62
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebijakan Pemerintah H. Hugh Heclo (1975) dalam Abidin (2004) menyebutkan kebijakan sebagai “a course of action intended to accomplish some ends,” atau sebagai suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi Heclo ini selanjutnya diuraikan oleh Jones (1977) dalam kaitan dengan beberapa isi dari kebijakan. Pertama, tujuan, yakni tujuan tertentu yang dikehendaki untuk dicapai (the desired ends to be achieved), dan bukan suatu tujuan yang sekedar diinginkan saja. Dalam kehidupan sehari-hari tujuan yang hanya diinginkan saja bukanlah suatu tujuan, tetapi sekedar keinginan. Setiap orang boleh saja berkeinginan apa saja, tetapi dalam kehidupan bernegara tidak perlu diperhitungkan. Baru diperhitungkan kalau ada usaha untuk mencapainya, dan ada ”faktor pendukung” yang diperlukan. Kedua, rencana atau proposal yang merupakan alat atau cara tertentu untuk mencapainya. Ketiga, program atau cara tertentu yang telah mendapat persetujuan dan pengesahan untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Keempat, keputusan, yakni tindakan tertentu yang diambil untuk menentukan tujuan, membuat dan menyesuaikan rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program dalam masyarakat. Menurut
Wahab
dalam
Tangkilisan
(2004)
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kinerja kebijakan adalah a) Organisasi atau kelembagaan; b) Kemampuan politik dari penguasa; c) Pembagian tugas, tanggung jawab, dan wewenang; d) Kebijakan pemerintah yang bersifat tak remental; e) Proses perumusan kebijakan pemerintah yang baik; f) Aparatur evaluasi yang bersih dan berwibawa serta profesional; g) Biaya untuk melakukan evaluasi; h) Tersedianya data dan informasi sosial ekonomi yang siap dimanfaatkan oleh penilai kebijakan. Rees dalam Arifuddin (1990) mengatakan bahwa suatu kebijakan terlihat irasional karena kebijakan yang diterima oleh suatu masyarakat belum tentu dapat diterima oleh masyarakat lainnya. Sehingga kebijakan itu harus diformulasikan sedemikian rupa sesuai dengan fungsinya sebagai pengarah, penyedia dan sekaligus sebagai kontrol kewenangan dan tanggung jawab masing-masing pelaku kebijakan.
63
Pemilihan dan Pengambilan kebijakan yang baik dan tepat dapat dipenuhi dengan menggunakan beberapa kriteria kebijakan, menurut Abidin (2000) ada beberapa kriteria kebijakan yang bisa digunakan diantaranya adalah: 1. Efektivitas (effectiveness), mengukur apakah suatu pemilihan sasaran yang dicapai dengan satu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan. Jadi satu strategi kebijakan dipilih dan dilihat dari kapasitasnya untuk memenuhi tujuan dalam rangka memecahkan permasalahan masyarakat; 2. Efisiensi (economic rationality), mengukur besarnya pengorbanan atau ongkos yang harus dikeluarkan untuk mencapai tujuan atau efektivitas tertentu; 3. Cukup (adequacy), mengukur pencapaian hasil yang diharapkan dengan sumberdaya yang ada; 4. Adil (equity), mengukur hubungan dengan penyebaran atau pembagian hasil dan ongkos atau pengorbanan diantara berbagai pihak dalam masyarakat; 5. Terjawab (responsiveness), dapat memenuhi kebutuhan atau dapat menjawab permasalahan tertentu dalam masyarakat; 6. Tepat (apropriateness), merupakan kombinasi dari kriteria yang disebutkan sebelumnya.
2.2. Fenomena Kemiskinan Kemiskinan merupakan fenomena yang sangat kompleks, bersifat multidimensi dan tidak dapat secara mudah dilihat dari suatu angka absolut. Umumnya kondisi dan permasalahan kemiskinan secara tidak langsung tergambar dari: fakta yang diungkapkan menurut persepsi dan pendapat masyarakat miskin itu sendiri, berdasarkan temuan dari berbagai kajian, dan indikator sosial dan ekonomi yang dikumpulkan dari kegiatan sensus dan survey (Dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, 2005:14). 2.2.1. Konsep dan Pengertian Kemiskinan Bappenas (2005) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu situasi atau kondisi yang dialami seseorang atau sekelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi
64
ketidak-mampuan baik secara individu, keluarga, maupun kelompok, sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain. Menurut BPS (2005), pengertian kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi standar tertentu dari kebutuhan dasar, baik makanan maupun bukan makanan. Berdasarkan Suharto (2003) konsep kemiskinan memiliki berbagai pengertian, tergantung dari perspektif yang digunakan: apakah dari sudut pandang sosio-kultural, ekonomi, psikologi, atau politik. Namun adakalanya kemiskinan diartikan dengan merujuk pada faktor-faktor yang menyebabkannya, misalnya pada konsep mengenai kemiskinan alamiah, kemiskinan struktural, kemiskinan kultural, kemiskinan absolut, dan kemiskinan relatif. Baswir (1997) membedakan kemiskinan menjadi dua yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah timbul disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut, atau karena faktor sumberdaya alam yang kurang mendukung terhadap penghidupan penduduk di suatu daerah, seperti halnya karena rawan bencana alam, kekeringan, tandus, kebakaran, dan lain-lain. Sementara kemiskinan struktural terjadi bukan dikarenakan “ketidakmauan”
si
miskin
untuk
bekerja
(malas),
melainkan
karena
“ketidakmampuan” sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatankesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja, seperti ketidakadilan, distribusi aset yang tidak merata, budaya korup, birokrasi/peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya, atau tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu. Adapun kemiskinan yang terjadi karena “ketidakmauan” si miskin disebut kemiskinan kultural. Konsep kemiskinan kultural dapat dijelaskan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin yang kurang mendukung untuk perbaikan atau pembaharuan kehidupannya, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja, tidak responsif, dan tertutup. Pada konsep mengenai kemiskinan alamiah, kultural, dan struktural di atas, operasionalisasi kemiskinan dirumuskan berdasarkan indikator-indikator masukan (input indicators) dimana kemiskinan dilihat berdasarkan faktor-faktor yang menyebabkannya (Soeharto, 2003). Adapun pendekatan yang melihat kemiskinan dari
65
gejala atau hasil (outcome) yang ditimbulkannya, operasionalisasi kemiskinan biasanya dirumuskan berdasarkan indikator keluaran (output indicators) yang dapat diartikan bahwa seseorang dikatakan miskin jikalau memiliki pendapatan rendah, rumah tidak layak huni, atau buta huruf (Gambar 3).
Dasar Indikator Masukan (input indicators)
Pendekatan Kemiskinan Alamiah Kemiskinan Struktural Kemiskinan Kultural
Indikator Keluaran (output indicators)
Kemiskinan Absolut Kemiskinan Relatif
Gambar 3. Bagan Konsep Kemiskinan
Asian Development Bank (1999:26) dalam An-Naf (2007) membedakan pengertian kemiskinan antara kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah kemiskinan mutlak yang menimpa pada seseorang atau sekelompok masyarakat dimana pendapatannya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal. Kemiskinan absolut diindikasikan dengan suatu tingkat kemiskinan yang berada di bawah garis kemiskinan sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum untuk bertahan hidup. Sedangkan kemiskinan relatif adalah keadaan yang dialami seseorang atau suatu keluarga dalam satu lingkungan perkampungan penduduk atau masyarakat tertentu, dimana status sosial ekonominya berada pada lapisan paling bawah di antara keluarga lain sekitarnya. Kemiskinan relatif adalah suatu tingkat kemiskinan dalam hubungannya dengan suatu rasio Garis Kemiskinan Absolut atau proporsi distribusi pendapatan (kesejahteraan) yang timpang (tidak merata). 2.2.2. Indikator Pengukuran Kemiskinan Pada pendekatan berdasarkan indikator keluaran, kemiskinan dilihat dari gejala atau hasil (outcome) yang ditimbulkannya. Pendekatan ini menghasilkan dua cara dalam mengukur kemiskinan. Cara pertama adalah dengan menyusun indikator
66
tunggal, seperti pendapatan atau pengeluaran yang kemudian dibakukan menjadi “garis kemiskinan” (poverty line), sedangkan cara kedua adalah dengan menyusun indikator komposit (Suharto, 2003). Banyak metode yang dapat digunakan untuk mengartikan dan mengukur kemiskinan, akan tetapi setiap metode mempunyai kekuatan dan kelemahan sehingga tak ada metode yang sempurna 9. Emil Salim (1980) dalam Andayasari (2006) mengemukakan bahwa kemiskinan biasanya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga yang layak bagi kemanusiaan. Profesor Sayogyo membedakan indikator mengukur kemiskinan berdasarkan desa dan kota, dimana seseorang disebut miskin jika penghasilannya kurang dari 320 kilogram beras di desa dan kurang dari 480 kilogram beras di kota (Sumardi dan Dieter Evers (1985) dalam Andayasari, 2006). Bank Dunia atau World Bank menyusun indikator tunggal dalam bentuk garis kemiskinan yang kemudian dijadikan rujukan internasional antara lain adalah sebesar 1 dolar atau 2 dolar Amerika Serikat per hari per kapita. Di Indonesia, BPS mengeluarkan garis kemiskinan yang disesuaikan dengan wilayah pedesaan dan perkotaan serta kabupaten/kota di Indonesia. Menurut BPS, seseorang dianggap miskin apabila ia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimal yaitu kebutuhan untuk mengkonsumsi makanan dalam takaran 2.100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan minimal non makanan seperti perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi. Per Maret 2009, BPS menetapkan garis kemiskinan yang dipakai secara luas berdasarkan jumlah kalori tersebut adalah sebesar Rp. 200.262,- per kapita per bulan tanpa memperhatikan perbedaan wilayah yang kemudian menimbulkan banyak perdebatan (Media Indonesia, edisi Kamis 2 Juli 2009). Metode yang dipakai BPS untuk menghitung garis kemiskinan adalah kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach), baik makanan maupun non makanan. Adapun indikator untuk menentukan keluarga miskin yang ditetapkan oleh BPS (2005) adalah sebagai berikut: a. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 10 m2
9
Kesimpulan dari paparan materi “Metode Penghitungan Angka Kemiskinan” oleh Kecuk Suhariyanto dalam Workshop Tinjauan Metode Penghitungan Kemiskinan, Jakarta 13 Juli 2009.
67
b. Lantai bangunan dari tanah, bambu, kayu c. Dinding bangunan dari bambu (rumbia) kayu berkualitas rendah d. Buang air besar di tempat umum f. Sumber air minum tidak terlindungi (sungai) air hujan g. Sumber penerangan bukan listrik h. Jenis bahan bakar memasak dari kayu/arang i. Tidak pernah membeli daging/ayam/susu dalam seminggu j. Makan anggota keluarga satu kali dalam sehari k. Tidak pernah membeli pakaian baru dalam setahun l. Tidak pernah berobat ke Puskesmas/Poliklinik m. Tidak memiliki pekerjaan yang utama n. Pendidikan tertinggi kepala keluarga SD/MI ke bawah o. Tidak memiliki barang senilai Rp. 500.000,p. Tidak pernah menerima kredit UKM/KUKM setahun yang lalu. Depsos RI (2005) juga turut menentukan indikator kemiskinan yang hampir sama dengan BPS ditambah beberapa kriteria lain diantaranya: memiliki ketergantungan pada bantuan pangan untuk penduduk miskin (seperti zakat/beras untuk orang miskin/santunan sosial), tinggal di rumah yang tidak layak huni, dan sulit memperoleh air bersih. Kriteria lain dari keluarga miskin juga dibedakan dalam jenisjenis Keluarga Sejahtera oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Dalam hal ini BKKBN membaginya dalam Keluarga Pra Sejahtera, Keluarga Sejahtera I, Sejahtera II, Sejahtera III, dan Sejahtera III plus. Namun demikian indikator nasional yang digunakan dalam menghitung jumlah penduduk yang dikategorikan miskin adalah berdasarkan standar garis kemiskinan dari BPS. Penyempurnaan dari mengukur kemiskinan dengan menyusun indikator tunggal adalah dengan menyusun indikator komposit dimana selain pendapatan atau pengeluaran, indikator ini biasanya terdiri dari angka melek huruf, angka harapan hidup, atau akses kepada sarana kesehatan dan air bersih. Badan dunia yang menggunakan cara kedua adalah UNDP (United Nations Development Programme). Produk UNDP yang dikenal luas untuk mengukur kemajuan dan kemiskinan adalah HDI (Human Development Index) dan HPI (Human Poverty Index). Pendekatan ini relatif lebih komprehensif dan mencakup faktor ekonomi, sosial, dan budaya si miskin.
68
Dengan demikian, jika cara pertama mengukur kemiskinan melihat dari aspek ekonomi, maka cara kedua melibatkan juga aspek pendidikan dan kesehatan. Meskipun kedua cara memiliki keunggulan dan kelemahan, cara kedua dapat dipandang sebagai pendekatan yang lebih baik, karena dapat menggambarkan kemiskinan lebih tepat dan akurat (Suharto, 2003). 2.2.3. Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Faktor-faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal datang dari dalam diri si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau karena adanya hambatan budaya. Menganalisa faktor-faktor penyebab kemiskinan adalah sesuatu yang komplek. Mulai dari faktor sumberdaya manusianya, kondisi alam dan geografis, kondisi sosial-budaya, sampai kepada sistem ekonomi dan politik yang menyebabkan timpang atau tidak meratanya distribusi pendapatan. Menurut An-Naf (2007), kerapkali faktor-faktor tersebut saling berinteraksi dan tumpang tindih satu sama lain. Faktor-faktor rendahnya mutu sumberdaya manusia, kondisi alam dan geografis, serta kondisi sosial-budaya berkaitan dengan tingkat keterbelakangan (underdevelopment) suatu masyarakat yang pada dasarnya dapat diperbaiki. Namun ada pula faktor kondisi alam dan geografis yang tidak dapat lagi tertanggulangi sehingga menyebabkan kemiskinan absolut yang menetap sifatnya. Tapi banyak ahli yang lebih meyakini bahwa faktor dominan penyebab kemiskinan adalah ketidakadilan ekonomi, sosial ataupun politik yang mengakibatkan apa yang disebut kemiskinan struktural. (struktural poverty), baik pada tatanan negara maupun internasional. Sementara itu Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI (2009) menyimpulkan bahwa penyebab kemiskinan adalah belum terpenuhinya kebutuhan dasar warga secara optimal, adil, dan merata, diantaranya karena: a. Terbatasnya kecukupan pangan dan mutu pangan
69
b. Terbatasnya akses dan mutu layanan kesehatan c. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan d. Terbatasnya kesempatan kerja produktif dan berusaha e. Terbatasnya akses layanan perumahan f. Terbatasnya akses terhadap air bersih dan sanitasi g. Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah h. Memburuknya kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup i. Lemahnya perlindungan/jaminan hak atas rasa aman j. Lemahnya akses partisipasi masyarakat miskin. 2.3. Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Nasional Mengingat adanya dua bentuk kemiskinan yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif maka pemerintah perlu menetapkan kebijakan, strategi, maupun program-program yang spesifik untuk mengentaskan kedua bentuk kemiskinan tersebut. Kemiskinan absolut harus dilihat sebagai prioritas, darurat sifatnya dan memerlukan penanganan jangka pendek sampai menengah, karena biasanya permasalahan yang dihadapi tidak dapat menunggu terlalu lama dan membutuhkan program-program yang bersifat dadakan. Pengentasan kemiskinan absolut biasanya ditempuh dengan penedekatan-pendekatan yang bersifat rehabilitasi sosial (social rehabilitation, emergency, cash programme) dan pemberdayaan ekonomi (economic empowerment). Sedangkan pengentasan Kemiskinan relatif memerlukan kebijakan, strategi, dan program-program yang konsisten untuk jangka panjang, karena berkaitan dengan mengubah dan memelihara pemerataan distribusi pendapatan. Pemerintah Indonesia telah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan sejak tahun 1960-an melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat yang tertuang dalam Pembangunan Nasional Berencana Delapan Tahun (Penasbede). Namun program tersebut terhenti di tengah jalan akibat krisis politik tahun 1965. Sejak tahun 1970-an pemerintah menggulirkan kembali program penanggulangan kemiskinan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), khususnya Repelita I-IV yang ditempuh secara reguler melalui program sektoral dan regional. Pada Repelita V-VI, pemerintah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan dengan strategi khusus menuntaskan masalah kesenjangan sosial-ekonomi. Jalur
70
pembangunan ditempuh secara khusus dan mensinergikan program reguler sektoral dan regional yang ada dalam koordinasi Inpres Nomor 3 Tahun 1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan yang akhirnya diwujudkan melalui program IDT (Inpres Desa Tertinggal). Upaya selama Repelita V-VI pun gagal akibat krisis ekonomi dan politik tahun 1997. Selanjutnya guna mengatasi dampak krisis lebih buruk, pemerintah mengeluarkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dikoordinasikan melalui Keputusan Presiden Nomor 190 Tahun 1998 tentang Pembentukan Gugus Tugas Peningkatan Jaring Pengaman Sosial. Pelaksanaan berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan dan kendala pelaksanaannya selama 40 tahun terakhir meyakinkan pemerintah bahwa upaya penanggulangan kemiskinan dianggap belum mencapai harapan. Begitu pentingnya masalah mengentaskan kemiskinan ini, pemerintah mengeluarkan lebih banyak lagi program penanggulangan kemiskinan. Programprogram yang dilaksanakan antara lain P4K (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil), KUBE (Kelompok Usaha Bersama), TPSP-KUD (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam Koperasi Unit Desa), UED-SP (Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam), PKT (Pengembangan Kawasan Terpadu), P3DT (Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal), PPK (Program Pengembangan Kecamatan), P2KP
(Program
Penanggulangan
Kemiskinan
Perkotaan),
PDMDKE
(Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi), P2MPD (Proyek Pembangunan Masyarakat dan Pemerintah Daerah), Program Keluarga Sejahtera (Prokesra), Program Kesejahteraan Sosial (Prokesos), dan program pembangunan sektoral yang berupaya memperkecil dampak krisis ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Berbagai upaya penanggulangan kemiskinan telah dilakukan tapi kemiskinan tetap tinggi karena program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia. Hamonangan Ritonga, Kepala Subdit pada Direktorat Analisis Statistik BPS mengemukakan pada Harian Kompas tanggal 10 Februari 2004 bahwa: “Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama,
71
program-program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan. Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.” 2.4. Paradigma Baru Penanggulangan Kemiskinan Mengentaskan kemiskinan di Indonesia memang tidak mudah, karena kenyataannya kemiskinan di Indonesia sudah seperti lingkaran setan (vicious circle poverty). Sulit untuk diketahui ujung dan pangkalnya serta darimana mulai memeranginya dan bagaimana mengakhirinya, masalahnya memang sudah sangat kompleks. Namun hal ini tidak menyurutkan langkah pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Melalui pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) baik di tingkat nasional maupun daerah, seluruh upaya-upaya penanggulangan kemiskinan dalam berbagai aspek, baik yang dibiayai pusat maupun daerah, diintegrasikan dan dikoordinasikan. Pada Tahun 2008, Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat mengeluarkan rancangan program penanggulangan kemiskinan yang dikelompokkan menjadi tiga kluster berdasarkan falsafah ikan dan kail, yaitu: 1) Bantuan dan Perlindungan Sosial, 2) Pemberdayaan Masyarakat/PNPM Mandiri, dan 3) Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (Gambar 4). Sasaran Kluster I adalah Rumah Tangga Sangat Miskin, Miskin, dan Hampir Miskin; sasaran Kluster II adalah Kelompok Rumah Tangga Miskin dan Hampir Miskin; sedangkan sasaran Kluster III adalah Pelaku Usaha Mikro dan Kecil.
72
*Dibantu untuk punya pancing dan perahu sendiri
Kluster III Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK)
*Diajari Mancing
Kluster II Pemberdayaan Masyarakat/PNPM Mandiri
*Diberi ikan
Kluster I Bantuan dan Perlindungan Sosial untuk melakukan pemenuhan hak-hak dasar, pengurangan biaya hidup, dan perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin
untuk memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha mikro dan kecil yang sudah ‘feasible‘ namun belum ‘bankable‘
untuk mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok masyarakat miskin untuk terlibat dalam pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat
Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2008
Gambar 4. Tahapan Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan
Untuk mencapai Millenium Development Goals (MDG), kurun waktu PNPM Mandiri adalah dari tahun 2007 sampai dengan 2015 melalui gerakan pemberdayaan masyarakat. Pada Tahun 2015, diharapkan setiap desa/kelurahan memiliki “Forum Partisipatif Warga/Masyarakat”, “Rencana Aksi Pemberdayaan Masyarakat” untuk penguatan ekonomi, sosial, dan kualitas lingkungan hidup, dan “Lembaga Dana Amanah Masyarakat atau Lumbung Desa untuk mendukung pelaksanaan Rencana Aksi Pemberdayaan Masyarakat (Gambar 5).
Forum Partisipasi Masyarakat
Kluster Program I: Bantuan dan Perlindungan Sosial
Kluster Program II: Pemberdayaan Masyarakat
Kluster Program III: Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil
Rencana Aksi Pemberdayaan Masyarakat
Lembaga Dana Amanah Masyarakat
Masyarakat Langkah Peningkatan Keberdayaan dan Kemandirian Masyarakat
Masyarakat yang Berdaya dan Mandiri
Sumber: Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, 2009
Gambar 5. Rancangan Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan
73
Menurut Widianto dalam Situs Pusat Data dan Informasi Kemiskinan Departemen Sosial RI (2006) 10, dikemukakan bahwa sasaran utama dalam paradigma baru penanggulangan kemiskinan adalah pembangunan manusia, dimana dalam langkah-langkahnya diharapkan terjadi perubahan struktur masyarakat yang meliputi: kesempatan kerja/berusaha, peningkatan kapasitas/pendapatan, dan perlindungan sosial/kesejahteraan. Dalam hal ini fokus utamanya adalah penduduk miskin produktif (usia antara 15-55 tahun) dalam wujud pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang pelaksanaannya melibatkan peran stakeholder yaitu: 1) Pemerintah sebagai Fasilitator; 2) Masyarakat sebagai Pelaku Usaha; 3) Perbankan sebagai Lembaga Pembiayaan; dan 4) Konsultan Keuangan Mitra Bank sebagai Pendamping.
Bhineka Tunggal Ika UUD 1945 Pancasila
KOMITE PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Bina: Manusia, Usaha, Lingkungan/Prasarana, Kelembagaan, Pengawasan
Mengurangi Jumlah Penduduk Miskin Forum Lintas Pelaku Strategi Pemberdayaan Masyarakat PENGURANGAN BEBAN PENDUDUK MISKIN
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS
BUMN
Program Pemerintah: • PPK (Depdagri) • P2KP (Depkimpraswil) • P4K (Deptan) • BDS (Depkop) • PEMP (DKP) • KUBE (Depsos) • UPPKS (BKKBN)
Lembaga Keuangan: • Bank BRI • Bank BNI • Bank BTN • Bank Mandiri • PT. PNM • Perum Pegadaian
KKBM Sosial Teknis Keuangan
Usaha Ekonomi Mikro (Feasible, Bankable)
KESEMPATAN KERJA/ BERUSAHA
Peningkatan Kapasitas/ Pendapatan
PERLINDUNGAN SOSIAL/ KESEJAHTERAAN
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Sumber: Pusdatin Kemiskinan Depsos RI, 2006
Gambar 6. Strategi Penanggulangan Kemiskinan melalui Pemberdayaan Usaha Mikro
Pemberdayan
masyarakat
dimaksud
adalah
upaya
meningkatkan
kesejahteraan rakyat melalui peran serta aktif masyarakat itu sendiri dalam mewujudkan pemenuhan kebutuhan hidup, meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi, serta memperkukuh martabat manusia dan bangsa. Aspek yang menjadi 10
http://kfm.depsos.go.id/mod.php?mod=userpage&page_id=1, Dr. Bambang Widianto adalah Deputi Menteri Negara PPN/Kepala BAPPENAS Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan Usaha Kecil Menengah
74
perhatian adalah aspek manusia, usaha, dan lingkungan (sarana prasarana) sedangkan prosesnya meliputi penyiapan (enabling), penguatan (strengthening), dan perlindungan (protecting). Strategi ini dapat dicapai melalui dua upaya yaitu pengurangan beban orang miskin dan peningkatan produktivitas dan pendapatan masyarakat miskin produktif (Gambar 6). Adapun langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam pemberdayaan usaha mikro adalah: 1) Menciptakan iklim usaha yang kondusif dan menyediakan lingkungan yang mampu mendorong pengembangan UMKM secara sistemik, mandiri dan berkelanjutan; 2) Menciptakan sistem penjaminan (financial guarantee system) untuk mendukung kegiatan ekonomi produktif usaha mikro; 3) Menyediakan bantuan teknis dan pendampingan (technical assistance and facilitation) secara manajerial guna meningkatkan ”status usaha” usaha mikro agar ”feasible” dan ”bankable” dalam jangka panjang; dan 4) Penataan dan penguatan kelembagaan keuangan mikro untuk memperluas jangkauan pelayanan keuangan kepada usaha mikro secara cepat, tepat, mudah, dan sistematis.
2.5. Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan didefinisikan sebagai usaha memberi sebagian daya atau kekuasaan (power-sharing) kepada kelompok yang dianggap kurang berdaya. Pemberian daya tersebut diharapkan akan memberi lebih banyak kesempatan kepada suatu kelompok tertentu untuk berkembang dengan memanfaatkan potensi yang ada dalam dirinya maupun peluang yang tumbuh di luar kelompok (Adimiharja dan Hikmat (2004) dalam Ariffudin, 2009). Sedangkan Shardlow dalam Adi (2001) melihat bahwa berbagai pengertian yang ada mengenai pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok, maupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan (Bappenas, 2003). Pertama kecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya.
75
Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun aset material guna mendukung kemandirian mereka melalui pembangunan organisasi. Kedua, kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses memberikan stimulasi, mendorong, atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Pemberdayaan mengacu kepada pentingnya proses sosial selama program berlangsung. Jadi, ia lebih berorientasi pada proses, bukan kepada hasil. Tujuan filosofis dari ini adalah untuk memberikan motivasi atau dorongan kepada masyarakat dan individu agar menggali potensi yang ada pada dirinya untuk ditingkatkan kualitasnya, sehingga akhirnya mampu mandiri. Terlihat bahwa proses pembelajaran dan adanya proses menuju pembuatan perubahan yang permanen merupakan kunci utama dalam pemberdayaan. 2.6. Pendekatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Kemiskinan bukan merupakan permasalahan ekonomis semata (rendahnya pendapatan dan produktivitas kerja), melainkan juga merupakan permasalahan sosial yang kompleks, sehingga memerlukan pendekatan komprehensif dan terpadu yang melibatkan berbagai pihak terkait. Karena itu pendekatan dalam menelaah dan menangani kemiskinan sangat tepat jika dipengaruhi oleh perspektif pekerjaan sosial (social work) (Suharto, 2003). Pekerjaan sosial dimaksud, bukanlah kegiatan-kegiatan sukarela atau pekerjaan-pekerjaan amal begitu saja, melainkan merupakan profesi pertolongan kemanusiaan yang memiliki dasar-dasar keilmuan (body of knowledge), nilai-nilai (body of value) dan keterampilan (body of skils) profesional. Departemen Sosial merupakan salah satu lembaga yang menerapkan pendekatan ini melalui Program Kesejateraan Sosial (Prokesos) dalam mengkaji masalah kemiskinan yang dilaksanakan baik secara intradepartemen maupun antar-departemen bekerjasama dengan departemen-departemen lain secara lintas sektoral. Prokesos menggunakan pendekatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang dilandasi pertimbangan akan kenyataan berbagai keterbatasan yang melekat pada
76
perorangan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Penanganan secara kelompok dimaksudkan juga guna menumbuh-kembangkan semangat kebersamaan dalam upaya peningkatan taraf kesejahteraan sosial. Langkah/kegiatan pokok pembentukan KUBE untuk sasaran PMKS lainnya adalah sebagai berikut: 1. Pelatihan keterampilan berusaha, dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan praktis berusaha yang disesuaikan dengan minat dan ketrampilan PMKS serta kondisi wilayah, termasuk kemungkinan pemasaran dan pengembangan basil usahanya. Nilai tambah lain dari pelatihan adalah tumbuhnya rasa percaya diri dan harga diri PMKS untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dan memperbaiki kondisi kehidupannya; 2.
Pemberian bantuan stimulan sebagai modal kerja atau berusaha yang disesuaikan dengan keterampilan PMKS dan kondisi setempat. Bantuan ini merupakan hibah (bukan pinjaman atau kredit) akan tetapi diharapkan bagi PMKS penerima bantuan untuk mengembangkan dan menggulirkan kepada warga masyarakat lain yang perlu dibantu;
3.
Pendampingan, mempunyai peran sangat penting bagi berhasil dan berkembangnya KUBE, mengingat sebagian besar PMKS merupakan kelompok yang paling miskin dan penduduk miskin. Secara fungsional pendampingan dilaksanakan oleh Petugas Sosial Kecamatan yang dibantu oleh infrastruktur kesejahteraan sosial di daerah seperti Karang Taruna, Pekerja Sosial Masyarakat, Organisasi Sosial, dan Wanita Pemimpin Usaha Kesejahteraan Sosial. Kelompok Usaha Bersama Fakir Miskin (KUBE FM) adalah himpunan dari
keluarga yang tergolong fakir miskin dengan keinginan dan kesepakatan bersama membentuk suatu wadah kegiatan, tubuh dan berkembang atas dasar prakarsa sendiri, saling berinteraksi antar satu dengan yang lain, dan tinggal dalam satu wilayah tertentu dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas anggotanya, meningkatkan relasi sosial yang harmonis, memenuhi kebutuhan anggota, memecahkan masalah sosial yang dialaminya dan menjadi wadah pengembangan usaha bersama (Depsos RI, 2005). KUBE FM merupakan sarana untuk meningkatkan Usaha Ekonomis Produktif (khususnya dalam peningkatan pendapatan), memotivasi warga miskin untuk lebih maju secara ekonomi dan sosial, meningkatkan interaksi dan kerjasama dalam kelompok, mendayagunakan potensi dan sumber sosial ekonomi lokal, memperkuat budaya kewirausahaan, mengembangkan akses pasar dan menjalin
77
kemitraan sosial ekonomi dengan pihak terkait. Kegiatan usaha diberikan dalam bentuk pemberian bantuan modal usaha dan sarana prasarana ekonomi. Mewujudkan KUBE hendaknya diawali dengan pembentukan kelompok dari mereka oleh mereka dan untuk mereka. Satu kelompok KUBE FM dapat memilih anggotanya yang bukan termasuk kategori fakir miskin (poorest), namun masih termasuk kategori miskin (poor) atau hampir miskin (near poor) dan mempunyai kemampuan serta potensi. Kelembagaan KUBE FM ditandai dengan: 1) Jumlah anggota KUBE, yang terdiri dari 5-10 KK; 2) Ikatan pemersatu, yaitu kedekatan tempat tinggal, jenis usaha atau keterampilan anggota, ketersediaan sumber, latar belakang kehidupan budaya, memiliki motivasi yang sama, keberadaan kelompok masyarakat yang sudah tumbuh berkembang lama; 3) Struktur dan kepengurusan KUBE, yang terdiri dari Ketua, Sekretaris, dan Bendahara (Depsos RI, 2005). 2.7. Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS) Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (BLPS) adalah jenis program pemberdayaan fakir miskin Departemen Sosial RI dengan titik berat pada pemberian/penguatan modal usaha untuk KUBE yang telah dibina sebelumnya. Sasarannya adalah kelompok masyarakat miskin yang masih produktif dan telah memiliki UEP yang tergabung dalam KUBE. Tujuan program ini adalah: 1) Meningkatkan pendapatan anggota KUBE; 2) Meningkatkan kemampuan KUBE Fakir Miskin dalam mengakses berbagai pelayanan sosial dasar, pasar, dan perbankan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya; 3) Meningkatkan kepedulian dan tanggungjawab sosial masyarakat dan dunia usaha dalam penanggulangan kemiskinan; 4) Memperluas peluang dan kesempatan pelayanan kepada fakir miskin. Adapun landasan hukum P2FM melalui mekanisme BLPS adalah sebagai berikut: 1.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 2 pasal 33 dan 34;
2.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial;
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1981 tentang Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Fakir Miskin;
78
4.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan;
5.
Keputusan Menteri Sosial Nomor 84/HUK/1997 tentang Pelaksanaan Pemberian Bantuan Sosial bagi Keluarga Fakir Miskin;
6.
Keputusan Menteri Sosial Nomor 82/HUK/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Sosial;
7.
Keputusan Bersama Menkop UKM dan Menteri Sosial RI Nomor 05 Tahun 1998 dan 45/1999 tentang Pembinaan dan Pengembangan Kelompok Usaha Bersama melalui Koperasi;
8.
Keputusan
Bersama
Menteri
Sosial
dan
Menteri
Agama
No.
40/PEG/HUK/2002 dan 293/2003 tentang Pendayagunaan Dana Zakat untuk Pemberdayaan Fakr Miskin; 9.
Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Nomor 05 Tahun 2006 tentang Pedoman Umum dan Kelompok Kerja Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan;
10. Perjanjian Kerjasama Departemen Sosial RI dan Bank Rakyat Indonesia, Tbk. Sumber dana BLPS berasal dari anggaran Pemerintah Pusat (melalui Depsos RI) dan Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah diharapkan sharing dana APBD untuk seleksi anggota KUBE, sosialisasi, pembinaan, monitoring, evaluasi, dan pelaporan. Sifat bantuan ini adalah hibah bersyarat dimana setiap KUBE wajib menyisihkan sisa hasil usahanya untuk perguliran kepada anggota masyarakat miskin yang belum mendapat bantuan. Adapun
tahapan
Program
Pemberdayaan
Fakir
Miskin
melalui
pengembangan KUBE ini adalah: 1. Penetapan KUBE produktif oleh pemerintah daerah; 2. Seleksi dan rekruitmen pendamping berdasarkan usulan pemerintah daerah kepada Direktorat Kelembagaan Sosial Depsos RI; 3. Pelatihan Pendamping oleh Balai Diklat Depsos RI; 4. Penjajagan lokasi dan pemetaan kebutuhan oleh Petugas Depsos RI bersama Dinas/Pemda setempat, memperhitungkan potensi wilayah calon penerima bantuan dan hal lain yang mendukung kelancaran program;
79
5. Sosialisasi, dilaksanakan dengan sasaran masyarakat penerima bantuan dan stakeholder lain dengan tujuan mencapai pemahaman yang utuh tentang P2FMBLPS. 6. Pengusulan kegiatan UEP, dilakukan melalui ajuan proposal kepada bank setelah melalui musyawarah yang kondusif. 7. Pembinaan UEP dilakukan oleh pendamping desa dan kecamatan dan stakeholder terkait. Untuk menjaga eksistensi KUBE mulai dari awal dibentuk sampai menjadi KUBE mandiri diperlukan pendampingan sosial oleh Pembina Usaha dan Unsur Aparat Desa/Pekerja Sosial. Pendampingan sosial adalah suatu proses menjalin relasi sosial antara pendamping dengan anggota KUBE dan masyarakat sekitar dalam rangka memecahkan masalah, memperkuat dukungan, mendayagunakan potensi dan sumber serta meningkatkan akses anggota terhadap pelayanan sosial dasar, lapangan kerja dan fasilitas pelayanan publik lainnya. Tujuan
umum
pendampingan
ini
adalah
meningkatkan
motivasi,
kemampuan dan peran para anggota dalam mencapai kualitas hidup, kemandirian, dan kesejahteraan anggotanya. Sementara tujuan khususnya adalah: • Meningkatkan kemampuan KUBE dalam menemu-kenali permasalahan, potensi para anggota, dan sumber daya sosial yang ada; • Merencanakan, melaksanakan dan evalusi kegiatan pemecahan permasalahan kesejahteraan sosial; • Untuk mendapatkan modal usaha yang disediakan pemerintah melalui BRI; • Akses terhadap lapangan pekerjaan, pelayanan sosial dasar, dan fasilitas pelayanan publik lainnya; • Pemenuhan kebutuhan dasar keluarga (sandang, pangan, papan, lapangan kerja, pendidikan dasar, pelayanan kesehatan dasar, air bersih dan sanitasi lingkungan); • Mempertanggungjawabkan kegiatan/usaha ekonomi dan Usaha Kesejahteraan Sosial yang dilakukan bersama-sama.
2.8. Hasil Penelitian Terdahulu 2.8.1. Penelitian Mengenai Kemiskinan
80
Berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat melalui P2KP oleh Solihin (2005) diperoleh hasil bahwa permasalahan kemiskinan terletak pada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Aspek Ekonomi dimana keterbatasan modal, rendahnya pendapatan masyarakat, kurangnya aset produksi dan tabungan menyebabkan masyarakat tidak berdaya dalam meningkatkan ekonomi rumah tangganya. Aspek sosial diantaranya adalah kurangnya interaksi masyarakat dengan lingkungan sosialnya dan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, sedangkan aspek lingkungan adalah minimnya sarana dan prasarana publik yang ada sehingga menyebabkan mobilitas masyarakat tidak optimal. Menurut An-Naf (2007) Kemiskinan di Indonesia bersifat baik absolut (absolute poverty) maupun relatif (relative poverty). Kemiskinan terjadi karena faktor alam, letak geografis yang jauh dari titik pertumbuhan (growth centre), bencana alam maupun faktor-faktor yang bersifat struktural. Faktor-faktor yang bersifat struktural yaitu kurangnya pemerataan pembangunan dan kurang distribusi pendapatan akibat paradigma pembangunan yang kapitalistik dan sangat berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (economic growth oriented) serta perencanaan yang sangat kaku dan terpusat selama kurang lebih 35 tahun rangkaian pelaksanaan Repelita 1966-2001. Upaya-upaya perubahan struktural seperti mengubah distribusi pendapatan secara fungsional, redistribusi harta (assets) ataupun penerapan sistem pajak yang progresif tidak memberikan hasil yang signifikan terhadap pengentasan kemiskinan karena kurang efektifnya pemerintah dalam mengendalikan sistem ekonomi kapitalis yang demikian dominan. Pemerintah hanya mampu menyentuh golongan lemah dengan pendekatan proyek-proyek kemanusiaan (humanitarian program) baik yang bersifat program rehabilitasi (rehabilitation; cash program) yang biasanya ditindaklanjuti dengan upaya-upaya pemberdayaan (empowerment) ekonomi rakyat. 2.8.2. Penelitian Mengenai KUBE Salah satu strategi pemberdayaan yang dilakukan untuk mengatasi kemiskinan adalah dengan pendekatan kelompok melalui KUBE. Namun demikian, banyak KUBE yang dibentuk dan dikembangkan oleh pemerintah mengalami
81
kegagalan yang disebabkan oleh penyeragaman tindak lanjut dalam strategi pengembangannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan KUBE adalah faktor keanggotaan, jenis usaha, motif anggota, penegasan norma kelompok, penegasan struktur kelompok, dan kemitraan dengan pihak luar. Permasalahan banyak muncul pada aspek penegasan norma kelompok dan kemitraan dengan pihak luar. Proses pemberdayaan dalam KUBE berawal pada saat pembentukan kelompok. KUBE yang berdaya adalah KUBE yang dilandasi motif yang sama dari anggotanya dan melaksanakan usaha secara berkelompok bukan perorangan. Masalah yang dihadapi KUBE meliputi kesulitan memperluas jaringan pemasaran, kesulitan memperoleh bahan baku, kesulitan memperoleh tambahan modal, belum terwujudnya kekompakkan kelompok, dan belum adanya komitmen terhadap kesepakatan yang telah diputuskan (Wahyuni, 2005). Kajian yang dilakukan Widiyanto (2005) terhadap KUBE ternak sapi di Desa Beji Kecamatan Gunung Kidul DI. Yogyakarta menemukan bahwa performa KUBE berbeda-beda yang dipengaruhi oleh performa anggota, performa pengurus, dukungan dari pihak luar, potensi sumberdaya ekonomi, dan modal sosial. Hasil kajian Holiah (2006) menunjukkan adanya perbedaan tingkat perkembangan KUBE walaupun pada awal pembentukannya memiliki kondisi dan kualitas yang relatif sama. Dalam kajian Andayasari (2006,) umumnya upaya pengembangan KUBE FM dilakukan dengan menggunakan falsafah pembangunan dari-atas-ke-bawah (TopDown) sehingga secara umum kegagalan program KUBE FM adalah ketidaksiapan keluarga miskin dalam menerima bantuan sehingga masih memerlukan pihak lain dalam membantu mengembangkannya. Untuk itu falsafah pembangunan dari-atas-kebawah (Top-Down) harus diimbangi dengan kesiapan semua pihak yaitu dari-bawahke-atas (Bottom-Up). Berdasarkan Muchtar (2007) yang mengkaji kesiapan pemda dalam pelaksanaan P2FM melalui BLPS-KUBE di 5 Kabupaten menyimpulkan bahwa: 1) pemda setempat telah menunjukkan respon yang positif terhadap P2FM dengan mengalokasikan anggaran melalui APBD guna menjamin keberlangsungan P2FM, namun iktikad baik tersebut belum diikuti kebijakan Pemda setempat dalam penganggaran (budgetting); 2) masih minimnya kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku/Satker P2FM kabupaten/kota sehingga dikhawatirkan tidak terselesaikannya
82
rangkaian kegiatan program secara baik; 3) kurang jelasnya fungsi dan peran instansi teknis terkait (sosial) tingkat provinsi dalam struktur organisasi P2FM; 4) adanya ketidakharmonisan hubungan pejabat yang sangat berdampak negatif bagi program; 5) tidak konsistennya pelaku P2FM tingkat pusat pada program yang dirancangnya. Hal ini terlihat misalnya dengan tidak dilakukannya workshop tingkat nasional bagi para pelaku P2FM di daerah sebagai langkah awal penyatuan pemahaman, pemikiran dan langkah antara pelaku P2FM tingkat pusat dan daerah.