BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Konsep Terdapat beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian tersebut, diantaranya: 1. Perkembangan Tata Kelola Wisata Dikatakan oleh F.J Monks, dkk pengertian perkembangan adalah merujuk pada suatu proses kearah yang lebih sempurna dan tidak dapat begitu saja diulang kembali (Desmita 2011:8). Perkembangan juga dapat diartikan sebagai proses yang kekal dan tetap menuju ke arah suatu organisasi pada tingkat integrasi yang lebih tinggi. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:411) “Pengelolaan berarti proses, cara, perbuatan pengelola, proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang lain, proses yang membantu merumuskan kebijaksanaan dan tujuan organisasi, proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dan pencapaian tujuan.” Indikator penting dalam kesuksesan suatu obyek dan daya tarik wisata adalah pengunjung yang banyak serta kepuasan dan tumbuhnya gambaran mengesankan dari wisatawan setelah berkunjung ke obyek dan daya tarik wisata. Kesuksesan obyek dan daya tarik wisata diraih manajeman melalui usaha, pengaturan, penataan, peningkatan mutu produk, pelayanan, dan cara menghadapi persaingan pada usaha wisata. Manajemen obyek dan daya tarik wisata memiliki otoritas dalam merencanakan dan membangun usaha untuk mencapai tujuan secara efektif (Soemanto, 2011:247-248). Pengelola menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti orang yang mengelola. Dalam hal ini pengelola mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan jalannya usaha wisata. Faktor manusia atau sumber daya manusia yang didukung oleh mutu sajian produk layanan yang baku, sistem
10
manajemen yang baik, perencanaan dan implementasi yang tahapannya jelas sangat mendukung dalam pengelolaan obyek dan daya tarik wisata. Selain itu faktor internal dan eksternal usaha dan daya tarik wisata saling berkaitan dan berperan aktif dalam proses transaksi usaha pariwisata. Peran pemerintah juga dibutuhkan dalam membina, mengawasi dan mengarahkan usaha-usaha dibidang usaha obyek dan daya tarik wisata (Soemanto 2011:254). Perkembangan obyek dan daya tarik wisata baik itu berdampak positif maupun negatif tergantung pada manajemen dan tata pengelolaan yang diperankan oleh pemangku kepentingan seperti pemerintah, industri dan masyarakat. Pencapaian tujuan dan misi pembangunan obyek dan daya tarik wisata berlanjut dan berwawasan lingkungan dapat terlaksana dengan baik jika berprinsip pada partisipasi masyarakat lokal, keterlibatan pemangku kepentingan, kemitraan kepemilikan lokal, pemanfaatan sumber daya secara berlanjut, mengakomodasi aspirasi masyarakat, daya dukung lingkungan, monitor dan evaluasi program, akuntabilitas lingkungan, pelatihan pada masyarakat terkait, serta promosi dan advokasi nilai budaya kelokalan (Sunaryo, 2013:77-80). Berdasarkan beberapa definisi di atas yang dimaksud dengan perkembangan adalah suatu proses menuju keadaan yang lebih baik dengan memperhatikan tujuan yang jelas. Perkembangan obyek dan daya tarik wisata dilakukan dengan maksud untuk menambah, memperbaiki bahkan merubah unsur-unsur yang terkandung didalamnya seperti wisatawan, atraksi, fasilitas dan organisasi wisata dengan arah perkembangan potensi yang lebih baik dan kreatif sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat sekitar dan pemangku kepentingan serta keinginan wisatawan. 2. Obyek dan Daya Tarik Wisata Obyek wisata adalah segala sesuatu yang terdapat di daerah tujuan wisata dan merupakan daya tarik agar orang-orang atau calon wisatawan
11
datang berkunjung ke suatu tempat daerah tujuan wisata, dan daya tarik tersebut antara lain: a. Benda-benda yang tersedia dan terdapat di alam semesta atau disebut natural amenitis yang meliputi iklim, bentuk tanah dan pemandangan, hutan belukar, fauna dan flora, serta pusat-pusat kesehatan misalnya sumber air mineral. b. Hasil ciptaan manusia (man-made supply). Daya tarik ini adalah bendabenda yang bersejarah, kebudayaan dan tradisional misalnya monumen bersejarah, museum, perpustakaan, rumah beribadah acara tradisional. c. Tata cara hidup masyarakat (the way life). Kebiasaan hidup dan adat istiadat merupakan daya tarik wisatawan di daerah tujuan wisata. (Yoeti, 1996:176) Gamal Suwantoro menyebutkan bahwa obyek wisata merupakan potensi yang menjadi pendorong kehadiran wisatawan ke suatu daerah. Selanjutnya obyek wisata ini dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu: a. Obyek wisata dan daya tarik wisata alam, yaitu obyek wisata yang daya tariknya bersumber pada keindahan dan kekayaan alam. b. Obyek wisata dan daya tarik budaya, yaitu obyek dan daya tarik bersumber pada kebudayaan, seperti peninggalan sejarah, museum, atraksi kesenian, dan obyek lain yang berkaitan dengan budaya. c. Obyek wisata dan daya tarik pada minat khusus, yaitu obyek wisata daya tariknya bersumber pada minat khusus wisatawan itu sendiri, misalnya olah raga dan memancing. (Demartoto, 2008:16-17) Beberapa sifat dan kondisi obyek dan daya tarik wisata antara lain: a. Obyek dan daya tarik wisata memiliki keunggulan dan keunikan yang tidak bisa ditemukan di tempat lain. Daya tarik tersebut sebagai tempat untuk menambah pengetahuan, mencari kesenangan dan sebagainya.
12
b. Di lokasi (obyek wisata), wisatawan dapat bertemu dengan warga masyarakat setempat yang mempunyai pola perilaku sosial budaya dengan karakteristik dan cara hidup yang khas dan berbeda dari masyarakat asal wisatawan. c. Menurut Yoeti, di lokasi atraksi wisata (daya tarik wisata) tersebut, wisatawan mendapatkan kenang-kenangan berupa cinderamata sebagai bukti atas kunjungan atau dapat juga merasakan makanan dan berpartisipasi dalam proses kegiatan rutin masyarakat setempat. d. Di lokasi obyek dan daya tarik wisata terjalin hubungan antara berbagai unsur
atau
komponen
kepariwisataan
seperti
sarana
transportasi,
akomodasi, jasa boga, cindera mata, layanan panduan wisata dan sebagainya. e. Menurut Kodhiyat, ada komponen kepariwisataan yaitu biro perjalanan wisata atau usaha perjalanan wisata yang berfungsi mengkaitkan berbagai unsur kepariwisataan dalam mengembangkan kegiatan pariwisata. (Soemanto, 2011:128) Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa obyek dan daya tarik wisata adalah sesuatu berupa benda-benda di alam, benda-benda peninggalan sejarah, hasil ciptaan manusia dan tata kehidupan manusia yang terdapat di suatu daerah tujuan wisata dengan keunggulan, keunikan dan ciri khas tersendiri kemudian dikemas semenarik mungkin sehingga hal tersebut menjadi suatu daya tarik bagi wisatawan. 3. Daya Tarik Wisata Budaya Wisata budaya (cultural tourism) adalah jenis pariwisata yang maksud dan tujuan perjalanannya dalam rangka memperkaya informasi dan menambah pengetahuan tentang daerah lain, mendapat kepuasan dari hasil kebudayaan suatu tempat atau daerah seperti tari tradisional serta cara hidup dari masyarakat setempat (Yoeti 1996:123). Wisata budaya dilakukan karena ada motivasi orang-orang untuk melakukan perjalanan yang disebabkan 13
karena adanya daya tarik dari seni budaya suatu tempat atau daerah. Perjalanan wisata budaya memiliki banyak kesempatan bagi wisatawan untuk mengambil bagian dari kebudayaan itu sendiri di tempat yang dikunjungi. Daya tarik wisata budaya merupakan peninggalan sejarah, purbakala serta seni di suatu daerah dan sub daerah wisata merupakan warisan budaya khas, unik dan unggul yang dilestarikan, dikelola, serta dikemas untuk meningkatkan usaha pengembangan pariwisata daerah dan peran masyarakat (Soemanto, 2011:128). Obyek dan daya tarik wisata berupa warisan sejarah, purbakala, dan seni memiliki keunikan dan kekhasan sosial budaya. Wisatawan didukung dengan sarana prasarana berusaha untuk mengunjungi obyek dan daya tarik wisata budaya yang dikelola oleh layanan pariwisata sehingga menguatkan persepsi wisatawan terhadap obyek tujuan wisata budaya. Perjalanan wisata yang dilakukan wisatawan adalah tindakan keputusan individual. Menurut McIntosh ada beberapa faktor yang mendorong wisatawan mengunjungi obyek dan daya tarik wisata budaya yaitu: a. Motif budaya, wisatawan ingin melihat, mengetahui, mempelajari tata cara hidup kebudayaan masyarakat atau bangsa lain. b. Motif interpersonal, tujuan wisatawan untuk bertemu keluarga, teman, atau ingin berkenalan dengan orang-orang tertentu seperti tokoh politik, seniman, supranatural dan sebagainya. c. Motif status atau prestise, wisatawan merasa gengsi sosialnya terangkat jika mengunjungi obyek dan atraksi wisata budaya. (Soemanto, 2011:130) Pengembangan obyek dan daya tarik wisata budaya meliputi beberapa hal yaitu: a. Mengenalkan, melestarikan, dan mengembangkan obyek wisata Obyek dan daya tarik wisata budaya yang dikemas bagi pengembangan pariwisata diusahakan untuk diperkenalkan bagi calon 14
wisatawan. Obyek dan daya tarik wisata budaya memiliki daya tarik khusus sehingga harus dipromosikan kepada calon wisatawan agar mencapai tujuan yang optimal. Warisan budaya dan peninggalan sejarah serta hasil kesenian dan kerajinan yang ditemukan masyarakat berpotensi untuk dikembangkan menjadi obyek dan daya tarik wisata. Potensi obyek wisata terletak pada peranan masyarakat pendukungnya atau pola kegiatan rutin masyarakat pendukung sehingga memberikan ciri khusus serta keunikan tersendiri. b. Masyarakat dan obyek daya tarik wisata Masyarakat memiliki pola tingkah laku sosial yang dapat dilihat dan diamati. Peranan individu, kelompok sosial dan masyarakat terlihat dari hubungan timbal balik yang dilakukan. Solidaritas berlangsung dalam landasan nilai dan norma sosial yang berfungsi sebagai sistem kontrol sosial serta termanifestasi dalam fungsi reward dan sanksi terhadap perilaku individu. (Soemanto, 2011:131-150) Menurut beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa obyek dan daya tarik wisata budaya adalah peninggalan sejarah dari masa lampau berupa bangunan kuno, benda-benda purbakala, kesenian tradisional, cerita tradisional yang memiliki nilai moral dan memiliki ciri khas atau keunikan kemudian dikelola dan dikemas oleh masyarakat dan pemerintah daerah untuk disajikan kepada wisatawan yang memiliki minat khusus terhadap kebudayaan sehingga meningkatkan potensi wisata daerah dan sebagai usaha pelestarian kebudayaan. 5. Wisatawan Sesuai dengan pasal 5 Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 870 yang dimaksud dengan pengunjung adalah setiap orang yang mengunjungi suatu negara yang bukan tempat tinggal biasanya dengan alasan apapun juga kecuali mengusahakan suatu pekerjaan yang dibayar oleh negara tujuan (Yoeti, 1996:130). 15
Seseorang melakukan perjalanan dimotivasi oleh beberapa hal menurut Mcintosh dan Murphy yaitu: a. Physical or physiological motivation (motivasi yang bersifat fisik atau fisiologis) antara lain untuk relaksasi, kesehatan, kenyamanan, bersantai. b. Cultural motivation (motivasi budaya), yaitu keinginan untuk mengetahui budaya, adat, tradisi, dan kesenian daerah serta obyek tinggalan budaya. c. Social motivation (motivasi yang bersifat sosial) seperti mengunjungi teman atau keluarga, menemui rekan kerja, melakukan hal yang dianggap mendatangkan nilai prestise, dan melakukan ziarah. d. Fantasy motivation (motivasi fantasi) yaitu adanya fantasi bahwa di daerah lain seseorang dapat lepas dari rutinitas keseharian yang membosankan. (Pitana dan Gayatri, 2005:59) Menurut James Spillane, wisatawan dapat merasa puas dalam menikmati suatu perjalanan jika obyek wisata meliputi beberapa unsur sebagai berikut: a. Attractions, adalah pusat industri pariwisata yang mampu menarik wisatawan dengan motivasi tertentu yaitu memenuhi atau memuaskan beberapa kebutuhan atau permintaan yang tertarik pada suatu lokasi tertentu karena ada ciri khas. b. Facility, fasilitas berorientasi pada atraksi di lokasi wisata. Fasilitas mendukung pertumbuhan dan perkembangan dari atraksi serta jumlah dan jenisnya tergantung dari kebutuhan wisatawan. c. Infrastructure, yang termasuk semua kontruksi di bawah dan di atas tanah dari suatu daerah sehingga atraksi dan fasilitas dapat tercapai dengan mudah. Infrastruktur yang penting dalam pariwisata adalah sistem pengairan, sumber listrik, jaringan komunikasi, sistem pembuangan kotoran, jasa kesehatan dan keindahan jalan raya. d. Transportation, yang lebih berkaitan dengan lokasi terminal, keamanan terminal, rambu-rambu, info jadwal dan tarif, tenaga kerja, rute dan peta.
16
e. Hospitality, keramahtamahan dan keamanan harus diciptakan dan disediakan agar wisatawan merasa aman selama berlibur. (Demartoto, 2014:11-12) Dari pengertian yang telah disampaikan, maka yang dimaksud dengan wisatawan adalah seseorang atau sekelompok yang mengunjungi suatu daerah tertentu yang bukan daerah asalnya, untuk menikmati daya tarik dengan motivasi wisata yang berbeda berdasarkan latar belakang kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi. B. Penelitian Terdahulu Pencarian hasil penelitian terdahulu dengan fokus penelitian yang hampir sama kiranya penting dilakukan sebagai bahan pertimbangan dan acuan dalam melaksanakan penelitian selanjutnya. Terdapat beberapa hasil penelitian yang sebelumnya pernah dilakukan oleh peneliti lain dengan fokus penelitian tidak berbeda jauh dengan fokus penelitian yang sedang penulis lakukan, beberapa penelitian tersebut antara lain: Penelitian berjudul The Development of Cultural Tourism: A Review of UK Experience dalam Tourismos: An International Multidisciplinary Journal Of Tourism Volume 6, Number 2, Autumn 2011, pp. 363-376 (2011) oleh Yi-De Liu dan Chi-Fan Lin. Dalam penelitian ini membahas tentang pengembangan pariwisata budaya di Inggris. London dengan potensi warisan dan atraksi budaya Inggris, Edinburg dengan kastil dan festival, Glasgow yang mengubah citra kota dengan kebudayaan Eropa dan banyak dikunjungi tahun 1990, serta Liverpool yang juga mengubah citra kota dengan kebudayaan Eropa dan banyak dikunjungi taun 2008. Pembangunan pariwisata di Inggris yang menekankan pada karakteristik dan atraksi budaya menjadi pegangan untuk peningkatan ekonomi. Sehingga sangat ditekankan investasi, mempertahankan karakteristik lokal, dan perawatan terhadap hasil kebudayaan. Keterkaitan dengan penelitian ini adalah perkembangan daya tarik wisata budaya dengan menonjolkan karakteristik lokal peninggalan sejarah berupa kastil 17
atau disebut juga keraton. Sementara perbedaannya terletak pada lokasi penelitian dan konsep pengembangan wisata di setiap daerah berbeda tindakannya dimana lebih menonjolkan festival serta pengubahan citra kota melalui pengelola jasa wisata, sedangkan penelitian ini lebih berfokus pada perkembangan tata kelola obyek dan daya tarik Keraton Surakarta serta keunggulan dari daya tariknya. Penelitian dengan judul Heritage Tourism Management Service Enhancement And Sustainability Volume 9, No. 12 (2012) dalam Heritage Tourism for Economic Development oleh Sandeep Munjal dan Gaurav Tripathi. Dalam penelitian ini membahas tentang pembangunan model wisata budaya berupa bangunan-bangunan kuno yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat India dan peningkatan layanan oleh pemangku kepentingan wisata terkait. Di City Palace Complex dan Udaipur and The Qutub Minar Complex, New Delhi, India adalah kedua kawasan wisata yang sudah dikelola dengan baik. Berdasarkan kebutuhan wisatawan dilihat dari segi aksesibilitas, ketersediaan makanan dan minuman, kualitas servis pada pengunjung, mendapatkan penilaian yang baik, namun dari segi harga makanan yang ditawarkan, komunikasi dengan wisatawan, serta ketersediaan tempat istirahat untuk pengunjung masih perlu ditingkatkan oleh pengelola wisata di City Palace Complex dan Udaipur and the Qutub Minar Complex. Keterkaitan antara penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah membahas tentang pengelolaan obyek dan daya tarik wisata khususnya wisata budaya berupa keraton atau kerajaan sesuai dengan kebutuhan wisatawan serta masih sama-sama perlu ditingkatkan komunikasi dengan wisatawan asing. Sedangkan perbedaannya adalah lokasi penelitian yaitu di New Delhi, India sedangkan penelitian yang akan dilakukan berlokasi di Surakarta. Penelitian berjudul Analisis Penawaran Dan Permintaan Wisata dalam Pengembangan Potensi Pariwisata di Keraton Surakarta Hadiningrat (2005) oleh Aris Suprapto. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji aspek penawaran dan permintaan wisata Keraton Surakarta, manajemen pengelolaannya dan strategi 18
pengembangan potensi pariwisata di Keraton Surakarta. Hasil dari penelitian tersebut adalah dalam pengelolaannya banyak permasalahan yaitu lembaga yang dibentuk belum bekerja secara optimal dan lebih cenderung bercorak tradisional, sehingga sistem manajemen yang diterapkan belum mapan dan belum optimal, keterbatasan dana sehingga banyak bangunan keraton sebagai cagar budaya yang kurang terawat dan beralih fungsi atau dijual ke swasta, benda bersejarah koleksi museum banyak yang hilang, hal ini ditambah dengan pertumbuhan kawasan sekitarnya yang tidak terkendali dan konflik yang berkepanjangan. Kaitan dengan penelitian ini adalah persamaan pemilihan lokasi penelitian yaitu Keraton Surakarta dan tema penelitian yang membahas tentang pengelolaan obyek dan daya tarik wisata keraton. Sedangkan perbedaan penelitian terdahulu yaitu membahas mengenai aspek penawaran wisata yaitu atraksi, akomodasi, fasilitas pendukung, prasarana dan transportasi serta sistem manajemen pengelolaan keraton dan penelitian ini membahas tentang keunggulan dan daya tarik Keraton Surakarta serta tata kelola obyek dan daya tarik wisata keraton. Penelitian berjudul Pengembangan Pariwisata di Keraton Kasunanan Surakarta dan Pengaruhnya bagi Masyarakat Sekitar (2010) oleh Stefani Sari Respati. Penelitian ini membahas tentang pengembangan pariwisata yang dilakukan di Keraton Surakarta dan dampak dari pengembangan pariwisata terhadap masyarakat di sekitar keraton. Hasil penelitian ini menggambarkan faktor yang melatarbelakangi keraton menjadi obyek wisata adalah Keraton Surakarta merupakan suatu tempat atau pusat dari Kebudayaan Jawa Mataram, sarana transportasi yang sangat mudah, dan terdapat peninggalan-peninggalan sejarah berupa benda koleksi di museum dan bangunan-bangunan di komplek Keraton Surakarta. Dilihat dari perkembangan obyek wisata Keraton Surakarta meliputi tahap pengembangan yang mengarah pada perbaikan, baik perbaikan fisik maupun non fisik dan ada dampak yang ditimbulkan dari adanya wisata
19
Keraton Surakarta terhadap kehidupan masyarakat yaitu dibidang ekonomi dan sosial. Relevansi penelitian ini dengan penelitian ini adalah menekankan pada perkembangan obyek dan daya tarik wisata Keraton Surakarta. Sedangkan perbedaan penelitian tersebut adalah mengarah pada potensi fisik yang dimiliki oleh Keraton Surakarta dan dampak yang dirasakan oleh masyarakat sekitar keraton, sedangkan pada penelitian ini lebih mengarah pada perkembangan obyek dan daya tarik wisata Keraton Surakarta dilihat dari tata kelola serta mengarah pada keunggulan dan daya tarik wisata Keraton Surakarta dilihat dari persepsi pengelola dan wisatawan. Penelitian dengan judul Pelestarian Keraton Alwatzikhoebillah Sebagai Daya Tarik Wisata Sejarah di Sambas Kalimantan Barat (2011) oleh Nurchalis. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa sumber daya budaya Keraton Alwatzikhoebillah Sambas sebagai daya tarik wisata sejarah berupa arsitektur fisik, nilai-nilai sejarah dan perjuangan, perkembangan dan pembangunan sosial budaya, warisan budaya Melayu dan benda cagar budaya serta nilai sakral/spiritual masyarakat Sambas. Sementara faktor-faktor yang mendorong wisatawan datang mengunjungi Keraton Alwatzikhoebillah Sambas adalah motif refreshing/liburan,
pendidikan,
ingin
tahu
dan
memperluas
wawasan,
sosial/interpersonal, budaya dan sakral/spiritual. Pelestarian keraton memerlukan upaya dan peran serta pemerintah, membutuhkan pendanaan, promosi ditingkat lokal dan nasional serta upaya pemugaran terhadap keraton. Keterkaitan dengan penelitian ini adalah sama-sama membahas tentang daya tarik budaya yang dimiliki oleh keraton. Sedangkan perbedaan penelitian tersebut adalah lokasi penelitian di Sambas, Kalimantan Barat sedangkan pada penelitian ini adalah di Kota Surakarta. Selain itu aspek yang ditekankan pada penelitian sebelumnya adalah pelestarian keraton untuk daya tarik dari segi sejarah, sedangkan pada penelitian ini ditekankan pada perkembangan obyek dan
20
daya tarik wisata budaya dari segi tata kelola dan keunggulan dilihat dari persepsi pengelola dan wisatawan. Penelitian dengan judul Manajemen Pengelolaan Obyek Daya Tarik Wisata Masjid Agung Jawa Tengah (2014) oleh Fahrian Baihaqi. Penelitian ini membahas tentang manajemen pengelolaan Masjid Agung Jawa Tengah yang menggunakan asas-asas manajemen serta mengetahui faktor-faktor yang menjadi penghambat dan pendukung dalam pengelolaan Obyek Daya Tarik Wisata Masjid Agung Jawa Tengah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Masjid Agung Jawa Tengah memiliki beberapa obyek daya tarik wisata yaitu Menara Al-Husna, Payung raksasa, Bedug raksasa, Al-Qur’an raksasa, dan arsitekturnya yang indah. Obyek daya tarik wisata yang ada di Masjid Agung Jawa Tengah telah dikelola dengan manajemen berjalan sesuai dengan fungsi-fungsi manajemen. Namun masih ada beberapa kekurangan yang perlu diperhatikan yaitu dalam hal penegasan terhadap keamanan serta pemeliharaan obyek yang menjadi daya tarik di Masjid Agung Jawa Tengah. Relevansi dengan penelitian ini adalah membahas tentang tata kelola dalam suatu obyek dan daya tarik wisata. Sedangkan perbedaannya adalah lokasi dan obyek yang diteliti, dimana penelitian sebelumnya berlokasi di Semarang dan membahas tentang Masjid Agung, sedangkan penelitian ini berlokasi di Solo dan membahas tentang Keraton Surakarta. Selain itu penelitian sebelumnya lebih membahas tentang tata kelola dari segi asas dan fungsi manajemen, sedangkan penelitian yang akan dilakukan membahas perkembangan tata kelola obyek dan daya tarik wisata dari pemaknaan pengelola dan wisatawan. Penelitian dengan judul Desa Budaya Kertalangu Sebagai Usaha Daya Tarik Wisata di Kota Denpasar (2012) oleh Ni Ketut Wiwiek Agustina. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi dan keberadaan Desa Budaya Kertalangu sebagai salah satu usaha daya tarik wisata yang relatif baru di Kota Denpasar dari perspektif wisatawan. Hasil penelitian menunjukkan potensi budaya dan alamiah yang dimiliki Desa Budaya Kertalangu sangat besar dan 21
masih banyak yang bisa dikembangkan. Potensi-potensi inilah sebagai motivasi yang mendorong wisatawan untuk berkunjung, dimana didominasi oleh motivasi fisik (physical motivators). Sedangkan persepsi wisatawan yang mengunjungi Desa Budaya Kertalangu daya tarik tersebut terlihat dari pemandangan alam dan aktivitas masyarakat, jogging track dan kolam pancing, serta organisasi kepariwisataan/pengelola dalam keamanan. Kaitan dengan penelitian ini adalah membahas unggulan dan daya tarik wisata suatu daerah dilihat dari persepsi wisatawan serta kesamaan salah satu pendekatan yaitu kualitatif dengan teknik pengambilan data purposive sampling. Sementara itu perbedaan dari penelitian terdahulu adalah lokasi yang berada di Kota Denpasar dan obyek yang diteliti adalah Desa Budaya Kertalangu, sedangkan penelitian ini berada di Kota Surakarta dengan obyek wisata Keraton Surakarta. Perbedaan lainnya adalah penelitian sebelumnya membahas tentang penilaian persepsi wisatawan terhadap obyek dan daya tarik wisata dilihat dari variabel atraksi, aksesibilitas, fasilitas, dan organisasi pariwisata/pengelola, sedangkan pada penelitian ini membahas tentang perkembangan tata kelola obyek dan daya tarik wisata serta keunggulan dan daya tarik wisata menurut sudut pandang pengelola dan wisatawan. C. Landasan Teori Istilah interaksionisme simbolik pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dalam lingkup sosiologi, sebenarnya ide ini telah dikemukakan oleh George Herbert Mead (guru Blumer) yang kemudian dimodifikasi oleh Herbert Blumer untuk tujuan tertentu (Ritzer, 2012:289-294). Karakteristik dasar ide ini adalah suatu hubungan yang terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu. Interaksi yang terjadi antar individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan. Interaksi yang dilakukan antar individu itu berlangsung secara sadar dan berkaitan dengan gerak tubuh, vokal, suara, dan ekspresi tubuh, yang kesemuanya itu mempunyai maksud dan disebut dengan simbol. 22
Simbol merupakan sesuatu yang dapat digunakan untuk memaknai sesuatu yang lain, sehingga setiap gerak, artefak, tanda atau konsep dapat mewakili, menandai atau mengungkapkan sesuatu yang lain. Simbol tersebut memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan juga memiliki makna yang dalam. Simbol diberikan secara luas dan diasosiasikan dengan pengalaman dan
sebagainya,
yang
sebagian besar
kejadian,
memiliki pengaruh
emosional bagi individu. Simbol membantu individu tanggap terhadap sesauatu dan mempertajam tingkah laku. Pemahaman terhadap simbol sering tergantung pada apa yang diterapkan individu pada simbol-simbol itu yang merupakan warisan budaya (Abercrombie, 2010:566). Menurut Blumer istilah interaksionisme simbolik ini menunjuk kepada sifat khas dari interaksi antar manusia. Kekhasannya adalah manusia saling menerjemahkan dan saling mendefinisikan tindakannya, didasarkan atas “makna” yang diberikan terhadap tindakan orang lain. Interaksi antar individu diantarai oleh penggunaan simbol-simbol, interpretasi atau dengan saling berusaha untuk saling memahami maksud dari tindakan masing-masing. Pada teori ini dijelaskan bahwa tindakan manusia didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses yang oleh Blumer disebut self-indication. Menurut Blumer proses self-indication adalah proses komunikasi pada diri individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut. 1. Masyarakat Mikro dan Makro Bagi Mead, ada tiga elemen yang berhubungan dengan individu, yakni individu biologis, masyarakat mikro dan masyarakat makro. Ketiga elemen tersebut kemudian mulai mempengaruhi hingga muncul perilaku. Dari perilaku tersebut terdapat hubungan timbal balik dengan individu biologis yang kemudian memperngaruhi masyarakat mikro, makro dan lingkungan fisik. Individu tidak selamanya menjadi makhluk biologis karena adanya interaksi sosial. Interaksi sosial ini tidak hanya berjalan sekali melainkan 23
berlangsung secara terus menerus. Individu yang awalnya merupakan makhluk biologis yang polos yang dipengaruhi oleh lingkungan, namun setelah masuk dalam kehidupan sosial, ia yang memengaruhi kehidupan sosial itu. 2. Simbol Simbol didefinisikan sesuai penggunaan dalam interaksi sosial. Sesuatu merupakan simbol jika ada sesuatu lain yang terdapat didalamnya. Artinya ada makna lain yang tidak hanya dipahami secara langsung, tetapi membutuhkan proses interpretasi sehingga simbol harus memiliki maknamakna yang merupakan representasi sesuatu. Simbol bisa ditampakkan pada bentuk lain yang bersifat beragam, seperti bahasa (language), bahasa tubuh (body language), ekspresi muka (facial expression), keras lemahnya suara (loud-weak of voice), dan budaya (custom). Mead menyatakan bahwa mengkaji simbol dalam kehidupan manusia menjadi penting, karena disebabkan makna (meaning) yang ditunjukkan. Bentuk-bentuk seperti objek, gagasan, keyakinan, orang, nilai-nilai dan kondisi sesuatu, semuanya bisa diakui keberadaannya oleh manusia disebabkan makna-makna yang dimiliki dan terdapat didalamnya. Simbol merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat multi etnik, terutama dalam melakukan interaksi antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lainnya. Suatu simbol menjadi penting karena dapat membuat manusia ketika melakukan sesuatu akan sungguh-sungguh dan berfikir secara manusiawi. Dalam melakukan suatu tindakan sosial seseorang akan selalu mempertimbangkan apa yang akan dilakukan terhadap orang lain. Dengan kata lain, dalam melakukan suatu tindakan sosial manusia akan memikirkan dampak negatif ataupun positif dari tindakan yang ia lakukan terhadap orang yang terlibat dalam tindakan tersebut. Orang menggunakan simbol-simbol untuk mengkomunikasikan sesuatu tentang diri mereka. 24
Pendukung teori interaksionisme simbolik menganggap bahasa sebagai sistem simbol yang mahabesar. Simbol-simbol yang mempunyai arti tersebut bisa berbentuk gerak-gerik fisik (gesture) tetapi bisa juga dalam bentuk bahasa. Kemampuan untuk menciptakan dan menggunakan bahasa merupakan hal yang dapat membedakan manusia dari binatang. Namun disamping itu simbol-simbol, pada umumnya dan bahasa pada khususnya mempunyai sejumlah fungsi, antara lain: a. Simbol-simbol memungkinkan manusia untuk berhubungan dengan dunia material dan sosial dengan membolehkan mereka memberi nama, membuat kategori, dan mengingat obyek-obyek yang mereka temukan dimana saja yang menggunakan bahasa. b. Simbol-simbol menyempurnakan kemampuan manusia untuk memahami lingkungannya. c. Simbol-simbol menyempurnakan kemampuan manusia untuk berfikir. Dalam arti ini, berfikir dapat dianggap sebagai simbolik dengan diri sendiri. d. Simbol-simbol meningkatkan kemampuan manusia untuk memecahkan persoalan. Manusia biasa berfikir dengan menggunakan simbol-simbol sebelum melakukan pilihan-pilihan dalam melakukan sesuatu. e. Penggunaan simbol-simbol memungkinkan manusia bertransendensi dari segi waktu, tempat, dan bahkan diri mereka sendiri. Dengan menggunakan simbol-simbol manusia bisa membayangkan bagaimana hidup di masa lampau atau akan datang. Mereka juga bisa membayangkan tentang diri mereka sendiri berdasarkan pandangan orang lain. f. Simbol-simbol memungkinkan manusia bisa membayangkan kenyataankenyataan metafisis seperti surga atau neraka. g. Simbol-simbol
memungkinkan
manusia
tidak
diperbudak
oleh
lingkungannya. Mereka bisa lebih aktif ketimbang pasif dalam mengarahkan dirinya kepada sesuatu yang mereka perbuat. 25
Dalam pariwisata terutama daya tarik yang berhubungan dengan wisata budaya, adanya simbol-simbol ini sangat menonjol perannya. Maksudnya simbolisme ini kental dalam bangunan Keraton Surakarta, bendabenda peninggalan sejarah serta kegiatan budaya dan upacara adat. Segala macam dan bentuk kegiatan simbolik dalam keraton beserta aset pendukungnya itu merupakan upaya pelestarian warisan budaya Jawa dan upaya pemahaman akan suatu ilmu pengetahuan serta filosofi. Penelitian ini membatasi pemaknaan simbolik pada bangunan, benda, dan konsep-konsep di Keraton Surakarta pada wisatawan serta pengelola. 3. Makna Dalam interaksionisme simbolik Mead, menegaskan bahwa makna tumbuh dari interaksi. Pokok perhatian utamanya bukanlah bagaimana orang secara mental menciptakan makna dan simbol, namun bagaimana mereka mempelajarinya selama interaksi pada umumnya dan khususnya selama sosialisasi. Orang mempelajari simbol sekaligus makna dalam interaksi sosial. Interaksionisme simbolik memahami bahasa sebagai sistem simbol yang begitu luas. Tindakan, objek, dan kata-kata lain hadir dan memiliki makna hanya karena mereka telah dan dapat digambarkan melalui penggunaan katakata. 4. Aksi dan Reaksi Perhatian utama dari interaksionisme simbolik yakni dampak dari arti-arti dan simbol-simbol dalam aksi dan interaksi manusia. Tindakan sosial atau aksi pada dasarnya merupakan sebuah tindakan dimana seseorang bertindak dengan selalu mempertimbangkan orang lain didalam pikirannya. Manusia sendiri memang mempunyai kemampuan untuk melakukan tindakan sosial, yang didefinisikan sebagai tindakan yang terarah atau mempunyai tujuan tertentu. Hal ini berkaitan dengan proses interaksi sosial, dimana manusia mengkomunikasikan arti-arti melalui simbol-simbol, dan selanjutnya simbol tersebut diinterpretasikan oleh orang-orang lain hingga akhirnya 26
mengarahkan tingkah laku mereka berdasarkan interpretasi yang telah dilakukan. Interaksi sosial ini yang membuat aktor-aktor terlibat dalam proses saling mempengaruhi. Di Keraton Surakarta yang menjadi simbol paling utama adalah keraton itu sendiri beserta berbagai aspek di dalamnya. Bangunan keraton, benda-benda sejarah koleksi museum, buku-buku sejarah tentang keraton, aset-aset yang dimiliki keraton berupa kegiatan budaya dan upacara adat menjadi simbol bagi pihak pengelola dan wisatawan dalam daya tarik wisata budaya. Simbol berupa benda-benda fisik mempengaruhi tindakan pengelola dan wisatawan. Pengelola memiliki pemaknaan untuk mengembangkan dan membuat perencanaan tentang tata kelola Keraton Surakarta dalam koridor pelestarian. Wisatawan memiliki kemampuan berpikir untuk memilih dan memenuhi kebutuhan wisata budaya. Sehingga hal itu dapat diwujudkan ke dalam keraton melalui interaksi yang terjadi antara pengelola dan wisatawan. D. Kerangka Pemikiran Keraton Surakarta merupakan peradaban Jawa terbesar dan berawal dari sejarah Kerajaan Mataram dengan segudang potensi budayanya. Keraton Surakarta dengan segala potensinya memiliki simbol-simbol yang sangat menonjol perannya. Simbolisme ini kental dalam bangunan keraton, benda-benda sejarah kejayaan Keraton Surakarta serta upacara-upacara tradisi yang merupakan warisan turun-temurun dan masih tetap dilakukan. Segala macam dan bentuk kegiatan simbolik merupakan upaya pendekatan manusia kepada Tuhannya, penghormatan terhadap para leluhur dan upaya pelestarian warisan budaya Jawa. Keraton Surakarta memiliki nilai, norma, adat, tradisi, dan ilmu pengetahuan yang dilestarikan dan dipertahankan sampai saat ini. Potensi lain dari Keraton Surakarta adalah obyek wisata berupa bangunan keraton dengan nilai sejarah dan perjuangan yang tetap berdiri kokoh. Selain bangunan, keraton juga memiliki peninggalan sejarah, seperti kereta kencana, pusaka keraton, baju orangorang keraton, benda-benda sakral keraton yang tersimpan di Museum Keraton 27
Surakarta. Potensi berikutnya adalah atraksi budaya seperti sekaten, kirab pusaka, upacara gerebeg, tarian adat dan masih dipertunjukkan sampai saat ini kepada masyarakat. Potensi-potensi tersebut adalah potensi budaya yang dapat menjadi daya tarik untuk dipromosikan dan diperkenalkan kepada masyarakat di Kota Solo, masyarakat di luar Kota Solo dan masyarakat mancanegara. Dengan berbagai potensi, Keraton Surakarta menjadi sebuah tempat yang menarik dikunjungi. Tidak banyak bangunan bersejarah berupa keraton di Jawa. Keraton Surakarta yang sudah terkenal sejarahnya sejak dahulu kala membuat masyarakat tertarik untuk mengetahui kehidupan sosial budaya dan sejarahnya. Potensi budaya ini pun berkembang menjadi komoditas wisata yang memberikan pelajaran mengenai sejarah, nilai luhur dan kemegahan arsitektur kuno. Potensi Keraton Surakarta pada akhirnya disajikan kepada masyarakat sebagai obyek dan daya tarik wisata budaya. Berdasarkan potensi wisata berupa obyek wisata budaya dan atraksi budaya yang dikemas dan dikelola oleh pihak pengelola wisata keraton akan mempengaruhi kondisi kunjungan wisatawan ke Keraton Surakarta dan antusiasme wisatawan melihat atraksi wisata budaya.
28
Bagan II.1 Kerangka Berpikir Keraton Surakarta
Mengandung Simbol berupa
Benda, Kegiatan Upacara Adat dan Tradisi Keraton
Atraksi Wisata Budaya
Obyek Wisata Budaya 1. Arsitektur Keraton Surakarta 2. Benda Peninggalan Sejarah di Museum Keraton Surakarta
1. Kirab Pusaka 1 Suro 2. Sekaten 3. Gerebeg
Kunjungan Wisatawan Obyek dan Daya Tarik Wisata Keraton Surakarta
29