BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Demam Tifoid 1. Pengertian Demam Tifoid Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang terdapat pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi ditandai dengan adanya demam 7 hari atau lebih, gangguan pencernaan dan sistem saraf pusat ( sakit kepala, kejang dan gangguan kesadaran)[16]. Demam tifoid juga merupakan penyakit masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka kejadian tinggi pada daerah tropik. Sumber penularan penyakit demam tifoid adalah penderita yang aktif, penderita dalam fase konvalesen, dan kronik karier[1]. Demam Tifoid atau typhus abdominalis, typhoid fever atau enterik fever adalah penyakit sistemik yang akut yang mempunyai karakteritik demam, sakit kepala dan ketidakenakan abdomen berlangsung lebih kurang 3 minggu yang juga disertai gejala-gejala perut pembesaran limpa dan erupsi kulit. Demam tifoid (termasuk para-tifoid) dsebabkan oleh kuman Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B dan Salmonella paratyphi C[17]. Sistem imun memungkinkan tubuh mengenali benda asing yang memasuki tubuh, dan berenspon terhadapnya.limfosi B ditransformasi menjadi sel plasma, yang menghasilkan anti bodi, khas terhadap protein asing tertentu atau antigen, terjadi pada respon imun homoral. Limfosit lain ( limfosi T ) terlibat dalam renspon imun bermedia sel. Berbagai unsur dari mikroorganisme bersifat protein, terkat pada protein, atau berupa molekul karbohidrat besar dan bersifat antigenik[18]. Pada sel bakteri, disebut unsur unsur yang dapat dianggap sebagai antigen somatik (badan sel sendiri) disebut antigen O (antigen permukaan),
6
antigen flagela disebut antigen H atau antigen kapsula pada spesies yang mempunyai fagela. Dibentuknya antibodi berbeda sebagai respon terhadap antigen merupakan petunjuk diagnostik untuk penyakit infeksi[18].
2. Penyebab demam tifoid Penyebab dari penyakit demam tifoid adalah Salmonella typhi, bakteri batang lurus, gram negatif, tidak berspora, bergerak dengan flagel peritrik, berukuran 2-4 µm x 0.5-0,8 µm[19]. Salmonella sp. tumbuh cepat dalam media yang sederhana[20], hampir tidak pernah memfermentasi laktosa dan sukrosa, membentuk asam dan kadang gas dari glukosa dan manosa, biasanya memporoduksi hidrogen sulfide atau H2S[21]. Bakteri ini menyerang saluran pencernaan. Manusia merupakan satu satunya sumber penularan alami Salmonella typhi, melalui kontak langsung maupun tidak langsung penderita demam tifoid atau karier. Karier adalah orang yang telah sembuh dari demam tifoid dan masih menginfeksi bakteri Salmonella typhi dalam tinja atau urin selama lebih dari satu tahun [21]. Sebagian besar dari karier tersebut merupakan karier intestinal (intestinal type), Kekambuhan yang ringan pada karier demam tifoid. Pada karier jenis intestinal, sukar diketahui karena gejala dan keluhannya yang tidak jelas[7].
3. Patogenesis Salmonella sp. adalah bakteri batang lurus, gram negatif, tidak berspora, bergerak dengan flagel peritrik, berukuran 2-4 µm x 0.5-0,8 µm[18]. Salmonella sp. tumbuh cepat dalam media yang sederhana[20], hampir tidak pernah memfermentasi laktosa dan sukrosa, membentuk asam dan kadang gas dari glukosa dan manosa, biasanya memporoduksi hidrogen sulfide. Pada biakan agar koloninya besar bergaris tengah 28milimeter, bulat agak cembung, jernih, smooth, pada media BAP tidak menyebabkan hemolisis pada media Mac Concey koloni Salmonella sp[2].
7
Pola penyebaran penyakit ini adalah melalui saluran cerna (mulut, esofagus, lambung, usus 12 jari, usus halus, usus besar). Salmonella typhi , Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella paratyphi C masuk ke tubuh manusia bersama bahan makanan atau minuman yang tercemar[4]. Saat kuman masuk ke saluran pencernaan manusia, sebagian kuman mati oleh asam lambung dan sebagian kuman masuk ke usus halus. Dari usus halus kuman beraksi sehingga bisa menginfeksi usus halus. Setelah berhasil melampaui usus halus, kuman masuk ke kelenjar getah bening, ke pembuluh darah, dan ke seluruh tubuh (terutama pada organ hati, empedu, dan lain-lain). Sehingga feses dan urin penderita bisa mengandung kuman Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A,salmonella paratyphi B dan Salmonella paratyphi C yang siap menginfeksi manusia lain melalui makanan atau minuman yang tercemari. Pada penderita yang tergolong carrier kuman Salmonella bisa ada terus menerus di feses dan urin sampai bertahun-tahun[22]. Setelah memasuki dinding usus halus, Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, salmonella paratyphi B dan Salmonella paratyphi C mulai melakukan penyerangan melalui system limfa ke limfa yang menyebabkan pembengkakan pada urat dan setelah satu periode perkembangbiakan bakteri tersebut kemudian menyerang aliran darah. Aliran darah yang membawa bakteri juga akan menyerang liver, kantong empedu, limfa, ginjal, dan sumsum tulang dimana bakteri ini kemudian berkembangbiak dan menyebabkan infeksi organ-organ ini. Melalui organ-organ yang telah terinfeksi inilah mereka terus menyerang aliran darah yang menyebabkan bakteremia sekunder. Bakteremia sekunder ini bertanggung jawab sebagai penyebab terjadinya demam dan penyakit klinis[2].
4. Diagnosis laboratorik a. Diagnosis Laboratorium
8
Diagnosis Laboratorium dalam menegakkan diagnosa demam tifoid sangat penting dilakukan karena dapat membantu dalam menentukan hasil pemeriksaan. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh. Biakan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam tifoid. Biakan tinja positif menyokong diagnosis demam tifoid. Peningkatan titer uji Widal memastikan diagnosis demam tifoid pada pasien dengan gambaran klinis yang khas. Dalam pemeriksaan laboraturium dimulai dari pengambilan sampel,
cara
pengumpulan
dan
penanganan
sampel
untuk
pemeriksaan selanjutnya dilakukan uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen[18]. b. Metode Pemeriksaan Demam Tifoid 1) Kultur Gal Diagnosis pasti penyakit demam tifoid yaitu dengan melekukan isolasi bakteri Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B dan Salmonella paratyphi C dari spesimen yang berasal dari darah, feses, dan urin penderita demam tifoid. Pengambilan spesimen darah sebaiknya dilakukan pada minggu pertama timbulnya penyakit, karena kemungkinan untuk positif mencapai 80-90%, khususnya pada pasien yang belum mendapat terapi antibiotik. Pada minggu ke-3 kemungkinan untuk positif menjadi 20-25% and minggu ke-4 hanya 10-15%[10]. 2) Widal Penentuan kadar aglutinasi antibodi terhadap antigen O dan H dalam darah Pemeriksaan Widal memberikan hasil negatif sampai 30% dari sampel biakan positif penyakit tifus, sehingga hasil tes Widal negatif bukan berarti dapat dipastikan tidak terjadi infeksi.
9
Pemeriksaan tunggal penyakit tifus dengan tes Widal kurang baik karena akan memberikan hasil positif bila terjadi infeksi berulang karena bakteri Salmonella, imunisasi penyakit tifus sebelumnya ,Infeksi lainnya seperti malaria dan lain-lain[10]. 3) TubexRTF Pemeriksaan Anti Salmonella typhi IgM dengan reagen TubexRTF sebagai solusi pemeriksaan yang sensitif, spesifik, praktis untuk mendeteksi penyebab demam akibat infeksi bakteri Salmonella typhi Pemeriksaan Anti Salmonella typhi IgM dengan reagen TubexRTF dilakukan untuk mendeteksi antibody terhadap antigen lipopolisakarida O9 yang sangat spesifik terhadap bakteri Salmonella typhi[10]. 4) Metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi Salmonella typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang[10]. 5) Pemeriksaan IgM dipstik tes Uji serologis dengan pemeriksaan IgM dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen
lipopolisakarida
(LPS)
Salmonella
typhi
dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM antihuman
immobilized
sebagai
reagen
kontrol.
Metode
ini
mempunyai sensitifitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%)[15].
10
B. Tes widal 1.
Pengertian Widal test merupakan tes serologi suatu uji serum darah dengan aglutinasi untuk mendiagnosa demam tifoid. Prinsip pemeriksaan menggunakan tes widal adalah reaksi aglutinasi yang terjadi pada serum penderita setelah dicampur dengan suspense antigen Salmonella. Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin) pada serum penderit[23-24]. Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya kemudian diperiksa Widal hal ini menghalangi respon antibodi[25]. Pada pemeriksaan uji Widal terdapat beberapa antigen yang dipakai sebagai parameter penilaian hasil uji Widal, Antigen tersebut adalah a.
Antigen O Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100°C selama 2–5 jam pada alkohol dan asam yang diencerkan. Dengan serum yang mengandung anti O, antigen ini mengadakan aglutinasi dengan lambat membentuk gumpalan berpasir [1].
b.
Antigen H Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili Salmonella typhi dan berstruktur kimia protein. Salmonella typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau asam[1].
c.
Antigen Vi Antigen Vi ini terdapat pada kapsul K yang terletak pada bagian paling pinggir dari kuman. Strain yang baru diisolasi dengan anti sera
11
yang mengandung agglutinin anti O dan antigen Vi dirusak oleh pemanasan selama satu jam pada 60ºC dan oleh asam fenol. Biakan
yang mempunyai antigen Vi cenderung lebih virulen[26]. Dari ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin[26]. Dari ketiga anglutinin ( O, H, vi ) hanya anglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diangnosis, semakin tinggi titer anglutininnya semakin besar pula kemungkinan untuk diagnosis demam tifoid. Pada infeksi yang aktif titer anglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling sedikit lima hari[24, 27]. Tes Widal merupakan serologi baku dan rutin digunakan[1]. Hasil positif Widal akan memperkuat dugaan terinfeksi Salmonella typhi pada penderita[1]. Saat ini walaupun telah digunakan secara luas, namun belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point)[28]. Beberapa keterbatasan uji Widal adalah: 1) Positif Palsu Merupakan sebuah pengukuran untuk mengetahui probabilitas seorang pasien benar-benar mengidap suatu penyakit[29]. Nilai Positif palsu dihitung dengan membandingkan hasil benar positif dengan seluruh hasil tes positif menurut uji skrining (True Positif dan Palse Positif) dalam persen. Semakin tinggi kemampuan tes skrining memperkirakan seseorang menderita penyakit akan membantu petugas kesehatan memberikan penanganan yang tepat dan segera[30]. 2) Negatif Palsu Menggambarkan probabilitas seorang pasien benar-benar tidak mengidap suatu penyakit[29]. Nilai negatif palsu dihitung dengan membandingkan hasil benar negatif dengan seluruh hasil tes negatif menurut uji skrining (True negatif dan palse negatif)
12
dalam per sen. Semakin tinggi kemampuan tes skrining memperkirakan seseorang tidak menderita suatu penyakit akan sangat
membantu
petugas
kesehatan
menghindarkan
penanganan atau pengobatan yang tidak perlu sehingga terhindar dari efek samping pengobatan[30]. 2.
Interprestasi hasil Besar titer antibodi untuk diagnosis demam tifoid di lndonesia belum terdapat kesesuaian. Dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa kegunaan uji Widal untuk diagnosis demam tifoid bergantung prosedur yang digunakan di masing masing rumah sakit atau laboratorium. Menurut penelitian wardhani uji Widal dianggap positif bila titer antibodi 1/160, baik untuk aglutinin O maupun H. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan orang menderita demam tifoid[31]. Kriteria hasil uji Widal dinilai positif apabila memenuhi ketentuan Titer aglutinin O dan H sebesar atau sama dengan titer aglutinin yang ditetapkan sebagai titer diagnostik berdasarkan batas atas nilai rujukan titer aglutinin yang telah ditentukan. Setiap daerah memiliki standar anglutinin Widal yang berbeda beda. Nilai standar agglutinin Widal untuk beberapa wilayah endemis di Indonesia adalah di Yogyakarta titer O dan H > 1/160, Surabaya titer O dan H > 1/160, Manado titer O dan H > 1/80, Jakarta titer O dan H > 1/80, Makasar titer O dan H 1/320[32]. Cara kerja reaksi Widal untuk mendeteksi titer Salmonella yang digunakan untuk penetapan titer antibodi dalam serum sebagai berikut[32]: a.
Pengenceran 1 : 160, dibuat dengan cara memipet serum 10 μL ditambah dengan 1 tetes (40 μL) reagen Salmonella. Apabila terjadi aglutinasi dihitung titer antibodinya. Perhitungan per titer antibodi adalah 10 x 1/1600 = 1/160
b.
Pengenceran 1 : 320, dibuat dengan cara memipet serum 10 μL ditambah dengan 1 tetes (40 μL) reagen Salmonella. Apabila terjadi
13
aglutinasi dihitung titer antibodinya. Perhitungan per titer antibodi adalah 5 x 1/1600 = 1/320 c.
Pengenceran 1 : 640, dibuat dengan cara memipet serum 10 μL ditambah dengan 1 tetes (40 μL) reagen Salmonella. Apabila terjadi aglutinasi dihitung titer antibodinya. Perhitungan per titer antibodi adalah 2,5 x 1/1600 = 1/640 Titer antigen O dan H 1/160 menunjukkan hasil positif karena
terdapat anglutinasi yang ditandai dengan adanya granula seperti pasir. Pada titer 1/160 perlunya dilakukan pemeriksaan ulang setelah 5 hari dari pemeriksaan, guna melihat kenaikan titer. pada infeksi yang aktif titer uji Widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari. Titer 1/320 menunjukkan bahwa sampel daarah penderita yang digunakan mengalami infeksi sedang atau ringan. Titer 1/640 menunjukkan bahwa sampel penderita mengalami fase kronis atau berat dan perlunya dilakukan penanganan yang lebih lanjut. Semakin tinggi serum yang digunakan dan terdapat granula menunjukkan tingkat infeksi kuman Salmonella typhi[31-32].
3.
Kegunaan Kegunaan uji Widal untuk menentukan titer aglutinin yang meningkat dalam serum penderita demam tifoid. Penentuan titer Widal dilihat dari kenaikan titer antibodi dalam darah terhadap antigen O dan antigen H dua kali dari titer sebelumnya yaitu 1/160. Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid yang sampai saat ini dilakukan adalah dengan metode konvensional, yaitu uji serologi tes Widal karena bersifat mudah dan cepat diketahui hasilnya[10].
4.
Kelemahan Kelemahan yang penting dari penggunaan uji Widal sebagai sarana penunjang diagnosis demam tifoid yaitu spesifisitas yang agak rendah dan kesukaran untuk menginterpretasikan hasil, sebab adanya faktor yang
14
mempengaruhi kenaikan titer. Selain itu antibodi terhadap antigen H bahkan mungkin dijumpai dengan titer yang lebih tinggi, yang disebabkan adanya reaktifitas silang yang luas sehingga sukar untuk diinterpretasikan[25]. Faktor faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan Widal a.
Faktor faktor yang berhubungan dengan penderita[24] : 1) Keadaan umum gizi penderita Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi. 2) Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit Aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah penderita mengalami sakit selama satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam sakit. 3) Pengobatan dini dengan antibiotik Pemberian
antibiotik
dengan
obat
antimikroba
dapat
menghambat pembentukan antibodi. 4) Penyakit-penyakit tertentu Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi pembentukan antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma lanjut. 5) Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat pembentukan antibodi. 6) Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya rendah. Di daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-orang yang sehat. 7) Vaksin Pada orang yang divaksin demam tifoid titer anglutinin O dan H akan meningkat. b.
Faktor-faktor teknis 1) Aglutinasi silang
15
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji widal 2) Konsentrasi suspensi antigen Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan mempengaruhi hasilnya. 3) Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen Daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain.
C. Tes IgM Salmonella typhi 1.
Pengertian Tes IgM Salmonella typhi merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat dengan menggunakan partikel yang berwarna dan meningkatkan sensitivitas yang digunakan untuk mendeteksi Salmonella typhi dalam darah, serum dan plasma manusia. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O yang benarbenar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella[5].
2.
Prinsip pemeriksaan Metode pemeriksaan yang digunakan adalah Inhibition Magnetic Binding Immunoassay. Antibodi IgM terhadap antigen 09 LPS dideteksi melalui kemampuannya untuk menghambat interaksi antara kedua tipe partikel reagen yaitu indikator mikrosfer lateks yang disensitisasi dengan antibodi monoklonal anti 09 (reagen berwarna biru) dan mikrosfer magnetik yang disensitisasi dengan LPS Salmonella typhi (reagen berwarna coklat). Setelah sedimentasi partikel dengan kekuatan magnetik, konsentrasi partikel indikator yang tersisa dalam cairan menunjukkan daya inhibisi. Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah
16
setara dengan konsentrasi antibodi IgM Salmonella typhi dalam sampel. Hasil dibaca secara visual dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna[33].
3.
Kegunaan IgM Salmonella typhi ini dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen lipopolisakarida (LPS) Salmonella typhi dengan menggunakan
membran
nitroselulosa
yang
mengandung antigen
Salmonella typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Metode ini mempunyai sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%)[15].
D. Uji Diagnostik Uji diagnostik merupakan suatu uji penelitian yang bertujuan yaitu untuk menegakkan diagnosis atau menyingkirkan penyakit, untuk skrining, pengobatan pasien dan untuk studi epidemiologi. Uji diagnostik baru harus memberi manfaat yang lebih dibanding uji yang sudah ada, meliputi beberapa hal yaitu : 1. Nilai diagnostik tidak jauh berbeda dengan uji diagnostik standar 2. Memberi kenyamanan bagi pasien (tidak invasif) 3. Lebih mudah atau sederhana 4. Lebih murah atau dapat mendiagnosis pada fase lebih dini Struktur uji diagnostik memiliki variabel prediktor yaitu hasil uji diagnostik dan variabel hasil akhir atau outcome yaitu sakit tidaknya seorang pasien yang ditentukan oleh pemeriksaan dengan baku emas[34]. Baku emas atau gold standard adalah standar untuk pembuktian ada atau tidaknya penyakit pada pasien, dan merupakan sarana diagnostik terbaik yang ada. Baku emas yang ideal selalu memberikan hasil positif pada semua subjek dengan penyakit dan hasil negatif pada semua subjek sehat. Dalam praktek hanya sedikit baku emas yang ideal, sehingga kita sering memakai uji
17
diagnostik terbaik yang ada sebagai baku emas. Kata terbaik memiliki makna bahwa uji diagnostik tersebut mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi[34]. Tabel 2.1 Uji Diagnostik Hasil Uji
Positif Negatif
Penentuan Baku Emas Positif Negatif Positif Benar Positif semu Negatif semu Negatif Benar Sensitifitas Spesifisitas
Nilai Ramal Positif Nilai Ramal Negatif
Hasil uji diagnostik disajikan dalam tabel 2 x 2. Hasil positif benar dimasukkan dalam sel a, hasil positif semu dalam sel b, hasil negatif semu dalam sel c, dan hasil negatif benar dalam sel d. Dari hasil tersebut dihitung nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai ramal positif, nilai ramal negatif dan likelihood ratio dengan rumus sebagai berikut[34]: 1. Sensitivitas
= a : (a + c)
2. Spesifisitas
= d : (b + d)
3. Nilai ramal positif = a : (a + b) 4. Nilai ramal negatif = d : (c + d) Sensitivitas adalah kemampuan suatu tes untuk mengidentifikasi atau mendiagnosa individu dengan tepat, dengan hasil tes positif dan benar sakit[35]. Sensitivitas ditunjukkan oleh probabilitas hasil tes benar positif dibandingkan hasil positif menurut standar (gold standart). Probabilitas dalam per sen dihitung dengan membagi hasil pemeriksaan benar positif dengan jumlah hasil pemeriksaan benar positif dan negatif palsu. Semakin tinggi nilai sensitivitas sebuah tes maka semakin baik kemampuan mendeteksi
seseorang
menderita
memperoleh penanganan dini
[29]
penyakit
tertentu
sehingga
dapat
. Tujuan Pengukuran Sensitivitas
untuk
menghitung banyaknya orang yang sungguh-sungguh dinyatakan terkena penyakit dengan hasil tes positif[29]. Spesifisitas adalah kemampuan suatu tes untuk mengidentifikasi atau mendiagnosa dengan tepat dengan hasil tes negatif dan benar tidak sakit[35]. Spesifisitas ditunjukkan oleh probabilitas hasil tes benar negatif dibandingkan hasil negatif menurut standar (gold standart). Probabilitas dalam per sen 18
dihitung dengan membagi hasil pemeriksaan benar negatif (true negatif) dengan jumlah hasil pemeriksaan benar negatif dan positif palsu. Semakin tinggi nilai spesifisitas sebuah tes skrining maka semakin baik kemampuan mendeteksi
seseorang
tidak
menderita
penyakit
tertentu[30].
Tujuan
Pengukuran Spesifisitas untuk menghitung banyaknya orang yang tidak mengidap suatu penyakit dengan hasil tes negatif[29]. Penilaian dari hasil uji tersebut dengan menghitung sensitifitas dan spesifisitas untuk menggetahui dari beberapa kelemahan seperti, tidak semua hasil dari pemeriksaan dapat dinyatakan dengan tegas atau tidak terkenanya penyakit. Untuk mengatasi kelemahan ini dilakukan perhitungan nilai kecermatan dengan tujuan untuk menaksir banyaknya orang yang benar-benar menderita dari semua hasil tes yang positif. Dari hasil tersebut dihitung nilai sensitivitas, spesifisitas, positif palsu dan
negatif palsu yang ditentukan
dengan rumus sebagai berikut[35] Tabel 2.2 Rumus Penilaian Uji Diagnostik Keterangan Sensitifitas Spesifisitas Nilai Positif Palsu Nilai Negatif Palsu
keterangan
Rumus a : (a + c) d : (b + d) a : (a + b) d : (c + d)
a = positif benar b = positif palsu c = negatif palsu d = negatif benar
Nilai kecermatan positif adalah proporsi jumlah yang sakit terhadap semua hasil tes yang positif, yang dihitung dengan rumus :
y
a (ab)
Nilai kecermatan negatif adalah proporsi jumlah yang tidak sakit terhadap hasil tes negatif, yang dihitung dengan rumus : z
d (c d )
19
Nilai positif palsu adalah jumlah hasil tes positif palsu dibagi dengan jumlah seluruh hasil tes positif, yang dihitung dengan rumus : b (a b)
Nilai negatif palsu adalah jumlah hasil tes negatif palsu dibagi dengan jumlah seluruh hasil tes negatif, yang dihitung dengan rumus : c (c d )
E. Kerangka Teori Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan maka dapat disusun kerangka teori sebagai berikut : Terbentuknya aglitinin
Diagnosis
IgM salmonella typhi
Reaksi aglutinasi antigen dan antibodi
Widal
Demam tifoid Antigen Antigen O,H dan vi
lipopolisakarida Salmonella typhi
Masa inkubasi 814 hari
20