BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1Salmonella Bakteri dibedakan dalam 2 kelompok besar, yaitu bakteri Gram-positif dan bakteri Gram-negatif. Bakteri Gram-positif dan bakteri Gram-negatif ini dapat dibedakan dari struktur dinding selnya. Dinding bakteri gram positif banyak mengandung peptidoglikan, sedangkan dinding bakteri gram negatif banyak mengandung lipopolisakarida (Pratiwi, 2008). Struktur dinding sel bakteri dapat dilihat pada Gambar 2.1.
a. Gram negatif
b. Gram positif
Gambar 2.1Struktur dinding sel bakteri Gram negatif (a) dan bakteri Gram positif (b)(Sumber: Kumar,et al., 2005)
10 Universitas Sumatera Utara
Salmonella adalah bakteri Gram-negatif, yang merupakan bakteri anaerob fakultatif dari famili Enterobacteriaceae, berbentuk batang yang tidak berspora, memiliki motil dengan flagella peritrikhus (alat gerak, flagella) yang terdapat pada seluruh permukaan sel bakteri. Hampir seluruh spesies Salmonella mampu menghasilkanhydrogen
sulfide (H2S)
yang
dapat
dideteksi
dengan
cara
menumbuhkannya pada media yang mengandung ferrous sulfate, misalnya media Triple Sugar Iron Agar (TSIA) dan Salmonella-Shigella Agar (SS Agar). Salmonella yang tumbuh akan ditandai dengan adanya warna hitam pada area pertumbuhannya.Organisme ini memanfaatkan sitrat sebagai sumber karbon tunggal dan biasanya memfermentasi glukosa tetapi tidak sukrosa atau laktosa (Merck Millipore; Atlas, 1997; Brooks, dkk., 2007). Salmonella merupakan salah satu bakteri patogen yang paling sering dilaporkan sebagai penyebab penyakit yang ditularkan melalui makanan atau foodborne disease (United States Department of Agriculture, 2011). Bakteri initelah diketahui sebagai penyebab timbulnya penyakit selama lebih dari 100 tahun yang lalu, pertama kali ditemukan oleh Dr. Daniel E. Salmone dari babi(Chin, 2000). Mikroorganisme dapat memasuki saluran pencernaan melalui bahan makanan atau minuman dan melalui jari tangan yang terkontaminasi mikroorganisme patogen. Mayoritas mikroorganisme tersebut akan dihancurkan oleh asam klorida (HCl) dan enzim-enzim di lambung, atau oleh empedu, dan enzim di usus halus. Mikroorganisme yang bertahan dapat menyebabkan penyakit, misalnya demam tifoid, disentri amoeba, hepatitis A, dan kolera. Patogen ini
11 Universitas Sumatera Utara
selanjutnya dikeluarkan melalui feses dan dapat ditransmisikan ke inang lainnya melalui air, makanan, atau jari-jari tangan yang terkontaminasi (Pratiwi, 2008) Pengklasifikasian Salmonella sangat kompleks, berdasarkan DNA, hasil hibridisasi DNA genus Salmonella dibagi menjadi 2 spesies yakni Salmonella enterica dan Salmonella bongori. S.enterica kemudian dibagi lagi menjadi 6 subspesies, yakni enterica, salamae, arizonae,diarizonae, houtenae, dan indica. Subspesies S.enterica ini juga dibagi lagi ke dalam lebih dari 2500 serovar. Seluruh salmonella yang patogen menyebabkan suatu spektrum penyakit dalam berbagai host yang berbeda dan secara signifikan bertanggung jawab terhadap morbiditas dan mortalitas pada manusia dan hewan digolongkan ke dalam Salmonella enterica, sedangkan S.bongori dominannya dijumpai pada hewan berdarah dingin (reptil) (Atlas, 1997; Chin, 2000; Fookes, et al., 2011). Salmonella umumnya bersifat patogen terhadap manusia dan hewan, juga mampu menginvasi jaringan di luar usus, menyebabkan demam enterik, dimana bentuk klinis yang terberat adalah demam tifoid. Salmonella adalah organisme kompleks yang memproduksi berbagai faktor virulensi, termasuk antigen permukaan. Faktor-faktor yang berperan pada invasi, yakni endotoksin, sitotoksin, dan enterotoksin. Peranan masing-masing faktor dalam patogenesis infeksi Salmonella bervariasi, tergantung serotipe yang menyebabkan infeksi dan sistem hospesnya, karena Salmonella dapat menimbulkan sindroma yang berbeda pada hospes yang lain. Namun demikian, banyak serotipe yang memiliki hospes spesifik. Misalnya, S.typhimurium menyebabkan sindroma yang mirip dengan demam tifoid pada hospes alamiah mencit, tetapi pada manusia hanya menimbulkan gastroenteritis yang sembuh spontan. S.typhi terbatas menimbulkan
12 Universitas Sumatera Utara
penyakit pada manusia, sedangkan pada hewan tidak menimbulkan penyakit (Brooks, dkk., 2007; Nelson, dkk., 1999). Demam tifoid pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan yang rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Demam tifoid juga dikenal dengan nama lain yaitu Typhus abdominalis, Typhoid fever, atau Enteric fever. Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang mempunyai karakteristik demam, sakit kepala, dan ketidaknyamanan pada abdomen (Widodo, 2007). 2.1.1 Epidemiologi Penyakit yang ditimbulkan oleh Salmonella diantaranya demam tifoid, gastroenteritis sampai dengan septikemia. Tetapi sering pula infeksi pada manusia tidak menimbulkan gejala klinis, sehingga penderita akan berperan sebagai carrier.Salmonella merupakan salah satu patogen utama yang ditularkan melalui makanan (foodborne pathogen), yang menjadi perhatian kesehatan masyarakat di negera-negara maju dan berkembang (United States Department of Agriculture, 2011; Widodo, 2007). Salmonellosis
adalahinfeksi
yang
disebabkanolehbakteriSalmonella.
MenurutCenters for Disease Control (CDC) mengestimasi terdapat sekitar 1,4 juta kasus infeksi Salmonella yang ditularkan melalui makanan setiap tahunnya di Amerika Serikat dan lebih dari400 orangyang mati setiap tahunnyadi Amerika Serikat. Laporan Pengawasan dari Food Diseases Active Surveillance (FoodNet) tahun
2007,
Salmonella
diidentifikasisebagaiinfeksi
bakteriyang
paling
umumdilaporkan. Dalam dua dasawarsa terakhir (sejak 1990), foodborne disease menjadi masalah penting dan terus berkembang dalam kesehatanmasyarakat dan ekonomi di beberapa negara.Salmonella enteritidis dan Salmonella typhimurium
13 Universitas Sumatera Utara
adalah 2 serotipe yang paling sering dijumpai di Amerika Serikat (AS) (United States Department of Agriculture, 2011). Di AS, demam tifoid yang disebabkan infeksi Salmonella typhi sudah merupakan penyakit yang jarang, hanya dijumpai 300 kasus klinis yang dilaporkan per tahunnya. Insidensi dan mortalitas akibat demam tifoid ini menurun secara dramatis di AS setelah adanya implementasi luas cara pengelolahan air dan pengelolahan sistem limbah. Resiko demam tifoid dapat dikurangi dengan memperhatikan kualitas air, kebersihan makanan, dan vaksinasi, serta pengobatan yang efektif terhadap infeksi S.typhi juga diperlukan (Lynch, et al., 2009). Di Indonesia, demam tifoid merupakan salah satu penyakit endemik. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga menimbulkan wabah (Widodo,2007). Salmonella typhi adalah kuman penyebab demam tifoid. Penyakit ini sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan global, termasuk Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia dan Thailand. Angka kesakitan pertahun mencapai 157/100.000 populasi pada daerah semi rural dan 810/100.000 populasi di daerah urban di Indonesia, dan dilaporkan adanya kecenderungan untuk meningkat setiap tahun(Chin, 2000; Widodo, 2007). Demam tifoid yang tersebar di seluruh dunia tidak tergantung pada iklim. Kebersihan perorangan yang buruk merupakan sumber dari penyakit ini meskipun lingkungan hidup umumnya adalah baik. Perbaikan sanitasi dan penyediaan sarana air yang baik dapat mengurangi penyebaran penyakit ini (United States Department of Agriculture, 2011; Widodo, 2007).
14 Universitas Sumatera Utara
2.1.2 Patogenesis Infeksi Salmonella Masuknya bakteri Salmonella ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda–tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik (Widodo, 2007). Di hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermittent” ke dalam lumen usus. Sebagian besar dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
pelepasan
beberapa
mediator
inflamasi
yang
selanjutnya
akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
15 Universitas Sumatera Utara
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi (Widodo, 2007). Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan (S.Typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernafasan, dan gangguan organ lainnya (Widodo, 2007). Salmonella menyebabkan 3 macam penyakit utama pada manusia, tetapi sering juga ditemukan bentuk campuran, yakni: demam enterik, septikemia, dan enterokolitis(gastroenteritis) (Brooks, dkk., 2007;Atlas, 1997). Demam Enterik ini hanya disebabkan oleh beberapa Salmonella, yang terpenting disini adalah Salmonella typhi (demam tifoid). Salmonella yang lain, Salmonella paratyphi Adan paratyphi B, juga dapat menyebabkan demam enterik tetapi gejalanya lebih ringan dan mortalitasnya rendah. Salmonella yang tertelan mencapai usus halus, masuk ke dalam aliran limfatik dan kemudian masuk ke aliran darah. Organisme ini dibawa oleh darah ke berbagai organ, termasuk usus. Salmonella bermultiplikasi di jaringan limfoid usus dan diekskresikan di dalam feses. Setelah masa inkubasi selama 10-14 hari, timbul demam, malaise, sakit kepala, konstipasi, bradikardia, dan mialgia. Demam meningkat sampai plateau yang tinggi, dan
16 Universitas Sumatera Utara
terjadi pembesaran limpa serta hati. Meski jarang, pada beberapa kasus terlihat bintik-bintik merah (rose spots) yang timbul sebentar, biasanya pada kulit abdomen atau dada. Hitung sel darah putih nomal atau menurun. Pada masa sebelum antibiotik, komplikasi utama demam enterik adalah perdarahan dan perforasi usus, dan angka mortalitasnya adalah 10-15%. Terapi dengan antibiotik menurunkan angka mortalitas hingga kurang dari 1%.Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian. Lesi utama adalah hyperplasia dan nekrosis jaringan limfoid (misal, Peyer’s patch), hepatitis, nekrosis fokal di hati, serta inflamasi pada kandung empedu, periosteum paru, dan organ lainnya (Brooks, dkk., 2007; Nelson, dkk., 1999; Widodo, 2007). Septikemia oleh bakteri Salmonella ditandai dengan demam, menggigil, anoreksia, dan anemia. Lesi fokal bisa terjadi pada setiap jaringan, misalnya osteomielitis
sekunder,
pneumonia,
abses
pulmonum,
meningitis,
atau
endokarditis. Jarang terjadi gastroenteritis, dan organisme jarang diisolasi dari tinja. Keadaan ini umumnya disebabkan oleh Salmonella choleraesuis, tetapi juga dapat disebabkan oleh serotipe Salmonellaapa pun. Setelah infeksi melalui mulut, terjadi invasi dini ke aliran darah (dengan kemungkinan lesi fokal di paru, tulang, meningis, dan lain-lain), tetapi manifestasi di usus sering tidak ada. Biakan darah positif (Brooks, dkk., 2007; Nelson, dkk., 1999; Widodo, 2007). Enterokolitis (gastroenteritis) merupakan manifestasi infeksi Salmonella yang paling sering terjadi. Di AS, Salmonella typhimurium dan Salmonella enteritidis lebih menonjol, tetapi enterokolitis dapat disebabkan oleh lebih dari 1400 serotipe salmonella. 8 hingga 48 jam setelah tertelannya Salmonella, timbul
17 Universitas Sumatera Utara
mual, sakit kepala, muntah, dan, diare hebat dengan beberapa leukosit di dalam feses. Sering timbul demam ringan, tetapi biasanya sembuh spontan (self limited) dalam 2-3 hari. Terdapat lesi inflamasi pada usus halus dan usus besar. Bakterimia jarang terjadi (2-4 %) kecuali pada pasien yang mengalami imunodefisiensi. Biakan darah biasanya negatif, tetapi biakan feses biasanya positif untuk Salmonella dan dapat positif selama beberapa minggu setelah penyakit sembuh secara klinis. Pada kebanyakan kasus, penderita tidak memerlukan perhatian medis, dan gejala-gejala ini sering disebut sebagai stomach flu. Pada kasus yang berat biasanya terjadi pada bayi dan orang tua, memerlukan perhatian terhadap kemungkinan terjadinya dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit(Brooks, dkk., 2007; Nelson, dkk., 1999; Widodo, 2007). 2.1.3 Etiologi Etiologi atau penyebab demam tifoid adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A dan paratyphi B. Epidemik tifoid ini disebabkan oleh penularan dari pembawa (carrier).Salmonella beradaptasi dengan manusia demikian uniknya, dan karier manusia merupakan satu-satunya sumber dari organisme ini. Sumber penularan penyakit demam tifoid adalah penderita karier yang baru sembuh dari sakit (convalescent carriers) yang mengekskresikan mikroorganisme ini untuk waktu yang pendek, atau penderita karier kronik (chronic carriers) yang dapat mengeluarkan mikroorganisme ini lebih dari 1 tahun (Brooks, dkk., 2007; Widodo, 2007). Salmonella masuk ke tubuh manusia bersama bahan makanan atau minuman yang tercemar. Cara penyebarannya melalui muntahan, urin, kotoran dari penderita yang kemudian secara pasif terbawa oleh lalat, kecoa, atau tikus.
18 Universitas Sumatera Utara
Hewan tersebut mengkontaminasi makanan, minuman, sayuran, maupun buahbuahan segar. Dosis infektif rata-rata untuk menimbulkan infeksi klinis atau subklinis pada manusia adalah 105-108Salmonella (mungkin cukup dengan 103 organisme
Salmonella
Typhi).
Beberapa
faktor
hospes
(pejamu)
yang
menimbulkan resistensi terhadap infeksi Salmonella adalah keasaman lambung, flora mikroba normal usus, dan kekebalan usus setempat (Brooks, dkk, 2007;United States Department of Agriculture, 2011). Pada penderita yang tergolong karier, bakteri Salmonella dapat terus ada di kotoran dan urin sampai bertahun-tahun. S.typhi hanya berhospes di dalam tubuh manusia. Oleh karena itu, demam tifoid sering ditemui di tempat yang sanitasinya rendah (Brooks, dkk., 2007; United States Department of Agriculture, 2011). 2.1.4 Diagnosis Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis (Widodo, 2007). 2.1.5 Manifestasi Klinis Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian (Widodo, 2007). Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri
19 Universitas Sumatera Utara
kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif (bradikardia relatif adalah peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi, dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis (Widodo, 2007). 2.1.6 Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan rutin, uji Widal, dan kultur darah. Pada pemeriksaan rutin, saat pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leucopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu dapat pula dijumpai anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi anemosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat. Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT) seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus (Widodo, 2007). Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman Salmonella typhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella typhi dengan antibodi yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspense Salmonella yang sudah dimatikan dan
20 Universitas Sumatera Utara
diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu: Aglutinin O (dari tubuh kuman), Aglutinin H (flagella kuman), Aglutinin Vi (simpai kuman). Pada ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini (Widodo, 2007). Hasil kultur/biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif belum tentu tidak terkena demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut: telah mendapat terapi antibiotik, volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah), riwayat vaksinasi, saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin semakin meningkat (Widodo, 2007). 2.1.7 Penatalaksanaan Demam Tifoid Demam enterik dan bakteremia dengan lesi fokal memerlukan terapi antimikroba, sedangkan sebagian besar kasus enterokolitis tidak memerlukan terapi tersebut. Terapi antimikroba terhadap enteritis Salmonella pada neonatus sangat penting. Pada enterokolitis, gejala klinis dan ekskresi Salmonella dapat menjadi lebih lama oleh terapi antimikroba. Penggantian cairan dan elektrolit sangat penting pada diare berat (Widodo, 2007). Terapi antimikroba untuk infeksi Salmonella yang invasif adalah dengan menggunakan ampisillin, trimetoprim-sulfametoksazol, atau sefalosporin generasi ketiga. Resistensi terhadap banyak obat yang ditransmisikan secara genetik oleh plasmid berbagai bakteri enterik merupakan masalah pada pada infeksi
21 Universitas Sumatera Utara
Salmonella. Uji sensitivitas merupakan pemeriksaan penunjang yang penting untuk memilih antibiotik yang sesuai (Widodo, 2007). Pada sebagian besar carrier, organisme menetap di kandung empedu (terutama jika terdapat batu empedu) dan di saluran empedu. Beberapa carrier kronik dapat diobati hanya dengan menggunakan ampisilin, tetapi pada kebanyakan kasus kolesistektomi harus dikombinasikandengan terapi obat (Brooks,dkk., 2007). Tata laksana demam tifoid, yaitu (Chin, 2000; Widodo, 2007): a. Istirahat dan perawatan Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga. b. Diet dan terapi penunjang Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Dulunya penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien.
22 Universitas Sumatera Utara
Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman dengan pasien demam tifoid. c. Pemberian antimikroba Berikut ini tabel standar interpretasi diameter zona hambatan antibiotika dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Standar interpretasi diameter zona hambatan antibiotika Agen Antimikroba
Disk Potency
Diameter zona hambat (mm) dan equivalent MIC breakpoint (μg/mL) Susceptible Inermediate Resistant ≥ 17 mm 14-16 mm ≤ 13 mm (≤ 8 μg/mL) (16 μg/mL) (≥ 32 μg/mL)
Ampisilin
10 μg
Kloramfenikol
30 μg
≥ 18 mm (≤ 8 μg/mL)
13-17 mm (16 μg/mL)
≤ 12 mm (≥ 32 μg/mL)
Trimethoprimsulfamethoxazol (Cotrimoxazol)
1,25 / 23,75 μg
≥ 16 mm (≤ 2/38 μg/mL)
11-15 mm (4/76 μg/mL)
≤ 10 mm (≥ 8-152 μg/mL)
Asam nalidixat
30 μg
≥ 19 mm (≤ 8 μg/mL)
14-18 mm (16 μg/mL)
≤ 13 mm (≥ 32 μg/mL)
Siprofloxaxin
5 μg
≥ 21 mm (≤ 1 μg/mL)
16-20 mm (2 μg/mL)
≤ 15 mm (≥ 4 μg/mL)
(Sumber: Bopp, 2003) Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah sebagai berikut: kloramfenikol, tiamfenikol, kotrimoksazol, ampisillin dan amoksisilin, sefalosporin generasi ketiga, golongan fluorokuinolon, kombinasi obat antimikroba, kortikosteroid. Sekarang ini sering ditemukan srain yang resisten terhadap kloramfenikol dan terhadap antibiotika lain yang umum digunakan untuk demam tifoid.
23 Universitas Sumatera Utara
2.1.8 Komplikasi Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid, seperti: komplikasi intestinal meliputi: perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis; dan komplikasi ekstra-intestinal meliputi: komplikasi kardiovaskular (gangguan sirkulasi perifer, miokarditis,
tromboflebitis),
komplikasi
darah
(anemia
hemolitik,
trombositopenia, Koagulasi Intravaskular Diseminata, thrombosis), komplikasi paru (pneumonia, empiema, pleuritis), komplikasi hepatobilier (hepatitis, kolesistitis), komplikasi ginjal (glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis), komplikasi tulang (osteomielitis, periostitis, spondilitis, arthritis), komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik (Widodo, 2007). 2.1.9 Prognosis Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah Salmonella dan cepat atau tepatnya pengobatan. Banyak penderita yang tidak dapat dirawat di rumah sakit dapat merupakan sumber penularan yang potensial bagi orang lain. Apalagi penderita sering datang terlambat berobat ke fasilitas kesehatan. Rata-rata mereka baru datang berobat setelah demam 3-5 hari (69%). Bahkan ada yang baru datang setelah demam 20 hari. Makin lama tenggang waktu antara mulai sakit hingga datang berobat akan memungkinkan penyebaran kuman penyebab demam tifoid ke sekitarnya menjadi lebih besar (Nelson, et al., 1999). 2.1.10 Pencegahan Pencegahan demam tifoid sangat diperlukan karena akan berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat demam tifoid, 24 Universitas Sumatera Utara
menurunkan anggaran pengobatan pribadi maupun Negara, mendatangkan devisa Negara yang berasal dari wisatawan mancanegara karena telah hilangnya predikat Negara endemik, hiperendemik sehingga wisatawan tidak takut lagi terserang tifoid saat berada di daerah kunjungan wisata (Widodo, 2007). Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan faktor hospes serta faktor lingkungan (Widodo, 2007). Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu: identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid maupun karier tifoid, pencegahan transmisi langsung dari pasien yang terinfeksi S.typhi akut maupun karier, proteksi pada orang yang beresiko terinfeksi (Widodo, 2007). 2.2 Trigliserida dan Asam Lemak Trigliserida adalah komponen pembentuk minyak dan lemak. Trigliserida bersifat hidrofobik, tidak larut dan tidak tersatukan dengan air, memiliki berat jenis lebih rendah dibandingkan air. Pada suhu kamar normal dapat berada dalam bentuk padat atau cair. Apabila padat maka disebut lemak, sedangkan apabila cair disebut minyak. Trigliserida adalah senyawa kimia yang terbentuk dari satu molekul gliserol dan tiga molekul asam lemak, sehingga disebut juga triasilgliserol (TAG), Struktur kimia trigliserida dapat dilihat pada Gambar 2.2(Boyer, 1986; Silalahi 2002; McKee dan McKee, 2003).
25 Universitas Sumatera Utara
H2COH
HOC—R1
HCOH
+
HOC—R2
H2C—OC—R1
HC—OC—R2
H2COH
HOC—R3
H2C—OC—R3
Gliserol
Asam Lemak
Trigliserida
H H
α
C
O
C
O
C
O
C
β H
C
α’ H
C
O (CH2)12 O (CH2)14 O (CH2)12
+
H2O
CH3
(α ) miristat atau posisi sn-1
CH3
(β ) palmitat atau posisi sn-2
CH3
(α’) miristat atau posisi sn-3
H
1,3 dimiristoil, 2 palmitoil gliserol Gambar 2.2 Struktur kimia lemak (triasilgliserol) O Keterangan: R – C – disebut dengan gugus asil, yang mengikat molekul gliserol dengan 3 asam lemak. Contoh: palmitat, stearat, oleat disebut trigliserida maka struktur kimia tersebut dinamakan palmitoil/ stearoil/oleoil; sn:stereospesific numbering(Sumber: Aehle, 2004) Gliserol adalah senyawa yang memiliki tiga gugus hidroksil, atau –OH, yang dapat bergabung dengan tiga asam lemak sehingga membentuk trigliserida. Asam lemak yang sama atau yang berbeda dapat bergabung dengan ketiga gugus hidroksil sehingga menghasilkan berbagai macam senyawa kimia. Monogliserida adalah senyawa yang memiliki satu gugus asam lemak dan dua gugus hidroksil. Digliserida adalah senyawa yang memiliki dua gugus asam lemak dan satu gugus hidroksil. Monogliserida, digliserida dan trigliserida digolongkan sebagai senyawa ester yaitu senyawa yang terbentuk dari reaksi antara asam dan alkohol yang melepaskan air (H2O) (Silalahi, 2002).
26 Universitas Sumatera Utara
Asam lemak diperoleh dari hasil hidrolisis lemak. Asam lemak digolongkan menjadi tiga yaitu berdasarkan panjang rantai asam lemak, tingkat kejenuhan, dan bentuk isomer geometrisnya. Berdasarkan panjang rantai asam lemak dibagi atas; asam lemak rantai pendek (short chain fatty acids, SCFA) mempunyai atom karbon lebih rendah dari 8, asam lemak rantai sedang mempunyai atom karbon 8 sampai 12 (medium chain fatty acids, MCFA) dan asam lemak rantai panjang mempunyai atom karbon 14 atau lebih (long chain fatty acids, LCFA). Semakin panjang rantai C yang dimiliki asam lemak, maka titik lelehnya akan semakin tinggi (Silalahi, 2000; Silalahi dan Tampubolon, 2002). Sumber dari SCFA adalah susu sapi dan lemak mentega. Sehubungan dengan kelarutan alaminya di dalam air, ukuran molekul dan panjang rantai C yang pendek, asam lemak ini akan lebih mudah diserap di dalam saluran pencernaan daripada asam lemak yang lain. Selain itu, bila terikat pada posisi sn-3 dari trigliserida, akan terhidrolisis secara menyeluruh di dalam lumen dan usus halus, tergantung pada posisi dan panjang rantai spesifik dari enzim lipase pankreas (Syah, 2005). MCFA lebih banyak diangkut melalui vena porta menuju hati, karena ukurannya yang lebih kecil dan tingkat kelarutan yang lebih tinggi dari asam lemak rantai panjang. LCFA diserap dan dimetabolisme lebih lambat dibandingkan MCFA dan SCFA. LCFA tidak dapat diserap atau diangkut dalam darah, karena peningkatan karakter hidrofobiknya dibandingkan SCFA dan MCFA (Syah, 2005).
27 Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan tingkat kejenuhan asam lemak dibagi atas; asam lemak jenuh (Saturated
Fatty
Acid,
SFA)
karena
tidak
mempunyai
ikatan
rangkapdiantaraatom-atomkarbonpenyusunnya, asam lemak tak jenuh tunggal (Mono Unsaturated Fatty Acid,MUFA) hanya memiliki satu ikatan rangkap dan asam lemak tak jenuh jamak (Poly Unsaturated Fatty Acid,PUFA) memiliki lebih dari satu ikatan rangkap di antara atom-atom karbon penyusunnya. Semakin banyak ikatan rangkap yang dimiliki asam lemak, maka semakin rendah titik lelehnya (Silalahi, 2000; Silalahi dan Tampubolon, 2002). Berdasarkan bentuk isomer geometrisnya asam lemak dibagi atas asam lemak tak jenuh bentuk cis dan trans. Pada isomer geometris, rantai karbon melengkung ke arah tertentu pada setiap ikatan rangkap. Bagian rantai karbon akan saling mendekat atau saling menjauh. Jika saling mendekat disebut isomer cis (berarti berdampingan), dan apabila saling menjauh disebut trans (berarti berseberangan). Asam lemak alami biasanya dalam bentuk cis. Isomer trans biasanya terbentuk selama reaksi kimia seperti hidrogenasi atau oksidasi. Titik leleh dari asam lemak tak jenuh bentuk trans lebih tinggi dibanding asam lemak tak jenuh bentuk cis karena orientasi antar molekul dengan bentuk cis yang membengkok tidak sempurna sedangkan asam lemak tak jenuh trans lurus sama seperti bentuk asam lemak jenuh (Silalahi, 2000; Silalahi dan Tampubolon, 2002). Asam lemak trans berdampak buruk bagi kesehatan. Apabila kita mengkonsumsi asam lemak trans, maka asam lemak ini akan masuk kedalam selsel tubuh kita, yang mengakibatkan membran sel dan struktur seluler lainnya menjadi rusak bentuknya dan tidak dapat berfungsi dengan mestinya (Darmoyuwono, 2006).
28 Universitas Sumatera Utara
2.3 Hidrolisis Trigliserida Hidrolisis minyak atau lemak menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol. Reaksi hidrolisis dapat terjadi karena terdapatnya sejumlah air dalam minyak, atau mereaksikannya dengan KOH atau NaOH (lebih dikenal dengan proses penyabunan). Proses penyabunan ini banyak digunakan dalam industri untuk menghasilkan gliserol (Ketaren, 2005). Adapun persamaan reaksi untuk hidrolisis trigliserida dapat dilihat pada Gambar 2.3. O
A
R'COO- Na+
OH
OCR'
O
+
"RCO
3 NaOH
+
HO
R''COO- Na+
O
R'''COO- Na+
OH
OCR'''
O
B
OH
OCR' O
O
+
"RCO
2 H2O
R'COOH
lipase "RCO
+
O
R'''COOH OH
OCR'''
Gambar2.3 Persamaan reaksi hidrolisis trigliserida Keterangan: A. Menggunakan NaOH (penyabunan), B. Menggunakan enzim Lipase (enzimatik) (Sumber: Ketaren, 2005) Proses hidrolisis juga digunakan dalam penentuan komposisi trigliserida, hasil hidrolisis kemudian diubah menjadi bentuk metil ester dan selanjutnya
29 Universitas Sumatera Utara
dianalisis dengan kromatografi gas (Boyer, 1986). Hidrolisis minyak dan lemak dalam tubuh terjadi secara enzimatik, yaitu dengan bantuan enzim lipase. Enzim lipase ini terdapat pada mulut disebut lingual lipase, pada lambung disebut gastric lipase yang stabil dan aktif pada pH yang rendah, dan pada usus halus disebut pancreatic lipase. Ketiga enzim tersebut akan menghidrolisis trigliserida pada posisi sn-1 dan sn-3, trigliserida dengan asam lemak rantai pendek dan sedang akan langsung diserap ke sirkulasi darah di lambung yang selanjutnya diangkut ke hati untuk dimetabolisme, sedangkan asam lemak rantai panjang akan membentuk lemak kembali dan diserap melalui epitelium usus halus dan masuk ke sirkulasi darah, untuk selanjutnya dibawa ke jantung dan jaringan tubuh lainnya sebelum diangkut ke hati untuk dimetabolisme. Pada saat berada di sirkulasi darah, lemak yang tidak teroksidasi menjadi energi akan mempengaruhi profil lipid darah, dapat mengendap pada dinding pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya aterosklerosis (Roskoski, 1996; Silalahi, 2002). Enzim lipase sangat penting dalam metabolisme lemak dalam tubuh. Proses pemecahan lemak (fat splitting) melepaskan asam lemak dari struktur triasilgliserol yang dapat terjadi dengan enzim lipase spesifik pada posisi sn tertentu (Aehle, 2004). Reaksi hidrolisis dengan menggunakan enzim lipase lebih efisien dan mudah dikontrol karena enzim lipase spesifik pada posisi sn tertentu sehingga dapat mengubah produk lemak dan distribusi asam lemak yang kita inginkan. Apabila dibandingkan dengan penggunaan zat kimia, akan menghasilkan produk lemak dengan distribusi asam lemak yang acak (Aehle, 2004). Hidrolisis trigliserida secara enzimatik dengan lipase yang spesifik pada posisi sn-1,3 adalah dengan menghidrolisis trigliserida pada posisi sn-1,3
30 Universitas Sumatera Utara
sehingga menghasilkan produk 2-monogliserida dan asam lemak bebas. Hidrolisat kemudian dipisahkan dengan larutan non polar yang terikat pada asam lemak bebas, ataupun disentrifugasi pada kecepatan dan waktu tertentu. 2-monogliserida dapat diisolasi dari reaksi campuran menggunakan kromatografi kolom lapis tipis atau silika gel. Komposisi asam lemak dari 2-monogliserol ditentukan dengan saponifikasi, esterifikasi, dan kromatografi gas dari metil ester asam lemak (Satiawihardja, 2001; Silalahi, dkk., 1999; Silalahi, 2002).Klasifikasi enzim lipase berdasarkan spesifikasinya dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Klasifikasi enzim lipase berdasarkan spesifikasinya Klasifikasi enzim lipase Spesifik pada substrat
Regiospesifik
Spesifikasi
Sumber
Monoasilgliserol Mono- dan Diasilgliserol Triasilgliserol Posisi sn-1,3
Jaringan lemak pada tikus Penicillium camembertii
Nonspesifik
Posisi sn-2 -
Asil spesifik pada lemak
Asam lemak rantai pendek
Stereospesifik
asam lemak jenuh cis-9 Asam lemak jenuh rantai panjang Posisi sn-1 Posisi sn-3
Lipase Komersil
Penicillium sp. Pankreas babi Mucor miehei Aspergillus niger Thermomyces lanuginose Rhizomucor meihei Candida antartica A Penicillium expansum Aspergillus sp. Pseudomonas cepacia Penicillium roqueforti Lambung bayi Getah Carica papaya Geotrichum candidum Botrystis cinerea
Lipase AP6® Lipozym TL IM® Palatase M® Novozym 435®
Humicola lanugunose Pseudomonas aeruginose Fusarium solani cutinase Lambung kelinci
Sumber : Aehle (2004); Villeneuvedan Foglia (1997) 2.4 Penentuan Bilangan Asam
31 Universitas Sumatera Utara
Asam lemak bebas merupakan salah satu standar mutu VCO dinyatakan sebagai persen asam lemak. Berdasarkan Badan Standarisasi Nasional 7381:2008, asam lemak bebas (dihitung sebagai asam laurat) maksimum adalah 0,2%. Prinsip kerja penentuan asam lemak bebas adalah pelarutan contoh minyak/lemak dalam pelarut organik tertentu (alkohol 96% netral) dilanjutkan dengan titrasi menggunakan basa NaOH atau KOH. Bilangan asam adalah ukuran dari jumlah asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak, serta kadar asam dihitung berdasarkan berat molekul dari asam lemak atau campuran asam lemak. Bilangan asam dinyatakan sebagai jumlah miligram KOH yang digunakan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam 1 gram minyak atau lemak (Ketaren, 2005). Rumus Penentuan Bilangan Asam Bilangan Asam =
Keterangan: A N G BM KOH
A × N ×BM KOH G
= jumlah ml KOH untuk titrasi = normalitas larutan KOH = bobot minyak (gram) = 56,1
Rumus Pembakuan KOH (Normalitas KOH): Miligrek K. Biftalat = Miligrek KOH
mg K. Biftalat = V × N KOH BE N KOH =
Keterangan:
mg K Biftalat BE × V
BE K.Biftalat = Bobot Ekuivalen = BM = 204 V =Volume titrasi KOH 32 Universitas Sumatera Utara
N = Normalitas
Normalitas rata-rata: ̅= N
N1 + N2 + N3 3
Deviasi (%) = |
̅ Ni − N | × 100 % ̅ N
2.5 Minyak Kelapa Murni Minyak kelapa virgin atau secara umum sering disebut minyak kelapa murni (Virgin Coconut Oil, VCO) merupakan produk yang diperoleh dari pengolahan daging buah kelapa (Cocos nucifera) yang tua dan segar (Badan Standarisasi Nasional, 2008; Bawalan, 2006). Kelapa (Cocos nucifera) adalah satu jenis tumbuhan dari suku aren-arenan atau Arecaceae dan merupakan anggota tunggal dalam genus Cocos. Tumbuhan ini dimanfaatkan hampir semua bagiannya oleh manusia sehingga dianggap sebagai tumbuhan serba guna, khususnya bagi masyarakat pesisir (Anonim, 2012). Kelapa sebagai salah satu kekayaan hayati Indonesia telah berabad-abad dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi berbagai kebutuhan, baik sebagai sumber makanan, obat-obatan, industri dan lain-lain. Dari daun sampai akar kelapa memiliki manfaat dan nilai sosial dan ekonomi masing-masing. Kelapa memainkan peran penting dalam budaya dan kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk peran dalam aspek kesehatan. Dalam fungsinya yang berkaitan dengan kesehatan, buah kelapa semakin meningkat perannya dalam upaya peningkatan kesehatan (Wibowo, 2005).
33 Universitas Sumatera Utara
Buah kelapa berbentuk bulat lonjong dengan ukuran bervariasi, tergantung pada keadaan tanah, iklim, dan varietasnya. Warna luar kelapa juga bervariasi, mulai dari kuning sampai hijau muda, dan setelah masak berubah menjadi cokelat. Adapun struktur buah kelapa terdiri dari sabut (35%), daging buah (28%), air kelapa (15%), tempurung (12%), serta beberapa bagian lainnya. Hampir semua bagian kelapa tersebut bisa dimanfaatkan, tetapi daging buah merupakan bagian yang paling banyak dimanfaatkan untuk bahan makanan dan bahan baku industri (Setiaji dan Surip, 2006). Daging buah kelapa berwarna putih dengan ketebalan cukup bervariasi, tergantung umur dan varietas buah kelapa. Umumnya semakin tua buah kelapa akan memiliki daging buah yang semakin tebal. Daging buah inilah yang digunakan untuk pembuatan VCO. VCO hanya dapat diperoleh dari daging buah kelapa segar. Berbeda dari minyak kelapa biasa yang terbuat dari kopra, VCO terbuat dari kelapa tua yang baru dipetik (Setiaji dan Surip, 2006; Syah, 2005). Kelapa secara alami tumbuh di pantai dan pohonnya dapat mencapai ketinggian 30 m. Tumbuhan ini berasal dari pesisir Samudera Hindia, namun kini telah tersebar di seluruh daerah tropika. Tumbuhan ini dapat tumbuh hingga ketinggian 1000 m dari permukaan laut, namun akan mengalami perlambatan pertumbuhan (Anonim, 2012). Sistematika tumbuhan kelapa sebagai berikut (Warisno, 2003): Kingdom
: Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi
: Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Subdivisi
: Angiospermae (berbiji tertutup)
Kelas
: Monocotyledonae
Bangsa
: Palmales
Suku
: Palmae 34 Universitas Sumatera Utara
Marga
: Cocos
Spesies
: Cocos nucifera L. Bagian dari buah seperti inti kelapa dan air kelapa ini memiliki sejumlah
manfaat dalam pengobatan seperti antibakteri, antijamur, antivirus, antiparasit, antidermatophytic, antioksidan, hipoglikemik, imunostimulan, dan hepatoprotektif (DebMandal dan Mandal, 2011). VCO mengandung asam lemak rantai sedang (medium chain fatty acid, MCFA) terutama asam laurat. Kandungan MCFA dan kadar asam laurat dipengaruhi oleh varietas kelapa, tinggi tempat tumbuh, dan teknologi proses pembuatan VCO (Sari, 2009). Proses pembuatan VCO dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu: (i) metode kering, dibedakan lagi menjadi tiga, wet milling route, desiccated route, dan grated coconut route, (ii) metode tekanan rendah, (iii) metode tradisional, yaitu ekstraksi langsung dari santan kelapa, (iv) metode fermentasi, dan (v) metode sentrifugasi (Bawalan, 2006). Proses produksi VCO yang tidak menggunakan pemanasan yang tinggi menghasilkan MCFA yang tinggi dan dapat mempertahankan keberadaan vitamin E dan enzim-enzim yang terkandung dalan daging buah kelapa. VCO yang dibuat dari kelapa segar berwarna putih murni ketika minyaknya dipadatkan dan jernih seperti air ketika dicairkan (Syah, 2005). Sifat-sifat kimia dan fisika dari VCO antara lain tidak berwarna, kristal seperti jarum, sedikit berbau asam ditambah aroma karamel. Tidak larut dalam air, tetapi larut dalam alkohol (1:1). Berat jenis 0,8883 pada suhu 20oC, titik cair 2025oC dan tiitik didihnya 225oC. Kandungan trigliserida yaitu LaLaLa, LaLaM, CLaLa, LaMM, dan CCLa (La, laurat; C, kaprat; M, miristat). Kandungan asam lemak bebas yaitu berkisar antara 0,15-0,25% (Marina, et al., 2009). Berikut ini
35 Universitas Sumatera Utara
standar mutu minyak kelapa murni dan komposisi asam lemak dalam VCO dapat dilihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Standar mutu minyak kelapa virgin No Jenis Satuan 1. Keadaan: 1. Bau 2. Rasa 3. Warna 2.
Air dan senyawa menguap
3.
Bilangan penyabunan
4.
Bilangan iod
5.
Asam lemak bebas(dihitung sebagai asam laurat)
6.
Asam lemak: 6.1 Asam kaproat (C6:0) 6.2 Asam kaprilat (C8:0) 6.4 Asam kaprat (C10 :0) 6.5 Asam laurat (C12:0) 6.6 Asam miristat (C14:0) 6.7 Asam palmitat (C16:0) 6.8 Asam stearat (C18) 6.9 Asam oleat (C18:1) 6.10 Asam linoleat (C18:2) 6.11 Asam linolenat (C18:3)-(C24:1)
Persyaratan Khas kelapa segar, tidak tengik normal, khas minyak kelapa tidak bewarna hingga pucat
%
Maks 0,2
mgKOH/g minyak
250,07 - 260,67
g iod/100 gram
4,1-11,0
%
Maks 0,2
% % % % % % % % % %
D - 0,7 4,6 - 10,0 5,0 - 8,0 45,1 - 53,2 16,8 - 21 7,5 - 10,2 2,0 - 4,0 5,0 - 10,0 1,0 - 2,5 ND - 0,2
7.
Cemaran mikroba 7.1 Angka lempeng total Koloni/ml Maks 10 Keterangan: ND (No Detection) (Sumber: Badan Standardisasi Nasional, 2008; Darmoyuwono, 2006; APCC Standard For Virgin Coconut Oil). 2.6 Aktivitas Antibakteri Minyak Kelapa Murni Manfaat luar biasa minyak kelapa murni (Virgin Coconut Oil, VCO) terhadap kesehatan dikarenakan VCO memiliki: (i) asam lemak jenuh, dimana ikatan tunggalnya mencegah oksidasi dan hidrogenasi, yang mana produk akhirnya berupa radikal bebas dan lemak trans yang merugikan kesehatan (ii)asam
36 Universitas Sumatera Utara
lemak rantai sedang (Medium Chain Fatty Acid - MCFA) yang langsung dikonversi menjadi energi dalam hati, yang jugameningkatkan laju metabolisme yang menghasilkan konversi yang lebih baik dari makanan menjadi energi danthermogenesis yang merangsang pemecahan lemak yang tersimpan menjadi energi, yang berujung pada penurunan berat badan, (iii) bersifat antimikroba dari kandungan asam lauratnya (C-12, 48-52%) danMCFA lain yang membunuh bakteri patogen, jamur, virus, protozoa dan parasit; dan(iv) antioksidan dalam bentuk vitamin E, senyawa fenolik dan pitosterol yangmencegah oksidasi dari terjadi, sehingga tidak ada bahaya radikal bebas terbentuk(Enig,1996). VCO mengandung empat jenis MCFA, yaitu asam laurat (C-12, 48-53%), asam kaprat (C-10, 7%), asam kaprilat (C-8, 8%), dan asam kaproat (C-6, 0,5%). Di dalam tubuh, diubah menjadi monogliserida, yaitu monolaurin, monocaprin, monocaprylin, dan monocaproin, yang mampu membunuh mikroorganisme patogen termasuk bakteri, jamur dan ragi, virus dan protozoa. Monogliserida ini juga memberikan kekebalan terhadap tubuh. Asam laurat berada dalam air susu ibu untuk memberikan kekebalan terhadap bayi selama enam bulan pertama kehidupan ketika imunitas belum dikembangkan. Kekuatan antibakteri MCFA dimanfaatkan secara alami oleh tubuh kita sendiri yaitu ditemukan dalam air susu ibu untuk melindungi dan memberi nutrisi pada bayinya (Enig,1996). Kebanyakan bakteri dan virus terbungkus dalam lapisan lipid (lemak). Asam lemak yang membentuk membran luar atau kulit bersama dengan Deoxyribonucleic Acid (DNA) organisme dan bahan lainnya. Asam-asam lemak yang membentuk membran ini hampir berbentuk cairan sehingga memberikan tingkat mobilitas dan fleksibilitas membran yang luar biasa. Kemampuan unik ini
37 Universitas Sumatera Utara
memungkinkan organisme untuk bergerak, membungkuk, dan masuk melalui pori terkecil (Enig, 1996). Pertumbuhan virus dan bakteri yang mempunyai lapisan lipid mudah dihentikan
oleh
MCFA,
yang
terutama
merusak
organisme
dengan
caramengganggu membran lipid mereka. Asam lemak rantai sedang mirip dengan membran mikroorganisme, bahkan molekul MCFA jauh lebih kecil karena itu mampu melemahkan membran. Membran ini kemudian menjadi hancur dan terbuka, menumpahkan isi dan membunuh organisme. Kemudian sel darah putih dengan cepat membersihkan dan membuang puing-puing sel organisme yang rusak dan mati tersebut. MCFA membunuh organisme penyerang tanpa menimbulkan bahaya pada jaringan tubuh (Enig, 1996). VCO telah dibuktikan dapat menghambat pertumbuhan berbagai bakteri patogen diantaranya Listeria monocytogene, Staphylococcus sp maupun Helicobacter sp. Aktivitas antibakteri MCFA terbaik adalah dalam bentuk asam lemak bebas dan monogliserida. Untuk memperoleh monogliserida dari trigliserida yang terkandung dalam VCO adalah dengan melakukan hidrolisis menggunakan enzim yang spesifik bekerja hanya untuk menghidrolisis secara parsial yaitu menghidrolisis trigliserida pada posisi sn-1 dan 3. Enzim yang spesifik bekerja pada posisi sn-1 dan 3 adalah ensim lipase yang berasal dari pankreas, Aspergillus niger dam Mucor meihei (Silalahi, 2002). Dari semua asam lemak jenuh, asam laurat memiliki aktivitas antimikroba lebih baik dibandingkan dengan asam kaprilat (C8:0), asam kaprat (C10:0), dan asam miristat (C14:0) (Kabara, et al., 1972; Enig, 1996). 2.7 Kemampuan Antibakteri Asam Laurat dan Monolaurin
38 Universitas Sumatera Utara
Asam lemak dan monogliseridamenghasilkan efek membunuh atau menonaktifkan bakteri dengan caramelisiskan atau merusak lapisanmembran plasma
lipid.
Aktivitas
antibakteriterkait
dengan
monolaurin
yangdapat
melarutkan lipid dan fosfolipid dari pembungkus bakteri, menyebabkan disintegrasi membran bakteri. Monolaurin juga dapat mengganggu proses tranduksi sinyal bakteri, dan efek lain antimikroba terhadap virus adalah karena gangguan asam laurat pada proses perakitan dan pematangan virus (Lieberman, et al., 2006). Rumus Struktur asam laurat dan monolaurin dapat dilihat pada Gambar 2.4.
O C OH Asam Laurat
Monolaurin
Gambar 2.4 Rumus Struktur asam laurat dan monolaurin (Aehle, 2004) Penelitian yang menunjukkan efek antivirus monolaurin yaitu dengan menyelimuti Ribonucleic Acid (RNA) dan Deoxyribonucleic Acid (DNA) virus. Studi ini dilakukan dengan prototipe virus yang dipilih atau diakui strain wakil dari virus manusia. Amplop dari virus ini adalah membran lipid, dan adanya membran lipid pada virus membuat mereka sangat rentan terhadap asam laurat monolaurin dan turunannya.MCFA mengganggu membran lipid dari virus. Penelitian telah menunjukkan bahwa virus tidak aktif terhadap air susu ibu dan susu sapi oleh karena adanya asam lemak dan monogliserida, dan juga oleh asam
39 Universitas Sumatera Utara
lemak endogen dan monogliserida rantai panjang yang sesuai. Berikut mikroorganisme yang dihambat oleh asam laurat dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Mikroorganisme yang dihambat oleh asam laurat Mikroorganisme lipid-coated yang dihambat oleh asam laurat Virus Lipid Coated Visna virus Cytomegalovirus Epstein-barr virus Influenza virus Leukemia virus Pneumono virus Hepatitis C virus Bakteri Lipid Coated Listeria monocytogenes Helicobacter pylori Hemophilus influenzae Staphylococcus aureus Streptococcus agalactiae Groups A, B, F, & G streptococci Organisme gram-positif Organisme gram-negatif (jika mendapat perlakuan dengan agen pengkhelat) (Sumber: Kabara,et al., 1972) Asam lemak dan turunannya yang bersifat antimikroba tidak beracun untuk manusia, bahkan diproduksi secara in vivo dalam tubuh ketika terdapat diet yang mengandung kadar MCFAyang memadai, seperti asam laurat.Menurut penelitian, asam laurat adalah salah satu asam lemak yang terbaik, dan monogliseridanya bahkan lebih efektif dibandingkan dengan asam lemaknya (Kabara,et al., 1972). Untuk dapat hidup maka membran lipid virus atau bakteri bergantung pada lipid inang (host) untuk membentuk konstituen lipid mereka. Keragaman asam lemak dalam makanan individu serta variabilitasnyamenyebabkan variabilitas asam lemak dalam membran lipid virus/bakteri dan juga menjelaskan variabilitas
40 Universitas Sumatera Utara
ekspresi glikoprotein, yang membuat pengembangan vaksin lebih sulit(Kabara,et al., 1972). Monolaurin tidak memiliki efek buruk pada bakteri flora usus yang diinginkan, melainkan hanya pada potensial terhadap mikroorganisme patogen (Isaacs dan Thomar, 1991).Bakteri patogen yang dapat diatasi oleh monolaurin termasuk
Listeria
monocytogenes,
Staphylococcus
aureus,
Streptococcus
agalactiae, Streptokokus Grup A, F & G, organisme gram positif, dan beberapa gram negatif organisme jika mendapat perlakuan awal dengan pembentuk khelat(Kabara,et al., 1972).Penghambatan pertumbuhan Staphylococcus aureus ditunjukkan dengan 150 mg monolaurin perliter.Monolaurin5000kali lebih kuat menghambat Listeria monocytogenes dibandingkan etanol. Helicobacter pylori dengan cepat diinaktivasi oleh MCFA, monogliserida dan asam laurat, dan hampir tidak ada bakteri atau organisme yang resisten terhadap efek bakterisida antimikrobaalami ini(Petschow,et al., 1996). Sejumlah jamur, ragi, dan protozoa juga diinaktivasi atau dibunuh oleh laurat asam atau monolaurin. Jamur termasuk beberapa jenis kurap. Ragi yang dilaporkan adalah Candida albicans. Protozoa parasit Giardia lamblia dihambat oleh asam lemak bebas dan monogliserida dari susu manusia terhidrolisis. Penelitian juga dilakukan terhadap virus Severe acute respiratory syndrome (SARS), karena penduduk Filipina yang sebagian besar mengkonsumsi minyak kelapa relatif tidak terpengaruh oleh wabah SARS di negara-negara kawasan asia lainnya (Enig, 1996). 2.8 Penentuan Aktivitas Antibakteri Minyak Kelapa Murni
41 Universitas Sumatera Utara
Pada uji antibiotik antimikroba diukur respon pertumbuhan populasi mikroorganisme terhadap agen antimikroba. Tujuan assay antimikroba adalah untuk menentukan potensi dan kontrol kualitas selama proses produksi senyawa antimikroba di pabrik, untuk menentukan farmakokinetik obat pada hewan atau manusia, dan untuk memonitor dan mengontrol kemoterapi obat (Pratiwi, 2008). Uji aktivitas antimikroba dapat dilakukan dengan dua metode, antara lain: metode difusi (diffusion test) dan dilusi (dilution test). Metode difusi agar merupakan metode yang paling sering digunakan, lazim dikenal dengan test Kirby & Bauer). Piringan (disc) yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut.
Area
jernih
mengindikasikan
adanya
hambatan
pertumbuhan
mikroorganisme oleh agen antimikroba pada pertumbuhan media agar. Metode ini dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik dan kimia, selain faktor antara obat dan organisme (misalnya sifat medium dan kemampuan difusi, ukuran molekular dan stabilitas
obat).
Meskipun
demikian,
standarisasi
faktor-faktor
tersebut
memungkinkan melakukan uji kepekaan dengan baik (Pratiwi, 2008). Metode difusi digunakan untuk menentukan daya hambat dari agen antimikroba, sedangkan metode dilusi digunakan untukmengukurMinimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum Bactericidal Concentration (MBC) pada agen antimikroba. MIC merupakan konsentrasi terendah agen antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme, sedangkan MBC adalah konsentrasi terendah bahan antibakteri yang dapat membunuh mikroorganisme. Prinsip
metode
dilusi
adalah
membuat
seri
pengenceran
dari
agen
antimikrobahinggadiperoleh beberapa macam konsentrasi(secara umum untuk
42 Universitas Sumatera Utara
penentuan MIC pengenceran antimikroba dilakukan penurunan konsentrasi setengahnya misalnya mulai dari 16, 8, 4, 2, 1, 0,5, 0,25 µg/ml), kemudian masing-masing konsentrasi ditambahkan suspensi bakteri uji dalam media cair. Perlakuan tersebut diinkubasi dan diamati ada atau tidaknya pertumbuhan bakteri, yang ditandai dengan terjadinya kekeruhan. Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan bakteri uji ditetapkan sebagai Kadar Hambat Minimal (KHM) atau Minimal Inhibitory Concentration (MIC). Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan bakteri uji ataupun agen antimikroba, dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai Kadar Bunuh Minimal (KBM) atau Minimal Bactericidal Concentration (MBC) (Pratiwi, 2008). Metode ini tidak efisien karena pengerjaannya yang rumit dan memakan waktu, memerlukan banyak alat-alat dan bahan serta memerlukan ketelitian dalam proses pengerjaannya termasuk persiapan konsentrasi antimikroba yang bervariasi, penggunaannya dibatasi pada keadaan tertentu saja. Asam laurat dan monolaurin efektif terhadap bakteri gram positif seperti Staphylococcus aureus dan Lysteria monocytogene, dan bakteri gram negatif seperti Pseudomonas aeruginosa dan Helycobacter pylori. Ada beberapa metode untuk penentuan aktivitas antibakteri VCO, asam laurat dan monolaurin yang pernah dilakukan pada penelitian sebelumnya. Sulistiyaningsih, dkk., (2007) melakukan
pengujian
aktifitas
antibakteri
VCO
terhadap
Pseudomonas
aeruginosa, Staphylococcus aureus dan Candida albicans menggunakan metode difusi agar dengan cara perforasi, yaitu dengan membuat lubang pada media yang
43 Universitas Sumatera Utara
telah memadat, kemudian pada lubang tersebut diteteskan bahan uji;Widiyarti, dkk., (2009) juga menggunakan metode difusi agar dengan cara perforasi dengan bakteri uji Staphylococcus aureus. Penggunaan pencadang gelas dilakukan oleh Ginting (2009), untuk pengujian VCO dan krim VCO;sedangkan Ugbogu,et al., (2006), menggunakan pencadang kertas dengan diameter 5 mm untuk pengujian palm kernel oil yang sama seperti VCO memiliki kandungan asam lemak terbesar adalah asam laurat; Ekwenye dan Ijeomah (2005) juga menggunakan metode difusi agar dengan pencadang kertas berdiameter 5 mm untuk menguji aktivitas antibakteri dari palm kernel oildan palm oil; Permata (2012) menggunakan metode difusi agar dengan pencadang kertas berdiameter 6 mm untuk membandingkan aktivitas antibakteri VCO hasil hidrolisis penyabunan dan enzimatis terhadap bakteri yang biasa dijumpai pada kulit. Hasibuan (2012) melihat pengaruh hidrolisis minyak kelapa murni dalam whipe creamterhadap daya hambat bakteripatogen (Salmonella typhi) dan bakteri probiotik (L. casei shirota strain) dengan metode angka lempeng total; Nurliana, (2009) dalam pengujian minyak pliek-u (minyak kelapa terfermentasi) menggunakan pencadang kertas berdiameter 13 mm; Skrivanova,et al.,(2006) menguji aktivitas antibakteri asam lemak dan monolaurin terhadap Escherichia coli, Salmonella enteritidis, dan Salmonella typhimenggunakan metode difusi Etest untuk mengestimasi MIC; Kabara, et al., (1972) menggunakan metode dilusi cair untuk pengujian sifat antimikroba dari asam lemak dan senyawa turunannya. Data hasil penelitian sifat antimikrobial dari asam laurat, monolaurin dan VCO dapat dilihat pada Tabel 2.5.
44 Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.5Sifat antimikroba dari asam laurat, monolaurin dan minyak kelapa murni
Keterangan: a: Zona hambat (mm), b: MIC (Minimum Inhibitory Concentration) (mg/ml), c: cfu, *): Minyak kelapa terfermentasi (a): Ginting, 2008, (b): Nurliana, 2009, (c): Widiyarti, dkk., 2009, (d): Skrivanova, et al., 2006, (e): Ugbogu et al., 2006, (f): Ekwenye dan Ijeomah, 2005, (g): Kabara, et al., 1972, (h): Hasibuan, 2012, (i): Permata, 2012.
45 Universitas Sumatera Utara
Dari beberapa pengujian mengenai VCO, asam laurat dan monolaurin tersebut menunjukkan bahwa VCO pada konsentrasi 55% (550000 ppm) aktivitasnya terhadap Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa masing-masing sebanding dengan 16,788 ppm dan 152,405 ppm baku tetrasiklin (Sulistiyaningsih dkk., 2007). Hasil pengujian aktifitas antibakteri VCO sangat besar yaitu pada konsentrasi 2% memberikan daya hambat 40,48 mm terhadap Staphylococcus aureus dan 35,63 mm terhadap Pseudomonas aeruginosa, dimana pengujian dilakukan menggunakan gliserin sebagai pelarut (Ginting, 2008). Konsentrasi hambat minimum (MIC) asam lemak C2 - C18, dimana asam lemak rantai sedang C8 - C12 (MIC < 5 mg/ml) lebih aktif sebagai antibakteri jika dibandingkan dengan asam lemak rantai pendek C2 - C6 (MIC > 5 mg/ml) dan asam lemak rantai panjang C14 - C18 (MIC > 5 mg/ml) (Skrivanova, et al., 2006). Untuk hasil pengujian aktifitas antibakterimonolaurin hasil sintesis menunjukkan bahwa senyawa α-monolaurin (7 mm, C = 500 µg/ml) hasil sintesis sama aktif dengan α-monolaurin standar (7,5 mm, C = 500 µg/ml) dan lebih aktif dari dilaurin yang tidak ada daya hambat (Widiyarti, dkk., 2009). Hasil pengujian sifat antibakteri dari hasil hidrolisis VCO secara penyabunan terhadap bakteri patogen dan probiotik menunjukkan bahwa VCO dan hasil hidrolisisnya dalam whipe cream tetap mempertahankan kehidupan probiotik (L.casei shirota strain) dengan penambahan VCO, sedangkan bakteri patogen (Salmonella typhi) pada VCO tingkat hidrolisis 75% dan 100% tidak ada perumbuhan bakteri lagi. Semakin tinggi tingkat hidrolisis VCO yang dicampur dalam whipe cream maka semakin besar daya hambat VCO hasil hidrolisis
46 Universitas Sumatera Utara
terhadap bakteri patogen (Salmonella typhi), tetapi tidak membunuh bakteri probiotik (L. casei shirota strain) (Hasibuan, 2012). Menurut Kabara, et al., (1972), asam lemak dan monogliserida menginaktivasi bakteri dengan cara merusak membran plasma (lipid bilayer) dari bakteri tersebut dan monolaurin tidak mempengaruhi perkembangan bakteri usus yang bermanfaat, akan tetapi menghambat bakteri patogen. Aktivitas antibakteri dapat ditunjukkan pada kondisi yang sesuai dengan efek daya (zona) hambatnya terhadap bakteri. Ada dua metode umum yang dapat digunakan yaitu penetapan dengan lempeng silinder atau lempeng dan penetapan dengan cara tabung atau turbidimetri. Metode pertama berdasarkan difusi antibiotik dari silinder yang dipasang tegak lurus pada lapisan agar padat dalamcawan petri, sehingga bakteri yang ditambahkan dihambat pertumbuhannya pada daerah berupa lingkaran atau zona disekeliling silinder yang berisi larutan antibiotik.Metode
kedua
yaitu
turbidimetri
berdasarkan
atas
hambatan
pertumbuhan biakan mikroba dalam larutan serba sama antibiotik dalam media cair yang dapat menumbuhkan mikroba dengan cepat bila tidak terdapat antibiotik (Ditjen POM, 1995). 2.9 Histopatologi Histopatologiadalah
cabangbiologiyang
mempelajari
kondisi
dan
fungsijaringandalam hubungannya denganpenyakit.Histopatologi sangat penting dalam kaitan dengan diagnosis penyakit karena salah satu pertimbangan dalam penegakan diagnosis adalah melalui hasil pengamatan terhadap jaringan yang diduga terganggu. Potongan histologi merupakan potongan tipis dan datar jaringan dan/atau organ yang difiksasi dan diwarnai pada gelas objek.
47 Universitas Sumatera Utara
2.9.1 Anatomi dan Histologi Hati Pada keadaan normal, vena sentralis merupakan sebuah pembuluh vena yang dikelilingi oleh sel endotelium yang tersusun rapat dan terletak pada pusat lobulus dengan hepatosit tersusun secara radier kearah vena sentralis. Di dalam hepatosit terdapat sitoplasma yang masih utuh dengan nukleus yang bulat. Di sepanjang hepatosit terdapat sinusoid tempat mengalirkan darah yang nantinya akan ditampung oleh vena sentralis. Kerusakan pada vena sentralis berupa lisisnya sel endotelium sehingga lingkaran menjadi tidak utuh dan akhirnya lingkaran menjadi tidak jelas. Kerusakan ini berkaitan dengan perannya sirkulasi, yang mana vena sentralis menerima darah dari sinusoid-sinusoid. Sebanyak 25% darah yang mengalir pada sinusoid berasal dari arteri hepatika, sedangkan 75% berasal dari vena porta yang mengalirkan darah dari saluran cerna hasil absorbsi usus. Maka vena sentralis akan banyak menampung nutrient dan zat lain hasil metabolisme yang dapat bersifat toksik maupun nontoksik. Banyaknya darah yang ditampung oleh vena sentralis akan menyebabkan konsentrasi zat yang bersifat toksik jauh lebih besar sehingga hal inilah yang memperjelas kerusakan vena sentralis (Helmi, dkk., 2007; Atlas, 1997) Hepatosit secara normal tersusun secara teratur membentuk lempengan sel dan nukleus bulat dan sitoplasma yang cerah, dan secara radier menuju pusat lobulus. Nekrosis jaringan hati, diawali dengan pembengkakan pada sitoplasma, dilatasi
retikulum
endoplasma.
Nekrosis
dapat
terjadi
karena
adanya
toksin/kurangnya oksigen secara akut di dalam sel. Nekrosis dapat dilihat dengan berkurangnya jumlah inti dalam sel atau hilangnya inti sama sekali, dan
48 Universitas Sumatera Utara
pengeruhan pada sitoplasma (Helmi, dkk., 2007; Atlas, 1997).Berikut gambar histologi hati secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.5, 2.6A, dan 2.6B.
Gambar 2.5.Gambaran histologi hati mencit normal. Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). Keterangan: (1) Vena sentralis, (2) Hepatosit, (3) Sel-sel endothelium, (4) Sinusoid. Vena sentralis terlihat utuh dengan sel-sel endothelium tersusun rapat, sel hepatoist terlihat jelas, tersusun normal dan utuh(Sumber: Helmi, dkk., 2007).
Gambar 2.6A. Gambaran histologi hati mencit yang diberi perlakuan (rusak). Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). Keterangan: (1) Vena sentralis, (2) Hepatosit, (3) Sel-sel endothelium lisis. Dinding pembuluh vena sentralis terlihat mulai tidak utuh dengan sel-sel endothelium mulai lisis, sel-sel hepatosit mulai tidak teratur (Sumber: Helmi, dkk., 2007).
Gambar 2.6B. Gambaran histologi hati mencit yang diberi perlakuan (rusak). Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). Keterangan: (1) Vena sentralis, (2) Hepatosit, (3) Sel-sel endothelium lisis. Dinding pembuluh vena sentralis putus dibeberapa bagian, ada sel endothelium yang lisis, sel-sel hepatosit tidak teratur, batas antara sel mulai tidak jelas, membran ada yang hilang (Sumber: Helmi, dkk., 2007).
Rongga sinusoid yang mulai membesar disebabkan penyaluran darah dengan perfusi yang kuat dan merusaknya hepatosit. Sinusoid menerima darah dari vena porta dan arteri hepatika, lalu menyalurkannya ke vena sentralis. Banyaknya konsentrasi toksikan dalam darah yang disalurkan sinusoid ini
49 Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan kerusakan pada sinusoid, yang mana dinding sinusoid terdiri dari sel-sel endotel yang membentuk lapisan tidak utuh. Hal ini memudahkan terjadinya kontak langsung antara permukaan hepatosit dan sinusoid sehingga memudahkan terjadinya pertukaran makromolekul termasuk toksikan (pada hepatosit yang rusak) menyebabkan kerusakan pada sinusoid. Pada sinusoid terdapat sel fagositosis yang disebut sel Kupffer yang berfungsi menghancurkan leukosit dan sel darah merah yang rusak, bakteri dan benda asing lain pada aliran pembuluh darah vena dari traktus gastrointestinalis (Helmi, dkk., 2007; Atlas, 1997). 2.9.2Anatomi dan Histologi Limpa Limpa adalah organ limfoid terbesar. Salah satu fungsi utamanya adalah menyaring darah. Karena memiliki jejaring/network retikular padat, maka limpa berfungsi sebagai penyaring efektif untuk antigen, mikroorganisme, trombosit, dan eritrosit tua atau abnormal. Materi yang terperangkap pada anyaman retikular kemudian dibuang dari darah oleh makrofag dan sel retikular fagositik (Atlas, 1997). Secara histologis, limpa terdiri dari stroma (kapsula, trabekula) dan parenkim (pulpa limpa). Selain itu sediaan histologi limpa juga terdiri dari banyak sel-sel darah merah dan sel-sel darah putih dan sangat menyerupai kelenjarkelenjar limfe. Kapsul limpa dilapisi oleh serosa yang terdiri atas serat kolagen, serat elastin dan beberapa otot polos, sedangkan trabekula tebal yang mengandung cabang-cabang besar arteri danvena spenikus (lienalis) berjalan dari kapsula ke bagian dalam organ (Atlas, 1997).
50 Universitas Sumatera Utara
Perubahan ukuran, warna dan konsistensi limpa biasanya disebabkan oleh respon limpa terhadap benda asing yang dapat menimbulkan proses-proses reaktif, sehingga apabila dilihat secara makroskopis limpa terlihat membengkak. Infeksi pada tubuh akan merangsang sel-sel limfosit dalam organ limfoid untuk membentuk antibodi. Dengan pemeriksaan mikroskopis (histologis) pada jumlah sel darah yang banyak mengisi ruang limpa di sinus-sinus dan pulpa, serta pembuluh darah limpa yang membendung (hiperemi), patologi yang terjadi pada limpa dianggap berkenaan dengan bangunan trabekula, sinus pada pulpa merah dan pulpa putih, terutama pada kandungan darah, gambaran fibrosa, jumlah sel dan deposit lain (Atlas, 1997). Limpa dibungkus oleh kapsula, yang terdiri atas dua lapisan, yaitu satu lapisan jaringan penyokong yang tebal dan satu lapisan otot halus. Perpanjangan kapsula ke dalam parenkim limpa disebut trabekula. Trabekula mengandung arteri, vena, saraf, dan pembuluh limfe. Parenkim limpa terdiri dari dua bagian yaitu pulpa merah dan pulpa putih. Pulpa merah memiliki fungsi menyaring darah,dan sebagai tempat penyimpanan sel darah merah, penjeratan antigen dan eritropoietis pada fetus, sedangkan bagian pulpa putih merupakan sebagai tempat terjadinya tanggap kebal. Pulpa merah berwarna merah gelap pada potongan limpa segar. Pulpa merah terdiri atas sinusoid limpa. Pulpa putih tersebar dalam pulpa merah, berbentuk oval dan berwarna putih kelabu. Pulpa putih terdiri atas pariarteriolar limphoid sheats (PALS), folikel limfoid, dan zona marginal. Folikel limfoid umumnya tersusun atas sel limfosit B, makrofag, dan sel debri (Atlas, 1997). Berikut gambar histologi limpa secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.6.
51 Universitas Sumatera Utara
A
A
B
t
Gambar 2.6 Gambaran HistologiLimpa Normal (A) dan Rusak (B). Keterangan: (k/c) kapsula, (t) trabekula, (m/pm) pulpa merah, (p/fl)pulpa putih/folikel limfoid, (m) megakaryosit, (d) deplesi folikel limfoid, (sr) infiltarsi sel radang, (pr) deposisi protein radang. Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) (Sumber: Rotinsulu, 2008).
52 Universitas Sumatera Utara