BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Jagung Jagung merupakan tanaman semusim (annual). Satu siklus hidupnya diselesaikan dalam 80-150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap pertumbuhan generatif. Tinggi tanaman jagung sangat bervariasi. Meskipun tanaman jagung umumnya berketinggian antara 1 m sampai 3 m, ada varietas yang dapat mencapai tinggi 6 m. Tinggi tanaman biasa diukur dari permukaan tanah hingga ruas teratas sebelum bunga jantan. Meskipun beberapa varietas dapat menghasilkan anakan (seperti padi), pada umumnya jagung tidak memiliki kemampuan ini (Sudjana et al, 1991). Jagung termasuk klas monocotyledone, ordo graminae, familia graminaceae, genus zea, spesies Zea mays L., dan merupakan tanaman berumah satu (monoecious). Jagung juga tergolong dalam tanaman C4 yang mampu beradaptasi dengan baik pada faktor pembatas pertumbuhan dan produksi. Salah satu sifat tanaman jagung sebagai tanaman C4, antara lain daun mempunyai laju fotosintesis lebih tinggi dibandingkan tanaman C3, fotorespirasi dan transpirasi rendah, efisien dalam penggunaan air (Goldsworthy dan Fisher, 1980).
2.2 Botani Tanman Jagung Akar jagung tergolong akar serabut yang dapat mencapai kedalaman 8 m meskipun sebagian besar berada pada kisaran 2 m. Tanaman yang sudah cukup
dewasa muncul akar adventif dari buku-buku batang bagian bawah yang membantu menyangga tegaknya tanaman (Muhadjir, 1998). Batang jagung tegak dan mudah terlihat, sebagaimana sorgum dan tebu, namun tidak seperti padi atau gandum. Terdapat mutan yang batangnya tidak tumbuh pesat sehingga tanaman berbentuk roset. Batang beruas-ruas, ruas terbungkus pelepah daun yang muncul dari buku. Batang jagung cukup kokoh namun tidak banyak mengandung lignin (Effendi, 1990). Daun jagung adalah daun sempurna, bentuknya memanjang antara pelepah dan helai daun terdapat ligula. Tulang daun sejajar dengan ibu tulang daun. Permukaan daun ada yang licin dan ada yang berambut. Stoma pada daun jagung berbentuk halter, yang khas dimiliki familia Poaceae. Setiap stoma dikelilingi sel-sel epidermis berbentuk kipas. Struktur ini berperan penting dalam respon tanaman menanggapi defisit air pada sel-sel daun (Muhadjir. M, 1998). Jagung memiliki bunga jantan dan bunga betina yang terpisah (diklin) dalam satu tanaman (monoecious). Tiap kuntum bunga memiliki struktur khas bunga dari suku Poaceae, yang disebut floret. Pada jagung, dua floret dibatasi oleh sepasang glumae (tunggal: gluma). Bunga jantan tumbuh dibagian puncak tanaman, berupa karangan bunga (inflorescence). Serbuk sari berwarna kuning dan beraroma khas. Bunga betina tersusun dalam tongkol. Tongkol tumbuh dari buku, di antara batang dan pelepah daun. Umumnya, satu tanaman hanya dapat menghasilkan satu tongkol produktif meskipun memiliki sejumlah bunga betina. Beberapa varietas unggul dapat menghasilkan lebih dari satu tongkol produktif, dan disebut sebagai varietas prolifik.
Bunga jantan jagung cenderung siap untuk penyerbukan 2-5 hari lebih dini daripada bunga betinanya (protandri) (Sudjana et al, 1991). Buah jagung terdiri atas tongkol, biji dan daun pembungkus. Biji jagung mempunyai bentuk, warna dan kandungan endosperm yang bervariasi, tergantung pada jenisnya. Umumnya jagung memiliki barisan biji yang melibit secara lurus atau berkelok-kelok dan berjumlah antara 8-20 baris biji. Biji jagung terdiri atas tiga bagian utama yaitu kulit biji, endosperm dan embrio (Rukmana, 2004). Tanaman jagung dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di daerah-daerah dengan ketinggian 1300 m dpl. Jumlah dan distribusi hujan merupakan faktor penting dalam produksi jagung, tanaman jagung membutuhkan curah hujan 2500-5000 mm/tahun. Selanjutnya, Warisno (1998) menyatakan bahwa selama pertumbuhannya tanaman jagung harus mendapatkan sinar matahari yang cukup. Hasil jagung lebih tinggi bila ditanam ditempat yang terbuka dibandingkan bila ditanam ditempat yang terlindung. Suhu panas dan lembab amat baik bagi pertumbuhan tanaman jagung pada periode fase vegetatif sampai fase reproduktif, terutama pada saat mengakhiri pembuahan. Suhu yang terlalu panas dan kelembapan rendah berpengaruh kurang baik terhadap pertumbuhan dan produksi jagung karena menyebabkan rusaknya daun dan terganggunya persarian bunga. Temperatur yang dikhendaki tanaman jagung antara 21-30o C. Temperatur optimumnya antara 23-27o C. Proses perkecambahan benih memerlukan temperatur yang cocok, kehidupan embrio dan pertumbuhannya menjadi kecambah akan optimal pada suhu 30o C dengan kapasitas air tanah antara 25-60%. Keadaan suhu rendah dan tanah basah sering menyebabkan benih jagung
membusuk. Tanaman jagung toleran terhadap kemasaman tanah pada kisaran pH 5,57. Tingkat kemasaman tanah yang paling baik untuk tanaman jagung pada pH 6,8 (Effendi, 1985).
2.3 Gulma Gulma ialah tanaman yang tumbuhnya tidak diinginkan. Gulma disuatu tempat mungkin berguna sebagai bahan pangan, makanan ternak atau sebagai bahan obat-obatan. Suatu spesies tumbuhan tidak dapat diklasifikasikan sebagai gulma pada semua kondisi. Namun demikian banyak juga tumbuhan diklasifikasikan sebagai gulma dimanapun gulma itu berada karena gulma tersebut umum tumbuh secara teratur pada lahan tanaman budidaya (Sebayang, 2005). Hadirnya gulma pada periode permulaan siklus hidup tanaman dan pada periode menjelang panen tidak berpengaruh atau hanya berpengaruh kecil terhadap produksi tanaman. Namun antara dua periode tersebut tanaman peka terhadap gulma. Periode kritis prinsipnya merupakan saat sutau periode pertanaman berada pada kondisi yang peka terhadap lingkungan terutama unsur hara, air, cahaya dan ruang tumbuh. Periode kritis tersebut tanaman akan kalah bersaing dalam hal penggunaan unsur-unsur yang diperlukan untuk pertumbuhannya sehingga pertumbuhan tanaman terhambat, yang akhirnya akan menurunkan produksi tanaman (Sukman dan Yakup, 2002). Biji gulma yang berada di dalam tanah dalam waktu tertentu atau setelah terjadi pematahan dormansi dapat berkecambah. Perkecambahan itu dapat terjadi selama biji tersebut sudah tidak akan berkecambah lagi setelah biji mengalami
senesensi. Perkacambahan biji gulma ini dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam inilah merupakan sifat yang dipunyainya secara menurun (genetis) misalnya lama dormansi oleh karena tebalnya kulit biji, vigor, viabilitas, dan lain-lain (Moenandir, 1993). Perkembangbiakan gulma sangat mudah dan cepat, baik secara generatif maupun secara vegetatif. Secara generatif, biji-biji gulma yang halus, ringan, dan berjumlah sangat banyak dapat disebarkan oleh angin, air, hewan, maupun manusia. Perkembangbiakan secara vegetatif terjadi karena bagian batang yang berada di dalam tanah akan membentuk tunas yang nantinya akan membentuk tumbuhan baru. Demikian juga, bagian akar tanaman, misalnya stolon, rhizomma, dan umbi, akan bertunas dan membentuk tumbuhan baru jika terpotong-potong (Barus, 2003). Persaingan untuk nutrisi antar tanaman dan gulma tergantung pada kadar nutrisi yang terkandung dalam tanah dan tersedia bagi keduanya dan tergantung pula pada kemampuan kedua tanaman dan gulma menarik masuk ion-ion nutrisi tersebut. Kemampuan serta kecepatan menarik ion-ion ke dalam tubuh tanaman tergantung pada sifat alamiah masing-masing tumbuhan (Moenadir,1993). Pengendalian gulma tidak seharusnya untuk membunuh seluruh gulma, melainkan cukup menekan pertumbuhan dan mengurangi populasinya sampai pada tingkat dimana penurunan produksi terjadi yang terjadi tidak berarti pada tingkat yang diperoleh dari penekanan gulma sedapat mungkin seimbang dengan usaha ataupun biaya yang dikeluarkan. Pendek kata, pengendalian bertujuan hanya menekan populasi gulma samapi tingkat populasi yang tidak merugikan secara ekonomi atau
tidak melampui ambang ekonomik, sehingga sama sekali tidak bertujuan menekan populasi gulma sampai nol (Sukman dan Yakup, 2002).
2.4 Gulma pada Tanaman Jagung Produktifitas tanaman jagung di Indonesia relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan negara Australia yang produksinya telah mecapai 7-10 ton tongkol segar per hektar. Kehadiran gulma pada tanaman jagung merupakan penyebab rendahnya hasil jagung tersebut. Pengaruh gulma pada tanaman dapat terjadi secara langsung yaitu dalam hal untuk mendapatkan unsur hara, air, cahaya, dan rung tumbuh. Secara tidak langsung sejumlah gulma merupakan inang dari hama dan penyakit (Lubach, 1980). Hadirannya gulma pada lahan pertanaman jagung tidak jarang menurunkan hasil dan mutu biji. Penurunan hasil bergantung pada jenis gulma, kepadatan, lama persaingan, dan senyawa allelopati yang dikeluarkan oleh gulma. Secara keseluruhan, kehilangan hasil yang disebabkan oleh gulma melebihi kehilangan hasil akibat hama dan penyakit. Meskipun demikian, kehilangan hasil akibat gulma sulit diperkirakan karena pengaruhnya tidak dapat segera diamati. Beberapa penelitian menunjukkan korelasi negatif antara bobot kering gulma dan hasil jagung, dengan penurunan hasil hingga 95 % (Violic, 2000). Menurut (Sastroutomo et a1, 1990) umumnya jenis gulma yang tumbuh pada pertanaman jagung dapat digolongan sebagai berikut :
1. Golongan Rumput Gulma golongan rumput termasuk dalam familia Gramineae/Poaceae. Cirricirinya, batang bulat atau agak pipih, kebanyakan berongga, daun-daun soliter pada buku-buku, tersusun dalam dua deret, umumnya bertulang daun sejajar, terdiri atas dua bagian yaitu pelepah daun dan helaian daun. Daun biasanya berbentuk garis (linier), tepi daun rata. Lidah-lidah daun sering kelihatan jelas pada batas antara pelepah daun dan helaian daun, contohnya: -
Rumput belalang (Digitaria sanguinalis)
-
Rumput kakawatan/suket grinting (Cynodon dactylon)
-
Jajagoan leutik (Echinochloa colona)
-
Kelangan (Eleusine indica)
-
Alang-alang (Imperata cylindrica) (Sastroutomo et a1, 1990).
2. Golongan Teki Gulma golongan teki termasuk dalam familia Cyperaceae. Batang umumnya berbentuk segitiga, kadang-kadang juga bulat dan biasanya tidak berongga. Daun tersusun dalam tiga deretan, tidak memiliki lidah-lidah daun (ligula). Ibu tangkai karangan bunga tidak berbuku-buku. Bunga sering dalam bulir (spica) atau anak bulir, biasanya dilindungi oleh suatu daun pelindung. Buahnya tidak membuka, contohnya: -
Teki (Cyperus rotundus)
-
Teki (Cyperus byllinga) (Sastroutomo et a1, 1990).
3. Golongan Berdaun Lebar Gulma berdaun lebar umumnya termasuk Dicotyledoneae dan Pteridophyta. Daun lebar dengan tulang daun berbentuk jala, contohnya: -
Bayam duri (Amaranthus spinosus)
-
Babandotan (Ageratum conyzoides)
-
Spomoea sp
-
Kremah (Alternanthera phyloxiroides)
-
Synedrella madiflora
-
Krokot (Portulaca oleracea)
-
Ciplukan (Physalis longifolia)
-
Galinsoga ciliata (Sastroutomo et a1, 1990).
2.5 Persaingan Gulma dengan Tanaman Jagung Tingkat persaingan antara tanaman dan gulma bergantung pada empat faktor, yaitu stadia pertumbuhan tanaman, kepadatan gulma, tingkat cekaman air dan hara, serta spesies gulma. Jika dibiarkan, gulma berdaun lebar dan rumputan dapat secara nyata menekan pertumbuhan dan perkembangan jagung. Gulma menyaingi tanaman terutama dalam memperoleh air, hara, dan cahaya. Tanaman jagung sangat peka terhadap tiga faktor ini selama periode kritis antara stadia V3 dan V8, yaitu stadia pertumbuhan jagung di mana daun ke-3 dan ke-8 telah terbentuk. Sebelum stadia V3, gulma hanya mengganggu tanaman jagung jika gulma tersebut lebih besar dari tanaman jagung, atau pada saat tanaman mengalami cekaman kekeringan. Antara stadia V3 dan V8, tanaman jagung membutuhkan periode yang tidak tertekan oleh
gulma. Setelah V8 hingga matang, tanaman telah cukup besar sehingga menaungi dan menekan pertumbuhan gulma. Saat stadia lanjut pertumbuhan jagung, gulma dapat mengakibatkan kerugian jika terjadi cekaman air dan hara, atau gulma tumbuh pesat dan menaungi tanaman (Lafitte, 1994). Beberapa jenis gulma tumbuh lebih cepat dan lebih tinggi selama stadia pertumbuhan awal jagung, sehingga tanaman jagung kekurangan cahaya untuk fotosintesis. Gulma yang melilit dan memanjat tanaman jagung dapat menaungi dan menghalangi cahaya pada permukaan daun, sehingga proses fotosintesis terhambat yang pada akhirnya menurunkan hasil. Kebanyakan di banyak daerah pertanaman jagung, air merupakan faktor pembatas. Kekeringan yang terjadi pada stadia awal pertumbuhan vegetatif dapat mengakibatkan kematian tanaman. Kehadiran gulma pada stadia ini memperburuk kondisi cekaman air selama periode kritis, dua minggu sebelum dan sesudah pembungaan. Pada saat itu tanaman rentan terhadap persaingan dengan gulma (Violic, 2000). Menurut Moenandir (1993), kemampuan tanaman bersaing dengan gulma tergantung pada spesies gulma, kepadatan gulma, saat dan lama persaingan, cara budidaya dan varietas yang ditanam, serta tingkat kesuburan tanah. Perbedaan spesies akan menentukan kemampuan bersaing karena perbedaan sistem fotosintesis, kondisi perakaran dan keadaan morfologinya. Gulma yang muncul atau berkecambah lebih dulu atau bersamaan dengan tanaman yang dikelola, berakibat besar terhadap pertumbuhan dan hasil panen tanaman. Persaingan gulma pada awal pertumbuhan akan mengurangi kuantitas hasil, sedangkan persaingan dan gangguan gulma menjelang panen berpengaruh besar terhadap kualitas hasil. Persaingannya berupa:
a. Persaingan dalam memperoleh air Air di serap dari dalam tanah kemudian sebagian besar diuapkan (transpirasi), hanya sekitar 1 % saja yang dipakai untuk proses fotosintesis. Setiap kilogram bahan organik, gulma membutuhkan 330-1900 liter air. Kebutuhan yang besar tersebut hampir dua kali kebutuhan tanaman (Moenandir, 1993). b. Persaingan dalam memperoleh unsur hara Gulma menyerap lebih banyak unsur hara dari pada tanaman, pada bobot kering yang sama gulma mengandung kadar nitrogen dua kali lebih banyak dari jagung (Moenandir, 1993). c. Persaingan dalam memperoleh cahaya Dalam keaadaan air dan hara yang cukup untuk pertumbuhan tanaman, maka faktor pembatas berikutnya adalah cahaya matahari. Bila musim hujan, berbagai tanaman akan berebut untuk memperoleh cahaya matahari (Moenandir, 1993). d. Pengeluaran senyawa beracun Tumbuhan juga dapat bersaing antara sesamanya dengan cara interaksi biokimia, yaitu salah satunya dengan mengeluarkan senyawa beracun, yang akan menyebabkan terganggunya pertumbuhan tanaman lain. Interaksi biokimia antara gulma dan tanaman ini dapat menyebabkan gangguan perkecambahan biji, kecambah jadi abnormal. Persaingan yang timbul akibat hal ini adalah dikeluarkannya zat racun dari suatu tumbuhan yang disebut allelopathy (Moenandir, 1993).
2.6 Pengendalian Gulma pada Tanaman Jagung Keberhasilan pengendalian gulma merupakan salah satu faktor penentu tercapainya tingkat hasil jagung yang tinggi. Gulma dapat dikendalikan melalui berbagai aturan dan karantina. Secara biologi dengan menggunakan organisme hidup; secara fisik dengan membakar dan menggenangi, melalui budidaya dengan pergiliran tanaman, peningkatan daya saing dan penggunaan mulsa; secara mekanis dengan mencabut, membabat, menginjak, menyiang dengan tangan, dan mengolah tanah dengan alat mekanis bermesin dan nonmesin, secara kimiawi menggunakan herbisida. Gulma pada pertanaman jagung umumnya dikendalikan dengan cara mekanis dan kimiawi. Pengendalian gulma secara kimiawi berpotensi merusak lingkungan sehingga perlu dibatasi melalui pemaduan dengan cara pengendalian lainnya (Rukmana, 1999). Pengendalian secara Mekanis Secara tradisional petani mengendalikan gulma dengan pengolahan tanah konvensional dan penyiangan dengan tangan. Pengolahan tanah konvensional dilakukan dengan membajak, menyisir dan meratakan tanah, menggunakan tenaga ternak dan mesin. Saat pertanaman kedua petani tidak lagi mengolah tanah, agar menghemat biaya. Sebagian petani bahkan tidak mengolah tanah sama sekali. Lahan disiapkan dengan mematikan gulma menggunakan herbisida, pada usahatani jagung yang menerapkan sistem olah tanah konservasi, pengolahan tanah banyak dikurangi, atau bahkan dihilangkan sama sekali (Utomo, 1997). Pembajakan dan penggaruan dapat secara berangsur dikurangi dan diganti dengan penggunaan herbisida atau pengelolaan mulsa dari sisa tanaman dan gulma
dalam
sistem
pengolahan
tanah
konservasi.
Ketersediaan
herbisida
juga
memungkinkan pemanfaatan lahan marjinal dan lahan miring yang bersifat sangat rapuh
terhadap
pengolahan
tanah
konvensional.
Penggunaan
herbisida
memungkinkan penanaman jagung langsung pada barisan tanaman tanpa olah tanah (Utomo, 1997). Pengendalian dengan Herbisida Herbisida memiliki efektivitas yang beragam. Berdasarkan cara kerjanya, herbisida kontak mematikan bagian tumbuhan yang terkena herbisida, dan herbisida sistemik mematikan setelah diserap dan ditranslokasikan ke seluruh bagian gulma. Menurut jenis gulma yang dimatikan ada herbisida selektif yang mematikan gulma tertentu atau spektrum sempit, dan herbisida nonselektif yang mematikan banyak jenis gulma atau spektrum lebar (Klingman et al. 1975). Herbisida berbahan aktif glifosat, paraquat, dan 2,4-D banyak digunakan petani, sehingga banyak formulasi yang menggunakan bahan aktif tersebut. Glifosat yang disemprotkan ke daun efektif mengendalikan gulma rumputan tahunan dan gulma berdaun lebar tahunan, gulma rumput setahun, dan gulma berdaun lebar. Senyawa glifosat sangat labil ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman ketika diaplikasi pada daun, dan cepat terurai dalam tanah. Gejala keracunan berkembang lambat dan terlihat 1-3 minggu setelah aplikasi (Klingman et al. 1975). Pengendalian secara Terpadu Kepedulian terhadap lingkungan melahirkan sistem pengelolaan terpadu gulma yang meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mempelajari interaksi antara tanaman dan gulma,
terutama kemampuan persaingan relatif dari tanaman selama berbagai fase perkembangan gulma. Pengelolaan gulma harus dipadukan dengan aspek budidaya, termasuk pengolahan tanah, pergiliran tanaman, dan pengendalian gulma itu sendiri. Pengelolaan gulma terpadu merupakan konsep yang mengutamakan pengendalian secara alami dengan menciptakan keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi perkembangan gulma dan meningkatkan daya saing tanaman terhadap gulma (Rizal 2004). Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengendalian secara terpadu: (1) pengendalian gulma secara langsung dilakukan dengan cara fisik, kimia, dan biologi, dan secara tidak langsung melalui peningkatan daya saing tanaman melalui perbaikan teknik budidaya; (2) memadukan cara-cara pengendalian tersebut; dan (3) analisis ekonomi praktek pengendalian gulma (Rizal 2004).