BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Terkait 2.1.1. Definisi Kecemasan Kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan kuatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi (Nevid, Ratus, dan Greene, 2003).
Menurut
Halgin
dan
Whitboune
(2010)
kecemasan lebih berorientasi pada masa depan dan bersifat umum mengacu pada kodisi ketika individu merasa kekuatiran/kegelisahan, ketegangan dan rasa tidak nyaman yang tidak terkendali dan kemungkinan akan terjadinya sesuatu yang buruk. Freud menjelaskan tentang kecemasan realitas atau rasa takut
akan
bahaya-bahaya nyata di dunia luar (Hall & Gadner, 1993).
Menurut
Freud
fungsi kecemasan
adalah
memperingatkan sang pribadi adanya bahaya; ia merupakan syarat bagi ego bahwa kalau tidak dilakukan tindakan tepat maka bahaya itu akan meningkat sampai ego dikalahkan (Hall & Gadner, 1993). Dari beberapa
9
pengertian
diatas
peneliti
memandang
bahwa
kecemasan adalah suatu ketakutan atau kekuatiran dari suasana hati yang tidak menyenangkan timbul dari situasi yang tidak menentu. 2.1.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan Menurut Aktison dan Hilgard (1996) timbulnya kecemasan bersumber dari dua faktor yang terjadi pada diri individu yaitu: 1). Faktor internal, yakni faktor yang ada dalam diri sendiri; misalnya perasaan tidak mampu, tidak percaya diri perasaan bersalah dan dan rendah diri. 2). Faktor eksternal, merupakan faktor dari luar diri sendiri;
seperti dukungan dan kondisi lingkungan
keluarga, masyarakat dan tempat kerja. Sedangkan Priest (1994), menyatakan bahwa kecemasan dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor seperti karena sering mengalami
keputusasaan,
pengalaman-pengalaman
yang tidak menyenangkan. 2.1.3. Aspek-aspek kecemasan Kecemasan sebagai respon emosional terhadap suatu peristiwa yang tidak menyenangkan, bentuk respon atau reaksinya berkaitan dengan beberapa aspek. Calhum dan Acocella
10
(1995) menyebutkan
aspek-aspek kecemasan dapat ditemukan dalam tiga reaksi, yaitu: 2.1.3.1. Reaksi emosional, yaitu komponen kecemasan yang berkaitan dengan persepsi individu psikologis dari kecemasan.
Individu
merasakan
keprihatinan,
ketegangan, sedih, mencela diri sendiri atau orang lain. 2.1.3.2. Reaksi kognitif, yaitu ketakutan dan kekuatiran yang berpengaruh terhadap kemampuan berpikir jernih, sehingga menganggu dalam memecahkan masalah dan mengatasi tuntutan lingkungan sekitarnya. 2.1.3.3. Reaksi fisiologis, yaitu reaksi yang ditampilkan oleh tubuh terhadap sumber ketakutan dan kekuatiran. Reaksi ini berkaitan dengan sistem syaraf yang mengandalikan berbagai otot dan kelenjar tubuh, sehingga timbul reaksi dalam bentuk jantung berdetak lebih keras, nafas bergerak lebih cepat dan tekanan darah meningkat 2.1.4. Pengertian Hospitalisasi Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan tertentu yang terencana atau darurat, mengharuskan anak tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah. Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami kejadian 11
yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatik dan penuh dengan kecemasan (Supartini, 2004). 2.1.4.1. Hospitalisasi pada anak Menurut persepsi,
Kyle (2008), kemampuan dan
tingkat
perkembangan
usia
anak-anak
kognitif, akan
dan
tingkat
mempengaruhi
persepsi mereka tentang hospitalisasi. Hal-hal ini ternyata
akan
mempengaruhi
reaksi
mereka
terhadap rawat inap. Anak-anak muda memiliki pengalaman yang terbatas dan intelektual yang belum dewasa, sehingga memiliki waktu yang lebih sulit dalam memahami apa yang terjadi pada mereka. Hal ini dapat terjadi terutama pada balita dan anak prasekolah, ketika merasakan keutuhan tubuh mereka dilanggar selama prosedur invasif, mereka
sering
menafsirkan
penyakit
sebagai
hukuman atas rumah sakit sebagai musuh, tindakan menyiksa. Dengan demikian, anak-anak di bawah usia 5 tahun lebih rentan terhadap gangguan emosi ketika rawat inap.
12
Menurut
Department
of
Psychiatry
at
Children’s Hospital Boston tahun 2003 anak-anak menunjukkan berbagai reaksi dalam situasi medis. Reaksi-reaksi
ini
dibentuk
oleh
banyak
faktor
termasuk kepribadian anak, tingkat perkembangan, koping anak dan pengalaman hospitalisasi. 2.1.4.2. Pengalaman sebelumnya Menurut
Kyle, (2008) secara umum, anak-
anak kurang paham dan memiliki sedikit pengalaman terhadap rawat inap, penyakit dan prosedur rumah sakit akan mengalami peningkatan kecemasan. Pengalaman sebelumnya terhadap rawat inap dan penyakit dapat membuat persiapan baik lebih mudah atau lebih sulit (jika pengalaman itu dianggap sebagai negatif). Misalnya, jika anak pergi ke rumah sakit karena kelahiran saudara kandung, ia mungkin melihat ini sebagai pengalaman yang positif. Namun, jika anak pergi ke rumah sakit karena penyakit serius atau kematian keluarga dan teman dekat, ia mungkin akan melihat pengalaman itu sebagai pengalaman yang buruk.
13
2.1.5. Kecemasan orangtua terhadap hospitalisasi Anak-anak dapat merasakan kecemasan dan kekuatiran orangtuanya, ketika orangtua berbisik-bisik sehingga anak dapat berimajinasi. Misalnya, anakanak prasekolah dapat menceritakan hal yang rumit untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan ketika orang tidak dapat menjawab pertanyaannya, anak
akan
kepercayaan
menjadi anak
bingung
pada
ibunya
dan
ketakutan,
dapat
menjadi
berkurang. Hal ini sangat penting bagi anak-anak untuk percaya kepada seseorang yang memegang kendali dan sehingga orang tersebut dapat dipercaya. Reaksi seorang anak sering dibentuk oleh respon terhadap penyakit dan rawat inap. Hubungan antara keluarga dan staf rumah sakit juga dapat berkontribusi pada stres anak. Hubungan ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kualitas lingkungan. Petugas rumah sakit harus bertanggung jawab atas anak-anak yang dirawat di rumah sakit dengan mempertahankan kemitraan
yang
baik
terhadap
keluarga.
Entah
direncanakan atau tidak direncanakan, rawat inap meningkatkan stres keluarga dan tingkat kecemasan. Cedera sakit atau sakit yang serius dari anggota
14
keluarga
dapat
mempengaruhi
semua
anggota
keluarga. Proses yang dapat mengganggu rutinitas keluarga dan dapat mengubah peran keluarga (Kyle, 2008). 2.1.5.1. Reaksi orangtua terhadap hospitalisasi Kyle (2008) mengatakan bahwa reaksi orang
tua
terhadap
hospitalisasi
adalah
sebagai berikut: Melihat anak sakit adalah hal yang
sulit,
membantu
terutama prosedur
ketika
orangtua
tindakan
dengan
memegang anak. Orangtua mungkin merasa bersalah karena tidak mencari perawatan cepat. Orangtua juga dapat menunjukkan perasaan
lainnya
kemarahan,
seperti
depresi,
penyangkalan,
dan
kebingungan.
Orangtua dapat menyangkal bahwa anaknya sakit,
mereka
dapat
mengekspresikan
kemarahan, terutama diarahkan kepada staf perawat,
anggota
keluarga
lain,
serta
ketakutan yang lebih tinggi karena kontrol kerugian
mereka
Depresi
dapat
dalam terjadi
merawat karena
anak. adanya
kelelahan fisik sehingga menghabiskan waktu
15
yang banyak Kebingungan
untuk merawat anaknya. akan
berkembang
karena
berhadapan dengan lingkungan yang asing atau hilangnya peran orangtua. Menurut Wong, dkk (2001) krisis penyakit dan hospitalisasi pada masa kanak-kanak mempengaruhi setiap anggota keluarga inti. Reaksi orangtua terhadap penyakit anak mereka
bergantung
pada
keberagaman
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pada awalnya orangtua dapat bereaksi dengan tidak percaya, terutama jika penyakit tersebut muncul tiba-tiba dan serius. Setelah realisasi penyakit, orang tua bereaksi dengan marah, atau merasa bersalah atau kedua-duanya. Takut,
cemas
dan
frustasi
merupakan
perasaan yang banyak diungkapkan oleh orangtua. Takut dan cemas dapat berkaitan dengan
keseriusan
penyakit
dan
jenis
prosedur medis yang dilakukan. Sering kali kecemasan yang paling besar berkaitan dengan
trauma
16
dan
nyeri
pada
anak.
Orangtua akhirnya dapat bereaksi dengan beberapa tingkat depresi (Wong, dkk., 2001). Depresi biasanya terjadi ketika krisis akut sudah berlalu, seperti setelah
pemulangan
atau pemulihan yang tidak sempurna. Ibu sering mengungkapakan kelelahan fisik dan mental setelah semua anggota keluarga beradaptasi dengan krisis. Alasan lain untuk cemas
dan
depresi
berkaitan
dengan
kekuatiran akan masa depan anak, termasuk dampak negatif dari hospitalisasi dan beban keuangan akibat hospitalisasi tersebut (Wong, dkk., 2001). . 2.1.5.2. Faktor yang Mempengaruhi Reaksi keluarga Gaya pengasuhan, hubungan keluarga dengan anak dan keterampilan koping anggota keluarga dapat mempengaruhi keadaan selama di rumah sakit. Variasi budaya, etnis, agama, nilai dan praktik
dapat
mempengaruhi sikap
keluarga terhadap penyakit. Hal ini mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap respon dan perilaku keluarga. Misalnya, keyakinan agama 17
dapat meningkatkan masalah atau dapat menjadi sumber kekuatan untuk keluarga dan anak. Keluarga yang berada dalam krisis dan tanpa adanya sistem pendukung yang baik akan sulit untuk beradatasi dengan stres akibat rawat inap (Kyle, 2008). Menurut Meskhani & Bavarian (2005) ada beberapa faktor seperti ketidakpastian tentang penyakit anak dan kesembuhannya, kekuatiran tentang informasi yang diberikan oleh pengasuh, rasa takut, dan rasa bersalah menganggu peran orangtua dan kemungkinan orangtua mengalami penderitaan dan kecemasan. Mereka merasa bahwa dalam posisi yang lemah dan mungkin kehilangan
control
dan
kemandirian
juga
merupakan penyebab distres. Hal ini dapat diperparah adanya situasi asuhan yang diberikan oleh pengasuh tidak menyenangkan.
18
2.2. Penelitian terkait 2.2.1 Dampak hospitalisasi terhadap anak Anak-anak
mengalami
kecemasan
selama
hospitalisasi, tingkat kecemasan mereka berbeda-beda berdasarkan jenis kelamin dan umur yang ditemukan oleh Hudson,
Lepper,
Stickland
dan
Jessee
(1987).
Perempuan lebih tinggi tingkat kecemasan dibandingkan dengan laki-laki. Tingkat kecemasan yang paling tinggi dirasakan anak yang berumur 6-12 tahun (Hudson, dkk., 1987). Penelitian yang dilakukan oleh Palender dan LeinoKilpi (2010) di Filandia, dengan tujuan mengetahui pengalaman baik dan buruk anak
pada usia sekolah
selama hospitalisasi menyatakan bahwa ada empat kategori yang menjadi pengalaman buruk anak selama hospitalisasi yaitu terhadap orang, perasaan, aktivitas dan lingkungan. Fokusnya adalah pada pengalaman anak-anak ketika menjadi pasien bahkan anak-anak tidak menyebutkan secara spesifik bahwa mereka telah menjadi pasien. Banyak pengalaman negatif yang mereka alami terkait dengan penyakit, pemisahan dalam lingkungan, dimana ada seseorang yang tidak mereka kenal melakukan perawatan fisik dan tindakan prosedur 19
serta adanya pembatasan makanan dan menunggu sebuah prosedur. Semua itu merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan yang dirasakan oleh anakanak. Pengalaman terburuk yang dirasakan oleh anak adalah tindakan keperawatan dan aktivitas pengobatan, anak-anak menyebutkan seperti adanya jarum suntik, pemeriksaan/perawatan jahitan, operasi, dan adanya pembatasan makanan.
Anak mengatakan mereka seperti disiksa ketika ada pengambilan
sampel
darah
yang
menjadikan
pengalaman buruk bagi anak. Sebagai bagian dari menjadi perasaan
seorang berkaitan
pasien,
anak-anak
dengan
gejala
melaporkan
penyakit
dan
pemisahan. Pengalaman terburuk selama di rumah sakit yang diasakan anak-anak lebih pada gejala penyakit yang
mereka
dapatkan.
Sebagian
besar
mereka
mengatakan nyeri, perasaan kurang sehat, adanya ketegangan, sakit perut, suhu badan panas, kelelahan, dan sakit kepala. Seorang anak mengatakan mual, nyeri, sembelit, diare dan tidak enak badan.
20
Berpisah dari orang tua, teman, rumah, sekolah adalah hal yang tidak disukai anak selama di rawat di rumah sakit. Setelah berada di rumah sakit dan jauh dari rumah
menimbulkan
pengalaman
yang
negatif.
Hospitalisasi menyebabkan gangguan rutinitas, seperti sekolah dan hubungan dengan teman. Beberapa anak mengatakan mereka ditinggal oleh ibu dan ayahnya pada malam hari, tidak bisa menelepon temanya, merindukan rumah dan sekolah. Lingkungan selama rawat inap menjadi salah satu yang tidak mengenakkan dimana harus terbaring ditempat tidur, kurangnya kegiatan seperti kerajinan, dan tidak ada privasi. Untuk beberapa anak hanya di tempat tidur dan terisolasi, terutama di bangsal infeksi, merupakan hal terburuk selama dirawat inap. Menyikapi hal tersebut anak membutuhkan sesuatu yang dapat mereka kerjakan selama di rawat inap.
Dalam penelitian Salmella, Aronen dan Salanterä (2010), di Filandia mereka mendengar perkataan anakanak membahas ketakutan yang berhubungan dengan rumah sakit atau layanan kesehatan lainnya. Anak-anak menafsirkan takut akan gerak tubuh orang dewasa dan membuat
kesimpulan
21
yang
salah
satunya
cukup
memperihatikan memperdulikan
bahwa orang dewasa tidak lagi mereka,
menyakiti
mereka
dengan
sengaja dan tidak menghiraukan apa yang mereka inginkan.
2.2.2. Stres dan perubahan koping individu Pelander dan Leino-Kilpi (2010) mengatakan bahwa efek rawat inap pada anak-anak dipengaruhi oleh sifat dan tingkat keparahan masalah kesehatan, kondisi anak, dan sejauh mana kegiatan dan rutinitas, ketidak pedulian, ketidak bahagiaan, dan bahkan perubahan nafsu makan. Ketika aktivitas motorik anak dibatasi, kemarahan dan hiperaktif mungkin terjadi. Bermain, rekreasi dan pendidikan peluang menyediakan outlet untuk mengalihkan perhatian anak
dari
penyakit,
menyediakan
mereka
dengan
pengalaman yang menyenangkan, dan membantu mereka memahami kondisi mereka. Tentu saja, kemampuan ini berbeda pada usia anak, persepsi mereka terhadap situasi sebelumnya,
hubungan
dengan
personil
perawatan
kesehatan, dan dukungan dari orang lain yang signifikan.
22
2.2.3. Pengalaman orangtua terhadap kecemasan Orangtua pengalaman
juga yang
merasakan tidak
bermacam-macam
menyenangkan
tentang
hospitalisasi. Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Olgivie (1990) yang bertujuan mengungkapkan perasaan orangtua terhadap hospitalisasi anak yang dioperasi menunjukkan bahwa orangtua merasa stres, cemas, kelelahan, bosan dan kuatir terhadap kondisi anaknya. Orangtua juga mengatakan kurangnya informasi dari perawat tentang keadaan anakya.
Dalam studi yang kualitatif yang dilakukan oleh Callery (1996) di Inggris bertujuan untuk melihat persepsi orang tua dan perawat terhadap peran orangtua sebagai asisten anak selama anak dirawat di rumah sakit. Hasil wawancaranya bahwa para orangtua mengalami stres, cemas dan takut. Hal ini disebabkan oleh penyakit, hasil diagnosa dan masa depan anakknya setelah menjalani operasi. Orangtua membutuhkan waktu khusus dengan perawat untuk bercerita tentang apa yang terjadi pada anaknya,
tetapi
disisi
lain
perawat
sibuk
dengan
pekerjaanya pada tindakan prosedur sedangkan ibu juga selalu berfokus dengan kondisi anaknya dan ingin selalu
23
menemani
anaknya.
Perawat
mengatakan
bahwa
orangtua dari anak juga merupakan pasien atau klien dari perawat. Orangtua juga mendapat peran sebagai asisten anaknya sehingga hal ini menimbulkan kebingungan pada orangtua tentang peran mereka sebagai asisten anaknya dan sebagai klien. Perawat mengatakan bahwa dia melihat kondisi fisik yang tidak baik pada salah seorang ibu yang anaknya sudah menjalani operasi selama empat hari yang lalu. Perawat mengatakan bahwa ibu pasien sangat marah, dia tidak bisa tidur semalaman karena kondisi anakya semakin memburuk.
Orangtua mengalami pengalaman stres kerena pemisahan pada unit neonatal dengan penyakit kritis yang dialami anaknya yang baru lahir. Pada kemudian harinya orangtua merasa kuatir adanya risiko yang akan timbul setelah anaknya berusia
tiga tahun. Hal ini
dinyatakan berdasarkan studi yang dilakukan oleh Rautava, Lehtonen, Helenius, dan Silanpaa (2003) di Filandia yaitu efek hospitalisasi neonatal terhadap orang tua dan perilaku anak. Rautava, dkk., (2003) mengatakan bahwa
masalah
bukan
24
pada
perpisahan
yang
menyebabkan orangtua tidak bisa menyusui bayinya, tetapi karena keadaan kritis yang didapat pada bayinya.
Hasil penilitian Agren (1985) menunjukkan bahwa orangtua ingin berpartisipasi dalam perawatan anaknya. Perawat perlu menanyakan tentang keinginan orangtua agar ikut terlibat dalam perawatan anaknya. Perawat memberikan kesempatan
kepada orangtua supaya
selalu dekat dengan anaknya. Menurut Agren (1985) hal itu dibutuhkan agar dapat mengurangi stres pada keluarga selama rawat inap anaknya, dan mengurangi trauma psikogis pada anak selama rawat inap.
Tidak ada hubungan adaptasi keluarga imigran dan non-imigran dengan tingkat kecemasan pada saat anak dirawat di rumah sakit diungkapkan oleh Castillo & Vilchez-Lara (2010) dalam studi kuantitatif di Spanyol. Castillo & Vilchez-Lara (2010) mengatakan bahwa orangtua imigran dan non-imigran mengalami kecemasan selama
proses
hospitalisasi.
Sementara
di
Italia
penelitian yang dilakukan Scrimin, dkk (2009) ditemukan bahwa ibu memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan ayah. Pengukuran tingkat kecemasan juga
25
diteliti di Florida, Amerika Serikat oleh Alexander, dkk (1986) menemukan bahwa tingkat kecemasan ibu lebih besar dibandingkan ayah. Walaupun secara statistik tidak ada perbedaan yang signifikan antara tingkat kecemasan ibu dan ayah ketika anak di operasi.
Ibu memang lebih merasakan dampak hospitalisasi dibandingkan
ayah,
hal
ini
ditunjukkan
dari
hasil
penelitian yang dilakukan oleh Lee, A. Lee, Ranki, Weiss dan
Alkon (2007) di Amerika pada orang tua Cina-
Amerika
mendapatkan
bahwa
ibu
kurang
tidur
dibandingkan dengan ayah selama rawat inap yang terjadi pada bayi mereka dan ini menunjukkan adanya hubungan stres yang dirasakan orang tua, kurang tidur, kelelahan selama proses tersebut. Lee, dkk (2007) menambahkan bahwa penyakit pada anaknya juga menimbulkan pengalaman stres bagi orang tua.
Wich dan Cristoph (1998) mengungkapkan perasaan yang dialami oleh orangtua terhadap hospitalisasi adalah mereka anaknya,
hal
yang
adanya
berhubungan pemisahan
dengan
selama
diagnosis
hospitalisasi,
ketidakpastian terhadap satu kondisi serta ketakutan.
26
Semua itu menyebabkan orangtua merasa frustasi dan tidak berdaya ketika melihat anakya menjalani sebuah prosedur. Orangtua juga berkeluh tentang adanya konflik dengan beberapa staf, hambatan dalam komunikasi, lingkungan rumah sakit yang asing dan kebijakan yang tidak fleksibel.
Persepsi caregiving
orangtua
ketika
anak
terhadap
perawat
dirawat
di
sebagai
rumah
sakit
dikemukakan oleh Harbaugh, Tomlinson dan Kirschbaum (2004). Orangtua mengatakan perawat akan menjamin perawatan yang berkualitas dan melibatkan orangtua dalam perawatan. Hal positif yang diterima orangtua dari perawat seperti: 1). memungkinkan untuk dekat dan menjaga anak, 2). mengurangi stres dan ketidakpastian keadaan yang sedang berlangsung, adanya informasi yang akurat dan adanya kepastian, 4). melakukan keperawatan
yang
kompeten
dan
Mengahrgai setiap individualitas
terkordinasi,
anak
mereka,
5). 6).
Orangtua mendapat menjaga informasi kesehatan anak mereka tentang keluhan dan kemajuan. Tapi sebaliknya ada perilaku negative dari perawat yaitu pemisahan dan
27
pengucilan, kelalaian dalam komunikasi, perawatan yang tidak menunjukkan kasih sayang dan perlindungan.
28