BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tinjauan Umum tentang Schima wallichii Jenis pohon puspa atau Schima wallichii Korth., termasuk ke dalam famili
Theaceae. Terdiri dari empat subspecies, yaitu Schima wallichii Korth. ssp. Bancana Bloemb., Schima wallichii Korth. ssp. Crenata Bloemb., Schima wallichii Korth. ssp. Noronhae Bloemb., dan Schima wallichii Korth. ssp. Oblata Bloemb. Tinggi pohonnya dapat mencapai 40 m dengan panjang batang bebas cabang sampai 25 m, diameter sampai 80 cm. Pohon ini tidak berbanir, kulit luar berwarna merah muda, merah tua sampai hitam, beralur dangkal dan mengelupas, kulit hidup tebalnya sampai 15 mm berwarna merah dan di dalamnya terdapat miang gatal (Balitbang 1989). Puspa tumbuh pada tanah kering serta tidak memiliki keadaan tekstur dan kesuburan tanah, sehingga baik untuk reboisasi padang alang-alang, belukar dan tanah kritis. Jenis ini memerlukan iklim basah sampai agak kering dengan tipe curah hujan A-C, pada dataran rendah sampai di dataran pegunungan dengan ketinggian sampai 1000 m di atas permukaan laut (Balitbang 1989).
2.2.
Diameter Pohon Diameter adalah garis lurus yang melewati pusat sebuah lingkaran atau
bola dan bertemu pada tiap ujung permukaannya. Pengukuran diameter yang paling umum dilakukan pada bidang kehutanan adalah pada batang utama pohon yang berdiri, memotong bagian pohon serta bagian cabang. Pengukuran diameter penting karena merupakan salah satu dimensi pohon yang secara langsung dapat diukur untuk mengukur luas penampang, luas permukaan, dan volume pohon (Husch et al. 2003). Diameter merupakan salah satu peubah pohon yang mempunyai arti penting dalam pengumpulan data tentang potensi hutan untuk keperluan pengelolaan. Dalam mengukur diameter, yang lazim dipilih adalah diameter setinggi dada (Dbh), karena pengukurannya paling mudah dan mempunyai
korelasi yang kuat dengan peubah lain yang penting, seperti luas bidang dasar dan volume batang (Simon 1996). Di negara-negara yang menggunakan sistem metrik, diameter setinggi dada (Dbh) biasanya diukur pada ketinggian batang 1,3 meter dari atas permukaan tanah. Untuk pohon-pohon berbanir lebih dari 1,3 meter dari atas permukaan tanah, pengukuran diameter dilakukan pada 20 cm di atas banir (Loetch et al. 1973).
2.3.
Tinggi Pohon Setelah diameter, tinggi pohon adalah peubah lain yang mempunyai arti
penting dalam penaksiran hasil hutan. Bersama diameter, tinggi pohon diperlukan untuk menaksir volume dan riap. Secara khusus peninggi tegakan diperlukan untuk menentukan kelas kesuburan tanah atau bonita (Departemen Kehutanan 1992). Tinggi adalah jarak linear sebuah objek yang normal ke permukaan bumi atau beberapa bidang datum lainnya secara horisontal. Selain ketinggian tanah, tinggi pohon adalah jarak vertikal utama yang diukur dalam pengukuran hutan. Total tinggi pohon juga dapat diperkirakan dari pengukuran yang dilakukan melalui foto udara (Paine 1981 dalam Husch et al. 2003). Simon (1996) menyatakan bahwa terdapat beberapa macam tinggi pohon di dalam inventarisasi hutan, sebagai berikut : 1. Tinggi total adalah tinggi dari pangkal pohon di permukaan tanah sampai puncak pohon. 2. Tinggi bebas cabang adalah tinggi pohon dari pangkal batang dipermukaan tanah sampai cabang pertama untuk jenis daun lebar atau crown point untuk jenis konifer yang membentuk tajuk 3. Tinggi batang komersial adalah tinggi batang yang pada saat itu laku dijual dalam perdagangan 4. Tinggi tunggak adalah tinggi pangkal pohon yang ditinggalkan pada waktu penebangan. Tinggi pohon umumnya mengikuti kurva sigmoid jika pohon tersebut tumbuh dengan sinar matahari yang penuh. Pertumbuhan tinggi pohon lambat
pada saat pohon masih muda dan terlalu kecil untuk mengumpulkan energi untuk pertumbuhan terus menerus yang cepat. Berdasarkan perkembangan ukuran pohon dan peningkatan dedaunan mengakibatkan banyak energi yang diserap untuk pertumbuhan secara terus menerus, sehingga terjadi pertumbuhan tinggi yang pesat
hingga
mencapai
pertumbuhan
maksimum. Pada
akhirnya
pertumbuhan melambat atas peningkatan tekanan akibat ketinggian yang ekstrim, pencahayaan, atau ukuran mahkota yang sudah mencapai batasannya (Husch 2003).
2.4.
Luas Bidang Dasar Pohon Dari luas bidang dasar pohon dapat ditaksir dua peubah pohon yang
penting untuk inventore hutan, yaitu kepadatan bidang dasar dan volume pohon maupun tegakan. Bentuk penampakan lintang pohon yang tidak persis sama dengan lingkaran tidak dikoreksi disini, melainkan dikoreksi dalam penaksiran volume dengan memasukkan faktor bentuk (Departemen Kehutanan 1992). Apabila digunakan diameter setinggi dada, maka yang dimaksud dengan bidang dasar pohon adalah penampang melintang batang pada 1,3 meter dari permukaan tanah. Karena umumnya bentuk pohon tidak persis bulat seperti lingkaran, maka biasanya pengukuran diameter dilakukan dua kali dengan arah pengukuran yang bersudut 90 o. Dari dua kali pengukuran tersebut kemudian dihitung harga rata-rata untuk memperoleh ukuran diameter yang diinginkan (Departemen Kehutanan 1992). Menurut Husch et al. (2003), pemotongan pada daerah penampang bidang pemotongan batang pohon normal terhadap sumbu longitudinal batang sering digunakan. Jika penampang pohon diambil pada ketinggian setinggi dada, hal itu disebut daerah basal. Luas total basal semua pohon, atau dari kelas tertentu pohon, per satuan luas (misalnya: per hektar atau per hektar) merupakan karakteristik yang berguna pada tegakan hutan. Ketika bagian bidang pohon (baik untuk pohon yang berdiri atau bagian yang dipotong) adalah lingkaran karena sering diasumsikan seperti itu, wilayahnya dapat dihitung dari diameter: g=
1 4
πd2
d=
g=
1 4
k π
π(
g=
Dimana :
2.5.
k π
)
2
k2 4π
g = luas bidang dasar pohon d = diameter pohon k = keliling π = 3,14
Populasi dan Strukur Tegakan Menurut Evans (1982) karakteristik hutan tanaman adalah teratur, tetap,
dan ekologi relatif sederhana menunjukkan hutan tanaman dibuat oleh manusia dan berbeda nyata dari hutan alam. Keuntungan ekonomis dari kualitas hutan ini adalah lebih efisien dalam beberapa operasional dan produknya lebih seragam, semuanya dapat dijual. Sebuah tegakan seumur adalah sekelompok pohon-pohon yang memiliki kekhasan dengan periode waktu yang pendek. Pohon-pohon dalam tegakan seumur termasuk dalam satu kelas umur. Batas dari kelas umur dapat bervariasi, tergantung lama waktu tegakan terbentuk. Pengertian struktur digunakan untuk menjelaskan sebaran individu tumbuhan dalam lapisan tajuk (Richards 1964). Struktur vegetasi didefinisikan pula sebagai organisasi dalam ruang dari individu-individu pembentuk tegakan dalam sebuah hutan, kanopi pohon dan tumbuhan herba menempati tingkat yang berbeda dan dalam hutan hujan tropika akan ditemukan 3 sampai 5 strata (Misra 1980). Kershaw (1964) dalam Mueller dan Ellenberg (1974) membagi komponen struktur vegetasi menjadi tiga, sebagai berikut : 1. Struktur vertikal (stratifikasi dalam beberapa lapis) 2. Struktur horizontal (menjelaskan distribusi ruang dari jenis-jenis dan individuindividu) 3. Struktur kuantitatif (menerangkan kelimpahan jenis dalam sebaran horizontal)
Suhendang (1985) berpendapat bahwa struktur tegakan hutan merupakan hubungan fungsional antara kerapatan pohon pada berbagai kelas diameternya, apabila dugaan parameter struktur tegakan dan jumlah pohon secara total dapat diketahui.
2.6.
Kerapatan dan Sebaran Tegakan Kerapatan pohon adalah banyaknya pohon yang terdapat pada satuan luas
tertentu dan seringkali disebut dengan kerapatan pohon per hektar (Suhendang 1985). Kerapatan tegakan didefinisikan sebagai ukuran kuantitatif dari persediaan pohon yang dijelaskan secara relatif sebagai koefisien. Mengikutsertakan angka normal, luas bidang dasar atau volume sebagai unit, atau secara mutlak dalam istilah jumlah pohon, luas bidang dasar total, atau volume setiap unit area (Ford Robinson 1971 dalam Daniel et al. 1987). Menurut Young (1982) kerapatan tegakan adalah pernyataan kuantitatif yang menunjukan tingkat kepadatan pohon dalam suatu tegakan. Satuan pohon pada plot dapat dianggap sebagai sub sampel, sedangkan plot contoh sendiri akan dianggap sebagai sampel penuh, dan seluruh koleksi plot merupakan skema sampling atau sampel dari seluruh area. Sekarang, jika kawasan hutan ini terdiri dari dua kelas umur dikenali yang berbeda, kelas situs, atau jenis hutan, itu harus diantisipasi bahwa kondisi ini akan sangat bervariasi dan bahwa semua plot contoh yang diambil di daerah tersebut tidak boleh dilepaskan bersama-sama. Sebaliknya area tersebut harus dibagi menjadi beberapa bagian komponen dan pengambilan contoh di masing-masing bagian disimpan secara terpisah. Pembagian divisi tersebut dinamakan stratifikasi, dan sampel (contoh) yang diperoleh adalah sampel bertingkat. Stratifikasi diameter salah satu dari banyak contoh di pengukuran hutan dimana suatu pola seringnya kemunculan unit dalam setiap rangkaian kelas yang sama diperoleh, atas dasar karakteristik sederhana, seperti diameter atau tinggi kedalam kelas-kelas yang telah ditentukan. Istilah umum yang digunakan untuk kelas tersebut disebut frekuensi sebaran. Tidak semua frekuensi sebaran adalah dari ordo simetris. Simetri mutlak
sebenarnya jarang terjadi. Sebaran simetris dapat berupa bentuk kelas-kelas sebagai distribusi normal, yang secara matematis didefinisikan oleh hukum kesalahan normal. (Husch et al. 1972). Pada umumnya hutan-hutan berbeda dalam hal jumlah pohon dan volume per-hektar, luas bidang dasar dan kriteria lainnya. Perbedaan antara tegakan yang rapat dan jarang, lebih mudah dilihat bila menggunakan kriteria pembukaan tajuknya. Sedangkan kerapatan berdasarkan volume, luas bidang dasar, dan jumlah batang per-hektar, dapat diketahui melalui pengukuran (Departemen Kehutanan 1992). Untuk keperluan praktis, tiga kelas kerapatan tajuk telah dibuat, sebagai berikut : 1.
Rapat, bila terdapat lebih dari 70 % penutupan tajuk
2.
Cukup, bila terdapat 40 – 70 % penutupan tajuk
3.
Jarang, bila terdapat kurang dari 40 % penutupan tajuk Hutan yang terlalu rapat pertumbuhannya akan lambat karena persaingan
yang keras terhadap sinar matahari, air, dan zat hara mineral. Kemacetan pertumbuhan akan terjadi. Tetapi tidak lama, karena persaingan diantara pohonpohon akan mematikan yang lemah dan penguasaan oleh yang kuat. Sebaliknya, hutan yang terlalu jarang, terbuka atau hutan rawang, akan menghasilkan pohonpohon dengan tajuk besar dan bercabang banyak, dengan batang yang pendek (Departemen Kehutanan 1992) Suatu hutan yang dikelola dengan baik, adalah hutan yang kerapatannya dipelihara pada tingkat optimum, sehingga pohon-pohonya dapat dengan penuh memanfaatkan air, sinar matahari, dan zat hara mineral dalam tanah. Jelaslah bahwa hutan yang tajuknya kurang rapat, berfungsi kurang efisien, kecuali bila celah terbuka yang ada, diisi dengan permudaan hutan atau pohon-pohon muda. Tempat terbuka tersebut biasanya ditumbuhi gulma yang mengganggu pertumbuhan jenis-jenis pohon utama atau tanaman pokok (Departemen Kehutanan 1992) Banyak upaya yang dilakukan untuk mengukur struktur dan pertumbuhan pada tegakan tidak seumur dan hutan. Dalam keadaan seimbang, hutan tidak seumur diasumsikan mempunyai sebaran diameter berbentuk J terbalik (Meyer 1943; Meyer 1952 dalam Husch 2003) yang dapat dijelaskan menggunakan q-
rasio (DeLiocourt 1989 dalam Husch 2003). Rasio ini sering digunakan sebagai pedoman dalam manajemen (Reynolds 1969; Mosher 1976; Alexander dan Edminister 1977 dalam Husch 2003). Rasio pohon ditunjukkan oleh q-rasio dalam satu kelas diameter pohon pada kelas diameter yang lebih besar. Nilai ini didasarkan pada asumsi bahwa terjadi penurunan jumlah pohon untuk kelas diameter berikutnya serta ukuran pohon yang bertambah besar. Pada saat itu diasumsikan bahwa q-rasio tetap konsisten tiap waktu sehingga digunakan sebagai panduan pengelolaan, dan distribusi diameter dijadikan acuan sebagai distribusi umur yang mewakili hubungan antara umur pohon dengan kematiaan pada tegakan tidak seumur (Husch 2003).
2.7.
Kemencengan atau Kecondongan Kemencengan
atau
kecondongan
(skewness)
adalah
tingkat
ketidaksimeterisan atau kejauhan simetri dari sebuah distribusi. Sebuah distribusi yang tidak simetris akan memiliki rata-rata, median, dan modus yang tidak sama ≠ Me ≠ Mo), sehingga distribusi akan terkonsentrasi pada salah satu
besarnya (
sisi dan kurvanya akan menceng. Jika distribusi memiliki ekor yang lebih panjang ke kanan daripada yang ke kiri maka distribusi disebut menceng ke kanan atau memiliki kemencengan positif. Sebaliknya, jika distribusi memiliki ekor yang lebih panjang ke kiri daripada yang ke kanan maka distribusi disebut menceng ke kiri atau memiliki kemencengan negatif (Hasan 2008). Gambar 1 memperlihatkan kurva dari distribusi yang menceng ke kanan (menceng negatif) dan menceng ke kiri (menceng positif).
(a)
(b)
< Me< Mo
Keterangan :
Mo< Me<
= rata-rata Me = median Mo = modus
Gambar 1 Kemencengan distribusi: (a) Menceng ke kanan, (b) Menceng ke kiri
2.8.
Inventarisasi Hutan Inventarisasi
hutan
adalah
suatu
usaha
untuk
melukiskan
atau
menggambarkan kuantitas dan kualitas pohon-pohon atau tegakan hutan serta berbagai karakteristik areal-areal lahan hutan dimana pohon-pohon tersebut tumbuh dan berkembang (Husch 1971) Lebih jauh Husch (1971) menjelaskan bahwa skala dan kompleksitas inventarisasi hutan terutama dipengaruhi oleh ukuran luas areal hutan yang perlu diketahui dan tujuan yang mengikat hasil informasi yang dipersiapkan. Faktafakta ini akan mempengaruhi ketelitian taksiran-taksiran dan desain inventarisasi yang spesifik. Sutarahardja (1999) menyatakan bahwa inventarisasi hutan merupakan penaksiran dimensi tegakan dapat dilakukan dengan cara pengambilan contoh atau sample. Satuan contoh adalah merupakan satuan-satuan atau individuindividu dari populasi yang dikelompokkan dalam bentuk-bentuk satuan contoh dimana individu dalam satuan contoh tersebut akan diukur atau diamati. Satuan contoh memiliki bentuk dan ukuran. Bentuk satuan contoh tersebut sebagai berikut : 1. Lingkaran (circular plot; circular sampling unit) 2. Empat persegi panjang atau bujur sangkar (rectangular) 3. Jalur coba (strip sampling/line sampling) 4. Tanpa petak (plotless sampling) yaitu point sampling 5. Tree sampling/distance method 6. Petak ukur dalam jalur (line plot sampling) 7. Satellite sampling, bentuk unit contoh gabungan Ukuran satuan contoh dinyatakan dalam luasan tertentu. Dalam satuan hektar, misalnya: 0,02 ha; 0,04 ha; 0,05 ha; 0,1 ha; dan sebagainya (Sutarahardja 1999), untuk bentuk circular dan rectangular plot. Sedangkan ukuran satuan contoh berbentuk tree sampling meliputi banyak jumlah pohon yang tercakup dalam satuan contoh, misalnya: 5 pohon; 6 pohon; 7 pohon; 8 pohon; sampai 12 pohon. Lebih dari itu metode ini kurang efisien.
2.9.
Metode Sampling Sampling adalah suatu cara pengamatan terhadap suatu populasi yang
dilakukan hanya terhadap sebagian populasi yang mewakili seluruh unit yang terdapat di dalam populasi tersebut (Sutarahardja et al. 1982). Sampling adalah pemilihan bagian dari suatu kumpulan material untuk menghadirkan keseluruhan agregat (Yates 1953). Simon (1987) menyatakan bahwa, sampling merupakan teknik yang digunakan pada hampir semua inventarisasi hutan karena alasan-alasan ekonomi. Manfaat teknik sampling adalah sebagai berikut : 1. Untuk memperoleh taksiran nilai sebenarnya dari harga rata-rata total seluruh populasi, bagi parameter tertentu
dari nilai parameter di dalam unit-unit
pencuplikan. 2. Untuk memperoleh taksiran error cuplikan (ketepatan atau batas kepercayaan) pada tingkat peluang tertentu untuk rata-rata taksiran atau nilai total yang diberikan oleh cuplikan. Sutarahardja (1999) mengemukakan bahwa atas dasar kesalahan yang mungkin dibuat dalam pengukuran, maka dalam melakukan pengukuran dilakukan pengambilan contoh yang optimum (tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit). Cara ini disebut sampling methods. Keuntungan cara sampling ini dibandingkan dengan cara sensus (full enumeration), sebagai berikut : 1. Dapat mengurangi biaya 2. Waktu pengukuran relatif singkat 3. Lawas cukup luas 4. Ketelitian tinggi 5. Pekerjaan lapangan lebih mudah
2.10.
Pengelolaan Hutan Mankin (1999) dalam Hapsari (2000) menyatakan bahwa pengelolaan
hutan adalah sebagai berikut : 1. Mempertahankan hutan, fungsi ekologinya, proses dan semua struktur, dalam kondisi yang sehat dan berlangsung terus menerus.
2. Tidak menyebabkan degaradasi tanah dan air. 3. Tidak menimbulkan akibat yang buruk atau kehilangan keanekaragaman hayati, meliputi gen, spesies, ekosistem, dan tipe-tipe hutan. 4. Menerapkan seluruh hutan sebagai suatu kesatuan seluruh ekologi, daripada komponen yang tunggal atau produksi hutan. 5. Dapat sebagai aktif atau pasif, dan tidak mengeksploitasi suatu hasil dari hutan. 6. Dapat dilaksanakan pada ukuran atau skala pengelolaan area, seperti unit pengelolaan hutan tersendiri atau ekosistem, DAS, landscape, tipe hutan, bioregion, bangsa, bagaimanapun juga bahwa pada level yang berbeda, kelangsungan harus dinilai secara keseluruhan wilayah meliputi batas unit yang terdefinisi. 7. Dapat memberikan keuntungan rentang/range lingkungan yang lebar, keuntungan social dan ekonomi dari pengelolaan area dan kemampuannya serta kapasitas carrying. Terdapat beberapa definisi mengenai pengelolaan hutan secara lestari. Hapsari (2000) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengelolaan hutan secara lestari merupakan suatu proses pengelolaan hutan untuk memperoleh satu atau lebih obyek khusus dan jelas dari pengelolaan dengan tujuan untuk keberlangsungan produksi hutan dalam bentuk barang maupun jasa tanpa mengurangi nilai alaminya dan produktivitas masa yang akan datang juga tanpa mengurangi akibat yang diinginkan baik secara fisik maupun sosial dari lingkungan hutan. Pemeliharaan tanaman atau tegakan adalah suatu tindakan atau perlakuan guna memelihara tanaman agar tetap sehat dan pertumbuhannya baik. Pemeliharaan mutlak harus dilaksanakan agar tujuan pembangunan hutan tercapai (Hendromono et al. 2006). Penjarangan
adalah
penebangan
pada
tegakan
muda
untuk
menstimulasikan pertumbuhan tegakan yang ditinggalkan dan menambah hasil keseluruhan pada material yang berharga dari tegakan (Smith 1962 dalam Baker et al. 1987).