BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengendalian Internal Pengendalian dibutuhkan untuk mengurangi penyingkapan (exposure). Sebuah
organisasi adalah subyek untuk beragam penyingkapan yang bisa memiliki sebuah efek kebalikan atas operasionalnya atau bahkan keberadaannya yang dapat hidup terus. Sebuah penyingkapan (exposure) terdiri dari efek keuangan potensial dari sebuah kejadian dikalikan dengan kemungkinan terjadinya. Istilah risiko adalah sinonim dengan kemungkinan terjadinya. Jadi, sebuah penyingkapan (exposure) adalah sebuah risiko dikali konsekuensi keuangannya.
2.1.1
Pengertian Pengendalian Internal Di dalam mengendalikan seluruh kegiatan perusahaan, manajemen perusahaan
membutuhkan suatu sistem pengendalian yang dapat mengamankan harta perusahaan, yang dapat memberikan keyakinan bahwa apa yang dilaporkan oleh bawahan adalah benar dan dapat dipercaya, serta yang dapat mendorong adanya efisiensi usaha sehingga dapat terus menerus memantau bahwa kebijaksanaan yang telah ditetapkan memang dijalankan sesuai dengan yang diharapkan. Setiap perusahaan tentunya memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai, oleh karena itu diperlukan aktivitas dan prosedur yang dapat digunakan untuk menghindari terjadinya penyimpangan. Struktur pengendalian internal yang baik dan memadai dapat mencegah setiap kesalahan dan penyimpangan sehingga akan mengurangi resiko sampai dengan tingkat resiko terendah yang dapat diterima. Sistem pengendalian yang ada di perusahaan bukanlah bermaksud untuk meniadakan semua penyimpangan dan kesalahan, namun untuk menekankan terjadinya kesalahan dan penyimpangan tersebut dalam batas-batas yang layak dan dapat diatasi dengan cepat dan tepat. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, maka penulis mengemukakan beberapa pendapat tentang pengertian pengendalian internal. Menurut Bodnar dan Hopwood (2004:108) adalah sebagai berikut :
“Internal control is a process effected by an entity’s board of director, management, and the other personal, designed to provide reasonable assurance regarding achievement of objectives in the following categories : 1. Reliability of financial reporting 2. Effectiveness and efficiency of operation, and 3. Complience with applicable laws and regulations” Jadi pengendalian internal adalah proses yang dapat mempengaruhi manajemen dan karyawan dalam menyediakan secara layak suatu kepastian mengenai prestasi yang diperoleh secara objektif dalam penerapannya tentang bagian laporan keuangan yang dapat dipercaya, diterapkannya efisiensi dan efektifitas dalam kegiatan operasional perusahaan dan diterapkannya peraturan dan hukum yang berlaku agar ditaati oleh semua pihak. Definisi tersebut menunjukkan bahwa tujuan pengendalian internal adalah : 1. Keandalan laporan keuangan 2. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas operasi perusahaan 3. Mendorong dipatuhi undang–undang dan peraturan–peraturan yang ditetapkan manjemen. Pengendalian internal menurut Ikatan Akuntansi Indonesia (2001) adalah sebagai berikut : “pengendalian intern adalah suatu proses yang dijalankan oleh dewan komisaris, manajemen, dan porsonel lain entitas yang didesain untuk memberikan keyakinan memadai tentang pencapaian tiga golongan tujuan, yaitu (a) keandalan pelaporan keuangan, (b)efektivitas dan efisiensi operasi, dan (c) kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.” Menurut Warren-Reeve-Fess, yang dialih bahasakan oleh Aria Farahmita, (2005;235) pengendalian internal (Internal control) adalah sebagai berikut : “Pengendalian internal (Internal Control) adalah kewajiban dan prosedur yang melindungi aktiva perusahaan dari kesalahan penggunaan, memastikan bahwa informasi usaha yang disajikan akurat dan meyakinkan bahwa hukum serta peraturan telah diikuti” Menurut The Committee Of Sponsoring Organization (COSO), yang dikutip oleh Bodnar dan Hopwood (2004:108) definisi Internal control adalah sebagai berikut: “Internal control is a process, effected by an entity’s board of directors, management and other personnel, designed to provide reasonable assurance regarding the achievement of objectives in the following categories: Effectiveness and efficiency of operations
Reliability of financial reporting Compliance with applicable laws and regulations“ Menurut pengertian diatas dapat diartikan bahwa pengendalian internal adalah suatu proses yang dipengaruhi oleh dewan direksi, manajemen, personel satuan usaha lainnya, yang dirancang untuk mendapatkan keyakinan memadai tentang pencapaian tujuan dalam hal-hal berikut : Efektivitas dan efisiensi operasi Keandalan pelaporan keuangan Kesesuaian dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku
Sedangkan menurut Arrens (2008;290) menjelaskan internal control adalah sebagai berikut : “the system consists of many specific polices and procedures designed to provide management with reasonable assurance that goal objectives it believed important to the entity will be met, these polices and procedures are often called controls, and collectively they comprise the entity’s internal control” Dari definisi di tersebut dikatakan bahwa internal control terdiri dari berbagai kebijakan dan prosedur yang ditetapkan atau dirancang dengan tujuan untuk menyediakan bagi manajemen suatu jaminan atau kepastian yang layak bahwa sasaran dan tujuan pengendalian internal akan dapat dicapai. Berbagai kebijakan dan prosedur ini seringkali berfungsi sebagai pengendalian, dan pada saat yang bersamaan berbagai kebijakan dan prosedur tersebut terdiri dari kesatuan pengendalian internal. Yang dimaksud dengan kebijakan di sini adalah suatu ketentuan yang mengharuskan, membimbing atau membatasi tindakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Sedangkan prosedur dalam internal control meliputi tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas dan merupakan metode langkah demi langkah secara pasti dalam memecahkan suatu masalah. Pengendalian internal yang baik adalah pengendalian yang mampu menjamin laporan keuangan yang handal dan dapat dipercaya, operasi perusahahaan yang efisien dan efektif, dan ketaatan perusahaan pada perundang-undangan, peraturan-peraturan dan kebijakan manajemen yang telah ditetapkan. Suatu perusahaan yang mempunyai pengendalian internal yang baik akan menghasilkan informasi yang dapat dipercaya
sehingga nantinya akan dapat memudahkan manajemen dalam proses pengambilan keputusan. Suatu sistem akuntansi harus menyajikan informasi yang diperlukan manajemen untuk pelaporan kepada pemilik, kreditur, dan pihak lain yang berkepentingan, dan untuk mengelola perusahaan itu sendiri. Disamping itu, sistem akuntansi harus membantu manajemen dalam pengendalian operasi perusahaan. Prosedur rinci dan kebijakan yang dipergunakan manajemen untuk mengendalikan operasi perusahaan adalah pengendalian internal (internal control).
2.1.2
Unsur Pengendalian Internal Pengendalian internal setiap perusahaan berbeda-beda, tergantung jenis, sifat ,dan
besar atau kompleksitas usaha perusahaan tersebut. Oleh karena itu tidak ada pengendalian internal yang universal yang dapat diterapkan pada seluruh jenis perusahaan. Namun demikian terdapat unsur-unsur dasar yang perlu ada untuk menciptakan suatu pengendalian internal yang memadai. Menurut Bodnar dan hopwood (2004;108) unsur-unsur pengendalian internal adalah sebagai berikut : “An organization’s internal process consists of five elements : (1). The control environtment, (2). Risk assessament, (3). Control activities, (4). Information and communication, (5). Monitoring.” Unsur-unsur pengendalian internal dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Lingkungan pengendalian (control environment) Lingkungan Pengendalian adalah efek kumpulan dari beragam faktor pada pembuatan, penguatan, atau mengurangi efektivitas dari kebijakan dan prosedur khusus. Dengan kata lain, lingkungan control mengatur keseluruhan nada dari organisasi dan mempengaruhi kesadaran control karyawan. Faktor yang disertakan dalam lingkungan control adalah sebagai berikut : a. Nilai integritas dan etika b. Komitmen kepada kompetensi c. Filosofi manajemen dan gaya operasional d. Perhatian dan arahan yang diberikan oleh dewan direksi dan komitenya e. Cara memberikan otoritas dan tanggung jawab
f. Kebijakan dan prosedur Sumber Daya Manusia (SDM) g. Struktur organisasi 2. Penilaian Resiko (risk assessament) Penilaian resiko adalah mengidentifikasikan, menganalisis dan mengatur resiko yang mempengaruhi tujuan perusahaan. Langkah yang paling kritis dalam penilaian resiko adlah mengidentifikasi perubahan kondisi internal dan eksternal, serta tindakan yang terkait yang mungkin diperlukan. Resiko yang timbul biasanya meliputi : a. Perubahan dalam lingkungan operasi perusahaan b. Karyawan baru c. Sistem informasi baru d. Pertumbuhan yang pesat e. Teknologi baru f. Lingkungan produksi atau kegiatan baru g. Restrukturisasi perusahaan h. Operasi perusahaan secara internal i. Kepastian akuntansi 3. Aktivitas Pengendalian (control activities) Aktivitas pengendalian adalah kebijakan dan prosedur yang dibuat untuk membantu
menjamin
bahwa
arahan
manajemen
dijalankan.
Aktivitas
pengendalian dapat berupa pengendalian akuntansi yang dirancang untuk memberikann jaminan yang masuk akal/ memadai bahwa tujuan pengendalian tertentu tercapai untuk setiap system aplikasi yang material dalam organisasi. a. Rencana organisasi mencakup pemisahan tugas untuk mengurangi peluang seseorang dalam suatu posisi pekerjaan tertentu untuk melakukan kecurangan atau kesalahan menjalankan tugas sehari-hari. b. Prosedur mencakup perancangan dan penggunaan dokumentasi dan catatan yang berguna untuk memastikan pencatatan transaksi dan kejadian yang tepat. c. Akses terhadap aktiva hanya diberikan sesuai dengan otorisasi manajemen d. Cek independen dan peninjauan dilakukan sebagai wujud akuntabilitas kekayaan perusahaan dan kinerja.
e. Pengendalian proses informasi diterapkan untuk mengecek kelayakan otorisasi, keakuratan, dan kelengkapan setiap transaksi. 4. Informasi dan Komunikasi (Information and Communication) Informasi dan komunikasi adalah menangkap dan menukar informasi dalam melaksanakan tanggung jawab masing-masing. 5. Pengawasan (Monitoring) Pengawasan adalah suatu proses yang menguji dan menilai kualitas kinerja pengendalian internal perusahaan pada suatu waktu. Pemantauan melibatkan penilaian rancangan dan pengoperasian pengendalian dengan dasar waktu dan mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan.
2.1.3
Tujuan Pengendalian Internal Pengendalian internal yang diterapkan oleh manajemen harus memadai agar
dapat mencapai tujuan yang diharapkan, adapun tujuan pengendalian internal menurut The Committe Of Sponsoring Organization (COSO) yang dikutip oleh Bodnar dan Hopwood (2004:108) adalah sebagai berikut : “Internal control is a process effected by an entity’s board of director, management, and the other personal, designed to provide reasonable assurance regarding achievement of objectives in the following categories : 1. Reliability of financial reporting 2. Effectiveness and efficiency of operation, and 3. Complience with applicable laws and regulations” Jadi pengendalian internal adalah proses yang dapat mempengaruhi manajemen dan karyawan dalam menyediakan secara layak suatu kepastian mengenai prestasi yang diperoleh secara objektif dalam penerapannya tentang bagian laporan keuangan yang dapat dipercaya, diterapkannya efisiensi dan efektifitas dalam kegiatan operasional perusahaan dan diterapkannya peraturan dan hukum yang berlaku agar ditaati oleh semua pihak. Definisi tersebut menunjukkan bahwa tujuan pengendalian internal adalah : 1. Keandalan laporan keuangan 2. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas operasi perusahaan 3. Mendorong
dipatuhi
ditetapkan manjemen.
undang–undang
dan
peraturan–peraturan
yang
Adapun tujuan pengendalian internal menurut AICPA (American Institute Certified Public Accountan) yang dikutip dan dialih bahasakan oleh Azhar (2001;136) adalah sebagai berikut : “(1 )Efektivitas dan efisiensi operasi (effectiveness and efficiency of Operation), (2)Keandalan atas laporan keuangan (Reliability of Financial Reporting), dan (3)Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan-peraturan yang berlaku (Complience with Applicable Laws and Regulation)” Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. “Efektivitas dan efisiensi operasi (effectiveness and efficiency of Operation) Pengendalian internal dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari semua operasi perusahaan sehingga dapat mengendalikan biaya yang bertujuan untuk mencapai tujuan operasi. 2. Keandalan atas laporan keuangan (Reliability of Financial Reporting) Pengendalian internal dimaksudkan untuk meningkatkan keandalan data serta catatan-catatan akuntansi dalam bentuk laporan keuangan dan laporan manajemen sehingga tidak menyesatkan pemakai laporan tersebut dan dapt diuji kebenarannya. 3. Kepatuhan
terhadap
hukum
dan
peraturan-peraturan
yang
berlaku
(Complience with Applicable Laws and Regulation) Pengendalian internal dimaksudkan untuk meningkatkan kepatuhan yang telah ditetapkan merupakan alat pengendalian dari berbagai kegiatan perusahaan yang harus ditaati dan dijalankan oleh setiap unit operasi.”
2.1.4
Prosedur-prosedur Pengendalian Prosedur-prosedur
pengendalian
memiliki
beragam
tujuan
dan
dapat
diaplikasikan ke berbagai tingkatan dalam suatu organisasi. Menurut Bodnar dan Hopwood, yang dialih bahasakan oleh Amir Abadi Jusuf (2000:182) tentang prosedur pengendalian adalah sebagai berikut: “Prosedur-prosedur pengendalian merupakan kebijakan dan prosedurprosedur yang tercakup dalam lingkungan pengendalian dan sistem akuntansi yang harus ditetapkan oleh manajemen untuk memberikan jaminan yang memadai bahwa tujuan tertentu akan dapat dicapai”
Pengendalian akuntansi intern meliputi rencana organisasi dan prosedur-prosedur dan pencatatan-pencatatan yang berhubungan dengan penjagaan aktiva dan kelayakan laporan keuangan. Pengendalian akuntansi intern dirancang untuk memberikan jaminan memadai bahwa tujuan-tujuan tertentu telah sesuai dengan setiap sistem aplikasi yang signifikan di dalam organisasi. Berdasarkan kutipan diatas dapat dijelaskan prosedur-prosedur pengendalian yang tercakup dalam lingkungan pengendalian dan sistem akuntansi sebagai berikut: a. Otoritas transaksi dan aktivitas-aktivitas yang memadai. Otorisas membatasi aktivitas transaksi atau kinerja-kinerja hanya pada orangorang terpilih. Otorisasi mencegah terjadinya transaksi dan aktivitas-aktivitas yang tidak diotorisasi. Otorisasi yang mencukupi atas transaksi dan aktivitasaktivitas penting jika manajemen menginginkan jaminan yang memadai untuk tercapainya tujuan-tujuan pengendalian b. Pemisahan tugas (pemisahan fungsi organisasi) Pemisahan tugas diperlukan untuk mengurangi kemungkinan bagi seseorang untuk berada dalam posisi melakukan kekeliruan dan ketidakberesan serta mengoreksinya sendiri. Pemisahan tugas diimplementasikan dengan memberikan tanggung jawab otoritas transaksi, pencatatan transaksi, dan penanganan fisik aktiva dilakukan oleh fungsi-fungsi yang terpisah. c. Dokumen dan catatan yang memadai. Prosedur-prosedur ini harus mencakup perancangan dan penggunaan dokumen dan catatan yang memadai untuk membantu meyakinkan adanya pencatatan transaksi dan kejadian-kejadian secara memadai. Dokumen dan catatan merupakan media fisik yang digunakan untuk menyimpan informasi. d. Pembatasan Akses Terhadap Aktiva Akses ke aktiva hanya diperbolehkan sesuai dengan otorisasi manajemen. Hal ini mensyaratkan pengendalian dan penjagaan fisik atas aktiva dan penggunaan aktiva dan pencatatan. e. Pengecekan Independen atas Kinerja. Pertanggungjawaban tertulis atas aktiva harus dibandingkan dengan aktiva yang ada, dalam suatu interval yang memadai dan tindakan yang tepat diambil sesuai dengan perbedaan-perbedaan yang terjadi.
2.1.5
Sarana Untuk Mencapai Kontrol Menurut Sawyer yang dialihbahasakan oleh Desi Adhariani (2005:77), beberapa
sarana operasional yang dapat digunakan manajer untuk mengendalikan fungsi di dalam perusahaan adalah sebagai berikut: “Organisasi, kebijakan, prosedur, personalia, akuntansi, penganggaran dan pelaporan” Untuk setiap sarana kontrol ini, terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kecukupan dan efektivitas sistem kontrol. Berdasarkan kutipan diatas dapat dijelaskan mengenai sarana tersebut: a. Organisasi Organisasi sebagai sarana kontrol, merupakan struktur peran yang disetujui untuk orang-orang di dalam perusahaan sehingga perusahaan dapat mencapai tujuannya secara efisien dan ekonomis. 1. Tanggung jawab harus dipisahkan sehingga tidak ada satu orang yang mengendalikan semua tahap transaksi 2. Manajer harus memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam pelaksanaan tanggung jawabnya. 3. Tanggung jawab seseorang harus didefinisikan dengan jelas sehingga tidak kekurangan atau kelebihan 4. Pegawai yang menyerahkan tanggung jawab dan mendelegasikan wewenang ke bawahan harus memiliki sistem tindak lanjut yang efektif untuk memastikan bahwa tugas telah dilaksanakan dengan baik. 5. Orang yang mendelegasikan tugas harus disyaratkan untuk melaksanakan kewenangan tersebut dengan pengawasan yang ketat. Tetapi mereka bias memeriksa bersama atasan bila terjadi kesalahan. 6. Karyawan harus mempertanggung jawabkan tugasnya ke atasan. 7. Organisasi harus cukup fleksibel untuk memungkinkan terjadinya perubahan dalam struktur jika rencana operasi, kebijakan, dan tujuan berubah. 8. Struktur organisasi haruslah sesederhana mungkin.
9. Bagan dan manual organisasi harus dipersiapkan untuk membantu perubahan rencana dan kontrol dalam, juga memberikan pemahaman yang lebih baik tentang organisasi, rantai wewenang dan pemberian tanggung jawab. b. Kebijakan-kebijakan Suatu kebijakan (policy) adalah pernyataan prinsip yang membutuhkan, menjadi pedoman, atau membatasi tindakan. Kebijakan harus mengikuti prinsip-prinsip tertentu: 1. Kebijakan harus dinyatakan dengan jelas secara tertulis, disusun secara sistematis dalam bentuk buku pegangan, manual atau jenis publikasi lainnya, dan disetujui dengan semestinya. 2. Kebijakan haruslah dikomunikasikan secara sistematis ke semua pegawai dan pegawai yang berwenang di organisasi 3. Kebijakan haruslah sesuai dengan hokum dan aturan yang berlaku, dan harus konsisten dengan tujuan dan kebijakan umum yang ditetapkan di tingkat yang lebih tinggi. 4. Kebijakan harus dirancang untuk meningkatkan pelaksanaan aktivitas secara efektif, efisien, dan ekonomis dan memberikan tingkat keyakinan yang memuaskan bahwa sumber daya perusahaan telah dijaga dengan semestinya. 5. Kebijakan harus ditelaah secara periodic, dan harus direvisi jika kondisi berubah. c. Prosedur-prosedur Prosedur (procedur) adalah sarana yang digunakan untuk melaksanakan aktivitas sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. Prinsip yang diterapkan pada kebijakan juga bias diterapkan untuk prosedur. Sebagai tambahan: 1. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kecurangan dan kesalahan, prosedur harus dikoordinasikan sedemikian rupa sehingga pekerjaan seorang karyawan secara otomatis diperiksa oleh karyawan lain yang melaksanakan tugas lain secara terpisah dan independen. Dalam menentukan luas pemerikasaan internal secara otomatis yang harus diterapkan dalam sistem kontrol, faktor-faktor seperti resiko, biaya prosedur preventif, ketersediaan karyawan, dampak operasional dan kemungkinan untuk dikerjakan harus dipertimbangkan.
2. Untuk menjaga operasi-opeerasi yang bersifat non-mekanik, prosedur yang diterapkan jangan terlalu rinci sehingga mengurangi pertimbangan yang seharusnya digunakan. 3. Untuk meningkatkan efisiensi dan keekonomisan sampai tingkat maksimum, prosedur yang ditetapkan haruslah sesederhana dan semurah mungkin. 4. Prosedur-prosedur yang ada tidak boleh saling tumpang tindih, bertentangan satu sama lain, atau bersifat duplikatif. 5. Prosedur harus ditelaah secara periodik dan ditingkatkan bila diperlukan. d. Personalia Orang-orang yang dipekerjakan atau di tugaskan harus memiliki kualifikasi untuk melaksankan tugas yang diberikan. Bentuk kontrol terbaik di samping kinerja masing-masing individu adalah supervisi. Jadi, standar yang tinggi harus ditetapkan. Praktik-praktik berikut ini bias membantu meningkatkan kontrol: 1. Karyawan baru harus dilihat kejujuran dan keandalannya dalam melakukan pekerjaan. 2. Karyawan harus diberi pelatihan dan kursus-kursus yang memberikan kesempatan meningkatkan kemampuan diri dan membuat mereka tetap mengetahui kebijakan dan prosedur yang baru. 3. Karyawan harus diberi informasi tentang tugas dan tanggung jawab mengenai segmen lain dari organisasi sehingga mereka bisa lebih memahami kesesuaian pekerjaan mereka dengan organisasi secara keseluruhan. 4. Kinerja semua karyawan harus ditelaah secara periodik untuk melihat apakah hal-hal penting dari tugas mereka telah ditunaikan. Kinerja yang bagus harus diberikan penghargaan yang layak. Kekurangan yang ada harus dibahas dengan karyawan sehingga mereka diberi kesempatan meningkatkan kinerjanya atau meningkatkan keahliannya. e. Akuntansi Akuntansi (Accounting) merupakan sarana yang sangat penting untuk control keuangan pada aktivitas dan sumber daya. Akuntansi membentuk kerangka kerja yang bisa disesuaikan dengan pemberian tanggung jawab. Lebih lanjut, akuntansi merupakan “penjaga gawang” keuangan dalam organisasi. Masalahnya terletak
pada hal-hal apa saja yang harus dijaga. Berikut ini beberapa prinsip-prinsip dasar untuk system akuntansi: 1. Akuntansi harus sesuai dengan kebutuhan manajer guna pengambilan keputusan yang rasional, bukan sesuai dengan apa yang ditulis di buku-buku teks atau daftar periksa. 2. Akuntansi harus didasarkan pada lini tanggung jawab. 3. Laporan keuangan dari hasil-hasil operasi harus sejajar dengan unit organisasi yang bertanggung jawab dalam operasional organisasi 4. Akuntansi harus bisa menentukan biaya-biaya yang bisa dikendalikan. f. Penganggaran Anggaran (budget) adalah sebuah pernyataan hasil-hasil yang diharapkan yang dinyatakan dalam bentuk numeric. Sebagai sebuah control, anggaran menetapkan standar masukan sumber daya dan hal-hal yang harus dicapai sebagai keluaran dan hasil. 1. Orang-orang yang bertanggung jawab untuk memenuhi target anggaran haruslah berpartisipasi dalam penyiapan. 2. Orang-orang yang bertanggung jawab untuk memenuhi target anggaran harus dilengkapi dengan informasi yang memadai ayang membandingkan anggaran dengan
kejadian-kejadian
aktual
dan
memberikan
alasan
untuk
penyimpangan yang signifikan. 3. Semua anggaran khusus harus cocok dengan keseluruhan anggaran organisasi 4. Anggaran harus menetapkan tujuan yang dapat diukur; anggaran akan menjadi tidak bermakna kecuali bila manajer tahu apa tujuannya. 5. Anggaran harus membantu mempertajam struktur organisasi karena standar anggaran yang objektif sulit untuk ditetapkan dalam gabungan subsistem yang membingungkan. Oleh karena itu, penganggaran merupakan bentuk disiplin dan koordinasi. g. Pelaporan Pada kebanyakan organisasi, manajemen berfungsi dan membuat keputusan berdasarkan laporan yang diterima. Oleh karena itu, laporan haruslah tepat waktu, akurat, bermakna, dan ekonomis. Berikut ini beberapa prinsip untuk menetapkan sistem pelaporan (reporting) internal yang memuaskan:
1. Laporan harus dibuat sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan 2. Individu-individu atau unit-unit harus diminta melaporkan hal-hal yang menjadi tanggung jawabnya. 3. Biaya mengakumulasi data dan menyiapkan glaporan harus dibandingkan dengan manfaat yang akan didapat 4. Laporan harus sesederhana mungkin, dan konsisten dengan sifat subjek yang menjadi masalah. Laporan harus berisi informasi yang melayani kebutuhan pengguna. Klasifikasi dan terminologi umum harus digunakan sebanyak mungkin untuk menghindari kebingungan. 5. Sedapat mungkin laporan kinerja memperlihatkan perbandingan dengan standar biaya, kualitas, dan kuantitas yang ditetapkan. Biaya-biaya yang bisa dikendalikan harus dipisahkan. 6. Jika kinerja tidak bisa dilaporkan secara kuantitatif, laporan harus dirancang untuk menekankan pengecualian atau hal-hal lain yang membutuhkan perhatian manajemen. 7. Agar bisa bermanfaat maksimal, laporan haruslah tepat waktu. Laporan yang tepat waktu yang sebagian didasarkan pada estimasi bisa jadi lebih berguna dibandingkan laporan yang lebih tepat tetapi terlambat. 8. Penerimaan laporan harus dinyatakan secara periodik untuk mengetahui apakah mereka masih membutuhkan laporan yang diterima, atau apakah ada yang bisa diperbaiki dari laporan tersebut.
2.1.6
Prinsip-prinsip Sistem Pengendalian Internal pada Perusahaan Konstruksi (Pemborong) Menurut Azhar Susanto (2001:58) pengertian dan tujuan penyusunan sistem
pengendalian internal adalah sebagai berikut: ”Meliputi struktur organisasi dan segala cara serta tindakan dalam suatu perusahaan yang saling terkoordinasi dengan tujuan untuk mengamankan harta kekayaan perusahaan, menguji ketelitian dan kebenaran data akuntansi, meningkatkan efisiensi operasi, serta mendorong ketaatan terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah digariskan oleh pimpinan perusahaan.”
\
Dari kutipan tersebut dapat dijelaskan prinsip-prinsip sistem pengendalian
internal pada perusahaan kontruksi sebagai berikut: 1. Perlu adanya organisasi yang menggambarkan pemisahaan fungsi khususnya antara lain : a. Bagian marketing b. Bagian kalkulasi c. Bagian produksi (pelaksanaan pekerjaan) d. Bagian pengawasan e. Bagian akuntansi 2. Perlu dikembangkan korelasi intern, antara berbagai fungsionaris, yaitu bagian markting, kalkulasi, pelaksaan pekerjaan (produksi) dan pengawasan 3. Perlu adanya pencatatan dan pelaporan yang baik. 4. Perlu diadakan pengawasan langsung dan tiba-tiba atas proyek yang sedang dibangun 5. Harus diperhatikan permasalahan pengawasan atas pembelian dan pemakaian atas biaya-biaya pemakaian bahan dan upah langsung yang merupakan dasar untuk dilaksanakan oleh yang menyuruh (bouwheer) maupun oleh pemborong. Adapun dokumen-dokumen yang digunakan pada perusahaan konstruksi (pemborong) yaitu: 1. Gambar lokasi (gambar cetak biru) 2. Bestek (analisa biaya borongan) 3. Kontrak 4. Surat perintah kerja (SPK) 5. Jaminan tender (Bid Bond) 6. Jaminan pelaksanaan (Performance bond) 7. Term of reference (TOR) 8. Jaminan Bank (Bank guarantee)
2.2
Piutang
2.2.1
Pengertian Piutang Pada saat ini penjualan barang dagang dan jasa sering dilakukan dengan cara
kredit atau diangsur, sehingga akan timbul piutang. Selain dari penjualan barang dagang atau jasa, piutang juga dapat timbul karena adanya berbagai pinjaman pada karyawan, uang muka yang diberikan pada anak perusahaan atau penjualan aktiva tetap yang sudah tidak terpakai dalam perusahaan. Piutang dagang (piutang usaha) menunjukan piutang yang timbul dari penjualan barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan perusahaan. Dalam kegiatan perusahaan yang normal, biasanya piutang dagang (piutang usaha) akan dilunasi dalam jangka waktu kurang dari satu tahun, sehingga dikelompokan dalam aktiva lancar. Bagi beberapa perusahaan, piutang (receivable) merupakan salah satu unsur terpenting dalam aktiva lancar karena biasaanya hanya membutuhkan satu tahapan lagi untuk dapat dikonversikan menjadi kas. Karena itu perlu kiranya untuk dilakukan manajemen piutang yang baik sebelum piutang tersebut sampai terjadi pencairan, yang artinya sebelum kredit disetujui dan diberikan haruslah dicapai suatu tingkat kualitas yang tinggi sehingga penagihan dan pengumpulannya dapat dilakukan tepat pada waktunya. Dengan demikian kerugian kegiatan penagihan dan kerugian akibat piutang yang tidak dapat dicairkan dapat ditekan seminimal mungkin. Untuk mencapai tujuan ini maka perlu diciptakan sistem pengendalian internal atas piutang yang cukup memadai. Berikut ini dikemukakan beberapa definisi mengenai pengertian piutang, menurut Warren-Reeve-Fess, yang dialih bahasakan oleh Aria Farahmita, Amanugrahani, dan Taufik Hendrawan (2005;404) adalah sebagai berikut : “Piutang (receivable) meliputi semua klaim dalam bentuk uang terhadap pihak lainnya, termasuk individu, perusahaan, atau organisasi lainnya. Piutang biasanya memiliki bagian yang signifikan dari total aktiva lancar perusahaan” Menurut Kieso, Weygandt, Warfield, yang telah dialih bahasakan oleh Emil salim (2001;386) adalah sebagai berikut: “piutang (receivables) adalah klaim uang, barang, atau jasa kepada pelanggan atau pihak-pihak lainnya” Menurut H.M. Alan Jayaatmadja (2008;61) adalah sebagai berikut :
“piutang adalah hak perusahaan untuk menerima sejumlah kas dimasa yang akan datang, akibat kejadian dimasa lalu” Menurut Horngren, Harrison, Bamber, yang telah dialih bahasakan oleh Barlian Muhammad (2006;418) adalah sebagai berikut : “Piutang merupakan perorangan”
klaim
keuangan
terhadap
perusahaan
atau
Lazimnya piutang dihasilkan sebagai akibat dari transaksi penjualan barang atau pelaksanaan jasa secara kredit dari hasil kegiatan utama perusahaan yang dikenal dengan istilah piutang usaha (Account receivable). Menurut Kieso, Weygandt, Warfield, yang telah dialih bahasakan oleh Emil salim (2001;386) piutang usaha (Account receivable) adalah sebagai berikut: “Piutang usaha (Account receivable) adalah janji lisan dari pembeli untuk membayar barang atau jasa yang dijual. Piutang usaha biasanya dapat ditagih dalam waktu 30 hari sampai 60 hari dan merupakan akun terbuka (open account) yang berasal dari perluasan kredit jangka pendek” Menurut Bodnar dan Hopwood, yang telah dikutip dan dialih bahasakan oleh Amir Abadi Yusuf (2004:251). Tentang pemisahan fungsi-fungsi organisasi sistem aplikasi piutang dagang adalah sebagai berikut : “Fungsi-fungsi orgsnisasi yang harus dipisahkan di dalam system aplikasi piutang adalah bagian penerimaan kas, bagian penagihan, bagian piutang dagang, bagian kredit, dan bagian buku besar adalah kesatuan sistem aplikasi piutang dagang yang harus dipisahkan” Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan mengenai fungsi-fungsi tersebut: 1. Penerimaan Kas. Slip pengiriman uang pelanggan dikirimkan oleh departemen penerimaan kas ke departemen piutang dagang untuk dibukukan. Departemen piutang dagang tidak mempunyai akses ke kas atau cek yang berkaitan dengan nota pengiriman uang pelanggan. 2. Penagihan. Faktur, memo kredit, dan penyesuaian faktur lain di distribusikan ke departemen piutang dagang untuk dibukukan direkening pelanggan, ini memungkinkan adanya pemisahaan fungsi-fungsi organisasi. Departemen penagihan tidak mempunyai akses langsung ke catatan-catatan piutang dagang.
3. Piutang Dagang. Departemen piutang dagang bertanggung jawab untuk membuat buku besar tambahan piutang dagang, rekening pengendalian dibuat di departemen buku besar. Debit dan kredit dibukukan ke rekening pelanggan dari berbagai sumber nota pengiriman uang, faktur, dan sebagainya yang diterima dari departemen penagaihan dan penerimaan kas. Ini memungkinkan adanya pemisahan fungsi-fungsi. Secara periodik, rekening pelanggan dikirim secara langsung ke pelanggan oleh departemen piutang dagang. Pemrosesan periodic termasuk penyajian neraca saldo, umur piutang dagang untuk ditelaah oleh departemen kredit. Jenis lain laporan kredit pelanggan disajikan berdasarkan kebutuhan perusahaan. Laporan seperti itu seringkali disajikan sebagai hasil lain dari pemrosesan laporan-laporan pelanggan. 4. Kredit. Fungsi departemen kredit dalam sistem aplikasi piutang dagang mencakup
pengesahan,
pengembalian dan
potongan
penjualan
dan
penyesuaian-penyesuaian lain terhadap rekening pelanggan, penelaahan dan pengesahan neraca saldo umur piutang untuk memastikan kelayakan piutang, dan pembuatan memo penghapusan pembebanan piutang tak tertagih. 5. Buku Besar. Departemen buku besar membuat akun pengendalian piutang dagang. Debit dan kredit dibukukan ke akun pengendalian piutang usaha dari jurnal tanda bukti/ pengendalian total yang diterima dari departemen penagihan dan penerimaan kas. Jumlah ini direkonsiliasikan ke pengendalian total yang dikirimkan ke buku besar secara langsung dari departemen piutang dagang. Rekonsiliasi ini merupakan pengendalian yang penting dalam system aplikasi piutang dagang.
Gambar 2.1 Arus-Arus Transaksi Dalam Sistem Piutang Dagang 2
Penerima Kas
Buku Besar 13
10
Pelanggan 1 12
14
Data Pelanggan
9 Rincian
11 Piutang Dagang
Audit Internal
5
8 7 Penerimaan
4 Penagihan
Manajer kredit 3
6 Bendaharawan
1 5
Keterangan Kunci Aliran Data 1. Nota pengiriman uang 2. Pengendalian total 3. Memo retur penjualan 4. Nota retur penjualan 5. Memo kredit 6. Memo penghapusan 7. Nota penghapusan 8. Neraca saldo Umum Piutang 9. Jurnal Tanda Bukti 10. Pengendalian total 11. Daftar Akun tak bernilai 12. Laporn-laporan 13. Total penghapusan 14. Konfirmasi penghapusan piutang 15. Memo Penghapusan
Menurut Kieso, Weygandt, Warfield yang telah dialih bahasakan oleh Emil salim (2001;386) tentang pengklasifikasian piutang adalah sebagai berikut: “Piutang dapat diklasifikasikan dalam neraca baik sebagai piutang dagang ataupun piutang nondagang” Piutang dagang (trade receivables) adalah jumlah yang terhutang oleh pelanggan untuk barang dan jasa yang telah diberikan sebagai bagian dari operasi bisnis normal. Piutang dagang, biasanya yang paling signifikan yang dimiliki perusahaan, bias disubklasifikasikan menjadi piutang usaha dan wesel tagih. Piutang usaha(account receivables) adalah janji lisan dari pembeli untuk membayar barang atau jasa yang dijual. Piutang usaha biasanya dapat ditagih dalam waktu 30 sampai 60 hari dan merupakan akun terbuka (open accaunts) yang berasal dari perluasan kredit jangka pendek. Wesel tagih (notes receivables) adalah janji tertulis untuk membayar sejumlah uang tertentu pada tanggal tertentu di masa depan. Wesel tagih dapat berasal dari penjualan, pembiayaan, atau transaksi lainnya. Wesel tagih bisa bersifat janggka pendek ataupun jangka panjang. Piutang nondagang (nontrade receivables) berasal dari berbagai transaksi dan dapat berupa janji tertulis untuk membayar atau mengirimkan sesuatu. Contoh dari piutang nondagang adalah sebagai berikut: 1. Uang muka kepada karyawan dan staf 2. Uang muka kepada anak perusahaan 3. Deposito untuk menutupi kemungkinan kerugian dan kerusakan 4. Deposito sebagai jaminan penyedia jasa atau pembayaran. 5. Piutang dividend dan bunga 6. Klaim terhadap : a) Perusahaan asuransi untuk kerugian yang dipertanggungkan b) Terdakwa dalam suatu perkara hukum c) Badan-badan pemerintah untuk pengembalian pajak d) Perusahaan pengangkutan untuk barang yang rusak atau hilang e) Kreditor untuk barang yang dikembalikan, rusak, atau hilang f) Pelanggan untuk barang-barang yang dapat dikembalikan (krat, container, dan sebagainya).
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa piutang merupakan klaim perusahaan kepada pihak lain berupa uang, barang, atau jasa dan klaim tersebut muncul karena adanya penjualan atau penyerahan barang atau jasa.
2.2.2
Prosedur Penagihan Piutang Menurut Azhar Susanto (2001:190) tujuan penyusunan sistem akuntansi piutang
adalah sebagai berikut: “Diperlukan suatu sistem dan prosedur yang baik yang secara terus menerus dapat memberikan informasi tentang kondisi calon debitur termasuk pengendalian atas pengiriman piutang itu sendiri” Berdasarkan kutipan diatas dapat dijelaskan tentang prosedur dari penagihan piutang: a. Administrasi piutang berdasarkan copy faktur atau kartu piutang membuat daftar piutang jatuh tempo rangkap dua, yang didistribusikan sebagai berikut: 1. Asli dikirim ke bagian keuangan 2. Tembusan digunakan sebagai arsip administrasi piutang b. Bagian keuangan atas dasar daftar piutang membuat kwitansi-kwitansi (invoice) penagihan rangkap dua yang kemudian dikirim ke bagian penagihan. Daftar piutang jatuh tempo kemudian di arsip. c. Bagian penagihan (inkaso) membuat “inkaso border” (daftar kwitansi) perdaerah penagihan, kemudian kwitansi (rangkap dua) berikut daftar kwitansi diserahkan kepada masing-masing penagih untuk melaksanakan penagihan. d. Dalam penagihan (apabila dibayar oleh debitur) diserahkan kwitansi asli (invoice) kepada debitur setelah pembubuhan paraf oleh debitur pada daftar kwitansi (invoice), membawa uang, copy faktur kwitansi (invoice), dan daftar kwitansinya, lalu pulang ke perusahaan untuk mempertanggung jawabkannya ke bagian penagihan. Atas kwitansi (copy) berikut uang hasil penagihan diserahkan ke bagian kas, apabila kwitansi (invoice) belum dibayar daftar kwitansi (invoice) disimpan di bagian penagihan untuk penagihan hari selanjutnya. e. Bagian penagihan setelah mencocokan jumlah uang dan kwitansi (Invoice) membuat bukti penerimaan kas (cash receipt slip) rangkap tiga dan setelah dicatat pada buku kasir (kolom penerimaan) cash receipt slip didistribusikan sebagai berikut:
1. Asli berikut copy invoice ke bagian akunting untuk dicatat dalam buku jurnal penerimaan kas/ bank selanjutnya dicatat pada dalam buku besar kas dan piutang. 2. Tembusan pertama adalah kebagian administrasi piutang untuk dicatat pada kartu piutang sebelah kredit yang bersangkutan dan tembusan ke dua sebagai arsip kasir. Kemudian semua dokumen diarsip. 2.2.3
Masalah-Masalah Yang Dijumpai Dalam Akuntansi Baik Untuk Piutang Usaha Maupun Wesel Tagih Masalah dasar dalam akuntansi untuk piutang dan wesel tagih tidak berbeda :
pengakuan, penilaian dan disposisi. Menurut Kieso, Weygandt, Warfield yang telah dialih bahasakan oleh Emil Salim (2001;387) masalah tersebut meliputi : “(1) Pengakuan (Recognition) dan Pengukuran (Measurement), (2)Penilaian (Valuation), dan (3) Disposisi” Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pengakuan (Recognition) dan Pengukuran (Measurement) Dalam sebagian besar transaksi piutang, jumlah yang harus diakui adalah harga pertukaran di antara kedua belah pihak. Harga pertukaran (the exchange price) adalah jumlah yang terhutang dari debitor (seorang pelanggan atau peminjam) dan umumnya dibuktikan dengan beberapa jenis dokumen bisnis, biasanya berupa faktur (invoice). Dua faktor yang bisa memperumit pengukuran (measurement) harga pertukaran adalah (1) ketersediaan diskon (diskon dagang) adalah semacam potongan harga yang digunakan untuk menghindari perubahan yang sering terjadi dalam catalog, untuk mengutip harga yang berbeda bagi pembelian dalam kuantitas yang berbeda, atau untuk menyembunyikan harga faktur yang sebenarnya dari pesaing. (2) Lamanya waktu antara tanggal penjualan dan tanggal jatuh tempo pembayaran (elemen bunga). 2. Penilaian (Valuation) Akuntan akan menghadapi masalah penyajian laporan keuangan. Pelaporan piutang melibatkan (1) klasifikasi dan (2) penilaian di dalam neraca. Penilaian piutang sedikit lebih kompleks. Piutang jangka pendek dinilai dan dilaporkan pada nilai realisasi bersih (net realizable value) –
jumlah bersih yang diperkirakan akan diterima dalam bentuk kas. Penentuan nilai realisasi bersih (net realizable value) memerlukan estimasi baik atas piutang yang tidak tertagih maupun retur penjualan dan pengurangan harga yang diberikan. 3. Disposisi Dalam peristiwa yang normal, piutang usaha dan wesel tagih dapat ditagih pada saat jatuh tempo dan dikeluarkan dari pembukuan. Namun, seiring dengan meningkatnya ukuran dan signifikansi dari penjualan kredit dan piutang, “peristiwa normal ini” telah berubah. Dalam rangka mempercepat penerimaan kas dari piutang, pemilik dapat mentransfer piutang usaha atau wesel tagih kepada perusahaan lainnya secara tunai.
2.2.4
Piutang tak tertagih Piutang tak tertagih menurut Kieso, Weygandt, Warfield yang telah dialih
bahasakan oleh Emil Salim (2001;390) adalah sebagai berikut: “Piutang tak tertagih adalah kerugian pendapatan, yang memerlukan, melalui ayat jurnal pencatatan yang tepat dalam akun, penurunan aktiva piutang usaha serta penurunan yang berkaitan dengan laba dan ekuitas pemegang saham. Kerugian pendapatan dan penurunan laba diakui dengan mencatat beban piutang ragu-ragu (atau beban piutang tak tertagih).” Masalah terberat dalam mencatat piutang tak tertagih adalah menentukan waktu pencatatan kerugian itu. Ada dua prosedur umum yang dapat digunakan : 1. Metode penghapusan langsung (direct write-of methode). Tidak ada ayat jurnal yang dibuat sampai suatu akun khusus telah ditetapkan secara pasti sebagai tidak tertagih. Kemudian kerugian tersebut dicatat dengan mengkreditkan piutang usaha (account receivable) dan mendebet beban piutang tak tertagih (Bad debt expense). 2. Metode penyisihan (allowance method). Suatu estimasi dibuat menyangkut perkiraan piutang tak tertagih dari semua penjualan kredit atau dari total piutang yang beredar. Estimasi ini dicatat sebagai beban dan pengurang tidak langsung terhadap piutang usaha (melalui kenaikan akun penyisihan) dalam periode di mana penjualan itu dicatat. Metode penghapusan langsung (direct write-of method) secara teoritis memiliki kelemahan karena biasanya tidak menandingkan biaya dengan pendapatan pada periode
bersangkutan, atau menghasilkan piutang yang ditetapkan pada estimasi nilai yang dapat direalisasi di neraca. Karenanya, pemakaian metode penghapusan langsung tidak dipandang tepat, kecuali kalau jumlah piutang tak tertagih tidak material. Pendukung metode penyisihan (allowance method) merasa yakin bahwa beban piutang tak tertagih harus dicatat pada periode yang sama seperti penjualan untuk mendapatkan penandingan yang tepat atas beban dan pendapatan serta untuk mendapatkan nilai tercatat yang tepat atas piutang usaha. Walupun melibatkan estimasi, namun persentase piutang tak tertagih dapat diramalkan dari pengalaman masa lalu, kondisi pasar berjalan, dan analisis atas saldo yang beredar. Karena ketertagihan piutang dipandang sebagai kontinjensi kerugian, maka metode penyisihan hanya tepat dalam situasi di mana terdapat kemungkinan bahwa nilai aktiva telah menurun dan jumlah penurunan (kerugian) tersebut dapat di estimasikan secara layak. Piutang adalah arus kas masuk prospektif, dan probabilitas penagihannya harus dipertimbangkan dalam menilai arus kas masuk. Estimasi ini biasanya dibuat atas dasar (1) persentase penjualan atau (2) piutang yang beredar. 1. Pendekatan persentase-penjualan (Laporan laba-rugi) Pendekatan ini menandingkan biaya dengan pendapatan karena hal itu mengaitkan beban pada periode di mana penjualan dicatat. Penyisihan untuk piutang tak tertagih adalah akun penilaian dan dikurangkan dari piutang dagang pada neraca. Jumlah beban piutang tak tertagih dan kredit yang berkaitan pada akun penyisihan tidak dipengaruhi oleh setiap saldo yang ada saat ini dalam akun penyisihan. Karena estimasi beban piutang tak tertagih berhubungan dengan akun nominal (penjualan), dan setiap saldo dalam akun penisihan diabaikan, maka metode ini seringkali disebut sebagai pendekatan laporan laba-rugi (income statement approach). Karenanya, penandingan biaya dengan pendekatan secara tepat akan tercapai. 2. Pendekatan persentase-piutang (Neraca) Berdasarkan
pengalaman
masa
lalu,
sebuah
perusahaan
dapat
mengestimasikan pesentase piutang beredarnya piutang yang tidak akan tertagih, tanpa mengidentifikasi piutang tertentu. Prosedur ini menyediakan estimasi cukup akurat menyangkut nilai piutang yang dapat direalisasi, tetapi tidak sesuai dengan prinsip penandingan biaya dan pendapatan. Tujuan dari metode ini adalah melaporkan nilai realisasi bersih piutang dalam neraca; oleh karena itu, pendekatan ini disebut dengan pendekatan persentase-piutang
atau
neraca
(percentage-of-receivable
or
balance
sheet
approach).
Pendekatan persentase piutang dapat diaplikasikan dengan menggunakan satu tarif gabungan (composite rate) yang mencerminkan estimasi piutang tak tertagih. Pendekatan lainnya yang lebih sensitif terhadap status actual dari piutang usaha adalah menetapkan skedul umur piutang (aging schedule) dan menerapkan persentase yang berbeda berdasarkan pengalaman masa lalupada berbagai kategori umur. Skedul umur piutang sering digunakan dalam praktek. Skedul ini mengindikasikan akun mana yang memerlukan perhatian khusus dengan memperlihatkan umur piutang usaha seperti itu. Berikut adalah contoh skedul umur piutang usaha dari Wilson & company: Tabel 2.1 WILSON & CO SKEDUL UMUR PIUTANG Nama
Saldo
pelanggan Western stainless
31
Dibawah
61-90
91-120
Di
atas
desember
60 hari
hari
hari
120 hari
$ 98.000
$ 80.000
$ 18.000
$ 320.000
$ 320.000
steel Corp Brockway
steel
company Freeport sheet &
$ 55.000
$ 55.000
tube Co. Allegheny
iron
$ 74.000
$ 60.000
$ 547.000
$ 460.000
$ 14.000
works Total
$ 18.000
$ 14.000
$ 55.000
Ikhtisar Umur
Jumlah
Persentase
Estimasi
Saldo yang Diperlukan
Tak Tertagih
dalam Penyisihan
Di bawah 60 Hari
$ 460.000
4%
$ 18.400
61-90 Hari
$ 18.000
15%
$ 2.700
91-120 Hari
$ 14.000
20%
$ 2.800
Di atas 120 Hari
$ 55.000
25%
$ 13.750
Saldo penyisihan piutang tak tertagih akhir tahun
$ 37.650
Sumber : Kieso, Waygandt, Warfield (Akuntansi Intermediate I)
Sedangkan menurut H.M. Alan Jayaatmadja (2008;62) tentang menaksir piutang tidak tertagih adalah sebagai berikut :
“Penaksiran dilakukan untuk mengantisipasi tidak tertagihnya piutang dimasa yang akan datang akibat penjualan sekarang, untuk dibebankan sebagai periode yang bersangkutan. Taksiran piutang tak tertagih ditentukan setiap akhir periode” Dasar yang digunakan dalam menaksir piutang tak tertagih dapat dilakukan dengan dua cara : 1. Pendekatan Laporan Laba-Rugi Pendekatan ini menggunakan persentase tertentu dari total penjualan (biasanya penjualan kredit) untuk menentukan besarnya kerugian piutang pada periode yang sama dengan penjualan. 2. Pendekatan Neraca Pendekatan ini menggunakan persentase tertentu dari total piutang (saldo piutang atau analisis umur piutang) untuk menentukan besarnya cadangan kerugian piutang pada periode yang sama dengan piutangnya. Sedangkan besarnya kerugian piutang ditentukan dengan menselisihkan antara saldo cadangan yang ada dengan besarnya cadangan akhir periode
2.2.5
Piutang Usaha Sebagai Sumber Kas (Accounts Receivable as a Source of Cash) Dalam rangka mempercepat penerimaan kas dari piutang, pemilik dapat
mentransfer piutang usaha atau wesel tagih kepada perusahaan lainnya secara tunai. Ada banyak alasan untuk transfer semacam ini sebelumnya. Pertama, untuk alas an kompetitif, penyediaan pembiayaan penjual kepada pelanggan bisa dikatakan wajib dalam banyak industry. Dalam penjualan barang yang tahan lama, seperti mobil, truk, peralatan industry dan pertanian, computer, dan peralatan rumah tangga, sebagaian besar penjualan berdasarkan atas kontrak angsuran. Banyak perusahaan besardalam industri ini telah menciptakan anak perusahaan yang dimiliki secara penuh, yang berspesialisasi dalam pembiayaan piutang. Kedua, pemilik piutang (holder) mungkin menjual piutang karena memerlukan kas dan akses terhadap kredit normal tidak tersedia atau sangat mahal. Selain itu, sebuah perusahaan juga mungkin menjual piutang, bukan meminjam, untuk menghindaripelanggaran terhadap kesepakatan peminjaman yang sudah ada. Menurut Kieso, Waygandt, Warfield yang telah dialih bahasakan oleh Emil Salim (2001;402) tentang piutang sebagai sumber kas adalah sebagai berikut :
“Dalam rangka mempercepat penerimaan kas dari piutang, pemilik dapat mentransfer piutang usaha atau wesel tagih kepada perusahaan lainnya secara tunai” Transfer piutang kepada pihak ketiga dapat dilakukan dalam salah satu dari dua cara berikut : 1. Peminjaman yang dijamin Piutang seringkali digunakan sebagai jaminan dalam suatu transaksi peminjaman. Kreditor seringkali meminta debitor menunjuk (menetapkan) atau menggadaikan piutang sebagai jaminan pinjaman. Jika pinjaman tidak dibayar pada saat jatuh tempo, maka kreditor memiliki hak untuk mengkonversi jaminan itu menjadi kasyaitu, untuk menagih piutang. 2. Penjualan Piutang Jenis penjualan yang umum dilakukan adalah penjualan piutang kepada factor. Factor adalah perusahaan pembiayaan atau bank yang membeli piutang dari perusahaan lain untuk mendapatkan imbalan (fee) dan kemudian menagih piutang secara langsung dari pelanggan. sekirutisasi (securitization ) dapat berupa pool aktiva seperti piutang kartu kredit, piutang hipotik, atau piutang pinjaman mobil dan menjual sebagian pembayaran bungadan pokok dalam pool tersebut (yaitu, menciptakan ecuritas yang didukung oleh pool aktiva tersebut) hamper setiap aktiva yang memiliki aliran pembayaran dan sejarah pembayaran jangka panjang bisa merupakan calon sekuritisasi. Perbedaan antara factoring dengan sekuritisasi adalah bahwa factoring biasanya melibatkan penjualan kepada satu perusahaan saja, biayanya tinggi, kualitas piutang rendah, dan penjual kemudian tidak perlu menagih piutang. Dalam sekuritisasi, banyak investor terlibat, marjinnya sedikit, kualitas piutang tinggi, dan penjual biasanya terus menagih piutang. Baik dalam transaksi factoring maupun securitisasi, piutang dapat dijual atas dasar tanpa tanggung renteng atau dengan tanggung renteng. 1. Penjualan tanpa Tanggung-Renteng Jika piutang dijual tanpa tanggung-renteng (without recourse), maka pembeli menanggung resiko ketertagihan piutang dan setiap kerugian kredit. Transfer piutang usaha dalam transaksi tanpa tanggung-renteng serupa dengan penjualan piutang usaha secara langsung baik dalam bentuk (transfer kepemilikan) maupun dalam substansinya (transfer pengendalian). Dalam transaksi tanggung-renteng,
seperti dalam setiap penjualan aktiva, kas di debet untuk hasil yang diterima. Piutang usaha di kredit sebesar nilai nominal piutang. Selisihnya, yang dikurangi dengan setiap provisi untuk penyesuaian piutang yang mungkin (diskon, retur, pengurangan harga, dan sebagainya), diakui sebagai kerugian atas penjualan piutang. Penjual menggunakan akun terhutang dari factor (ilaporkan sebagai piutang) untuk mencatat hasil yang ditahan oleh factoruntuk menutupi diskon penjualan, retur penjualan, dan pengurangan harga. 2. Penjualan dengan Tanggung-Renteng Jika piutang dijual dengan tanggung-renteng (with recours), maka penjual menjamin pembayaran kepada pembeli seandainya debitor tidak mampu membayar. Untuk mencatat transaksi jenis ini, digunakan pendekatan komponen keuangan (financial components approach), karena penjual akan terus terlibat dengan piutang. Dalam pendekatan ini, setiap pihak yang terlibat mengakui aktiva dan kewajiban yang mereka kendalikan setelah penjual dan tidak lagi mengakui aktiva dan kewajiban yang telah dijual. Sedangkan menurut H.M. Alan Jayaatmadja (2008;68) tentang penjualan piutang dagang adalah sebagai berikut : “Menjual piutang atau anjak piutang atau factoring adalah pembiayaan dalam bentuk pembelian atau pengalihan piutang jangka pendek suatu perusahaan yang berasal dari transaksi usaha” Menjual piutang dapat dilakukan dengan dua cara : 1. Menjual piutang tanpa tanggung renteng (Factoring without resource) adalah factor menanggung risiko ketertagihan piutang dan setiap kerugian kredit. 2. Menjual piutang dengan tanggung renteng (Factoring with resource) adalah penjual piutang menjamin pembayaran kepada factor seandainya debitor tidak membayar.
2.2.6
Ciri-ciri Piutang yang Mempunyai Risiko Realisasi yang Tinggi Menurut Rico Lesmana dan Rudy Surjanto (2003;77) tentang piutang yang
mempunyai risiko realisasi yang tinggi adalah sebagai berikut: “Piutang yang dimaksud adalah piutang usaha atau putang yang terkait dengan usaha perusahaan. Dalam analisis piutang (receivables), dilakukan evaluasi terhadap risiko realisasi piutang menjadi kas”
Berdasarkan kutipan diatas dapat dijelaskan ciri-ciri piutang yang mempunyai risiko realisasi yang tinggi sebagai berikut: 1. Piutang dihasilkan dari term penjualan yang longgar (loose) akibat kebijakan untuk mendorong penjualan (push sale) atau mengembangkan pasar. Piutang semacam ini tidak melalui proses analisis kredit (credit analysis) yang memadai, dan konsekuensinya adalah peluang lebih besar perusahaan akan menghadapi piutang bermasalah, yang berisiko tidak dibayar atau pembayaran tidak tepat waktu. 2. Piutang dengan provisi (perusahaan menyisihkan biaya karena memberikan hak tertentu kepada konsumen, sehingga perusahaan mempunyai kewajiban jika hak tersebut digunakan) seperti : a. Right-of-return provisions, yaitu piutang dari hasil penjualan dengan jaminan uang kembali (money-back guarantee). Terdapat risiko bahwa realisasi kas akan tidak terjadi b. Offset provisions, piutang dari hasil penjualan dengan catatan jika terjadi sesuatu terhadap produk, maka penagihan tidak dapat dilakukan (konsumen tidak perlu membayar sisa yang belum dibayar) atau dapat pula berupa perusahaan harus memberikan pelayanan tambahan atau penggantian uang. Terdapat risiko bahwa realisasi kas akan tidak terjadi, bahkan mungkin perusahaan perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk piutang ini. c. Piutang yang berasal dari perusahaan-perusahaan afiliasi (perusahaan dalam satu kelompok usaha) atau “related customers” atau yang mempunyai hubungan khusus, misalnya: perusahaan mempunyai piutang pada perusahaan lain yang dimiliki oleh istri, anak, saudara dari pemilik atau direksi. d. Piutang yang terkonsentrasi pada satu atau sedikit pembeli (customer) besar, di mana pembeli mempunyai posisi tawar (bargaining power) yang lebih tinggi. e. Promes (notes receivable) yang diberikan oleh klien yang menunggak. f. Piutang dari penjualan konsinyasi.
g. Piutang yang tidak stabil secara politik dan atau ekonomi, atau dari pemerintah negara asing. Piutang terkait dari penjualan yang terkait dengan persetujuan pemerintah atas spesifikasi produk tertentu. Biasanya penjualan pada instansi pemerintah atau militer. 3. Selain itu, untuk mengetahui risiko seberapa besar piutang (pembiayaan) yang diperkirakan tidak dapat dikembalikan oleh debitur dapat digunakan ratio sebagai berikut:
Ratio Pembiayaan/ piutang Bermasalah = Pembiayaan/ Piutang bermasalah x 100% Terhadap total pembiayaan/ piutang
Total Pembiayaan/ Piutang
Indikasi rasio ini adalah semakin kecil persentase rasio ini menunjukan kondisi pengendalian terhadap piutang di suatu perusahaan/ lembaga keuangan semakin baik.
2.2.7
Pengakuan Pendapatan Menurut Niswonger, Fees, Warren yang telah dialih bahasakan oleh Hyginus
Ruswinarto (1997;532) tentang pengakuan pendapatan adalah sebagai berikut : “Pendapatan diukur dengan jumlah yang dibebankan kepada pelanggan untuk barang ataupun jasa yang telah diserahkan kepada pelanggan tersebut. Masalah yang ditimbulkan oleh periodisitas ialah masalah waktu.” Ada berbagai kriteria yang dapat diterima untuk menentukan kapan suatu pendapatan direalisasi. Dalam setiap kasus, kriteria yang digunakan hendaknya sesuai dengan syarat-syarat dalam kontrak penjualan barang atau jasa dengan pelanggan dan hendaknya sedapat mungkin didasarkan pada bukti yang objektif. kriteria yang paling sering digunakan akan diuraikan dalam bagian ini, yaitu : 1. Saat Penjualan (Accrual) Pendapatan dari penjualan barang atau jasa biasanya ditentukan dengan metode saat penjualan, di mana pendapatan direalisasi pada saat hak kepemilikan berpindah ke pihak pembeli atau penyewa jasa. Pada saat penjualan, harga jual telah disepakati, pembeli mendapatkan hak pemilikan atas barang tersebut, dan penjual mempunyai klaim (tuntutan) yang sah terhadap pembeli. Realisasi pendapatan dari penjualan jasa dapat juga di tentukan dengan cara ini, walaupun sering ada perbedaan waktu antara saat
perjanjian disetujui dan penyelesaian jasa tersebut. Sebagai contoh, misalkan dalam kontrak kerja dinyatakan bahwa akan dilaksanakan jasa reparasi yang didasarkan pada harga atau waktu dan bahan yang terpakai. Harga ataupun ketentuan yang telah disepakati pada saat kontrak ditandatangani belum merupakan pendapatan sampai pekerjaan tersebut selesai dilaksanakan. Secara teoritis, pendapatan dari produksi maupun penjualan barang dan jasa secara terus menerus akan bertambah sesuai dengan usaha yang dilakukan untuk itu. Akan tetapi, dari segi praktisnya, tidak mungkin dibuat suatu ketetapan yang objektif sampai (1) harga kontrak disepakati, dan (2) setelah penjual melaksanakan kewajibannya dalam kontrak itu. 2. Saat Penerimaan Pembayaran (Cash) Pengakuan pendapatan dapat juga ditangguhkan sampai diterimanya pembayaran. Bila digunakan kriteria ini pendapatan baru dikatakan direalisasi pada saat uang kas telah diterima, tidak peduli kapan dilakukan penjualannya. Dasar kas (cash basis) ini umumnya dilakukan oleh dokter, ahli hukum dan perusahaan di bidang jasa. Memang, dari segi teori kurang dapat dibenarkan, tetapi secara praktis menguntungkan karena sederhana sifatnya dan tidak perlu ditaksir kerugian piutang tak tertagih. Cara ini diterima sebagai metode yang wajar untuk menentukan waktu serta pengakuan pendapatan dari jasa perorangan adalah karena pengaruh kenyataan bahwa hal ini dapat digunakan untuk menghitung penghasilan kena pajak. Akan tetapi, kriteria di atas bukanlah metode yang tepat untuk mengukur pendapatan dari penjualan barang.
2.3
Pengendalian Internal Terhadap Piutang Menurut Niswonger, Fees, Warren yang telah dialih bahasakan oleh Hyginus
Ruswinarto (1997;352) tentang pengendalian atas piutang adalah sebagai berikut : “Seperti halnya untuk semua aktiva, prinsip umum pengendalian internal dapat digunakan untuk menetapkan prosedur guna menjaga piutang. Pengendalian ini mencakup pemisahan operasi perusahaan dan akuntansi untuk piutang, sehingga catatan akuntansi dapat berlaku sebagai pengecekan independen terhadap operasi.” Jadi pegawai yang menangani akuntansi untuk wesel tagih dan piutang usaha tidak boleh terlibat dengan persetujuan kredit atau penagihan piutang. Pemisahan fungsi-
fungsi ini mengurangi kemungkinan kesalahan dan penggelapan. Pengendalian juga mencakup pemisahan tanggung jawab untuk fungsi-fungsi yang berkaitan, sehingga pekerjaan seorang karyawan dapat berlaku sebagai pengecekan atas pekerjaan karyawan lainnya. Gambar 2.2 Pemisahan Fungsi-Fungsi Piutang Informasi Kredit
Uang
Pelanggan
Persetujuan Kredit
Penagihan Barang & jasa
Faktur Informasi Akuntansi
Penjualan
Informasi Kredit
Akuntansi
Sumber : Warren, Reeve, Fess (Pengantar Akuntansi 2005;405)
Pengendalian yang memadai atas piutang usaha dimulai dengan persetujuan penjualan oleh pejabat perusahaan yang bertanggung jawab atau bagian kredit, sesudah peringkat kredit dikaji-ulang. Demikian juga dengan penyesuaian piutang usaha, seperti retur dan pengurangan penjualan serta potongan penjualan, juga harus disetujui atau diperiksa kembali oleh pihak yang bertanggung jawab. Prosedur penagihan yang efektif juga harus ditetapkan guna memastikan penagihan yang tepat waktunya atas piutang usaha dan untuk meminimisasikan kerugian dari piutang tak tertagih. Penggunaan yang tepat atas perkiraan pengendalian dan buku piutang usaha, juga meningkatkan efektivitas pengendalian atas piutang usaha.
2.3.1
Prinsip Pengendalian internal piutang Menurut Azhar Susanto (2001:187) tugas pokok bagian piutang, yaitu sebagai
berikut: “(1) Tugas registrasi (pencatatan) atas semua transaksi keuangan akibat penjualan secara kredit, (2) tugas kontrol (pengawasan) terhadap ditaatinya syarat-syarat pembayaran, dan (3) tugas kontrol (pengawasan) atas maksimum kredit yang akan diberikan terutama untuk para debitur lama” Selain tugas pokok, sistem pengendalian internal perlu diperhatikan pada waktu menyusun sistem akuntansi piutang adalah sebagai berikut:
1. Petugas yang mencatat atas timbulnya maupun hapusnya piutang pada rekeningrekening piutang harus terpisah dari petugas buku besar piutang maupun penagihannya agar dapat diciptakan pengendalian internal melalui internal cek dan lain-lain. 2. Catatan atas piutang berfungsi kontrol atas kondisi dan batas maksimum kredit, antara lain melauli daftar analisa umur piutang (aging schedule). 3. Secara periodik diadakan internal cek antara total buku pembantu buku besar piutang dengan buku besar piutang (controlling account) 4. Diadakan konfirmasi atas saldo piutang secara periodik. 5. Perlu dibuatkan setiap daftar saldo piutang yang jatuh waktu, yang dibuat seksi administrasi piutang untuk mengawasi pelaksanaan penerimaan piutang di kas. 6. Atas setiap penagihan, bagian penagihan membuat daftar kuitansi (invoice) yang harus ditagih pada hari itu, fungsinya sebagai alat pengawasan atas penagihan. 7. Setiap penagihan oleh petugas penagihan hasilnya harus dipertanggung jawabkan hari itu juga.
2.3.2
Pembinaan Penyelamatan Piutang Untuk mengatasi masalah kredit macet pihak perusahaan (Kreditor) perlu
melakukan penyelamatan, sehingga tidak akan menimbulkan kerugian. Penyelematan dapat dilakukan dengan memberikan keinginan berupa jangka waktu pembayaran atau jumlah angsuran terutama bagi kredit terkena musibah atau dengan melakukan penyitaan bagi kredit yang sengaja lalai untuk membayar. Menurut kasmir (2004;116-117) teknik penyelesaian kredit macet, yaitu sebagai berikut: “(1) Rescheduling, (2) Reconditioning, (3) Restructuring, (4) Kombinasi dan (5) Penyitaan jaminan” Berdasarkan kutipan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Rescheduling Yaitu dengan cara: a. Memperpanjang jangka waktu kredit Dalam hal inidebitur diberikan keringanan dalam masalah jangka waktu pembayaran piutang (kredit), misalnya perpanjangan jangka waktu kredit dari 6 bulan menjadi 1 tahun sehingga debitur mempunyai waktu yang lebih lama untuk mengembalikannya.
b. Memperpanjang waktu angsuran Memperpanjang angsuran hamper sama dengan jangka waktu kredit. Dalam hal ini jangka waktu angsuran kreditnya diperpanjang pembayarannya. Misalnya dari 36 kali menjadi 48 kali, hal ini tentu saja jumlah angsuran pun menjadi mengecil seiring dengan penambahan jumlah angsuran. 2. Reconditioning Dengan cara mengubah berbagai persyaratan yang ada seperti : a. Kapitalisasi bunga, yaitu dengan cara bunga dijadikan hutang pokok b. Penundaan pembayaran bunga
yang dapat ditunda pembayarannya,
sedangkan pokok pinjamannya tetap harus dibayar seperti biasa. c. Penurunan suku bunga; dimaksudkan agar lebih meringankan beban debitur. Sebagai contoh jika bunga pertahun sebelumnya 17% diturunkan menjadi 15%. Hal ini tergantung dari pertimbangan perusahaan bersangkutan. Penurunan suku bunga akan mempengaruhi jumlah angsuran yang semakin mengecil, sehingga diharapkan dapat membantu meringankan debitur. d. Pembebasan bunga Dalam pembebasan suku bunga, diberikan kepada nasabah dengan pertimbangan debitur sudah tidak akan mampu lagi membayar kredit tersebut. Akan tetapi nasabah tetap mempunyai kewajiban untuk membayar pokok pinjaman sampai lunas. 3. Restructuring Yaitu dengan cara : a. Menambah jumlah kredit b. Menambah equity, 4. Kombinasi Merupakan kombinasi dari ketiga jenis metode diatas, misalnya kombinasi antara restructuring dengan reconditioning atau Rescheduling dengan restructuring. 5. Penyitaan jaminan Penyitaan jaminan merupakan jalan terakhir apabila debitur sudah benar-benar tidak punya etikad baik atau sudah tidak mampu lagi untuk membayar semua hutang-hutangnya.