BAB II Tinjauan Pustaka Material tekstil tersusun dari serat-serat, baik serat buatan maupun alam. Serat alam merupakan serat yang yang sudah tersedia di alam dalam bentuk serabutserabut halus, contohnya adalah serat kapas, wol, sutera dan rami. Serat buatan adalah serat yang dibentuk dari polimer buatan, seperti poliester, poliamida dan poliakrilat ataupun polimer alam seperti selulosa yang dikenal dengan serat rayon viskosa dan rayon asetat. Jika ditinjau dari senyawa penyusun, serat terbagi menjadi tiga golongan yaitu serat selulosa contohnya adalah kapas, rayon dan rami, serat protein misalnya wol dan sutera, dan serat sintetik contohnya poliester, poliamida dan poliakrilat. Serat selulosa adalah serat yang saat ini paling banyak digunakan karena beberapa kelebihannya yaitu memiliki kenyamanan dipakai. Hal ini disebabkan selulosa memiliki banyak gugus hidroksil sehingga memiliki kelembaban yang tinggi. Salah satu serat selulosa yang paling banyak digunakan adalah kapas.
II.1 Kapas Serat kapas dihasilkan dari
biji buah tanaman yang termasuk dalam jenis
Gossypium. Saat ini penghasil kapas terbesar untuk serat tekstil adalah jenis Gossypium hirsutum yang dikenal dengan istilah kapas Upland atau kapas Amerika. Serat kapas sendiri merupakan perpanjangan dari sel epidermis biji tanaman yang membentuk serabut halus dan panjang, yang kemudian disebut serat kapas. Pertumbuhan serat kapas di dalam buah kapas terjadi sekitar 20 hari setelah berbunga, saat itu buah kapas mencapai besar maksimum, kemudian saat berikutnya adalah masa pertumbuhan dinding sel serat kapas yang disebut masa pendewasaan. Buah kapas kemudian membuka sekitar 50 hari setelah buah mencapai besar maksimum, dan membentuk gumpalan kapas yang dikenal dengan istilah Cotton Bowl. Saat itulah tanaman kapas siap untuk dipanen sebagai serat kapas untuk material tekstil. Morfologi kapas ditunjukkan pada Gambar II.1.
8
Gambar II.1 Buah tanaman kapas (www.cottonjourney.com). Serat kapas mempunyai bentuk
pita terpilin yang halus dengan panjang
sekitar 2 sampai 3 cm dan diameter sekitar 5 sampai 10 mµ, sedangkan pengamatan dengan mikroskop menunjukkan penampang melintang kapas berbentuk ginjal dengan lubang di tengah yang disebut lumen. Lumen merupakan sisa-sisa protoplasma yang menguap pada saat kapas membuka. Penampang serat kapas membujur dan melintang ditunjukkan pada Gambar II.2
(a)
(b)
Gambar II.2 Penampang (a), membujur dan (b), melintang serat kapas.
II.1.1 Struktur Kimia Kapas Analisis serat kapas menunjukkan bahwa serat kapas tersusun
hampir 95%
selulosa yang merupakan suatu polimer dari β – 1,4 – D glukosa seperti yang
9
ditunjukkan pada Gambar II.3 dengan derajat polimerisasi sekitar 10.000 dan massa molekul sekitar 1.600.000. Zat-zat lain selain selulosa yang terdapat pada dinding primer berupa pektin, protein, lilin, abu, pigmen dan zat lainnya sekitar 5%. Komposisi serat kapas disajikan pada Tabel II.1. Tabel II.1 Komposisi serat kapas (Hamby, 1965) Zat penyusun
H
CH2OH O H H OH
Selulosa
94
Protein
1,3
Pektin
1,2
Lilin
0,6
Abu
1,2
Pigmen dan zat lain
1,7
H
H
OH H
O H
OH
% Komposisi
H
OH
OH H
H
H O
CH2OH O H H OH
O H
O CH2OH
H
H
OH
H
OH
OH H
H
O CH2OH
H OH
n-1
Gambar II.3 Struktur kimia selulosa (Gosh, 2004). II.1.2 Sifat Serat Kapas Kapas sebagian besar mengandung selulosa dan akibatnya sifat kimia kapas sama dengan sifat kimia selulosa. Asam-asam kuat dapat menyebabkan terjadinya hidrolisis ikatan glikosida dalam rantai, sehingga akan menyebabkan degradasi rantai polimer yang berakibat menurunnya kekuatan serat kapas. Kapas mudah diserang oleh jamur dan bakteri terutama dalam kondisi hangat dan lembab. Kerusakan karena oksidasi menghasilkan oksiselulosa yang umumnya disebabkan karena proses pemutihan dengan oksidator yang berlebihan dan pemanasan yang
10
lama pada temperatur di atas 140 oC. Alkali mempunyai pengaruh yang tidak begitu berarti pada serat kapas, kecuali alkali kuat pada konsentrasi tinggi yang menyebabkan penggelembungan yang besar pada serat. Penggelembungan maksimum terjadi pada perlakuan dengan larutan NaOH 18% (w/v) yang dikenal dengan proses merserisasi (Shenai, 1995). Proses merserisasi adalah perlakuan kapas dengan larutan NaOH 18% (w/v) yang bertujuan untuk meningkatkan kilau dan kekuatan serat.
Kapas berwarna putih kekuningan yang disebabkan adanya pigmen yang dikandungnya. Warna kekuningan akan hilang dalam proses pemutihan yang dikenal dengan proses bleaching (pengelantangan). Kekuatan serat kapas sekitar 7000 psi atau sekitar 49 kg/mm2 dengan mulur saat putus sekitar 7%. Kandungan kelembaban (moisture content) kapas sekitar 8%. Kapas mempunyai elastisitas dan stabilitas dimensi yang rendah dan mudah kusut.
II.1.3 Sifat Anti Kusut Material Kapas Kelemahan tekstil dari serat kapas adalah mudah kusut dan mudah diserang bakteri. Sifat mudah kusut kapas ini disebabkan karena susunan rantai molekul kapas yang kaku dan adanya gugus–gugus hidroksil pada rantai selulosa menyebabkan terjadinya ikatan hidrogen antar rantai yang cukup besar, sehingga rantai selulosa sulit untuk bergerak. Ketika ada gaya luar yang diterima rantai molekul selulosa misalnya kain dilipat, terjadi pergeseran rantai molekul dan pada posisi terlipat terjadi ikatan hidrogen yang baru yang menyebabkan bentuk lipatan stabil atau dikatakan kusut (Chen, et al., 2004). Untuk mengatasi kekusutan perlu dilakukan proses penyempurnaan untuk meningkatkan ketahanan kusut dengan pemberian resin anti kusut. Resin anti kusut dapat berupa senyawa turunan metilol, glioksal atau karboksilat.
II.2 Ketahanan Kusut Tekstil Ketahanan kusut pada tekstil adalah suatu sifat dari material yang berhubungan dengan kemampuan kembali dari deformasi akibat lipatan yang terjadi selama
11
pemakaian. Kemampuan kembali ini ada yang langsung terjadi, yang berarti material tersebut tahan terhadap deformasi, atau ada yang lambat sehingga timbul lipatan yang disebut kusut. W.E. Morton (1995) menjelaskan mekanisme kekusutan dengan Gambar II. 4 di bawah ini
Gambar II.4 Mekanisme kekusutan (W.E. Morton, 1995). (a). Struktur molekul dengan ikatan silang, (b). Pembentukan ikatan silang baru memberikan kekusutan, (c). Perpanjangan dari ikatan silang akan menyebabkan kembali dari kekusutan Gambar II.4 a menjelaskan susunan rantai molekul material tekstil dengan adanya ikatan antar rantai molekul. Jika material ditekuk membentuk kekusutan ada dua kemungkinan yaitu ikatan antara rantai putus dan terbentuk kembali ikatan pada posisi yang baru, sehingga pada saat gaya dilepas tekukan tidak kembali ke posisi semula yang dinamakan kusut (Gambar II.4.b). Kemungkinan kedua ikatan antar rantai tidak putus tetapi memanjang (strained without breaking), sehingga pada kondisi ini ketika beban dihilangkan, tekukan / susunan molekul akan kembali ke semula dan dinamakan tidak kusut. Pada saat material ditekuk/dilipat (baik sengaja atau oleh penggunaan) akan terlihat tanda lipatan yang disebut kusut, dan dimana terjadi pergerakan molekul seperti yang telah dijelaskan, terjadi perpanjangan. Kemampuan material untuk kembali dari kekusutan tergantung pada gaya antar molekul pada rantai, yang dapat berupa gaya tarik karena adanya ikatan silang antar molekul atau gaya yang dihasilkan dari ikatan hidrogen dan van der Waals. Pada saat ditekuk (ada gaya distorsi) akan terjadi pergerakan molekul. Kapas karena molekulnya kaku, susah
12
bergerak, maka ketika ada tekukan terjadi perubahan / pergelinciran molekul, dan pada saat gaya dilepaskan molekulnya sulit untuk kembali ke posisi semula sehingga lipatannya tetap atau dikatakan kusut (Buck, 1959, Chen, et al., 2004). Mekanisme anti kusut pada material tekstil dapat dijelaskan secara analisis mekanik dari material. Ketika suatu material mengalami tegangan maka material mengalami deformasi (Vlack, 1989, Dong, et al., 2003). Deformasi yang terjadi terdiri dari tiga jenis, yaitu deformasi elastis seketika (fast elastic deformation), deformasi elastis tunda (delay deformation)dan deformasi plastis atau deformasi permanen (plastic deformation). Pada deformasi elastis seketika material akan kembali ke posisi semula ketika gaya yang dialami dihilangkan. Pada deformasi tunda material kembali ke posisi semula beberapa saat setelah gaya yang dialami dihilangkan, sedangkan pada deformasi plastik material tidak kembali seluruhnya ke posisi semula ketika gaya dihilangkan. Pada deformasi plastis ada perpanjangan (strain) permanen yang dialami oleh material. Untuk menggambarkan deformasi yang terjadi dapat dijelaskan melalui kurva hubungan tegangan dan regangan di bawah ini
Gambar II.5 Kurva tegangan regangan material (Young, H., D., et al 2002)
13
Kembalinya kain dari kekusutan merupakan fenomena yang terjadi pada daerah elastis (Dong, et al., 2003). Pada daerah elastis berlaku hubungan yang linier antara tegangan dan regangan yang dikenal dengan hukum Hooke.
σ x = Eε x
...........(II.1)
σ = Tegangan tarik atau gaya persatuan luas ε = Regangan E= modulus elastisitas Pada saat terjadi deformasi elastis, gaya luar mengalami perlawanan oleh energi ikatan interaksi antar molekul (interaction bond energi). Deformasi elastis bersifat mampu balik, deformasi akan kembali ke posisi semula ketika gaya dihilangkan (Dieter, 1986, Collieu, et al, 1983). Kemampuan material menyerap energi saat berdeformasi elastis dan kemampuan melepaskan energi untuk kembali ke bentuk semula setelah beban dihilangkan disebut resilience (kelentingan). Energi yang digunakan untuk melawan energi ikatan antar molekul besarnya sama dengan gaya (tegangan ) dikalikan jarak yang ditempuh (regangan). Uo = σ x ε x .................................. (II.2) Pada daerah elastis gaya dan deformasi bertambah secara linier, sehingga energi yang digunakan sama dengan setengah hasil kali gaya dengan regangan atau sama dengan luas di bawah kurva pada daerah elastis (Collieu, et al, 1983 Young, et al 2002). 1 1 Uo = σ x ε x = Eε 2 .........................(II.3) 2 2
Uo= Energi regangan.
σ = Tegangan tarik yang dialami material ε = Regangan E= modulus elastisitas Semakin besar nilai Uo maka material akan semakin mudah kembali ke bentuk semula. Persamaan II.2. menunjukkan bahwa kemampuan material kembali ke
14
bentuk semula dipengaruhi oleh tegangan tarik yang dilawan oleh gaya ikat antar molekul, regangan dan modulus elastisitas.
II.2.1 Peningkatan Sifat Anti Kusut Peningkatan sifat anti kusut dapat dilakukan dengan membentuk ikatan silang antar rantai berupa ikatan kovalen. Ikatan kovalen ini lebih kuat daripada ikatan hidrogen sehingga ikatan tersebut dapat menahan tergelincirnya susunan molekul akibat rusaknya ikatan hidrogen, dan ikatan kovalen tersebut dapat menarik molekul ke posisi semula ketika gaya distorsi dihilangkan, sehingga dapat mengatasi kekusutan yang terjadi. Mekanisme anti kusut dengan pemberian ikatan silang jika dihubungkan dengan persamaan II.3 menjelaskan bahwa jika ada ikatan silang antar molekul, maka internal stress yang dialami material tekstil menyebabkan tegangan σ semakin besar akibatnya energi regangan semakin besar sehingga material tekstil lebih mudah kembali ke bentuk semula ketika gaya yang dialami dihilangkan. Cara ini dilakukan pada proses anti kusut dengan pemberian senyawa turunan N metilol yang akan membentuk ikatan silang antar rantai (Wang, 2003., Voncina, 2002., Morton, 1995) seperti yang digambarkan pada Gambar II. 6. O HOH2C
N
N
H
H OH
HO
----
O
H
CH2OH
OH
OH H
+ OH H
H
H
H O
O CH2OH
H
CH2OH H OH H H H O OH H O O H OH H H H O H OH CH2O H2C H
HO
----
O
CH2OH O H OH H
N
O H
H
OH
CH2OH H H O OH H H H OH
O N CH2OH
OH
OH H
H
O CH2OH
H OH H OH H O O H H O CH2O
H
H O
CH2OH O H
H OH H
OH H
OH
n
----
CH2 H N HO O N
H
O
HO H
H2C H H O OH H H
H
H OH
CH2O
CH2 H OH H OH H H H H O OH H OH H O O O O OH H H H H H O H O H OH CH2OH CH2OH
----
Gambar II.6 Ikatan silang antara dimetilol dihidroksi etilena urea dengan selulosa.
15
Kemungkinan reaksi yang dapat terjadi pada proses anti kusut kapas dengan turunan metilol digambarkan pada Gambar II.7. Reaksi yang diharapkan terjadi adalah seperti reaksi nomor 1 pada Gambar II.7, namun selain bereaksi dengan gugus hidroksil dari selulosa turunan metilol dapat terjadi reaksi antar resin metilol dan pembebasan formaldehid dari gugus N-metilol seperti yang digambarkan pada Gambar II.7 (Voncina, 2002). O HOH2C
O
N
N
CH2OH
katalis
H
H
HO
OH
N
H
H
HO
OH
H
HO
OH
CH2OH
N
H
H
HO
OH
HOH2C N katalis
T
N
N
katalis
T
H
H
HO
OH
N
CH2OH + H
HO
OH
O N
H
HO
OH
N
N
N
H
H
HO
OH
CH2OH katalis
H
H
HO
N
OH
N
N
CH2OH
(2) H
H
HO
OH
H2 C N
N
OH
N
N
CH2OH
+ H2O H
H
OH
HO
OH
CH2OH
katalis HOH2C
(4)
H
H OH
OH
O N
H
H
(3)
+ CH2O
HOH2C
T
+ H2O HO
O
H
O
N H
H2 C
O
H-N
H2 C
H
N
H
O
H
HOH2C
HOH2C
CH2OH
O
N
H2 C
O
O HOH2C
O
O
CH2OH + HO - CH2 - N
N
CH2O - Cell + H2O
N
O
H
HOH2C
N
(1)
T
O HOH2C
HOH2C
+ HO - Cell
T
OH
N
N
H
H
H
HO
OH
+ CH2O
(5)
Gambar II.7 Reaksi dari turunan metilol selama proses penyempurnaan anti kusut Reaksi no 2 dan 4 merupakan reaksi antar rantai metilol sendiri sehingga akan menurunkan rendemen ikatan silang antar rantai selulosa, sedangkan reaksi 3 dan 5 menghasilkan formaldehid bebas, hal ini merupakan kelemahan dari resin turunan metilol. Untuk mengatasi hal ini beberapa usaha telah dilakukan diantaranya memodifikasi proses dengan mensulfonasi selulosa sebelum direaksikan dengan resin turunan
16
metilol, dan hasilnya dapat menurunkan kadar formaldehid yang dibebaskan (Hashem 2003). Dalam usaha mengatasi kelemahan dari resin turunan metilol beberapa tahun terakhir dikembangkan zat anti kusut yang tidak membebaskan formaldehid diantaranya resin dari turunan glioksal dan atau suatu polikarboksilat (Wang, 2003. Yang, 2003).
II.2.2 Turunan Karboksilat Sebagai Zat Anti Kusut Penyempurnaan anti kusut pada kain kapas adalah proses pembentukan ikatan silang antara molekul selulosa dengan suatu senyawa yang mempunyai minimal dua buah gugus fungsi. Masing-masing gugus fungsi akan berikatan dengan gugus hidroksil dari selulosa sehingga terjadi ikatan silang antar rantai selulosa. Gugus fungsi harus dapat berikatan dengan gugus hidroksil selulosa yang berjauhan. Oleh karena itu senyawa yang digunakan harus mempunyai ukuran molekul yang cukup besar, sehingga mempunyai rintangan sterik untuk berikatan antara gugus hidroksil yang berdekatan pada satu rantai selulosa. Lickfield dkk.dari National Textile Center di Cina melakukan esterifikasi kapas dengan BTCA (Butanetetracarboxylic acid) dengan katalis natriumhipofosfit (Lickfield et al. 2002, Lee So 2002). Asam karboksilat tersebut dapat berikatan silang dengan selulosa melalui reaksi esterifikasi seperti yang ditunjukkan Gambar II.8 O H
OH H
H H
HO H
H
H
CH2OH O H OH H
H O
O CH2OH
H
H
OH H
O H
OH
H
OH
H
CH2OH O H OH H
H O
OH
H
+
OH
HO
H
O CH2OH
OH
O
n H
OH H
H H
---- O
H
H
H O
CH2OH O H OH H
O H
O H
CH2O
HO H
OH
OH H
H
H
OH
H
H
CH2O
HO
OH
H
H H
O
O CH2OH
CH2O H O
OH
O O
----O
OH
O
O
H
O ----
H
O
HO
H
CH2OH O
H OH
O
H
O
OH
H O
O
O
H
OH
O
H OH
O H
O H
H
OH
H
H
OH
OH H
H
CH2O H
H O
H OH
O
O ----
H H
O CH2OH
H
OH
Gambar II.8 Reaksi ikatan silang antara selulosa dengan BTCA (Bajaj, 2002).
17
II.2.3 Proses Esterifikasi Reaksi esterifikasi secara garis besar dapat terjadi dengan tiga cara yaitu a) Reaksi antara asam karboksilat dan alkohol. Reaksi esterifikasi langsung dari asam karboksilat dan alkohol merupakan reaksi reversible seperti yang ditunjukkan Gambar II.9. Reaksi ini sangat bergantung kepada halangan sterik dari alkohol dan asam karboksilatnya. Kekuatan asam dari asam karboksilat berpengaruh sangat kecil terhadap laju pembentukan ester. O
O R1
+
+
C
H
R2OH
R1
C
OR2
+ H2O
OH
Gambar II.9 Reaksi esterifikasi antara asam karboksilat dan alkohol. b) Reaksi dari halida asam dengan alkohol Esterifikasi melalui halida asam sangat efektif untuk senyawa yang terintangi secara sterik. Klorida asam yang sering digunakan adalah SOCl2 dan PCl3. Asam karboksilat diubah menjadi asil halida. Asil halida yang lebih reaktif direaksikan dengan alkohol membentuk ester seperti yang ditunjukkan dalam Gambar II.10. O R1
O
C
+
SOCl2
R1
OH
SO2
+ HCl
Cl
O R1
+
C
O +
C
R2OH
R1
C
OR2
+ HCl
Cl
Gambar II.10 Reaksi esterifikasi antara asil halida dengan alkohol. c) Reaksi anhidrida asam dengan alkohol Reaksi esterifikasi melalui
anhidrida asam sering digunakan
untuk
mensintesis ester dari asam dikarboksilat. Asam dikarboksilat akan berubah menjadi anhidrida yang lebih reaktif dengan perantara anhidrida asam asetat.
18
Anhidrida yang dihasilkan direaksikan dengan alkohol menghasilkan ester seperti yang ditunjukkan Gambar II.11 O O R2
H3C
C
+
C OH
O R2
C
O H3C
O
C
R2 O
+ CH3COOH
C O
O R2 R1
OH
C
+
O O
R2
R2
C
O OR1 +
R2
C
C
OH O
Gambar II.11 Reaksi esterifikasi antara anhidrida asam dengan alkohol. d) Transesterifikasi Reaksi transesterifikasi terjadi secara reversible antara ester dan alkohol seperti yang ditunjukkan Gambar II.12. Umumnya digunakan dengan alkohol berlebih O
O R1
C
OR2
+
R3OH
R1
C
OR3 +
R2OH
Gambar II.12 Reaksi trans esterifikasi antara ester dan alkohol.
II.3 Kerusakan Serat Kapas Karena Asam Kapas merupakan serat selulosa, sebagaimana selulosa yang lainnya kapas tidak tahan terhadap asam. Asam kuat yang berlebihan akan menyebabkan terhidrolisisnya rantai glukosa pada jembatan oksigen. Terputusnya jembatan akan menyebabkan terjadinya depolimerisasi sehingga dihasilkan rantai dengan derajat polimerisasi lebih rendah. Adanya asam dapat menyebabkan terjadinya hidrolisis pada ikatan glikosida dari kapas membentuk senyawa aldehid seperti yang digambarkan pada Gambar II.13.
19
CH2OH H
o
H OH
o
H
OH H
----
H OH
O
H OH
HO
OH
o
H
H
HO H
H
OH
OH H
H
o
CH2OH
H
HO
OH
H
CH2OH
o
H
H
OH
OH H
H
H ----
o
H
CH2OH
OH
H + +H2O
H
o H
CH2OH
OH
+
H H2O
o
H
n
H OH
H
H
CH2OH H
H
HO
OH H
o
H
OH
OH H
o
H
H
o
H OH H
H
o H
H
H
CH2OH
CH2OH H
CH2OH H
o
H
H OH
H
H OH H
H
OH
OH H
H
H
OH O CH2OH
Gambar II.13 Reaksi kerusakan kapas oleh asam. Hal ini menyebabkan penurunan kekuatan tarik kain dari material selulosa yang telah mengalami hidrolisis asam. Penentuan secara kuantitatif kerusakan selulosa dinyatakan dengan bilangan tembaga yang menyatakan jumlah Cu2+ yang direduksi menjadi Cu+ untuk setiap 100 gram kapas (ASTM D 919-97). II.4 Sifat Anti Bakteri Material Tekstil Kain kapas memiliki banyak gugus hidroksil oleh karena itu memiliki kemampuan menyimpan uap air yang cukup besar (sekitar 8%) sehingga nyaman dipakai. Selain sebagai material tekstil pakaian serat kapas juga cukup banyak digunakan sebagai tekstil bidang kesehatan seperti kain verban, masker operasi, ataupun tekstil rumah tangga seperti sprei, handuk dan lainnya. Kadar kelembaban yang tinggi menyebabkan kain kapas menjadi tempat yang baik untuk tumbuh berkembangnya bakteri. Bakteri yang paling umum berada dalam lingkungan manusia adalah bakteri jenis Staphylcoccus aureus, satu dari tiga orang sehat akan membawa bakteri jenis Staphylococcus aureus di dalam tubuhnya misalnya di kulit, di hidung ataupun di tenggorokan (www.hpa.org.uk; www.amm.co.id). Bakteri ini dapat hidup bersama manusia tetapi tidak langsung menimbulkan infeksi. Infeksi pada manusia timbul jika ada luka terbuka, misalnya bekas operasi atau luka cidera lainnya dan jika sistim kekebalan tubuh pada
20
manusia sedang menurun. Infeksi yang dapat ditimbulkan oleh bakteri ini antara lain, infeksi kulit (jerawat, bisul, ruam kulit)
infeksi luka, abses, paru-paru
(pneumonia) infeksi tulang dan sendi (osteomyelitis and septic arthritis), infeksi klep jantung, meningitis (radang otak) dan infeksi saluran kencing (NHS, Grundmann 2001). Bakteri kedua yang sering kali mempengaruhi kesehatan manusia adalah Escherichia coli. Jika Staphylococcus aureus merupakan bakteri jenis gram positif, Escherichia coli termasuk bakteri jenis gram negatif. Bakteri ini mudah tumbuh pada kondisi hangat dan
membentuk spora, sehingga untuk
mematikannya memerlukan pengulangan proses seperti pasteurisasi. Bakteri ini menyebabkan infeksi pada saluran kencing, saluran pencernaan
dan bersifat
patogen (Ahmed, 2006). Pertumbuhan mikroorganisme pada material tekstil dapat mengakibatkan penurunan kualitas material tekstil tersebut antara lain pemudaran warna dan penurunan kekuatan. Selain penurunan kualitas pada material pertumbuhan bakteri juga dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Sebagai contoh pertumbuhan bakteri pada material tekstil dapat menimbulkan reaksi alergi, timbulnya bau tak sedap, pada penggunaan tekstil medis adanya bakteri dapat menyebabkan perpindahan infeksi. (Ramachandran, 2004)
Untuk mengatasi
tumbuhnya bakteri pada material tekstil berbagai upaya telah dilakukan, seperti penggunaan zat anti bakteri (Breier, 2005). Zat anti bakteri yang dapat digunakan antara lain senyawa fenol, organo logam, turunan formaldehid
dan senyawa
amina (Sun, 1999. Lin, 2001.Yun 2002, Gupta 2004). Zat anti bakteri dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu yang berfungsi sebagai biostatik dan biosida. Biosida berfungsi untuk menonaktifkan bakteri dengan cara mematikan bakteri, sedangkan biostatik lebih
berfungsi untuk menekan laju
pertumbuhan bakteri. Secara umum kerja dari zat anti bakteri dapat diduga dengan meninjau struktur sel bakteri. Suatu sel hidup memiliki sejumlah enzim untuk melangsungkan proses metabolisme protein asam nukleat dan senyawa lainya
21
(Pelczar 1988). Membran sitoplasma merupakan lapisan tipis yang secara selektif mengatur keluar masuknya zat antara sel dengan lingkungan di luar. Pada membran ini juga terjadi reaksi beberapa enzim, sedangkan dinding sel merupakan pelindung bagi sel. Kerusakan pada salah satu sistem dapat menyebabkan terjadinya perubahan yang berakibat matinya sel hidup tersebut. Perubahan yang mungkin terjadi dengan adanya zat anti bakteri antara lain kerusakan pada dinding sel. Hal ini dapat dilakukan dengan menghambat pertumbuhan dinding sel. Kerusakan pada membran akan menyebabkan terganggunya integritas komponen sel yang akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel hingga matinya sel. Proses denaturasi protein juga akan mengakibatkan matinya sel. Temperatur tinggi dan adanya beberapa senyawa kimia dapat menyebabkan terjadinya proses denaturasi protein yang akan berakibat matinya sel. DNA (deoxyrybonucleic acid), RNA (Ribonucleic acid) dan protein memegang peranan penting dalam proses kehidupan sel. Gangguan dalam sintesis DNA, RNA dan protein yang terganggu dapat mengakibatkan kerusakan sel (Liu 2006, Johnson, 2003). Beberapa zat yang digunakan sebagai zat anti bakteri dapat berbahaya bagi kesehatan manusia. Idealnya zat anti bakteri tidak hanya membunuh bakteri yang tidak diinginkan tetapi juga harus memenuhi tiga persyaratan (Ye, 2006) yaitu : pertama zat tersebut tidak mengeluarkan racun yang berbahaya bagi tubuh atau lingkungan, zat anti bakteri dapat kompatibel dengan zat aditif lain yang digunakan bersama-sama dan tidak menurunkan kualitas material tekstil misalnya pudarnya warna, dan yang ketiga zat anti bakteri yang digunakan harus tahan terhadap pencucian berulang agar sifat anti bakteri pada material tekstil dapat bertahan lama. Dengan bertambahnya kesadaran akan masalah lingkungan, perusahaan tekstil mulai mencari pengganti zat-zat yang berbahaya dengan zat yang ramah lingkungan. Salah satu senyawa yang saat ini menjadi perhatian adalah kitosan. Senyawa kitosan dapat digunakan sebagai zat aditif pada proses tekstil
karena
sifatnya
yang
biokompatibel,
tidak
beracun
terbiodegradasi (Robert, 1992, Dutta, et al., 2002, Lim, et al, 2003).
22
dan
dapat
II.5 Kitin dan Kitosan Kitin merupakan senyawa organik yang sangat melimpah di alam setelah selulosa. Sumber kitin dapat berasal dari binatang kelas arthropoda dan yang sangat potensial adalah dari kerangka luar crustacean. Kitin adalah polimer dari N asetilD-glukosamin (N-asetil-2-amino-2-deoksi-D-glukopiranosa) yang terikat dengan ikatan glikosida pada posisi 1,4. Kitin yang mirip dengan selulosa memiliki kelarutan dan reaktivitas yang rendah (Kumar 2000). Perbedaan dengan selulosa adalah gugus hidroksil pada posisi C 2 digantikan dengan gugus asetamida. Keberadaan kitin di alam terdapat dalam bentuk kitin α dan β tergantung kepada sumber kitin diisolasi. Beberapa literatur menyebutkan adanya bentuk kitin γ, tetapi analisis lebih lanjut menyimpulkan bahwa bentuk kitin γ merupakan variasi dari bentuk kitin α (Atkin, 1985). Isolasi kitin dari kulit udang dan kepiting menghasilkan kitin α, dan bentuk ini merupakan jumlah yang terbanyak di alam. Kitin β diperoleh dari hasil isolasi kitin dari cumi-cumi tetapi jumlahnya sangat terbatas di alam. (Rinaudo, 2006). Karakterisasi dengan difraksi sinar X menunjukkan pola difraksi yang hampir mirip antara kitin α dan β, perbedaannya hanya terletak pada intensitas cincin difraksi pada jarak antar bidang 0,338 nm untuk kitin α dan 0,324 nm untuk kitin β. Pola difraksi dari kitin α dan β ditunjukkan pada Gambar II.14.
Gambar II.14 Pola difraksi (a) kitin α dan (b) kitin β (Rinaudo, 2006).
II.5.1 Isolasi Kitin dan Transformasi Menjadi Kitosan Kitin dapat diisolasi dari kulit binatang laut berkulit keras seperti udang dan kepiting. Isolasi kitin dilakukan melalui penghilangan protein kemudian diikuti
23
dengan penghilangan mineral yang dikandung kulit binatang laut. Kitin hasil isolasi sulit dilarutkan dalam berbagai pelarut organik. Hal ini yang menyebabkan keterbatasan pengunaan kitin dalam industri (Muzarelli, 1974). Oleh karena itu umumnya dilakukan proses hidrolisis kitin dengan alkali. Proses hidrolisis kitin dengan NaOH yang dikenal dengan proses deasetilasi, akan menghasilkan kitosan dengan gugus aktif
amina. Pada proses hidrolisis ini gugus aseto amida
dihidrolisis menghasilkan gugus
amina. Reaksi hidrolisis kitin dengan alkali
ditunjukkan pada Gambar II.15. Kondisi proses deasetilasi (waktu, temperatur dan konsentrasi alkali) sangat mempengaruhi sifat kitosan yang dihasilkan (Chen 2004, Tsaih 2003) . H
CH2OH O H H OH H
H OH H
O H NHCOCH3
H
NHCOCH3 H H O
H
CH2OH O H H OH
H OH H
O H
O CH2OH
H
H
NHCOCH3 H H
+ NaOH
O CH2OH
NHCOCH3
n
H
CH2OH O H H OH
O H
H
NH2
H
H
NH2
OH H
H
H
H O
O CH2OH
CH2OH O H H OH
O H
H
H
NH2
H
NH2
OH H
H
O CH2OH
H
+ CH3COONa
n
Gambar II.15. Reaksi hidrolisis kitin oleh alkali menjadi kitosan. Senyawa kitin dapat disebut kitosan jika derajat deasetilasi mencapai minimum 50% (Rinaudo, 2006). Pengukuran derajat deasetilasi dapat dilakukan dengan metoda titrasi balik dengan anhidrida asetat atau secara instrumentasi menggunakan spektroskopi infra merah (Duarte, et al., 2002, Shigemasa, et al., 1996). Pengukuran derajat deasetilasi dengan spektroskopi infra merah dilakukan dengan mengukur absorbansi pada bilangan gelombang sekitar 3400 cm-1 yang menunjukkan pita serapan tekuk OH dan puncak serapan pada bilangan gelombang sekitar 1650 cm-1 yang merupakan pita serapan amida II (Moore, et al,. 1980. Miya, et al., 1980). Derajat asetilasi dihitung dengan membandingkan absorbansi pada kedua pita serapan. Kitosan merupakan polimer dari glukosamin. Senyawa kitosan didapat dari hasil deasetilasi kitin sehingga gugus asetil amina pada kitin berubah menjadi gugus
24
amina pada kitosan. Senyawa kitosan biasanya masih mengandung 15 - 20% asetil amina. Analisis konformasi rantai polimer kitin dengan berbagai nilai derajat deasetilasi menunjukkan bahwa kitin dan kitosan merupakan polimer yang semi kaku (Mazeau, et al., 2000). Struktur molekul kitin dan kitosan disajikan pada Gambar II. 16.
Gambar II.16. Model molekul (a) kitin dan (b) kitosan (Mazeau, et al.2000). Gambar II. 16. menunjukkan dua buah ikatan hidrogen dari kitin yaitu yang pertama antara gugus – OH pada posisi C 3 dengan – O – dalam cincin piranosa, dan ikatan hidrogen kedua terjadi antara gugus – OH pada posisi C 6 dengan karbonil – C =O. Pada kitosan ikatan hidrogen terjadi antara gugus hidroksil pada posisi C 1 dengan – O – pada cincin piranosa dan antara – O H pada posisi C 6 dengan – N – .
II.5.2 Sifat Kitosan Seperti halnya polisakarida yang lain kitosan mempunyai sifat dapat terbiodegradasi, dan tidak beracun. Selain itu kitosan mempunyai kemampuan untuk dibuat film. Sifat fisik kitosan yang lain adalah : -
Kitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik membentuk larutan viskos pada pH < 6,5.
-
Mempunyai massa molekul yang cukup tinggi yaitu sekitar 3x105 dan mempunyai rantai molekul yang linier.
25
-
Kitosan mempunyai gugus reaktif amina dan hidroksil.
-
Kitosan mempunyai sifat biokompatibel dan bersifat anti bakteri
Sifat kimia
kitosan
mirip dengan polisakarida yang lain. Sifat kimia yang
spesifik dari kitosan adalah kelarutannya dalam larutan asam asetat 2% dan asam formiat. Karakteristik penting dari kitosan adalah massa molekul dan derajat deasetilasi yang sangat mempengaruhi sifat fisik kitosan (Rinaudo 2006)
II.5.3 Massa Molekul Kitosan Hasil Proses Deasetilasi Massa molekul merupakan parameter yang cukup penting dalam penggunaan ataupun sintesis polimer. Massa molekul kitosan bergantung pada sumber kitosan dan proses deasetilasi. Pada penggunaannya sebagai zat fungsional dalam industri tekstil, massa molekul kitosan tidak boleh terlalu tinggi, dengan tujuan agar molekul kitosan dapat lebih mudah masuk ke dalam susunan rantai molekul polimer tekstil. Pengukuruan massa molekul kitosan dapat dilakukan dengan beberapa cara misalnya light scattering, gel permeation chromatography dan yang paling sederhana dan mudah
dilakukan adalah dengan metode pengukuran massa
molekul rata-rata viskositas. Pengukuran viskositas relatif larutan polimer dilakukan pada berbagai konsentrasi polimer yang sangat encer yaitu sekitar 5 g/L (Malcolm 1989). Viskositas relatif adalah perbandingan viskositas larutan terhadap viskositas pelarut. Untuk konsentrasi yang cukup encer , perbandingan viskositas larutan akan sebanding dengan perbandingan waktu alir
sejumlah
volume larutan melalui kapiler yang panjangnya sama. Dari viskositas relatif dapat dihitung viskositas intrinsik melalui persamaan :
ηrel =
ηsp =
η t = ηo to
η − ηo t − to = = ηrel − 1 to ηo
26
............................(II.4)
....................( II.5)
[η ] = ⎛⎜ ηsp ⎞⎟
⎝ C ⎠C ≈ 0
.....................( II.6)
Pengukuran massa molekul berdasarkan viskositas dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan Mark Houwink (Malcolm, 1989) [ η ] = K Mv
a
.......................(II.7)
ηrel merupakan viskositas relatif, ηsp adalah viskositas spesifik dan [ η ] adalah viskositas intrinsik. K dan a merupakan konstanta Mark Houwink, nilai K dan a bergantung pada pelarut yang digunakan. (Robert, 1992, Kasaai, 2006). Nilai K dan a pada beberapa sistim pelarut disajikan pada Tabel II.2 Tabel II.2 Nilai K dan a dari persamaan Mark Houwink untuk larutan Kitosan (Kasaai, 2007 ) No
K(cm3 g-1)
Sistim Pelarut
a
-2
0,71
-3
0,93
-2
1,02
1
0,2M CH3COOH/ 0,1M NaCl/ 4M Urea
8,93 x 10
2
0,1M CH3COOH/ 0,2M NaCl
1,81 x 10
3
0,33M CH3COOH/ 0,3M NaCl
3,41 x 10
Pengukuran massa molekul kitosan sangat diperlukan untuk mensintesis turunan kitosan, karena massa molekul akan sangat mempengaruhi sifat hasil sintesis. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa massa molekul kitosan mempengaruhi sifat anti bakteri yang dihasilkan (No. et al, 2002). Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa sifat anti bakteri yang tinggi terletak pada massa molekul 5000 sampai 10000 Dalton (Kumar et al, 2004. Shon, 2001). Nan et al (2006) melaporkan sifat anti bakteri yang cukup baik diperoleh pada kisaran massa molekul 7000 Dalton. Semakin besar massa molekul akan menaikkan sifat anti bakteri sampai pada massa molekul tertentu, kemudian mengalami penurunan
27
kembali (Zheng et al, 2003). Penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa sampai massa molekul kitosan sebesar 9000 Dalton, sifat anti bakteri semakin baik seiring dengan kenaikan jumlah gugs NH2. Pada massa molekul di atas 9000 Dalton, sifat anti bakteri mengalami penurunan (Liu, 2001). Hal ini disebabkan terlalu banyak gugus amina pada rantai polimer menimbulkan adanya ikatan hidrogen antar molekul sehingga sulit untuk mengikat permukaan sel bakteri akibatnya aktifitas bakterinyapun berkurang.
II.5.4 Kelarutan Kitosan
Kelarutan kitosan merupakan sifat yang penting dalam aplikasi polimer. Kelarutan suatu polimer dalam pelarut bergantung pada nilai parameter kelarutan. Pada suatu sistim biner entalpi larutan ΔH
mix
dinyatakan dalam hubungan (Malcolm,
1989) : ΔH mix = V mix ( δ1 - δ2)2 φ1 φ2 ..............................(II.8) Dengan δ1 dan δ2 merupakan parameter kelarutan dari polimer dan pelarut, φ1 dan φ2 merupakan fraksi volume dan Vmix merupakan volume total kedua campuran. Suatu proses pelarutan berhubungan dengan energi bebas yang dinyatakan dalam persamaan ΔG = ΔH - TΔS .......................................(II.9) Agar polimer dapat larut maka ΔG harus negatif atau ΔH harus sekecil mungkin sehingga (δ1 - δ2)2 harus sekecil mungkin atau dapat dikatakan nilai δ1 sama atau mendekati δ2. Nilai parameter kelarutan dari polimer turunan selulosa dan beberapa pelarut yang mempunyai nilai parameter mendekati polimer disajikan pada Tabel II.3 Pelarut yang umumnya digunakan untuk kitosan adalah asam asetat 2%. Penggunaan campuran asam asetat 2% dengan metanol akan memberikan kelarutan yang lebih baik (Hirano, 2003). Karena nilai parameter kelarutannya semakin kecil perbedaannya.
28
Tabel II.3
Nilai parameter kelarutan dari turunan selulosa, kitosan dan beberapa pelarut (Brandup, 1975 dan Ravindra, 1998) No 1 2 3 4 5 6 7 8
Polimer / pelarut Selulosa asetat Selulosa asetat butirat Etil selulosa Nitroselulosa Kitosan Asam asetat Metanol Dimetilformamida
Parameter kelarutan (cal cm-3)½ 9,9 – 14,7 8,5 – 14,7 8,5 – 10,8 7,8 – 14,7 18,4 – 20,1 10,1 14,5 12,1
Untuk mendapatkan kitosan yang dapat larut dalam air dapat dilakukan dengan cara mendegradasi rantai polimer sehingga dihasilkan oligokitosan yang larut dalam air (Qin, et al. 2006). Kitosan dapat larut dalam air dalam berbagai kisaran pH jika massa molekul kitosan kurang dari 1500 Dalton (Li, et al., 2006). Jika diinginkan massa molekul yang cukup besar tetapi larut dalam air dapat dilakukan modifikasi kitosan dengan gugus yang bersifat hidrofil seperti yang dilakukan oleh Park dkk. (2000), yang mensubstitusi gugus hidroksil dari kitosan dengan propilena oksida.
II.5.5 Sifat Anti Bakteri Dari Kitosan
Kitosan merupakan polimer linier glukosamin hasil hidrolisis dari kitin yang banyak terdapat pada kulit binatang laut berkulit keras seperti udang dan kepiting (Muzzarelli 1977, Rinaudo, 2006).
Senyawa
aminoglukosida
telah
lama
digunakan sebagai zat antibiotik dalam dunia kedokteran (Cordeiro, et al., 2001). Adanya gugus
amina pada kitosan dapat menghambat pertumbuhan bakteri
dengan mengikat muatan negatif dari dinding sel bakteri (Liu, 2001). Beberapa penelitian menyebutkan sifat anti bakteri dari kitosan disebabkan karena pertama pengikatan sitoplasma oleh gugus
amina yang menyebabkan terganggunya
susunan sel sehingga mengakibatkan kematian pada bakteri (Liu, et al., 2006), dan yang
kedua adalah pembentukan lapisan kitosan pada permukaan sel
29
membran,
sehingga
menghalangi
keluar
masuknya
cairan
sel,
yang
mengakibatkan terganggunya metabolisme dan terjadinya denaturasi protein yang berakibat kematian bakteri (Dessen 2004). Liu et al, (2006) dan Li et al (2007) pada penelitiannya menjelaskan mekanisme antibakteri kitosan terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Terjadinya interaksi antara kitosan dengan permukaan sel membran Staphylococcus aureus menyebabkan terjadinya kerusakan sel membran yang berakibat matinya sel Staphylococcus aureus seperti yang digambarkan pada Gambar II.17.
(a)
(b)
Gambar II.17 Foto mikrograf (a) Staphylococcus aureus sebelum interaksi dengan kitosan, (b) Staphylococcus aureus sesudah interaksi dengan kitosan (Li, Y. et al ,2007). Pengujian terhadap Escherichia coli menggambarkan mekanisme yang berbeda, pada gram negatif menunjukkan terhambatnya sintesis RNA dan protein yang berakibat matinya sel Escherichia coli (Chung,Y,C., 2004). Terjadinya kerusakan sel Escherichia coli setelah perlakuan dengan kitosan ditunjukkan pada Gambar II.18.
30
(a)
(b)
Gambar II.18 Foto mikrograf (a) Escherichia coli sebelum interaksi dengan kitosan, (b) Escherichia coli sesudah interaksi dengan kitosan (Chung,Y,C., 2004).
II.6 Modifikasi Kitosan
Modifikasi kitosan telah banyak dilakukan oleh berbagai kelompok penelitian melalui proses asetilasi atau alkilasi untuk mensubstitusi gugus hidroksil atau amina dari kitosan. Umumnya kitosan termodifikasi digunakan dalam dunia medis dan sebagai pengikat logam berat dalam pengolahan limbah cair. Galo, et al. (2002) telah mensintesis turunan kitosan dengan etil dan metil kloro format menghasilkan kitosan alkil karbamat yang digunakan untuk mencegah kerusakan akibat timbulnya bakteri pada hasil panen biji bijian. Hirano, et al. (2003) melakukan asilasi kitosan dengan anhidrida asetat, propionat dan heksanoat untuk mendapatkan kelarutan yang memadai. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi derajat substitusi akan dihasilkan asil kitosan yang sukar larut dalam air . Merkovich, et al. (2001) memodifikasi kitosan dengan glutarat aldehid untuk meningkatkan sifat mekanik dari film kitosan. Omomura, et al. (2003) memodifikasi kitosan dengan aldehid untuk memperoleh kelarutan yang lebih baik dan kemampuan untuk dikombinasikan dengan polimer lain. Aplikasi hasil penelitian ini digunakan sebagai media pengikat logam palladium. Wang, et al. (2003) melakukan modifikasi kitosan dengan poliakrilat untuk meningkatkan kemampuan kitosan mengikat logam. Rekso (2005) dalam disertasinya melakukan pencakokan asam metakrilat pada kitosan untuk
31
menghasilkan zat pengkelat logam ion. Hasil penelitiannya menunjukkan terjadinya kenaikkan kemampuan mengikat logam dari turunan kitosan. Meifang, et al. (2006) mencakokkan polietilenaglikol pada kitosan untuk mendapatkan struktur berpori pada aplikasi teknologi membran. Guinesi, et al. (2006) mensubstitusi kitosan dengan salisilat aldehid untuk mendapatkan sifat anti bakteri dan mempelajari sifat termal dari hasil sintesis, dan hasilnya menunjukkan kestabilan termal turunan kitosan lebih rendah dibandingkan kitosan. Mallika, et al. (2006), melakukan modifikasi kitosan dengan polivinilpirolidon untuk memperbaiki sifat mekanik film yang dihasilkan dari pencampuran kedua polimer tersebut. Tikhonov, et al. (2006) mensintesis turunan kitosan dengan dodec-2-enyl succinoil untuk mempelajari aktivitas antibakteri pada beberapa jenis bakteri, yang menunjukkan bahwa derajat substitusi mempengaruhi aktivitas antibakteri pada beberapa jenis bakteri yang berbeda. Li, et al., (2007) memodifikasi kitosan dengan isobutil untuk meningkatkan sifat kelarutan polimer dalam air dan mempelajari sifat sitotoksin serta kemampuan didegradasinya. Hasil modifikasi menunjukkan kemampuan biodegradasi yang lebih baik dan efek sitotoksin yang tidak berbeda dibandingkan kitosan.
II.7 Esterifikasi Kitosan dengan Turunan Karboksilat
Esterifikasi kitosan dengan turunan karboksilat dilakukan pada fasa homogen. Kitosan dilarutkan dalam asam asetat 2% dan metanol dengan perbandingan volume 1:1. Campuran metanol dan asam asetat 2% akan menyebabkan rantai molekul kitosan teregang dan gugus
amina terionkan menjadi gugus NH3+
(Hirano, et al., 2003. Kurita, et al., 1977). Reaksi pada fasa homogen memudahkan reaksi substitusi pada gugus amina terdistribusi secara heterogen (Kurita, et al., 1977). Gugus karboksilat dapat tersubstitusi pada gugus amina karena gugus
amina lebih bersifat nukleofilik dibandingkan dengan gugus
hidroksil. Jika konsentrasi karboksilat berlebih selain tersubstitusi pada gugus amina, gugus karboksilat juga dapat tersubstitusi pada gugus hidroksil primer dari kitosan. Reaksi esterifikasi kitosan dengan turunan karboksilat ditunjukkan Gambar II.19.
32
CH2OH H
HOOC - ( CH2 )n - COOH
+
H
NH2
OH H
H
O H OH
H
H
NH2
H O H
CH2OOC-(CH2)nCOOH
H
O CH2OH
H
NHOC-(CH2)nCOOH
OH H
H
O
H H OH
H O
H H
H
H
NHOC(CH2)nCOOH
O CH2OOC-(CH2)nCOOH
Gambar II.19 Reaksi substitusi gugus karboksilat pada gugus amina dan hidroksil dari kitosan.
II.8 Esterifikasi Kain Kapas dengan Kitosan Karboksilat
Esterifikasi kain kapas dengan kitosan karboksilat dimaksudkan untuk memanfaatkan kitosan sebagai zat anti bakteri dan gugus karboksilat sebagai zat pengikat silang (Crosslinking Agent). Pelapisan kain kapas dengan kitosan amonium kuartener dapat memberikan sifat anti bakteri pada kain kapas tetapi sifatnya tidak permanen, sifat anti bakteri hilang setelah dua kali pencucian berulang (Kim,1998) . Kitosan karboksilat mempunyai gugus karboksilat yang dapat berikatan dengan gugus hidroksil primer dari selulosa pada kain kapas. Mekanisme ikatan yang terjadi melalui reaksi esterifikasi. Temperatur yang cukup tinggi sekitar 150oC sampai 170 oC diperlukan untuk dapat mengatasi rintangan sterik yang mungkin terjadi. (Tao, et al., 1998). Proses esterifikasi kapas dengan kitosan karboksilat akan menghasilkan kapas kitosan karboksilat yang mempunyai sifat anti bakteri. Hal ini disebabkan adanya senyawa kitosan yang berikatan dengan kapas, sehingga kain kapas akan mempunyai sifat anti bakteri yang permanen.
II.9 Penggunaan Kitosan Pada Tekstil
Kitosan banyak digunakan dalam industri, terutama dalam industri farmasi dan pengolahan limbah cair sebagai zat pengikat logam. Penggunaan kitosan dalam
33
industri tekstil telah dilakukan dalam proses pencelupan dan proses finishing (Lim & Hudson, 2003). Perlakuan kain kapas dengan kitosan dapat menaikkan kerataan warna pada kain kapas yang dicelup dengan zat warna reaktif tetapi tidak meningkatkan ketahanan luntur warna terhadap pencucian (Rippon, 1984). Oktem (2003) telah memperlihatkan pengaruh perlakuan kitosan pada kain kapas. Perlakuan kapas dengan kitosan 5% dapat menaikkan absorpsi zat warna. Hal ini disebabkan karena adanya gugus hidroksil yang dimiliki kitosan. Hasil pencelupan menunjukkan warna yang lebih tua, tetapi mempunyai ketahanan luntur warna yang relatif rendah. Kitosan juga telah digunakan untuk memperbaiki sifat anti mengkerut pada serat wol (Julia, 2000, Rybicki, et al, 2000). Serat kitosan selain dapat digunakan untuk benang operasi juga digunakan sebagai penyaring air minum untuk menghilangkan bau klor (Van Luyen, 1993). Kitosan dapat digunakan sebagai bahan baku untuk zat anti bakteri pada tekstil (Ramachandran, et al. 2004). Penggunaan kitosan sebagai senyawa antibakteri pada bahan kapas menunjukkan sifat anti bakteri yang tidak permanen (Shin, et al, 2001, Lee, et al., 1999, Seong, 1999). Modifikasi kitosan untuk senyawa anti bakteri pada material tekstil oleh Kim, et al (1998) dan Seong, (2000), hasilnya menunjukkan turunan kitosan dapat meningkatkan sifat anti bakteri pada material tekstil, tetapi efek anti bakteri ini tidak bersifat permanen. Hal ini disebabkan tidak adanya ikatan kimia antara turunan kitosan dengan selulosa. Pencampuran kitosan mikrokristalin pada pembuatan serat rayon viskosa dapat meningkatkan sifat anti bakteri Staphylococcus aureus pada serat rayon (Seo, dari Nousiainen, P., 2002).
34