1995 dapat dilihat pada Tabel 2.1.
3
4
Tabel 2.1 Syarat Mutu Sosis berdasarkan SNI 01-3820-1995 No 1. 1.1 1.2 1.3 1.4 2. 3. 4. 5. 6. 7. 7.1 7.2 8. 8.1 8.2 8.3 8.4 8.5 9. 10. 10.1 10.2 10.3 10.4 10.5 10.6
Kriteria uji Satuan Persyaratan Keadaan Bau Normal Rasa Normal Warna Normal Tekstur Bulat Panjang Air % b/b Maks 67,0 Abu % b/b Maks 3,0 Protein % b/b Min 13,0 Lemak % b/b Maks 25,0 Karbohidrat % b/b Maks 8 Bahan Tambahan Makanan Pewarna Sesuai dengan SNI 01-0222-1995 Pengawet Cemaran Logam: Timbal (Pb) Mg/kg Maks 2,0 Tembaga (Cu) Mg/kg Maks 20,0 Seng (Zn) Mg/kg Maks 40,0 Timah (Sn) Mg/kg Maks 40,0 (250,0*) Raksa (Hg) Mg/kg Maks 0,03 Cemaran Arsen (As) Mg/kg Maks 0,1 Cemaran Mikroba: Angka Lempeng Total Koloni/g Maks 103 Bakteri Bentuk Koli APM/g Maks 10 Eccherichia coli APM/g <3 Enterococci Koloni/g 102 Clostridium perfringens Negatif Salmonella Negatif Staphylococcus aureus Koloni/g Maks 102 *) Kemasan kaleng Sumber : Dewan Badan Standar Nasional (1995)
Tahapan pengolahan sosis sebagai berikut: pemilihan bahan-bahan yang akan digunakan, penggilingan, pencampuran, pemasukkan ke dalam casing, pengikatan, pemasakan (perebusan/pengukusan), pendinginan (penyemprotan dengan air dingin atau penyimpanan dingin) dan pengemasan. Penggilingan bertujuan untuk menyebar ratakan lemak dalam daging. Sebelum digiling daging biasanya didinginkan sampai suhu -20oC, sehingga suhu penggilingan tetap di bawah 22oC. Hal ini untuk mencegah terdenaturasinya protein yang sangat penting sebagai emulsifier. Pada tahap pencampuran diharapkan lemak yang ditambahkan akan menyebar secara merata. Demikian juga bahan curing, serpihan es, garam dapur,
5
bahan pengikat dan bahan tambahan lainnya. Suhu adonan pada pencampuran harus dipertahankan serendah mungkin yaitu sekitar 3 sampai 12oC. Pemasukkan adonan sosis ke dalam casing menggunakan alat khusus (disebut stuffer) bertujuan membentuk dan mempertahankan kestabilan sosis. Pada proses ini diusahakan agar udara tidak masuk dalam selongsong. Karena adanya udara dalam selongsong akan mempengaruhi tekstur sosis yang dihasilkan. Pemasakan dapat dilakukan dengan cara seperti perebusan, pengukusan, pengasapan dan kombinasi cara-cara tersebut. Pengasapan dapat memberikan cita rasa khas, mengawetkan dan memberi warna khas (Koswara, 2009). B. Bahan-Bahan Pembuatan Sosis Lele 1. Ikan lele Ikan lele (Clarias gariepinus) merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup populer di masyarakat. Ikan ini berasal dari benua Afrika dan pertama kali didatangkan ke Indonesia pada tahun 1984. Lele dumbo termasuk ikan yang paling mudah diterima masyarakat
karena
berbagai
kelebihannya.
Kelebihan
tersebut
diantaranya adalah pertumbuhannya cepat, memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang tinggi, rasanya enak dan kandungan
gizinya
cukup
tinggi
serta
harganya
murah
(Ubadillah, 2010). Ikan Lele ini mempunyai ciri khas dengan tubuhnya yang licin, agak pipih memanjang serta memiliki sejenis kumis yang panjang, mencuat dari sekitar bagian mulutnya. Ikan lele dilengkapi dengan alat pernapasan tambahan pada lembar insang kedua dan keempat berupa modifikasi insang berbentuk bunga yang disebut arborescent organ yang memungkinkan lele untuk mengambil oksigen langsung dari udara. Karena itulah, lele dapat hidup pada lingkungan perairan dengan kadar oksigen rendah dan kadar CO2 tinggi. Karena sifatnya itu pula,
6
lele dapat hidup pada perairan tenang yang keruh seperti waduk, danau, rawa dan genangan air lainnya (Najiyati, 1992). Tabel 2.2 Perbandingan Komposisi Gizi Ikan Lele dengan Daging Sapi dan Daging Ayam /100 gram bahan. No 1 2 3 4 5 6 7
Bahan Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Kalsium (mg/100g) Fosfor (mg/100g) Besi (mg/100g) Air (%)
Standar Gizi Ikan Lele /100 gram 17 4,5 20
Standar Gizi Daging Sapi / 100 gram 18,4 14 11
Standar Gizi Daging Ayam / 100 gram 22 25 13
200 1 76
170 2,8 66
190 1,5 74
Sumber : Ubadillah (2010)
Keunggulan lain dari ikan lele dibandingkan dengan produk hewani lainnya adalah kaya akan Leusin dan Lisin. Leusin (C6H13NO2) merupakan asam amino esensial yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan anak-anak dan menjaga keseimbangan nitrogen. Leusin juga berguna untuk perombakan dan pembentukan protein otot. Sedangkan Lisin merupakan salah satu dari 9 asam amino esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan. Lisin termasuk asam amino yang sangat penting dan dibutuhkan sekali dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Asam amino ini sangat berguna untuk pertumbuhan dan perkembangan tulang pada anak, membantu penyerapan kalsium dan menjaga keseimbangan nitrogen dalam tubuh, dan memelihara masa tubuh anak agar tidak terlalu berlemak. Lisin juga dibutuhkan untuk menghasilkan antibody, hormon, enzim, dan pembentukan kolagen, disamping perbaikan jaringan. Tidak kalah pentingnya, lisin bisa melindungi anak dari virus herpes (Hadiwiyoto, 2003). 2. Tepung tapioka Dalam pembuatan sosis dibutuhkan bahan pengisi yang berfungsi meningkatkan stabilitas emulsi olahan, meningkatkan daya ikat air,
7
menurunkan susut masak dan menurunkan biaya produksi. Ciri dari bahan pengikat diantaranya mempunyai kandungan protein tinggi (Aberle, 2001). Bahan pengisi yang biasanya digunakan dalam pembuatan sosis adalah tepung tapioka, tepung sagu, tepung beras dll. Bahan pengisi adalah bahan yang ditambahkan ke dalam sosis dengan tujuan untuk meningkatkan kestabilan emulsi, mengurangi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat irisan, memperbaiki cita rasa serta mengurangi
biaya
produksi. Tepung yang mengandung pati,
mempunyai kegunaan sebagai bahan pengisi yang dapat menaikkan daya ikat air dan meningkatkan emulsi lemak sehingga dapat menghasilkan mutu sosis yang baik. Pada umumnya tepung ditambahkan sebesar 5-10% dari berat daging (Singal, 2013). Tabel 2.3 Syarat Mutu Tepung Tapioka/Singkong berdasarkan SNI 01-3451-2011 No 1. 1.1 1.2 1.3 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8 8.1 8.2 8.3 8.4 9 10 10.1
Kriteria uji Keadaan Bentuk Bau Warna Kadar air (b/b) Kadar abu (b/b) Serat kasar (b/b) Kadar pati (b/b) Derajat Putih (MgO=100) Derajat Asam
Satuan
Persyaratan
% % % % mL NaOH 1 N/100g
Serbuk halus Normal Putih, khas tapioka Maks 14,0 Maks. 0,50 Maks. 0,40 Min. 75 Min. 91 Maks. 4
Cemaran Logam Kadmium (Cd) mg/kg Timbal (Pb) mg/kg Timah (Sn) mg/kg Merkuri (Hg) mg/kg Cemaran Arsen (As) mg/kg Cemaran mikroba Angka lempeng total (35oC 48 Koloni/g jam) 10.2 Escherichia Coli APM/g 10.3 Bacillus cereus Koloni/g 10.4 Kapang Koloni/g Sumber : Dewan Badan Standar Nasional (1996)
Maks. 0,2 Maks. 0,25 Maks. 40,0 Maks. 0,05 Maks. 0,5 Maks. 1 x 106 Maks. 10 < 1 x 104 Maks.1 x 104
8
3.
Es Air yang ditambahkan ke dalam adonan sosis biasanya dalam bentuk serpihan es, supaya suhu adonan selama penggilingan tetap rendah. Dengan adanya es, suhu dapat dipertahankan tetap rendah sehingga protein daging tidak terdenaturasi akibat gerakan mesin penggiling
dan
ekstraksi
protein
berjalan
dengan
baik
(Koswara, 2009). Tabel 2.4 Standar Mutu Air Menurut SNI 01-3553-2006 No Kriteria Uji Satuan 1 Bau 2 Rasa 3 Warna Unit Pt-Co 4 pH 5 Kekeruhan NTU Sumber : Dewan Standarisasi Nasional (2006).
Persyaratan Tidak berbau Normal Maks. 5 6,0-8,5 Maks. 1,5
Prinsip pembuatan sosis adalah emulsi. Emulsi sosis tersebut sangat dipengaruhi oleh jumlah air yang ditambahkan. Penambahan air dalam bentuk es batu atau air es pada pembentukan emulsi bertujuan untuk memudahkan ekstraksi protein, membantu pembentukan emulsi dan mempertahankan suhu adonan tetap rendah akibat pemanasan mekanis. Produk sosis yang emulsi diperoleh dari penambah berat atau volume produk pada sosis yang ditambahkan dengan bahan pengisi (Irnani, 2014). 4. Bawang putih Nama binomial Allium sativum. Bawang putih termasuk klasifikasi tumbuhan berumbi lapis atau siung yang bersusun. Pada kenyataannya bawang putih hanya diambil manfaat sebagai bumbu dapur yang hanya digunakan untuk memberikan rasa sedap dan mantap di setiap masakan. Sehingga bawang putih atau Allium sativum sudah menjadi bahan dapur wajib saat memasak karena aroma dan rasa yang dihasilkannya menambah sedap setiap resep masakan (Untari, 2010). Bawang putih adalah salah satu bahan yang paling umum digunakan dalam pembuatan sosis. Selain penyedap makanan, bawang
9
putih dipakai sebagai antioksidan dan antimikroorganisme. Bawang putih memiliki banyak manfaat, bukan hanya sebagai antibakteri, antivirus dan antijamur tetapi juga memiliki efek menguntungkan pada sistem kekebalan tubuh (Ankri, 1999). Tabel 2.5 Syarat Mutu Bawang Putih Menurut SNI 01-3160-1992 Karakteristik 1 Kesamaan sifat varietas Tingkat ketuaan Kekompakan suing Kebernasan suing Kekeringan Kulit luar pembungkus umbi Kerusakan, % (bobot) maks. Busuk, % (bobot) maks. Diameter minimum (cm)
Syarat Mutu I 2 Seragam Tua Kompak Bernas Kering Sempurna
Mutu II 3 Seragam Tua Kurang kompak Kurang bernas Kering Kurang sempurna
5
8
1
2
3,0
2,5
Kotoran Tidak ada Tidak ada Sumber : Dewan Badan Standar Nasional (1992)
Cara Pengujian 4 Organoleptik Organoleptik Organoleptik Organoleptik Organoleptik Organoleptik SP-SMP310-1981 SP-SMP311-1981 SP-SMP309-1981 Organoleptik
5. Garam Bahan tambahan pangan umumnya ditambahkan untuk menjaga dan memperbaiki kualitas produk. Garam sebagai bahan tambahan pangan mempunyai berbagai fungsi yang menguntungkan. Berbeda dengan industri pengolahan tradisional, industri pengolahan modern biasanya terfokus pada pemanfaatan garam dalam rangka memperbaiki cita rasa dan penampilan produk serta tekstur daging ikan (Winarno, 1997). Tabel 2.6 Syarat Mutu Garam Konsumsi Beryodium Menurut SNI 013556-2010 No 1 2 3 4
Kriteria uji Kadar air (H2O) (b/b) Kadar NaCl (natrium klorida) dihitung dari jumlah klorida (Cl-) (b/b) adbk Bagian yang tidak larut dalam air (b/b) adbk Yodium dihitung sebagai kalium iodat (KIO3) adbk
Satuan %
Persyaratan Maks. 7
%
Min 94
%
Maks. 0,5 Min. 30
mg/kg
10
5 Cemaran logam : 5.1 Kadmium (Cd) 5.2 Timbal (Pb) 5.3 Raksa (Hg) 6 Cemaran Arsen (As) Catatan 1: b/b adalah bobot/bobot Catatan 2: adbk adalah atas dasar bahan kering Sumber : Dewan Badan Standar Nasional (2010)
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks. 0,5 Maks. 10,0 Maks. 0,1 Maks. 0,1
Cita rasa suatu produk biasanya merupakan gabungan dari tiga komponen, yaitu aroma, rasa, dan rangsangan mulut. Garam sebagai pembangkit aroma dan cita rasa serta penstabil warna daging ikan mempunyai fungsi dan peranan penting dalam proses preparasi dan pengolahan
pangan.
Garam
biasanya
ditambahkan
untuk
mempertahankan warna daging dan mendapatkan rasa asin yang diinginkan (Buckle, 1985). 6. Gula pasir Pemberian
gula
akan
mempengaruhi
cita
rasa
yaitu
meningkatkan rasa manis, kelezatan, aroma, tekstur daging, dan mampu menetralisir garam yang berlebihan serta menambah energi. Selain itu gula memiliki daya larut yang tinggi dan dapat mengikat air sehingga dapat berfungsi sebagai pengawet. Adanya glukosa, sukrosa, pati, dan lain-lain dapat meningkatkan citarasa pada makanan serta menimbulkan rasa khusus pada makanan (Buckle et al, 1987). Tabel 2.9 Syarat Mutu Gula Kristal Berdasarkan SNI 01-3140-2010 No 1 1.1 1.2 2 3 4 5 6 6.1 7 7.1 7.2 7.3
Parameter uji Warna Warna Kristal Warna Larutan (ICUMSA) Besar Jenis Butir Susut Pengeringan (B/B) Polarisasi (oZ, 20oC) Abu Konduktiviti (b/b) Bahan Tambahan Pangan Belerang dioksida (SO2) Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Arsen (As)
Satuan CT IU Mm % āZā %
Persyaratan GKP 1 GKP 2 4,0-7,5 81-200 0,8-1,2 Maks 0,1 Min 99,6 Maks 0,10
7,6-10,0 201-300 0,8-1,2 Maks 0,1 Min 99,5 Maks 0,15
mg/kg
Maks 30
Maks 30
mg/kg mg/kg mg/kg
Maks 2 Maks 2 Maks 1
Maks 2 Maks 2 Maks 1
11
Sumber : Dewan Badan Standar Nasional (2010)
7. Minyak goreng Definisi minyak goreng menurut SNI 01-3741-2013 adalah bahan pangan dengan komposisi utama trigliserida berasal dari bahan nabati kecuali kelapa sawit, dengan atau tanpa perubahan kimiawi, termasuk hidrogenasi, pendinginan dan telah melalui proses rafinasi atau pemurnian yang digunakan untuk menggoreng. Adapun syarat mutu untuk minyak goreng dapat dilihat pada Tabel 2.7. Tabel 2.7 Syarat Mutu Minyak Goreng berdasarkan SNI 01-37411995 No . 1
Kriteria Uji
Satuan
Persyaratan Mutu (SNI 01-3741-1995)
Keadaan: Bau Normal Warna Normal Rasa Normal 2 Air % b/b Maks. 0,30 Asam lemak bebas 3 (dihitung sebagai % b/b Maks. 0,30 asam laurat) Bahan makanan Sesuai SNI 022-M dan Permenkes No. 4 tambahan 722/Menkes/Per/IX/88 5 Cemaran logam: mg/kg Maks. 1.5 - Besi (Fe) mg/kg Maks. 0,1 - Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 0,1 - Raksa (Hg) mg/kg Maks. 40,0 - Timbal (Pb) mg/kg Maks. 0,005 - Timah (Sn) mg/kg Maks. 40,0/250,0*) - Seng (Zn) 6 Arsen (As) % b/b Maks. 0,1 7 Angka Peroksida mg O2/gr Maks. 1 Sumber: Badan Standarisasi Nasional (1995)
Penambahan lemak dalam pembuatan sosis berguna untuk membentuk sosis yang kompak dan empuk serta memperbaiki rasa dan aroma sosis. Jumlah penambahan lemak tidak boleh lebih dari 30% dari berat daging untuk mempertahankan tekstur selama pengolahan dan penanganan. Penambahan lemak yang terlalu banyak akan mengakibatkan hasil sosis yang keriput. Sedangkan penambahan
12
terlalu sedikit akan menghasilkan sosis yang keras dan kering (Koswara, 2009). Untuk memperoleh sosis yang kompak, teksur yang empuk, rasa dan aroma sosis yang lebih baik dapat ditambahkan lemak. Lemak yang ditambahkan dapat berupa lemak nabati atau lemak hewani untuk pembuatan sosis, dengan kadar 5-25%. Pemakaian lemak nabati yaitu tidak mengandung kolesterol, kandungan linoleat, oleat, linolenat lebih besar disbanding lemak hewani, disamping itu harganya juga lebih murah (Dotulong, 2009). 8. Telur Salah satu bahan tambahan yang dapat meningkatkan kualitas sosis adalah telur. Telur mengandung protein dan dapat berperan sebagai binding agent yakni mengikat bahan-bahan lain sehingga menyatu yang diharapkan dapat memperoleh sosis dengan kualitas yang lebih baik (Evanuarini, 2010). Telur merupakan salah satu bahan pangan yang bergizi. Muchtadi (1992) menyatakan bahwa kandungan gizi telur terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral. Kualitas telur segar tidak dapat dipertahankan dalam waktu yang lama tanpa adanya perlakuan khusus. Lama penyimpanan pada telur akan menentukan kondisi dari telur tersebut. Kualitas telur akan menurun dan mengakibatkan kerusakan pada telur, apabila dilakukan penyimpanan dalam waktu lama. Kerusakan telur tersebut ditandai oleh pecahnya isi telur, sehingga bagian utama di dalam isi telur tercampur (putih telur dan kuning telur). Tan (2012), menyatakan bahwa kualitas telur dapat berubah karena adanya perlakuan yang diberikan seperti pemanasan dan penyimpanan. Pemanasan pada telur dapat dilakukan dengan cara pasteurisasi yakni suatu cara pemanasan dengan suhu 60o C selama 3,5 menit untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen yang terdapat pada
telur.
Kualitas
telur
dapat
menurun
terutama
selama
13
penyimpanan. Penguapan air akan terjadi karena adanya penyimpanan telur yang mengakibatkan penurunan berat pada telur terutama dari putih telur. Hajrawati (2011) menyatakan bahwa pH telur akan naik karena kehilangan CO2. Kadar air pada telur akan hilang akibat lama simpan pada telur dan suhu penyimpanan untuk telur yang akan mempercepat terjadinya reaksi metabolisme dan pertumbuhan bakteri. Tabel 2.8 Syarat Mutu Telur Ayam Berdasarkan SNI 3926-2008 No 1
Faktor Mutu Kondisi Kerabang a. Bentuk b. Kehalusan c. Ketebalan d. Keutuhan e. Kebersihan
Mutu I
Tingkat Mutu Mutu II
Normal Halus Tebal Utuh Bersih
Normal Halus Sedang Utuh Sedikit noda kotor (stain) Sumber: Badan Standarisasi Nasional (2008)
Mutu III
Abnormal Sedikit kasar Tipis Utuh Banyak noda dan sedikit kotor
Telur segar dapat dipertahankan mutunya dalam waktu yang relatif lama bila disimpan dalam ruangan dingin dengan kelembaban udara antara 80-90%. Dalam hal ini telur disimpan sedekat mungkin di atas titik beku telur yaitu -2oC. Suhu yang rendah ini akan memperlambat hilangnya CO2 dan air dari dalam telur serta penyebaran air dari putih ke kuning telur. Untuk lebih menghambat hilangnya CO2 maka kadar CO2 di dalam ruang penyimpanan dapat ditingkatkan sampai 3% (Koswara, 2009). 9. Lada Lada tidak hanya berfungsi sebagai sumber rasa pedas, namun juga sebagai penyedap rasa dan aroma. Lada mengandung beberapa zat kimia seperti alkaloid (piperin), eteris, dan resin. Alkaloid tidak berdampak negatif terhadap kesehatan bila dikonsumsi dalam jumlah yang tidak berlebihan. Eteris adalah sejenis minyak yang dapat memberikan aroma sedap dan rasa enak pada masakan. Resin adalah
14
zat yang dapat memberikan aroma harum dan khas bila dipakai sebagai bumbu ataupun parfum (Sarpian, 2003). 10. Pala Bumbu-bumbu yang ditambahkan dalam pembuatan sosis dimaksudkan untuk menambah cita rasa sesuai selera konsumen. Bumbu yang digunakan dalam pembuatan sosis adalah merica, bawang putih, bawang merah, pala, jahe, dan MSG. Menurut Soeparno (1994), penambahan bahan penyedap dan bumbu, terutama ditujukan untuk menambah atau meningkatkan rasa, karena bahan penyedap dapat meningkatkan dan memodifikasi flavour yang berbeda. Beberapa bumbu ini bersifat sebagai antioksidan sehingga dapat menghambat ketengikan serta memiliki aktivitas antimikroba sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba merugikan. Tabel 2.8 Syarat Mutu Pala berdasarkan SNI 01-0006-1993 No Jenis Uji Satuan 1 Kadar air (b/b) % 2 Biji berkapang % 3 Serangga utuh mati ekor 4 Kotoran mamalia mg/lbs 5 Kotoran binatang lain mg/lbs 6 Benda asing (b/b) % Sumber: Badan Standarisasi Nasional (1993)
Persyaratan maks. 10 maks. 8 maks. 4 maks. 0 maks. 0 maks. 0
Pala adalah salah satu jenis rempah-rempah yang banyak digunakan dalam industri makanan, farmasi, dan kosmetik. Biji dan fuli pala (selaput biji) digunakan sebagai sumber rempah-rempah, sedangkan daging buah pala sering diolah menjadi berbagai produk pangan seperti manisan, sirup, jam, jeli, dan chutney. Minyak biji pala terutama digunakan dalam industri flavour (penambah cita rasa) makanan dan dalam jumlah kecil digunakan dalam industri farmasi dan kosmetik (Winarti, 2012). 11. Selongsong Casing digunakan untuk memberikan bentuk dan ukuran yang disukai oleh konsumen. Casing sosis dibedakan sebagai casing alami dan casing buatan. Casing alami ini dibuat dari usus besar sapi, babi,
15
kuda dan lainnya. Untuk casing buatan, pada umumnya dibuat dari selulosa, bahan berserat, plastik dan kolagen. Namun demikian yang paling baik adalah casing buatan dari kolagen (Koswara, 2009). Menurut Kramlich (1973), selongsong buatan terdiri atas empat kelompok yaitu sellulosa, kolagen yang dapat dimakan, kolagen yang tidak dapat dimakan dan plastik. Pada dasarnya selongsong alami adalah kolagen, selama pengolahan sosis, selongsong alami dalam keadaan basah mudah ditembus olah asap dan cairan. Selongsong alami menjadi kurang permeabel karena pengeringan dan pengasapan. C. Pengendalian Mutu Prawirosentono (2004) menyatakan secara garis besar bahwa pengendalian mutu dapat diklasifikasikan menjadi tiga (3), yaitu pengendalian mutu bahan baku, pengendalian mutu dalam proses pengolahan dan pengendalian mutu produk akhir. Pengendalian mutu / kualitas merupakan salah satu fungsi yang terpenting dari suatu perusahaan. Setiap perusahaan mempunyai fungsi pengendalian mutu biasanya dilakukan oleh bagian pengawasan mutu akan tetapi didalam suatu perusahaan bagian pengendalian/pengawasan mutu tidak selalu ada tergantung pada besar kecilnya suatu perusahaan dan jenis produk dari perusahaan tersebut. Suatu produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dapat memberikan dampak yang cukup besar terhadap mutu produk yang dihasilkan dapat menekan presentase dari cacat produk dapat ditekan sekecil mungkin, sehingga perusahaan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Menurut (Assauri, 2008) suatu produk didasarkan oleh ukuran dan karakteristik dari produk yang diproduksi sesuai dengan keingian konsumen. Keinginan/selera antar pembeli juga berbeda mungkin dikarenakan perbedaan sifat daerah asalnya, tingkat sosialnya ataupun sebab lainnya. Akibat kenyataan ini menyulitkan bagi perusahaan (produsen) untuk memilih dan menentukan faktor mutu yang diminta oleh
16
pembeli.
Oleh
karena
itu
perusahaan
harus
melakukan
pengawasan/pengendalian terhadap produk yang dihasilkan. Walaupun proses
produksi
telah
dilaksanakan
dengan
baik,
namun
pada
kenyataannya masih ditemukan terjadinya kesalahan-kesalahan dimana mutu produk yang dihasilkan tidak sesuai dengan standar kualitas apa yang diharapkan oleh perusahaan (produsen), faktor-faktor yang menyebabkan suatu produk tidak sesuai dengan apa yang diharapkan disebabkan oleh bahan baku, tenaga kerja, dan kinerja mesin (peralatan). Oleh karena itu perusahaan (produsen) lebih fokus terhadap mutu/kualitas dengan cara melakukan pengawasan/pengendalian mutu agar dapat tercapainya tujuan perusahaan. Dalam konteks pemasaran, bertambahnya pelaku usaha, diantaranya UKM untuk menarik pembeli/pelanggan harus menerapkan standar mutu pada produk yang dihasilkannya. Untuk menjamin hal tersebut sesuai tuntutan pasar, maka diantaranya diperlukan suatu proses pengendalian proses produksi berkelanjutan, agar mutu produk terjamin dan meningkat seiring dengan kebutuhan konsumen yang nantinya berdampak terhadap loyalitasnya terhadap produk tersebut. Standar mutu meliputi bahan baku, proses produksi dan produk jadi. Pengendalian mutu adalah pengukuran kinerja produk, membandingkan dengan standar dan spesifikasi produk, serta melakukan tindakan koreksi apabila terdapat penyimpangan. (Sonalia, 2012).
D. CPPB (Cara Produksi Pangan Yang Baik) Cara Produksi Pangan Yang Baik (CPPB) merupakan salah satu faktor penting untuk memenuhi standar mutu atau persyaratan keamanan pangan yang ditetapkan untuk pangan. CPPB sangat berguna bagi kelangsungan hidup industri pangan baik yang berskala kecil, sedang, maupun yang berskala besar. Melalui CPPB ini, industri pangan dapat menghasilkan pangan yang bermutu, layak dikonsumsi, dan aman bagi kesehatan. Dengan menghasilkan pangan yang bermutu dan aman untuk
17
dikonsumsi, kepercayaan masyarakat akan meningkat dan industri pangan yang bersangkutan akan berkembang pesat. Dengan berkembangnya industri pangan yang menghasilkan pangan bermutu dan aman untuk dikonsumsi, maka masyarakat pada umumnya akan terlindung dari penyimpangan mutu pangan dan bahaya yang mengancam kesehatan. CPPB-IRT menjelaskan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi tentang penanganan pangan di seluruh mata rantai produksi mulai dari bahan baku sampai produk akhir yang mencakup : 1. Lokasi dan Lingkungan Produksi 2. Bangunan dan Fasilitas 3. Peralatan Produksi 4. Suplai Air atau Sarana Penyediaan Air 5. Fasilitas dan Kegiatan Higiene dan Sanitasi 6. Kesehatan dan Higiene Karyawan 7. Pemeliharaan dan Program Higiene Sanitasi Karyawan 8. Penyimpanan 9. Pengendalian Proses 10. Pelabelan Pangan 11. Pengawasan Oleh Penanggungjawab 12. Penarikan Produk 13. Pencatatan dan Dokumentasi 14. Pelatihan Karyawan (BPOM-RI, 2012).