BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
BIOPLASTIK Plastik adalah polimer rantai-panjang dari atom yang mengikat satu sama lain.
Rantai ini membentuk banyak unit molekul berulang, atau "monomer". Istilah plastik mencakup produk polimerisasi sintetik atau semi-sintetik, namun ada beberapa polimer alami yang termasuk plastik yaitu bioplastik [9]. Menurut Chiellini, 2001 definisi dari bioplastik adalah: a. Bahan yang mempertahankan formulasi yang sama dengan plastik konvensional selama peggunaan. b. Bahan yang terdegradasi setelah digunakan dalam senyawa dengan berat molekul rendah oleh kombinasi aksi agen fisika-kimia dan mikroorganisme yang ada di alam [11]. Berdasarkan bahan baku yang dipakai, bioplastik dikelompokkan menjadi 2 kelompok utama: (1) kelompok agro-polimer, (2) kelompok biopoliester. Dibawah ini disajikan diagram klasifikasi bioplastik [11]. Plastik biodegradebel Agro-polimer
Produk biomassa dari agro-polimer
polisakarida
Pati
Protein dan lemak
Binatang: Kasein Kolagen gelatin
Poliester biodegradebel
Dari bioteknologi (sintesis konvensional dari bio-monomer)
Poli hidroksi alkanoat (PHA)
poliaktida
Poli kaprolakton (PCL)
Poli hidroksi butirat (PHB) Polihidrosibutirat coHidroksivalerat (PHBV)
Poli asam laktat (PLA)
Poli ester amida
Ligninselulosa
Lainnya: Pektin kitosan
Dari produk petrokimia (sintesis konvensional dari sintesis monomer)
Dari mikroorganisme dengan ekstraksi
Alifatik co-poliester Tanaman: Gluten Soya zein
Aromatik co-poliester
Gambar 2.1 Diagram Klasifikasi Plastik Biodegradabel 7 Universitas Sumatera Utara
2.2
PATI Pati adalah bentuk penyimpanan energi yang dihasilkan oleh semua tanaman
hijau. Pati disimpan di berbagai organ tanaman (buah, biji, rimpang dan umbi-umbian). Pati, juga disebut amilum, yaitu polisakarida glukosa. Pati disimpan dalam tanaman sebagai butiran yang terdiri dari dua bentuk polimer glukosa, amilase dan amilopektin. Molekul pati yang dihasilkan oleh setiap tanaman memiliki struktur dan komposisi tertentu (misalnya panjang rantai glukosa atau rasio amilase / amilopektin), dan kadar protein dari organ penyimpanan dapat bervariasi secara signifikan [16]. Dalam sel tumbuhan hijau dan beberapa mikroorganisme, asimilasi CO2 dan H2O membutuhkan tempat untuk membentuk sumber energi glukosa. Energi disimpan dalam amilosa dan amilopektin. Amilosa pada dasarnya adalah polimer linear di mana ikatan glukosa nya adalah amilosa α-D-(14 ), sedangkan amilopektin mengandung ikatan α-D-(16), yang membuatnya menjadi polimer bercabang. Amilosa linier atau sedikit bercabang, memiliki derajat polimerisasi hingga DP 6000, dan massa molekul 105-106 g/mol, rantainya dapat berbentuk tunggal atau heliks ganda. Amilopektin memiliki massa molekul 107-109 g/mol dan sangat bercabang yang memiliki rata-rata DP 2.000.000, membuatnya menjadi salah satu molekul terbesar di alam. Panjang rantainya disusun oleh 20-25 unit molekul glukosa [17]. Amilosa dan amilopektin memiliki diameter dari 1-100 m. Butiran Amilosa dan amilopektin tersebut mengandung air dan sejumlah kecil lipid dan protein, dan kandungannya bervariasi untuk sumber pati yang berbeda. Granula pati ini memiliki tingkat organisasi radial yang tinggi dan dinyatakan dalam Maltese cross yang berupa gangguan cahaya terpolarisasi dalam mikroskop [17]. Pada gambar 2.2 dan 2.3 dibawah ini disajikan gambar struktur amilosa dan amilopektin. -1,4'-linkage CH2OH O
H H OH
CH2OH
CH2OH H
O
H 4
H
H OH
H
O OH
H
O
H
1
4
O 3
H
H
2
H OH
H
H
O
H
1
H OH
H
H
OH
H
O 2
3
H
OH
CH2OH
OH
Gambar 2.2 Struktur Amilosa
8 Universitas Sumatera Utara
CH2OH
CH2OH O
H H OH
H
O
H
H
H OH
H
H
OH
O H
H H OH
H
O
H H OH
H
OH
H
4
O H
H OH
H 1
H
O
H H OH
H
H
OH
H
O 2
3
H
OH
CH2OH O
H
H
O H
-1,6'-linkage
5 CH2
CH2OH O
1
O6
OH
CH2OH
H
OH
Gambar 2.3 Struktur Amilopektin
Pati memiliki tingkat kristalinitas 15-45%. Pemanfaatan pati dalam pembuatan plastik memiliki keunggulan dikarenakan, yakni sifatnya yang dapat diperbaharui, penahan yang baik untuk oksigen, ketersediaan yang melimpah, harga murah dan mampu terdegradasi. Pati memiliki stabilitas termal dan minimum interfance dengan sifat pencairan yang cukup untuk membentuk produk dengan kualitas yang baik. Campuran biopolimer hidrokarbon dan pati sering digunakan untuk menghasilkan lembaran dan film berkualitas tinggi untuk kemasan [18]. Bioplastik berbasiskan pati asli memiliki sifat mekanis yang lemah seperti kekuatan tarik, kekuatan lentur, kekakuan, perpanjangan putus, stabilitas kelembaban yang rendah serta melepaskan molekul pemlastis dalam jumlah kecil dari matriks pati [19]. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal yaitu: a. Kebanyakan pati alami menghasilkan suspensi pati dengan viskositas dan kemampuan membentuk gel yang tidak seragam (konsisten). b. Kebanyakan pati alami tidak tahan pada pemanasan suhu tinggi. Dalam proses gelatinisasi pati, biasanya akan terjadi penurunan kekentalan suspensi pati (viscosity breakdown) dengan meningkatnya suhu pemanasan. Apabila dalam proses pengolahan digunakan suhu tinggi c. Pati tidak tahan pada kondisi asam. Pati mudah mengalami hidrolisis pada kondisi asam yang mengurangi kemampuan gelatinisasinya. d. Pati alami tidak tahan proses mekanis, dimana viskositas pati akan menurun adanya proses pengadukan. e. Kelarutan pati yang terbatas di dalam air [20].
9 Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian Sriwidodo, dkk (2007) berdasarkan metode pengendapan dari 1 kg talas dapat menghasilkan pati talas sebesar 26,68%. Sedangkan hasil penelitian Herudiyanto, dkk (2014) dengan metode yang sama menyatakan bahwa kadar protein pati talas yang diperoleh sebesar 5,21% dan kadar lemak sebesar 14,42% [56].
2.3
GELATINISASI DAN RETROGRADASI Gelatinisasi adalah peristiwa pengembangan granula pati sehingga granula pati
tersebut tidak dapat kembali pada kondisi semula [21]. Peristiwa pengembangan granula pati pada mulanya bersifat dapat balik, tetapi jika pemanasan mencapai suhu tertentu, pengembangan granula pati menjadi bersifat tidak dapat balik dan akan terjadi perubahan struktur granula. Suhu pada saat granula pati mengembang dengan cepat dan mengalami perubahan yang bersifat tidak dapat balik disebut suhu gelatinisasi pati [17]. Faktor-faktor yang mempengaruhi gelatinisasi pati diantaranya: a. Suhu gelatinisasi b. Viskositas pasta Suspensi pati bila dipanaskan maka granula-granula pati akan mengembang karena menyerap air khususnya amilosa, selanjutnya mengalami gelatinasi dan mengakibatkan terbentuknya pasta yang ditandai dengan kenaikan viskositas pasta. Proses ini berlanjut terus hingga viskositas puncak pasta tercapai, kemudian viskositas pasta akan menurun akibat gaya ikatan antara granulagranula pati yang telah mengembang dan tergelatinasi menjadi berkurang oleh pemanasan yang tinggi dan pengadukan [22]. c. Kejernihan pasta Tingkat kejernihan pasta berhubungan langsung dengan pengembangan granula pati. Makin besar kemampuan mengembang granula pati maka pasta yang diperoleh lebih jernih, sebaliknya bila granula pati yang mengembang sedikit maka pasta yang dihasilkan menjadi buram [24]. Gelatinasi akan cepat terjadi bila konsentrasi pati tinggi, suhu rendah dan pH antara 5-7. Gelatinasi merupakan masalah utama yang dijumpai khususnya dalam penggunaan pati karena dapat mengakibatkan pengerutan dan sineresis pada gel yang disimpan lama, oleh karena itu perlu dilakukan regelatinasi agar kestabilan gel tetap terjaga. Pada pH yang tinggi atau rendah regelatinasi lambat terjadi [23]. Laju
10 Universitas Sumatera Utara
regelatinasi dipengaruhi oleh suhu, ukuran, bentuk dan kepekatan molekul-molekul pati dan oleh keberadaan bahan lain [24]. Retrogradasi adalah proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi. Beberapa molekul pati, khususnya amilosa yang dapat terdispersi meningkatkan granula-granula yang membengkak dan masuk ke dalam cairan yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, pasta pati yang telah mengalami gelatinisasi terdiri dari granula-granula yang membengkak yang tersuspensi ke dalam air dan molekulmolekul amilosa yang terdispersi ke dalam air. Dalam kondisi panas, pasta masih memiliki kemampuan mengalir yang fleksibel dan tidak kaku. Bila pasta pati tersebut kemudian mendingin, energi kinetic tidak lagi cukup tinggi untuk melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali. Molekul-molekul amilosa berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang amilopektin pada pinggir-pinggir luar granula, dengan demikian mereka menggabungkan butirbutir pati yang bengkak tersebut menjadi semcam jaring-jaring membentuk mikrokristal dan mengendap [21]. Menurut Swinkels, 1985 retrogradasi pasta pati atau larutan pati memiliki beberapa efek sebagai berikut: a. Peningkatan viskositas. b. Terbentuknya kekeruhan. c. Terbentuknya lapisan tidak larut dalam pasta panas. d. Terjadi presipitasi pada partikel pati yang tidak larut. e. Terbentuknya gel. f. Terjadinya sineresis pada pasta pati [23]. Dibawah ini disajikan gambar granula pati, gelatinisasi pada pati dan retrogradasi pada pati.
Gambar 2.4 A. Granula Pati, B. Gelatinisasi Pada Pati, C. Retrogradasi Pada Pati
11 Universitas Sumatera Utara
Pati umbi-umbian umumnya menunjukkan kristal tipe B [31]. Menurut Chen, 2003 pola viskositas pasta pati biasa dikelompokkan menjadi empat tipe:
Tipe A merupakan pati yang memiliki kemampuan mengembang yang sangat tinggi, yang ditunjukkan dengan tingginya viskositas maksimum serta terjadi penurunan viskositas selama pemanasan, pati ini tidak tahan terhadap proses pemanasan dan pengadukan sehingga membutuhkan modifikasi.
Tipe B memiliki puncak pasta lebih rendah dan pengenceran yang tidak terlalu besar selama pemanasan.
Tipe C tidak menunjukkan adanya puncak tetapi lebih pada pembentukan viskositas yang sangat tinggi dan tetap konstan atau meningkat selama pemanasan.
Tipe D memiliki viskositas yang sangat rendah sehingga konsentrasinya perlu dinaikkan dua–tiga kali lipat untuk menghasilkan viskositas pasta panas seperti tipe C [30]. Hasil penelitian Setiani, dkk (2013) dengan judul “Preparasi dan Karakterisasi
Edible Film dari Poliblend Pati Sukun-Kitosan” menyatakan pati sukun memiliki kadar pati sebesar 76,39%, kadar amilosa sebesar 26,76%, kadar amilopektin sebesar 73,24%, kadar air sebesar 22,38%. Berdasarkan hasil analisa sifat pasting pati sukun memilki suhu gelatinisasi pati yaitu 73,98oC dengan viskositas puncak sebesar 5234 cP, berdasarkan pengelompokkan tipe viskositas pasta pati maka pati sukun memiliki tipe pasta B dengan puncak pasta yang tidak terlalu tinggi dan pengenceran yang tidak terlalu besar [54].
2.4
HIDROLISIS PATI Hidrolisis adalah suatu proses antara reaktan dan air agar suatu senyawa pecah
atau terurai. Pada reaksi hidrolisis pati dengan air, air akan menyerang pati pata ikatan amilosa α-D-(14 ) kemudian glukosa akan menghasilkan dextrin, atau glukosa tergantung pada derajat pemecahan rantai polisakarida dalam pati. Tetapi reaksi antara air dengan pati ini berlangsung lambat sehingga diperlukan katalisator untuk memperbesar keatifan air. Katalisator ini bisa berupa enzim atau asam yang bisa digunakan adalah asam klorida, asam sulfat dan asam asetat [32].
12 Universitas Sumatera Utara
Dalam penelitian ini mengunakan katalisator asam asetat sebagai katalisator reaksi hidrolisis. Alasan pemilihan asam asetat sebagai katalisator yakni: a. Pelarut protik hidrofilik. b. Mirip seperti air. c. Mudah melarutkan senyawa polar dan nonpolar. d. Berfungsi untuk membersihkan/membeningkan bioplastik [33]. Faktor yang berpengaruh pada hidrolisi pati antara lain: Suhu Reaksi, semakin tinggi suhu reaksi maka semakin cepat jalannya reaksi. Tetapi apabila proses berlangsung pada suhu yang tinggi, konversi akan menurun. Hal ini sisebabkan adanya glukosa yang pecah menjadi arang. Waktu, semakin lama waktu hidrolisis, konversi yang dicapai akan semakin besar dan pada batas waktu tertentu akan diperoleh konversi yang relatif baik dan apabila waktu tersebut relatif panjang makan konversi akan semakin kecil. Pencampuran Pereaksi (Pengadukan), karena pati tidak larut dalam air maka pengadukan perlu diadakan agar persentuhan antara air dengan pati dapat berlangsung dengan baik. Konsentrasi Katalisator, penambahan katalisator bertujuan memperbesar kecepatan reaksi namun pada katalisator asam menggunakan konsentrasi terkecil agar garam yang tertinggal tidak terlalu banyak [32].
2.5
TALAS Talas berasal dari daerah sekitar India dan Indonesia, yang kemudian menyebar
hingga ke China, Jepang dan beberapa pulau di Samudra Pasifik [34]. Talas ditanam pada dataran tinggi (nonflooded) dengan kondisi lahan yang basah. Dalam sistem lahan basah, dengan tanah yang bersifat aerobik (tinggi kadar oksigen) talas mampu mendenitrifikasi kandungan nitrogen diudara. sedangakan dalam kondisi tanah anaerobik talas mampu mengurangi unsur-unsur kimiawi tertentu di udara dan mampu meningkatkan ketersediaan nutrisi tanaman seperti fosfor, mangan, dan besi [35]. Kandungan karbohidrat talas sangat tinggi sehingga sangat berpeluang untuk memanfaatkan produknya seperti pati. Kandungan pati pada bagian ujung umbi talas lebih rendah dari bagian pangkalnya. Pati talas mengandung 17-28% amilosa, dan sisanya adalah amilopektin. Amilosa memiliki 490 unit glukosa per molekul dan
13 Universitas Sumatera Utara
amilopektin memiliki 22 unit glukosa per molekul [36]. Talas dikenal mudah dipisahkan karena memiliki granula pati yang yang sangat kecil. Hasil penelitian membuktikan bahwa diameter rata-rata yakni 0,0045 mm. Dengan maksimum ukuran granula sebesar 0,0093 mm, dan minumum 0,0025 mm [38]. Kelemahan umbi talas yaitu mengandung senyawa yang menyebabkan gatal, yaitu kalsium oksalat [29]. Pertumbuhan paling baik dari tanaman ini dapat dicapai dengan menanamnya di daerah yang memiliki ketinggian 0 m hingga 2740 m di atas permukaan laut, suhu antara 21 – 27oC, dan curah hujan sebesar 1750 mm per tahun. Bagian yang dapat dipanen dari talas adalah umbinya, dengan umur panen berkisar antara 6 -18 bulan dan ditandai dengan daun yang tampak mulai menguning atau mengering [34]. Talas banyak dibudidayakan di Indonesia karena talas dapat tumbuh di daerah yang beriklim tropis dan tidak terlalu memerlukan pengairan. Tanaman ini juga dapat dijadikan sebagai tanaman sela dan dapat tumbuh sepanjang tahun di daerah dataran rendah sampai dataran tinggi. Di Indonesia dijumpai hampir di seluruh kepulauan dan tersebar dari tepi pantai sampai ke pegunungan dengan ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Talas berbentuk silinder atau lonjong sampai agak bulat [36]. Jenisjenis talas di Indonesia disajikan dalam tabel 2.1 dibawah ini:
Table 2.1 Jenis Talas Yang Tumbuh di Indonesia Jenis Talas
Gambar
Sifat Fisik
Talas Bogor (Colocasia esculenta L. Schoott)
Daun berbentuk hati dengan ujung pelepah daunnya tertancap agak ketengah helai daun sebelah bawah. Bunga terdiri atas tangkai seludang dan tongkol. Bunga betinanya terletak di pangkal tongkol, bunga jantan disebelah atasnya, sedang diantaranya terdapat bagian yang menyempit. Tanaman dipanen setelah berumur 6-9 bulan. Hasil per rumpun sangat bervariasi yaitu berkisar 0,25-6 kg [37].
14 Universitas Sumatera Utara
Jenis Talas
Gambar
Sifat Fisik
Talas Kimpul (Xanthosoma sagitifolium)
Kimpul tergolong tumbuhan berbunga ”Agiospermae” dan berkeping satu “Monocotylae“. Daunnya hijau muda karena tangkai daunnya yang hijau muda mempunyai garis ungu. Bentuk umbi kimpul silinder hingga agak bulat, terdapat ruas dengan beberapa bakal tunas. Kulit umbi mempunyai tebal sekitar 0,01–0,1 cm, sedangkan korteksnya setebal 0,1 cm [37].
Talas Banten
Batang umbi (panjangnya dapat mencapai 120 cm dengan berat 42 kg dan ukuran lingkar luar 50 cm), kandungan oksalatnya yang tinggi (61,783 ppm) [37].
Talas Ketan Hitam
Talas jenis ini tangkai daunnya berwarna ungu tua. Umbinya bulat lonjong dan daging umbinya putih. Umur panen sekitar 7 bulan [37].
Talas Semir
Talas khas Sumedang. Talas ini memiliki ciri khas pada pangkal ujung daunnya berwarna kemerah-merahan. Umbinya bulat, umur panen sekitar 7 bulan [37].
15 Universitas Sumatera Utara
Jenis Talas
Gambar
Sifat Fisik Ciri khasnya terletak pada permukaan atas helaian daunnya yang hijau mengkilat seperti minyak, sehingga mudah dibedakan dari talas-talas lainnya. Umbinya bulat lonjong, beratnya antara 0,5-3 kg. Umur panen sekitar 6-7 bulan. Memiliki kandungan pati 70-80%, sehingga memiliki potensi untuk bahan baku tepungtepungan [37].
Talas Sutra
Dalam penelitian ini mengunakan jenis talas banten dengan ciri varietas ini memiliki permukaan daun berwarna hijau, pangkal pelepah daun juga berwarna hijau namun memiliki akar yang timbul pada pangkal, dan umbi memiliki kandungan asam oksalat yang tinggi. Kandungan gizi pada talas disajikan pada Tabel 2.1 dibawah ini [19]: Tabel 2.2 Kandungan Zat Gizi Pada Talas Kandungan Gizi Kalori (kkal) Air (gr) Protein (gr) Lemak (gr) Fosfor (mg) Kalsium (mg) Besi (mg) Vitamin A (mg) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg)
Jumlah 98 73 1.9 0.2 61 28 1 20 0.13 4
Komposisi Karbohidrat pada Talas (dalam 100 gram) disajikan pada tabel 2.2 dibawah ini [19]: Tabel 2.3 Komposisi Karbohidrat pada Talas Komponen
Komposisi (%) Pati 77.9 Pentosan 2.6 Serat Kasar 1.4 Dekstrin 0.5 Gula pereduksi 0.5 Sukrosa 0.1 Sumber: Zhang et al., 2007
16 Universitas Sumatera Utara
Dari hasil penelitian Rahmawati, dkk (2012) dengan menggunakan metode pengendapan diperoleh kadar pati talas (Colocasisa Esculanta L. Schott) sebesar 80%, dengan kadar air sebesar 9,4%, kadar amilosa sebesar 5,55%, kadar amilopektin sebesar 75,66% [55].
2.6
KITOSAN Kitosan mempunyai rumus umum (C6H9NO3)n atau disebut sebagai poli
(ß(1,4)-2-amino-2-Deoksi-D-Glukopiranosa). Kitosan bukan merupakan senyawa tunggal, tetapi merupakan kelompok yang terdeasetilasi sebagian dengan derajat polimerisasi yang berbeda. Kitin adalah poli N-asetilglukosamin yang terdeasetilasi sedikit. Derajat deasetilasi biasanya bervariasi diantara 8-15%. Struktur kimia dari kitin mirip dengan struktur kimia dari selulosa. Residu monosakarida pada selulosa adalah ß-D-glukosa sedangkan pada kitin adalah N-asetil-ß-D-glukosa dimana gugus hidroksil (-OH) pada posisi C-2 digantikan oleh gugus asetamido (-NHCOCH3), dimana monosakaridanya dihubungkan melalui ikatan ß(1,4) [38]. Dibawah ini pada gambar 2.4 disajikan struktur kitosan. '-amino-2deoksi-D-Glukopiranosa CH2OH
CH2OH O
H 4
O
H
H
H
OH
1
H
O
4
OH
1
H
H 3
H
2
H
Chitosan
NH2
3
H
2
NH2
nx
Gambar 2.5 Struktur Kitosan Sifat fisik kitosan berbeda dengan polisakarida alami. Pada umumnya seperti selulosa, dekstrin, pektin, alginat, agar-agar, karagenan bersifat netral atau sedikit asam, sedangkan kitin dan kitosan bersifat basa. Kitosan merupakan padatan amorf putih yang tidak larut dalam alkali dan asam mineral kecuali pada keadaan tertentu. Kitosan merupakan molekul polimer yang mempunyai berat molekul tinggi. Kitosan dengan berat molekul tinggi didapati mempunyai viskositas yang baik dalam suasana asam [40]. Sifat kimia kitosan antara lain adalah polimer poliamin berbentuk linear, mempunyai gugus amino dan hidroksil yang aktif dan mempunyai kemampuan menjadi spons, larutan, gel, pasta, membran dan serat yang sangat berperan dalam pengaplikasiannya [41].
17 Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian Setiani, dkk (2013) dengan judul “Preparasi dan Karakterisasi Edible Film dari Poliblend Pati Sukun-Kitosan” menyatakan dari hasil analisa sifat kekuatan tarik dan pemanjangan pada saat putus diperoleh nilai kekuatan tarik sebesar 16,34 MPa dan nilai pemanjangan pada saat putus sebesar 6% [54]. Sedangkan menurut Utari, dkk (2008) semakin besar konsentrasi kitosan maka semakin banyak ikatan hidrogen yang terdapat dalam bioplastik sehingga ikatan kimianya akan semakin kuat dan sulit untuk diputus [63].
GLISEROL
2.7
Gliserol (C3H8O3) adalah senyawa gliserida yang paling sederhana, dengan hidroksil yang bersifat hidrofilik dan higroskopik. Gliserol merupakan komponen yang menyusun berbagai macam lipid, termasuk trigliserida. Gliserol terasa manis saat dikecap, namun bersifat racun. Gliserol dapat diperoleh dari proses saponifikasi dari lemak hewan, transesterifikasi pembuatan bahan bakar biodiesel dan proses epiklorohidrin serta proses pengolahan minyak goreng. Gliserol memiliki sifat fisik sebagi berikut:
Berat molekul : 92,02 g/mol
Titik didih
: 290oC
Titik beku
: 19oC
Densitas uap : 3,17
Gliserol memiliki sifat kimia yaitu:
Memiliki rasa yang manis
Larut dengan air
Larut dengan etanol
Berwarna bening
OH HO
OH
Gambar 2.6 Struktur Gliserol
18 Universitas Sumatera Utara
Gliserol merupakan salah satu plasticizer yang banyak digunakan dan cukup efektif mengurangi ikatan hidrogen internal sehingga akan meningkatkan jarak intermolekuler. Secara teoritis plasticizer dapat menurunkan gaya internal diantara rantai polimer, sehingga akan menurunkan tingkat kekakuan dan meningkatkan permeabilitas terhadap uap air [43]. Pada pembuatan bioplastik gliserol memiliki peranan yang cukup penting. Pati merupakan polimer alam dalam bentuk butiran yang tidak dapat diproses menjadi material termoplastik karena kuatnya ikatan hydrogen intermolecular dan intramolecular. Molekul plastizicer akan mengganggu kekompakan pati, menurunkan interaksi
intermolekuler dan meningkatkan
mobilitas polimer. Selanjutnya
mengakibatkan peningkatan elongation dan penurunan tensile strength seiring dengan peningkatan konsentrasi gliserol [42]. Sehingga, dengan adanya air dan plasticizer, ikatan hidrogen tersebut dapat diputuskan dan pati dapat diolah menjadi polimer yang biodegradabel yang biasa disebut thermoplastic starch. Pencampuran sempurna diperlukan untuk memperoleh distribusi yang homogen untuk menghasilkan hubungan yang kuat antara gliserol dengan polimer berbasiskan pati. Pada kadar gliserol rendah, polimer yang terbentuk memiliki struktur yang rapuh menunjukkan sifat yang tidak kuat dan tidak fleksibel [7]. Ikatan hidrogen adalah sejenis gaya tarik antar molekul yang terjadi antara dua muatan listrik persial dengan polaritas yang berlawanan. Ikatan hidrogen terjadi ketika sebuah melekul memiliki atom O, N atau F yang mempunyai pasangan elektron bebas (Lone pair elektron). Hidrogen dari molekul lain akan berinteraksi dengan pasangan elektron bebas ini membentuk suatu ikatan hidrogen dengan besaran ikatan bervariasi mulai dari yang lemah (1 – 2 kJ.mol-1) hingga tinggi (> 155 kJ.mol-1) [7]. Hasil penelitian Sinaga, dkk (2014) dengan judul “Pengaruh Penambahan Gliserol Terhadap Sifat Kekuatan Tarik dan Pemanjangan saat Putus Bioplastik dari Umbi Talas’ diperoleh nilai kekuatan tarik sebesar 18,4992 MPa dan nilai pemanjangan saat putus sebesar 2,129%. Sedangkan menurut Rodriguez, dkk (2006) menyatakan bahwa Semakin banyak variasi gliserol yang ditambahkan maka semakin rendah nilai kekuatan tarik yang dihasilkan. Hal tersebut dikarenakan Molekul plastizicer akan mengganggu kekompakan pati, menurunkan interaksi ikatan hidrogen dan meningkatkan mobilitas polimer [42].
19 Universitas Sumatera Utara
2.8
PENGOLAHAN BIOPLASTIK Pengolahan merupakan langkah penting dalam rekayasa bioplastik atau
biokomposit. Metode pengolahan bioplastik diklasifikasikan sebagai berikut: a. Pembentukan dalam keadaan cair (Shaping in molten state) Proses yang termasuk adalah proses pelelehan, injection molding, pencetakan kompresi, melt spinning, blow molding, ekstrusi. b. Pembentukan dalam keadaan elastis (Shaping in rubbery state) Hal ini dilakukan dengan menggunakan thermoforming dan calendaring c. Pembentukan dalam keadaan basah (Shaping in wet state) ini dilakukan untuk solusi polimer menggunakan basah yang berputar, serat yang berputar, disebarkan dan dicelupkan [3]. Meskipun ketiga klasifikasi di atas memberikan spektrum yang luas dari metode pengolahan untuk bioplastik dan biokomposit, tidak semua metode terebut relevan untuk produksi massal. Untuk produksi dengan yang skala besar, dibutuhkan metode yang sesuai. Dengan demikian, metode yang dijelaskan di atas diklasifikasikan lebih lanjut ke dalam tiga berikut kategori: 1. Molding: Metode ini didefinisikan sebagai proses pembentukan dimana tekanan dan temperatur meningkat secara bersamaan dalam ruangan tertutup. Kemudian dicetak. Metode ini termasuk seperti injectionmolding, kompresi molding, blow-molding dan transfer-molding. Berbagai aplikasi yang dihasilkan melalui metode pengolahan ini misalnya bagian otomotif, elektronik, dll. 2. Forming: Metode ini
sama seperti metode ekstrusi,
calendering,
thermoforming, casting, slush-molding dan rotomolding. Sebagian besar produk yang dihasilkan melalui metode ini yaitu produk kemasan. 3. Foaming: Metode Foaming adalah proses dimana pembentukan pori-pori kecil atau sel-sel yang diciptakan dengan bantuan busa atau blowing agent. Metode foaming secara luas diklasifikasikan dalam tiga jenis: konvensional, mikroseluler dan nanocellular [3]. Dalam penelitian ini menggunakan metode casting. plastik yang transparan, kuat dan tahan air dapat diperoleh dengan metode casting atau thermal film forming [35]. Metode casting dilakukan dengan cara penuangan campuran plastik pada cetakan
20 Universitas Sumatera Utara
akrilik, setelah didinginkan komponen dilepaskan dan dikeluarkan dari cetakan dengan cara menarik plastik dari cetakan akrilik secara manual. Metode ini biasanya sangat cocok digunakan untuk produksi skala kecil.
2.9
ANALISA KARAKTERISTIK HASIL PENELITIAN
2.9.1
Analisa Karakteristik Pati
a. Analisa Kadar Air Jumlah air dalam bahan akan mempengaruhi daya tahan bahan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh mikroba maupun serangga [51]. Semakin sedikit kadar air yang dikandung oleh bahan maka ketahanan terhadap mikroba maupun serangga akan semakin tinggi. Dalam penelitian ini menggunakan metode AOAC (Official Methods of Analysis) 1995 [44].
b. Analisa Kadar Abu Abu adalah zat organik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Dalam bahan pangan, selain abu terdapat pula komponen lain yaitu mineral. Kadar abu dalam bahan sangat mempengaruhi sifat dari bahan tersebut. Kadar abu merupakan ukuran dari jumlah total mineral yang terdapat dalam bahan pangan. Hal ini menunjukkan bahwa penentuan kadar air sangat mempengaruhi penentuan kadar mineral. Pengertian dari kadar mineral adalah ukuran jumlah komponen anorganik tertentu yang terdapat dalam bahan pangan seperti Ca, Na, K dan Cl. Kadar mineral dalam bahan mempengaruhi sifat fisik bahan pangan serta keberadaannya dalam jumlah tertentu mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme jenis tertentu. Dalam penelitian ini menggunakan metode AOAC (Official Methods of Analysis) 1995 [44].
c. Analisa Kadar Amilosa Sebanyak 0,1 g sampel dilarutkan dalam 10 ml NaOH alkoholik (1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N). Larutan dipanaskan dalam air mendidih selama kurang lebih 10 menit hingga semua bahan larut, lalu didinginkan. Selanjutnya campuran tersebut dipindahkan kedalam labu takar 50 ml dan ditambahkan akuades sampai tanda tera. Setelah itu, pati talas dipipet 1 mL lalu ditambahkan 1 mL asam asetat 1N dan
21 Universitas Sumatera Utara
0,5 mL I2. Masing-masing larutan dianalisa absorbansi maksimum, waktu kestabilan serta kurva standar nya menggunakan Spektrofotometer [45].
2.9.2 Analisa Sifat Pasting Perubahan sifat pasting pada setiap jenis pati selama penyimpanan ditentukan untuk mengetahui perubahan kemampuan pati dalam sampel mengalami gelatinisasi, yang dapat diketahui dengan menggunakan alat rapid visco analyzer (RVA). Rapid Visco Analyzer (RVA) memberikan hasil analisa secara sistematis berupa sifat pati yang terkandung dalam bahan. Dalam analisa RVA penentuan sifat viskositas yang terdapat pada bahan, dilakukan berdasarkan parameter paste peak viscosity, trough, breakdown, final viscosity, set back dan peak time yang dibentuk bahan selama proses analisa RVA berlangsung [52]. Paste peak viscosity dalam analisa RVA merupakan parameter untuk mengetahui titik tertinggi atau nilai puncak viskositas yang dapat dicapai oleh produk, yang merupakan titik keseimbangan antara swelling (daya kembang) dan pelepasan polimer yang disebabkan karena peningkatan viskositas, peningkatan viskositas ini menunjukkan adanya proses gelatinisasi pati, selain itu parameter paste peak viscosity menunjukkan kapasitas atau daya ikat air yang dapat dikorelasikan dengan kualitas akhir suatu produk. Setelah mencapai titik puncak viskositas, produk akan mengalami tahap penurunan viskositas yang ditentukan dengan parameter trough yang merupakan nilai viskositas terendah setelah suatu produk mengalami peak viscosity [53]. Parameter breakdown merupakan selisih nilai yang dibentuk pada peak viscosity dan trough yang dicapai produk. Parameter breakdown tersebut menunjukkan nilai kekuatan viskositas suatu produk selama proses pemanasan pada suhu maksimal (± 95oC). Kemudian parameter final viscosity yang dibentuk produk merupakan nilai viskositas akhir suatu produk setelah mengalami penurunan suhu (pendinginan) ± 50oC. Pada tahap ini produk mengalami retrogradasi molekul pati. Parameter final viscosity sering digunakan sebagai parameter produk yang ditunjukkan dengan kemampuan produk dalam membentuk pasta atau gel setelah proses pemanasan dan pendinginan. Parameter set back merupakan selisih nilai dari final viscosity dan paste peak viscosity. Hasil yang diperoleh pada parameter set back tersebut dapat dikorelasikan dengan tekstur produk. Bila nilai set back tinggi akan
22 Universitas Sumatera Utara
mengindikasikan semakin mudahnya suatu produk mengalami syneresis (keluarnya cairan dari produk) [53].
2.9.3
Analisa Gugus Fungsi (FTIR) Fourier Transform Infrared (FTIR) spektroskopi adalah teknik yang
digunakan untuk menentukan sifat kualitatif dan kuantitatif dari molekul dalam bentuk padat, cair atau gas sampel organik atau anorganik. Ini adalah metode cepat dan relatif murah untuk analisis padatan yang kristal, mikrokristal, amorf, atau film. Sampel dianalisis dari skala mikron hingga skala kilometer, dapat dilakukan kapanpun dibutuhkan, dan relatif mudah. Keuntungan lain dari teknik ini adalah bahwa alat itu juga dapat memberikan informasi tentang unsur-unsur ringan (misalnya, H dan C) dalam zat anorganik [47]. Molekul akan menyerap sinar infra merah pada frekuensi tertentu yang mempengaruhi momen dipolar atau ikatan dari suatu molekul. Supaya terjadi penyerapan radiasi inframerah, maka ada beberapa hal yang perlu dipenuhi, yaitu : 1. Absorpsi terhadap radiasi inframerah dapat menyebabkan eksitasi molekul ke tingkat energi vibrasi yang lebih tinggi dan besarnya absorbsi adalah terkuantitasi. 2. Vibrasi yang normal mempunyai frekuensi sama dengan frekuensi radiasi elektromagnetik yang diserap 3. Proses absorpsi (spektra IR) hanya dapat terjadi apabila terdapat perubahan baik nilai maupun arah dari momen dua kutub ikatan Teknik spektroskopi infra merah terutama untuk mengetahui gugus fungsional suatu senyawa, juga untuk mengidentifikasi senyawa, menentukan struktur molekul, mengetahui kemurnian, dan mempelajari reaksi yang sedang berjalan [68].
2.9.4
Analisa Sifat Kekuatan Tarik (Tensile Strength) Pengujian tarik adalah salah satu uji stress strain mekanik yang bertujuan
untuk mengetahui kekuatan material terhadap gaya tarik. Dalam pengujiannya, material uji ditarik sampai putus. Uji tarik adalah cara pengujian bahan yang paling mendasar. Pengujian tarik sangat sederhana, tidak mahal dan sudah mengalami standarisasi diseluruh dunia. Dengan menarik suatu material kita akan mengetahui
23 Universitas Sumatera Utara
bagaimana bahan tersebut bereaksi terhadap tarikan dan sejauh mana material itu bertambah panjang [25]. Penarikan suatu bahan biasanya menyebabkan terjadi perubahan bentuk dimana penipisan pada tebal dan pemanjangan. Kekuatan tarik (tensile strength) suatu bahan ditetapkan dengan membagi gaya maksimum dengan luas penampang mulamula, dimensinya sama dengan tegangan. Pada peregangan suatu bahan polimer, pemanjangan tidak selalu berbanding lurus dengan beban yang diberikan, dan pada penurunan kembali beban,sebahagian regangannya hilang, karena bahan polimer bukan merupakan bahan sepenuhnya elastis tetapi ada sifat viskositasnya [26].
2.9.5
Analisa Sifat Perpanjangan Saat Putus (Elongation At Break) Elongasi adalah peningkatan panjang material saat diuji dengan beban tarik,
dinyatakan dalam satuan panjang, biasanya inci atau millimeter. Persen elongasi adalah pemanjangan benda uji yang dinyatakan sebagai persen dari panjangnya. Laju transmisi uap air adalah jumlah uap air yang melalui suatu permukaan persatuan luas atau slope jumlah uap air dibagi luas area. Nilai laju transmisi uap air suatu bahan dipengaruhi oleh struktur bahan pembentuk dan konsentrasi plasticizer. Penambahan plasticizer seperti gliserol akan meningkatkan permeabilitas film terhadap uap air karena gliserol bersifat hidrofilik [43]. Mali et al. menyatakan dalam penelitiannya bahwa bahwa meningkatnya konsentrasi gliserol tidak signifikan meningkatkan laju transmisi uap pati bahan baku [47].
2.9.6 Analisa Scanning Electron Microscopy (SEM) Analisa SEM dilakukan untuk mempelajari sifat morfologi sampel. SEM adalah alat yang dapat membentuk bayangan specimen secara mikroskopik. Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada spesimen. Interaksi berkas elektron dengan spesimen menghasilkan beberapa fenomena yaitu hamburan balik berkas elektron, sinar X, elektron sekunder, dan absorpsi elektron [28]. Teknik SEM pada hakekatnya merupakan pemeriksaan dan analisa permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau dari lapisan yang tebalnya sekitar 20 µm dari permukaan. Gambar permukaan yang diperoleh merupakan tofografi dengan segala tonjolan, lekukan dan lubang pada permukaan.
24 Universitas Sumatera Utara
Gambar toforgrafi diperoleh dari penangkapan elektron sekunder yang dipancarkan oleh spesimen. Sinyal elektron sekunder yang dihasilkan ditangkap oleh detektor yang diteruskan ke monitor. Pada monitor akan diperoleh gambar yang khas menggambarkan struktur permukaan spesimen. Selanjutnya gambar di monitor dapat dipotret dengan menggunakan film hitam putih atau dapat pula direkam ke dalam suatu disket. Sampel yang dianalisa dengan teknik ini harus mempunyai konduktifitas yang tinggi, karena polimer mempunyai konduktifitas rendah, maka bahan perlu dilapisi dengan bahan konduktor (bahan pengantar) yang tipis [28]. Pada dasarnya SEM menggunakan sinyal yang dihasilkan elektron yang dipantulkan atau seberkas elektron sekundar. Prinsip utamanya adalah berkas elektron diarahkan pada titik-titik pada permukaan spesimen. Gerakan elektron tersebut dapat di scanning (gerakan membaca) [26].
2.9.7
Uji Penyerapan Air (Water-Absorption) Water-absorption dalam bioplastik merupakan kemampuan bioplastik dalam
menyerap air dalam waktu tertentu. Water-absorption pada bioplastik merupakan salah satu masalah terutama dalam penggunaan bioplastik di luar ruangan. Semua polimer akan menyerap air jika berada di udara lembab atau ketika polimer tersebut dicelupkan di dalam air. Water-absorption pada bioplastik memiliki beberapa pengaruh dalam propertiesnya dan kemampuannya dalam jangka waktu yang lama juga penurunan secara perlahan dari ikatan interface bioplastik serta menurunkan sifat mekanikal bioplastik seperti kekuatan tariknya. Karena itu, pengaruh dari waterabsorption sangat vital untuk penggunaan bioplastik dari serat alami dilingkungan terbuka [29].
2.9.8
Uji Biodegradasi Biodegradasi
adalah
penurunan
sifat-sifat
dikarenakan
oleh
aksi
mikroorganisme alam seperti bakteri dan fungi. Biasanya disebabkan adanya serangan kimia oleh enzim yang dihasilkan oleh organisme sehingga dapat menyebabkan pemutusan rantai polimer [48]. Di dalam tanah terdapat berbagai macam komponen organik maupun komponen anorganik dan juga terdapat mikroorgaisme. Mikroorganisme mempunyai
25 Universitas Sumatera Utara
peranan penting dalam penguraian semua material organik termasuk biopolimer. Mikroorganisme yang mempunyai peranan dalam perombakan bahan-bahan organik kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana antara lain bakteri, fungi, dan aktinomisetes [49]. Pengujian bidegradasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan metode penguburan tanah dan degradasi mikrobial dengan mikroorganisme. Biodegradasi dalam lingkungan dapat dideskripsikan dengan persamaan kimia seperti berikut [50]: Polimer + Bakteri → CO2 + H2O + Biomassa + Residu
(2.7)
EM4 adalah kultur campuran mikro yang terdiri dari bakteri lactobacillus, Antinomyces, Streptomyces, ragi jamur dan bakteri fotosentik yang bekerja saling menunjang dalam dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi bahan organik dengan molekul EM4 berlangsung secara fermentasi baik dalam keadaan aerob maupun anaerob. Bakteri-bakteri ini akan mendegradasi bioplastik yang mengandung pati dengan cara memutuskan rantai polimer menjadi monomer-monomernya melalui enzim yang dihasilkan dari bakteri tersebut. Proses ini akan menghasilkan senyawasenyawa organik berupa asam amino, asam laktat, gula, alkohol, vitamin, protein, dan senyawa organik lainnya yang aman terhadap lingkungan [51].
2.10
APLIKASI DAN KEGUNAAN BIOPLASTIK Pengemasan atau disebut juga pembungkusan, pewadahan atau pengepakan
berperan dalam memperpanjang umur simpan produk dan melindungi produk. Bahan kemasan konvensional yang sering digunakan adalah bahan kemasan plastik yang terbuat dari bahan baku minyak bumi, seiring meningkatnya kebutuhan penggunaan plastik konvensional menimbulkan masalah ketersediaan bahan baku serta limbah plastik yang sulit didegradasi oleh mikroba tanah [2]. Sedangkan Bahan kemasan nonkonvensional atau bioplastik yaitu bahan yang digunakan untuk mengatasi keterbatasan bahan baku pembuatan plastik konvensional dan sekaligus mengatasi masalah pengolahan limbah. Bioplastik merupakan salah satu jenis plastik yang hampir keseluruhannya terbuat dari bahan yang dapat diperbarui, seperti pati dan minyak nabati sehingga dapat melestarikan sumber daya alam yang terbatas.
26 Universitas Sumatera Utara
Ketersediaan bahan dasarnya di alam sangat melimpah dengan keragaman struktur [10]. Beberapa bioplastik yang dikenal paling umum di dunia saat ini adalah poly lactyt acid (PLA), poly hidroksi alkanoat (PHA), bioplastik berbahan dasar pati dan lain-lain (Pilla, 2011). Bioplastik berbahan dasar pati paling menguasai hingga 66% pasar bioplastik, diikuti 27% PLA dan PHA, dan 7% dengan bahan lain-lain [4]. Bioplastik bisa digunaan untuk barang sekali pakai, seperti kemasan makanan, kemasan minuman dan peralatan lainnya. Saat ini sedang dikembangkan bioplastik untuk aplikasi non-disposable termasuk selongsong ponsel, serat karpet, interior mobil, saluran bahan bakar, aplikasi pipa plastik, dan bioplastik elektroaktif sedang dikembangkan yang dapat digunakan untuk mengalirkan arus listrik [67]. Dalam penelitian ini, bioplastik pati talas dengan pengisi kitosan dan plasticizer gliserol dapat digunakan sebagai kemasan. Dengan sifatnya yang mudah terurai dan merupakan bioplastik termoplastik [42], maka bioplastik yang dihasilkan pada penelitian ini cocok untuk digunakan sebagai pengemas bahan produk hasil pertanian seperti sayuran dan buah-buahan, selain itu juga dapat digunakan sebagai pengemas makanan dengan kadar air yang rendah.
27 Universitas Sumatera Utara