BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand & Kiefer 1990). Sistem penginderaan jauh terdiri dari sistem penginderaan jauh pasif dan aktif, Penginderaan jauh yang menggunakan matahari sebagai tenaga alamiah disebut penginderaan jauh sistem pasif, sedangkan yang menggunakan sumber tenaga buatan disebut penginderaan jauh sistem aktif (Weng 2010). Pengumpulan data penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan alat pengindera atau alat pengumpul data yang disebut sensor. Data penginderaan jauh dapat berupa citra, grafik, dan data numerik (Purwadhi 2001). Kemajuan teknologi penginderaan jauh dalam perekaman data telah mampu menyediakan data dalam bentuk digital dan mampu mengkonversi citra foto dan peta dasar ataupun peta tematik ke dalam bentuk digital data yang diperoleh itu kemudian dianalisis dan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. 2.2. Radar(Radio Detecting and Ranging) Radar (Radio Detecting and Ranging) dikembangkan sebagai suatu cara untuk mendeteksi adanya objek dan menentukan posisi objek tersebut dengan menggunakan radio. Penginderaan jauh sistem radar merupakan penginderaan jauh sistem aktif, tenaga elektromagnetik yang digunakan di dalam penginderaan jauh dibangkitkan pada sensor. Citra radar merupakan sistem segala cuaca dan secara visual tampak mirip dengan foto udara dan karakteristik citra umumnya seperti rona, tekstur, pola, bentuk, dan asosiasi dapat diterapkan pada interpretasi citra radar (Lo 1995). Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Fakultas Kehutanan IPB (2010) menyebutkan bahwa sistem radar mempunyai tiga fungsi: 1. Sensor
memancarkan
permukaan tertentu.
gelombang microwave (radio)
ke bidang
4
2. Sensor menerima beberapa bagian dari energi yang dipancarkan balik oleh permukaan. 3. Sensor ini dapat menangkap kekuatan (detection, amplitudo) dan perbedaan waktu (ranging, phase) dari pancaran balik gelombang energi. Side Looking Radar (SLR) atau Side Looking Aperture Radar (SLAR) merupakan sistem pencitraan yang aktif yang mampu menghasilkan jalur citra yang bersinambungan yang menggambarkan daerah medan luas serta berdekatan dengan jalur terbang. Faktor utama yang mempengaruhi sifat khas transmisi sinyal sistem radar ada dua, yaitu panjang gelombang dan polarisasi pulsa tenaga yang digunakan. Polarisasi dari sinyal radar merupakan orientasi atau arah dari pancaran atau penerimaan sinyal radar dengan sensor, berupa polarisasi horizontal (H), vertical (V) atau keduanya. Dengan demikian polarisasi dari sinyal radar dapat dikombinasikan menjadi: HH : memancarkan dan menerima secara horisontal VV : memancarkan dan menerima secara vertikal HV : memancarkan secara horisontal dan menerima secara vertikal VH : memancarkan secara vertikal dan menerima secara horisontal Karena berbagai obyek mengubah polarisasi tenaga yang mereka pantulkan dalam berbagai tingkatan maka bentuk polarisasi sinyal mempengaruhi kenampakan obyek pada citra yang dihasilkan (Lillesand & Kiefer 1990). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi koefisien backscattering radar adalah kemiringan topografi. Pada daerah datar, penentuan sudut datang radar hanya dipengaruhi oleh sudut depresi radar. Tetapi untuk daerah yang tidak datar, kemiringan topografinya juga harus dipertimbangkan dalam menentukan sudut datang radar. Perubahan sudut datang radar akibat kemiringan topografi akan merubah koefisien backscattering radar. Oleh sebab itu, karakteristik topografi pada daerah yang tidak datar harus diperhitungkan pada tahap koreksi radiometrik citra SAR (Lillesand & Kiefer 1990). Secara umum Lillesand dan Kiefer (1990) membagi bentuk pantulan pulsa radar menjadi tiga, yaitu pantulan baur, pantulan sempurna dan pantulan sudut. Efek geometri sensor/obyek relatif atas intensitas sinyal hasil balik radar terpadu dengan efek kekasaran permukaan.
5
Gambar 1 Bentuk Pantulan Radar dari Berbagai Macam Permukaan menurut Lillesand dan Kiefer (1990) (a) baur, (b) sempurna, dan (c) sudut. Permukaan dengan kekasaran yang pada dasarnya sama atau lebih besar daripada panjang gelombang yang ditransmisikan akan tampak “kasar”. Permukaan yang kasar bertindak sebagai pemantul baur dan memencar tenaga datang ke semua arah (Gambar 4a). Suatu permukaan halus pada umumnya memantulkan sebagian besar tenaga menjauhi sensor, dan mengakibatkan sinyal hasil balik yang rendah (Gambar 4b). Meskipun demikian, orientasi obyek terhadap sensor harus dipikirkan juga karena permukaan halus yang mengarah ke sensor akan menghasilkan sinyal balik yang sangat kuat. Pantulan sudut dihasilkan dari permukaan halus yang bersudut siku-siku, misalnya bangunan (Gambar 4c). Permukaan halus yang berdekatan mengakibatkan pantulan ganda yang membuahkan hasil balik yang sangat tinggi. Karena pada umumnya pemantul sudut hanya meliputi daerah sempit maka sering tampak sebagai kilauan cerah pada citra (Lillesand & Kiefer 1990). JICA dan Fakultas Kehutanan IPB (2010) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi besaran backscatter dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu sistem sensor dan target-obyeknya. Dari sistem sensor terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi besaran backscatter SAR, yaitu: 1. Panjang gelombang microwave yang digunakan (band X, C, S, L, dan P) 2. Polarisasi (HH, HV, VV, VH) 3. Sudut pandang dan orientasi 4. Resolusinya
6
Faktor-faktor yang mempengaruhi besaran backscatter SAR yang berasal dari sistem target, yaitu: 1. Kekasaran, ukuran, dan orientasi obyek termasuk didalamnya biomassa 2. Konstanta dielektrik (antara lain dapat berupa kelembaban atau kandungan air) 3. Sudut kemiringan atau slope dan orientasinya (sudut pandang lokal/local incident angle) 2.3. ALOS PALSAR ALOS (Advanced Land Observing Satellite) adalah satelit milik Jepang yang merupakan generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS yang dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. Satelit ALOS (Gambar 2) diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006 dengan menggunakan roket H-IIA milik Jepang dari stasiun peluncuran Tanegashima Space Center. Satelit ALOS didesain untuk dapat beroperasi selama 3 sampai 5 tahun. Satelit ALOS dikembangkan untuk memberikan kontribusi bagi dunia penginderaan jauh, terutama bidang pemetaan, pengamatan tutupan lahan regional secara tepat, pemantauan bencana alam, dan pengukuran sumberdaya alam. Karakteristik satelit ALOS disajikan pada Tabel 1.
Sumber: JAXA (2006)
Gambar 2 Satelit Advanced Land Observing Satellite (ALOS).
7
Tabel 1 Karakteristik Satelit ALOS Data Waktu peluncuran Alat peluncur Lokasi
Keterangan 24 Januari 2006 pukul10:33 JTS (Japan Standart Time) Roket H-IIA Pusat Ruang Angkasa Tanegashima Badan Utama: 6,2 m x 3,5 m x 4,0 m Solar Array Paddle : 3,1 m x 22,2 m Antena PALSAR : 8,9 m x 3,1 m 4.000 kg Sun-Synchronous Subrecurrent/Recurrent, periode pengulangan: 46 hari Sekitar 700 km Sekitar 98 degrees Sekitar 99 menit Three-axis stabilization (High accuracy attitude control orbit determination function)
Bentuk Berat Orbit Altitude Inklinasi Periode Pengaturan letak Sumber: JAXA (2006)
ALOS dilengkapi dengan tiga instrumen penginderaan jauh yaitu: a. PRISM (Panchromatic Remote-Sensing Instrument for Stereo Mapping) Sensor ini memancarkan gelombang pankomatrik dengan resolusi spasial 2,5 meter. PRISM memiliki sistem optik yang memungkinkan data dapat direkam pada saat yang bersamaan, yaitu melalui mode observasi dari arah nadir, depan, dan belakang. Dengan kemampuan seperti ini dimungkinkan untuk membangun data tiga dimensi (3D). b. AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2) Sensor
optik
ini
dilengkapi
dengan
kemampuan
khusus
yang
memungkinkan satelit dapat melakukan observasi tidak hanya pada arah tegak lurus lintasan satelit, tetapi juga beroperasi dengan sudut observasi (pointing angle) hingga sebesar ± 44°. Kemampuan itu diharapkan dapat membantu dalam pemantauan kondisi suatu area yang diinginkan. Sensor ini dapat dimanfaatkan dalam penyusunan peta penggunaan lahan atau peta vegetasi dalam penyusunan peta penggunaan lahan terutama menggunakan cahaya tampak (visible) dan infra merah dekat (near infrared). c. PALSAR (Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar) Sensor
PALSAR
yang
dipasang
pada
satelit
ALOS
merupakan
pengembangan lebih lanjut dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya JERS-1. Sensor ini merupakan sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh kondisi cuaca.
8
Melalui salah satu observasinya, yaitu ScanSAR sensor ini memungkinkan untuk melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas yaitu 250 hingga 350 km. ScanSAR mempunyai kemudi berkas cahaya (yang dapat diatur) pada elevasi (ketinggian) dan didesain untuk memperoleh cakupan yang lebih lebar daripada SAR konvensional. Bentuk dari instrumen PALSAR dan prinsip pengambilan objeknya disajikan pada Gambar 3 dan untuk karakteristik dari PALSAR dapat dilihat pada Tabel 2.
Sumber: JAXA (2006)
Gambar 3 Prinsip Geometri PALSAR Tabel 2 Karakteristik Utama PALSAR Mode Frekuensi Lebar Kanal Polarisasi Resolusi Spasial Lebar Cakupan Incidence Angle NE Sigma 0 Panjang bit Ukuran Antena
Fine
HH/VV/HH+HV atau VV+VH 10 m (2 look)/ 20m (4 look) 70 Km 8-60 derajat < - 23 dB (70 Km) < -25 dB (60 Km) 3 bit / 5 bit
ScanSAR
Polarimetric
1270MHz (L-band) 28/114 MHz HH atau VV
HH+HV+VH+VV
100 m (multi look)
30 m
250 – 350 Km 18-43 derajat < - 25 dB
30 Km 8 –30 derajat < - 29 dB
5 bit AZ: 8,9 m x EL: 2,9 m
3 bit / 5 bit
Sumber: JAXA (2006)
2.4 Resolusi spasial Resolusi suatu sensor merupakan indikator tentang kemampuan sensor atau kualitas sensor dalam merekam objek, diantaranya resolusi spasial. Resolusi spasial adalah ukuran terkecil dari suatu bentuk (feature) permukaan bumi yang bisa dibedakan dengan bentuk permukaan di sekitarnya atau ukuran yang bisa diukur (Jaya 2010). Satuan terkecil ini pada umumnya berbentuk segi empat
9
(biasanya bujur sangkar) dan dikenal sebagai sel-sel grid, elemen matriks, elemen terkecil dari suatu gambar (image) atau piksel. Makin kecil ukuran atau luas permukaan bumi yang dapat direpresentasikan oleh setiap pikselnya, makin tinggi resolusi spasialnya. Demikian pula sebaliknya, makin luas permukaan bumi yang dapat direpresentasikan oleh setiap pikselnya, makin rendah resolusi spasialnya (Prahasta 2005). Resolusi spasial dapat menentukan tingkat ketelitian spasial yang dapat diamati di permukaan bumi, resolusi spasial yang baik dapat meningkatkan variasi dalam menentukan tutupan lahan (Weng 2010).
2.5 Klasifikasi Penutupan dan Penggunaan Lahan dalam Penginderaan Jauh Lillesand dan Kiefer (1990) menjelaskan bahwa istilah penutupan lahan (land cover) berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan istilah penggunaan lahan (land use) berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Tutupan lahan merupakan gambaran dari alam dan aktivitas manusia di atas permukaan bumi (Weng 2010). Menurut Lo (1995) ada tiga kelas data secara umum yang tercakup dalam penutupan lahan: (1) struktur fisik yang dibangun oleh manusia, (2) fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian, dan kehidupan binatang, dan (3) tipe pembangunan. Pada citra penginderaan jauh, informasi penutupan lahan umumnya mudah dikenali, sedangkan informasi penggunaan lahan tidak selalu dapat ditafsir secara tepat pada citra akan tetapi dapat dideduksi dari kenampakan penutupan lahan. Menyadari bahwa ada beberapa informasi yang tidak dapat diperoleh dari data penginderaan jauh, maka sistem USGS mendasarkan kategori yang dapat diinterpretasi dari citra (Lillesand & Kiefer 1990). United States Geological Survey (USGS) menyusun sistem klasifikasi penggunaan lahan dan penutupan lahan berdasarkan kriteria berikut: (1) tingkat ketelitian interpretasi minimum dengan menggunakan penginderaan jauh harus tidak kurang dari 85 % (2) ketelitian interpretasi untuk beberapa kategori harus kurang lebih sama, (3) hasil yang dapat diulang harus dapat diperoleh dari penafsir yang satu ke yang lain dari satu saat penginderaan kesaat yang lain, (4) sistem klasifikasi harus dapat diterapkan untuk daerah yang luas, (5) kategorisasi harus memungkinkan penggunaan lahan ditafsir dari tipe penutup lahannya, (6) sistem klasifikasi harus
10
dapat digunakan dengan data penginderaan jauh yang diperoleh pada waktu yang berbeda, (7) kategori harus dapat dirinci ke dalam sub-kategori yang lebih rinci yang dapat diperoleh dari citra skala besar atau survey lapangan, (8) pengelompokan kategori harus dapat dilakukan, (9) harus dimungkinkan untuk dapat membandingkan dengan data penggunaan lahan dan penutup lahan pada masa akan datang, dan (10) lahan multi guna harus dapat dikenali bila mungkin. Hasil sistem klasifikasi penggunaan lahan dan penutup lahan USGS untuk digunakan dengan data penginderaan jauh ditunjukan pada Tabel 3. Tabel 3 Sistem Klasifikasi Penggunaan Lahan dan Penutup Lahan untuk Digunakan dengan Data Penginderaan Jauh Tingkat I 1. Perkotaan atau lahan bangunan
2. Lahan pertanian
3. Lahan peternakan
4. Lahan hutan
5. Air
6. Lahan basah 7. Lahan gundul
8. Padang lumut
9. Es atau salju abadi Sumber: Lillesand dan Kiefer (1990)
Tingkat II 11. Pemukiman 12. Perdagangan dan jasa 13. Industri 14. Transportasi, komunikasi dan umum 15. Kompleks industri dan perdagangan 16. Kekotaan campuran atau lahan bangunan 17. Kekotaan atau lahan bangunan lainnya 21. Tanaman semusim dan padang rumput 22. Daerah buah-buahan, bibit, dan tanaman hias 23. Tempat penggembalaan terkurung 24. Lahan pertanian lainnya 31. Lahan tanaman obat 32. Lahan peternakan semak dan belukar 33. Lahan peternakan campuran 41. Lahan hutan gugur daun musiman 42. Lahan hutan yang selalu hijau 43. Lahan hutan campuran 51. Sungai dan kanal 52. Danau 53. Waduk 54. Teluk dan muara 61. Lahan hutan basah 62. Lahan basah bukan hutan 71. Dataran garam kering 72. Gisik 73. Daerah berpasir selain gisik 74. Batuan singkapan gundul 75. Tambang terbuka, pertambangan, dan tambang kerikil 76. Daerah peralihan 81. Padang lumut semak dan belukar 82. Padang lumut tanaman obat 83. Padang lumut lahan gundul 84. Padang lumut basah 85. Padang lumut campuran 91. Lapangan salju abadi 92. Glasier
11
2.5 Penggunaan Citra ALOS PALSAR untuk Identifikasi Tutupan Lahan Penelitian mengenai identifikasi tutupan lahan menggunakan citra ALOS PALSAR telah dilakukan sebelumnya. Pada penelitian Bainnaura (2010) dengan menggunakan citra komposit HH-HV-HH/HV resolusi 50 m di Kabupaten Bogor dan Sukabumi mampu mengidentifikasi adanya 12 kelas tutupan lahan, yaitu: badan air, bandara, hutan lahan kering, kebun campuran, perkebunan karet, perkebunan kelapa sawit, perkebunan teh, pertanian lahan kering, perumahan, sawah, semak belukar, dan tanah terbuka. Puminda (2010) pada Propinsi D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah dengan menggunakan citra komposit yang sama (HH-HV-HH/HV) mampu mengklasifikasikan obyek dalam 8 kelas, yaitu badan air, hutan tanaman pinus, kebun campuran, pertanian lahan kering, hutan tanaman jati, lahan terbangun, sawah, dan kebun kelapa. Begitu juga penelitian Radityo (2010) menggunakan citra komposit yang sama (HH-HV-HH/HV) resolusi 50 m di Pulau Kalimantan terdapat 8 obyek penutupan lahan yang mampu dibedakan, yaitu: badan air, lahan terbuka, lahan terbangun, belukar rawa, hutan mangrove, pertanian/kebun campuran/semak, perkebunan sawit, dan hutan. Nurhadiatin (2011) menggunakan citra komposit HH-HV-HH/HV resolusi 50 m dan resolusi 12,5 m di kabupaten Brebes, Cilacap, Ciamis, dan Banyumas teridentifikasi 9 kelas penutupan lahan yaitu badan air, hutan tanaman sedang-tua, hutan tanaman muda, kebun campuran, perkebunan karet sedang-tua, perkebunan karet muda, sawah bervegetasi, sawah yang diolah/digenangi air, dan pemukiman. Hendrayanti (2008) dalam penelitiannya menggunakan citra komposit HHHV-HH resolusi 200 m di Pulau Jawa mampu mengidentifikasi obyek ke dalam 4 kelas penutupan lahan yaitu: tubuh air, lahan pertanian, hutan atau vegetasi biomassa rendah, dan hutan atau vegetasi biomassa tinggi. Riswanto (2009) menggunakan citra komposit yang sama, yaitu HH-HV-HH resolusi 200 m di Pulau Kalimantan mampu mengidentifikasi obyek ke dalam 4 kelas tutupan lahan, yaitu: badan air, vegetasi jarang, vegetasi sedang, dan vegetasi rapat.