9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Diare 1. Definisi Penyakit Diare Diare atau penyakit diare (Diarrheal disease) berasal dari bahasa Yunani yaitu “diarroi” yang berarti mengalir terus, merupakan keadaan abnormal dari pengeluaran tinja yang terlalu frekuensi (Artikel, 2005). Menurut Hipocrates, diare merupakan suatu keadaan abnormal dari frekuensi dan kepadatan tinja. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, diare atau penyakit diare adalah bila tinja mengandung air lebih banyak dari normal. Menurut WHO, diare adalah berak cair lebih dari 3 kali dalam 24 jam, dan lebih menitik beratkan pada konsistensi tinja daripada menghitung frekuensi berak. Menurut Direktur Jenderal PPM dan PLP, diare adalah penyakit dengan buang air besar lembek atau cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya 3 kali atau lebih dalam sehari) (DepKes RI, 2002). Diare akut adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya, dan berlangsung dalam waktu kurang dari 2 minggu (Suharyono, 2008). Menurut Widjaja (2002), diare diartikan sebagai buang air encer lebih dari 4 kali sehari, baik disertai lendir dan darah maupun tidak. Menurut Carpenito (2001), diare merupakan keadaan di mana seorang individu mengalami atau berisiko mengalami defekasi sering dengan feses cair, atau feses tidak berbentuk. Hingga kini diare masih menjadi child killer (pembunuh anak-anak) peringkat pertama di Indonesia. Semua kelompok usia diserang oleh diare, baik balita, anak-anak dan orang dewasa. Menurut Depkes RI (2010), diare adalah suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal atau tidak seperti biasanya, ditandai dengan peningkatan volume keenceran, serta frekuensi lebih dari 3 kali sehari pada anak dan pada bayi lebih dari 4 kali
99
10
sehari dengan atau tanpa lendir darah.Menurut Smeltzer & Bare (2002), diare adalah kondisi di mana terjadi frekuensi defekasi yang abnormal (lebih dari 3 kali sehari), serta perubahan dalam isi (lebih dari 200 gram sehari) dan konsistensi (feses cair). Diare adalah buang air besar (BAB) dengan konsistensi encer atau cair dan lebih dari 3 kali sehari (Mansjoer, 2005). Diare menurut Ngastiyah (2005) adalah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali sehari pada bayi dan lebih dari 3 kali sehari pada anak, konsistensi feses encer, dapat berwarna hijau atau dapat pula bercampur lendir dan darah atau lendir saja. Menurut Maryunani (2010), diare adalah apabila penderita buang air mengalami perubahan bentuk dan konsistensi tinja lembek sampai cair, dengan frekuensi BAB lebih dari biasanya (3 kali lebih dalam 24 jam). Diare adalah pengeluaran tinja yang tidak normal dan cair dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya (pada bayi lebih dari 3 kali BAB, sedangkan pada neonatus lebih dari 4 kali BAB), menurut Sudarti, 2010. Diare menurut Nugroho (2011) adalah peradang pada mukosa lambung dan usus halus yang menyebabkan meningkatnya frekuensi BAB dan berkurangnya konsistensi feses. Diare menurut Suriadi & Rita (2006) diartikan sebagai suatu keadaan di mana terjadinya kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena frekuensi buang air besar satu kali atau lebih dengan bentuk encer atau cair. Menurut Betz & Sowden (2002) diare merupakan suatu keadaan terjadinya inflamasi mukosa lambung atau usus. Diare menurut Whaley’s and Wong (2001) dapat diartikan suatu kondisi, buang air besar yang tidak normal yaitu lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja yang encer dapat disertai atau tanpa disertai darah atau lendir sebagai akibat dari terjadinya proses inflamasi pada lambung atau usus. Diare menurut penulis adalah buang air besar dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam sehari dan konsistensi cair, baik yang disertai lendir
11
maupun darah (pada anak 3 kali sehari dan pada bayi 4 kali sehari).
2. Etiologi Diare disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor infeksi, malabsorpsi (gangguan penyerapan zat gizi), makanan dan faktor psikologis (Sudarti, 2010). a. Faktor Infeksi (Suharyono, 2008) Infeksi pada saluran pencernaan merupakan penyebab utama diare pada anak. Jenis-jenis infeksi yang umumnya menyerang antara lain 1) Infeksi oleh bakteri Escherichia colli, Salmonella thyposa, Vibrio cholerae (kolera), dan serangan bakteri lain yang jumlahnya berlebihan dan patogenik seperti pseudomonas, Infeksi basil (disentri), 2) Infeksi virus rotavirus, 3)Infeksi parasit oleh cacing (Ascaris lumbricoides), 4) Infeksi jamur (Candida albicans), 5) Infeksi akibat organ lain, seperti radang tonsil, bronchitis dan radang tenggorokan, dan 6) Keracunan makanan. b. Faktor Malabsorpsi (Mansjoer, 2005) Faktor malabsorpsi dibagi menjadi dua yaitu malabsorpsi karbohidrat dan lemak. Malabsorpsi karbohidrat, pada bayi kepekaan terhadap lactoglobulis dalam susu formula dapat menyebabkan diare. Gejalanya berupa diare berat, tinja berbau sangat asam, dan sakit di daerah perut. Sedangkan malabsorpsi lemak, terjadi bila dalam makanan terdapat lemak yang disebut triglyserida. Triglyserida, dengan bantuan kelenjar lipase, mengubah lemak menjadi micelles yang siap diabsorpsi usus. Jika tidak ada lipase dan terjadi kerusakan mukosa usus, diare dapat muncul karena lemak tidak terserap dengan baik. c. Faktor Makanan (Nugroho, 2011) Makanan yang mengakibatkan diare adalah makanan yang tercemar, basi, beracun, terlalu banyak lemak, mentah (sayuran) dan kurang matang. Makanan yang terkontaminasi jauh lebih mudah
12
mengakibatkan diare pada anak dan bayi. d. Faktor Psikologis (Maryunani, 2010) Rasa takut, cemas, dan tegang, jika terjadi pada anak dapat menyebabkan diare kronis. Tetapi jarang terjadi pada bayi dan balita, umumnya terjadi pada anak yang lebih besar.
3. Patogenesis Maryunani (2010), proses terjadinya diare dapat disebabkan oleh berbagai kemungkinan. a. Faktor Infeksi (Suharyono, 2008) Proses ini dapat diawali adanya mikroba atau kuman yang masuk dalam saluran pencernaan yang kemudian berkembang dalam usus dan merusak sel mukosa usus yang dapat menurunkan daerah permukaan usus selanjutnya terjadi perubahan kapasitas usus yang akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi usus dalam absorbsi cairan dan elektrolit atau juga dikatakan bakteri akan menyebabkan sistem transporaktif dalam usus sehingga sel mukosa mengalami iritasi yang kemudian sekresi cairan dan elektrolit meningkat. b. Faktor Malabsorbsi (Sudarti, 2010) Merupakan mengakibatkan
kegagalan tekanan
dalam
osmotik
melakukan meningkat
absorbsi sehingga
yang terjadi
pergeseran air dan elektrolit ke rongga usus yang dapat meningkatkan isi rongga usus sehingga terjadi diare. c. Faktor Makanan (Mansjoer, 2005) Dapat terjadi peningkatan peristaltik usus yang mengakibatkan penurunan kesempatan untuk menyerap makanan yang kemudian menyebabkan diare. d. Faktor Psikologis (Ngastiyah, 2005) Keadaan psikologis seseorang dapat mempengaruhi kecepatan gerakan peristaltik usus yang akhirnya mempengaruhi proses penyerapan makanan yang dapat menyebabkan diare.
13
4. Patofisiologi Mekanisme dasar yang menyebabkan diare menurut Whaley’s and Wong (2001) ialah yang pertama gangguan osmotik, akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus, isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare. Kedua akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus. Ketiga gangguan motalitas usus, terjadinya hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri timbul berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula. Selain
itu
diare
juga
dapat
terjadi,
akibat
masuknya
mikroorganisme hidup ke dalam usus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung, mikroorganisme tersebut berkembangbiak, kemudian mengeluarkan toksin dan akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan diare.
5. Komplikasi Menurut Maryunani (2010) sebagai akibat dari diare akan terjadi beberapa hal sebagai berikut a. Kehilangan air (dehidrasi) Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak dari pemasukan (input), merupakan penyebab terjadinya kematian pada diare. b. Gangguan keseimbangan asam basa (metabolik asidosis) Hal ini terjadi karena kehilangan Na-bicarbonat bersama tinja. Metabolisme lemak tidak sempurna sehingga benda kotor tertimbun
14
dalam tubuh, terjadinya penimbunan asam laktat karena adanya anorexia jaringan. Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal (terjadi oliguria atau anuria) dan terjadinya pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler ke dalam cairan intraseluler. c. Hipoglikemia Hipoglikemia terjadi pada 2–3 % anak yang menderita diare, lebih sering pada anak yang sebelumnya telah menderita Kekurangan Kalori Protein (KKP). Hal ini terjadi karena adanya gangguan penyimpanan atau penyediaan glikogen dalam hati dan adanya gangguan etabol glukosa. Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa darah menurun hingga 40 % pada bayi dan 50 % pada anak– anak. d. Gangguan gizi Terjadinya penurunan berat badan dalam waktu singkat, hal ini disebabkan oleh makanan sering dihentikan oleh orang tua karena takut diare atau muntah yang bertambah hebat, walaupun susu diteruskan sering diberikan dengan pengeluaran dan susu yang encer ini diberikan terlalu lama, makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorbsi dengan baik karena adanya hiperperistaltik. e. Gangguan sirkulasi Sebagai
akibat
diare
dapat
terjadi
renjatan
(shock)
hipovolemik, akibatnya perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat mengakibatkan perdarahan otak, kesadaran menurun dan bila tidak segera diatasi klien akan meninggal. Menurut Ngastiyah (2005) sebagai akibat diare baik akut maupun kronik akan terjadi kehilangan air dan elektrolit (terjadi dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan keseimbangan asam basa (asidosis metabolis, hipokalemia), gangguan gizi akibat kelaparan
15
(masukan kurang, pengeluaran bertambah), hipoglikemia, gangguan sirkulasi darah.
6. Jenis Diare Penyakit diare menurut Suharyono (2008), berdasarkan jenisnya dibagi menjadi empat yaitu a. Diare Akut Diare akut yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang dari 7 hari). Akibatnya adalah dehidrasi, sedangkan dehidrasi merupakan penyebab utama kematian bagi penderita diare. b. Disentri Disentri yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibat disentri adalah anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat dan kemungkinan terjadinnya komplikasi pada mukosa. c. Diare persisten Diare persisten yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus menerus. Akibat diare persisten adalah penurunan berat badan dan gangguan metabolisme. d. Diare Dengan Masalah Lain Anak yang menderita diare (diare akut dan diare persisten) mungkin juga disertai dengan penyakit lain, seperti demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya.
7. Gambaran Klinik Mula-mula pasien cengeng, gelisah, suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, tinja cair, warna tinja makin lama kehijau-hijauan karena bercampur dengan empedu, anus dan daerah sekitar lecet, ubun-ubun cekung, berat badan menurun, muntah, selaput lendir mulut dan kulit kering (Maryunani,2010).
16
8. Gejala Diare Gejala-gejala diare menurut Sudarti (2010), biasanya bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah, suhu badan meningkat, tinja bayi encer, berlendir atau berdarah, warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu, lecet pada anus, gangguan gizi akibat intake (asupan) makanan yang kurang, muntah sebelum dan sesudah diare, hipoglikemia (penurunan kadar gula darah), dehidrasi (kekurangan cairan), dehidrasi ringan, dehidrasi sedang, dehidrasi berat. Sebelum bayi di bawa ke tempat fasilitas kesehatan untuk mengurangi risiko dehidrasi sebaiknya diberi oralit terlebih dahulu, bila tidak tersedia berikan cairan rumah tangga misalnya air tajin, kuah sayur, sari buah, air teh, air matang dan lain-lain.
9. Epidemiologi Penyakit Diare Epidemiologi penyakit diare menurut Depkes RI (2005), adalah penyebaran kuman yang menyebabkan diare. Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui fecal oral antara lain melalui makanan atau minuman yang tercemar tinja atau kontak langsung dengan tinja penderita. Beberapa perilaku dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare, antara lain tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan, menggunakan botol susu yang kotor, menyimpan makanan masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar, tidak mencuci tangan sesudah BAB dan BAK atau sesudah membuang tinja anak atau sebelum makan atau menyuapi anak, dan tidak membuang tinja dengan benar. a. Faktor Pejamu Yang Meningkatkan Kerentanan Terhadap Diare Faktor pada pejamu yang dapat meningkatkan insiden, beberapa penyakit dan lamanya diare. Faktor-faktor tersebut adalah tidak memberikan ASI sampai umur 2 tahun, kurang gizi, campak, imunodefisiensi atau imunosupresi dan secara proposional diare lebih banyak terjadi pada golongan bayi dan balita.
17
b. Faktor Lingkungan Dan Perilaku Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang dominan, yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian diare.
10. Faktor–Faktor Yang Berkonstribusi Pada Diare Bayi Di bawah ini adalah beberapa faktor yang berkonstribusi pada diare bayi, antara lain a. Faktor Internal, yang terdiri dari 1) Riwayat prematur Bayi yang lahir prematur berbeda dengan bayi yang lahir dengan berat badan normal. Biasanya bayi prematur memiliki organ–organ yang belum matang, sehingga lebih rentan terserang penyakit dibandingkan bayi normal. 2) Penyakit bawaan sejak lahir pada saluran pencernaan Penyakit bawaan yang sering terjadi pada bayi adalah Hischprung (mengalami kelainan usus). Bayi yang menderita Hischprung lebih mudah terkena diare karena ususnya mengalami gangguan sejak lahir. 3) Memberikan ASI eksklusif (Suharyono, 2008) ASI (Air Susu Ibu) turut memberikan perlindungan terhadap terjadinya diare pada bayi karena antibodi dan zat-zat lain yang terkandung di dalamnya memberikan perlindungan secara imunologi. 4) Pemberian imunisasi lengkap (0 bulan–12 bulan) 0 bulan: HB 1, BCG, Polio 1 2 bulan: HB 2, DPT 1, Polio 2
18
3 bulan: DPT 2, Polio 3 4 bulan: DPT 3, Polio 4 6 bulan: HB 3 9 bulan: Campak Memberikan imunisasi campak (Depkes RI, 2010) Anak yang sakit campak sering disertai diare sehingga imunisasi campak dapat mencegah terjadinya diare yang lebih parah lagi. 5) Riwayat alergi Bayi yang minum ASI maupun PASI terkadang juga mengalami alergi. Reaksi alergi dari mengkonsumsi susu yang salah dapat berupa diare. 6) Fase tumbuh kembang bayi (0 bulan–12 bulan) Menurut Sigmund Freud, tahap tumbuh kembang bayi dalam usia 0–12 bulan merupakan tahap oral. Segala sesuatu yang dialami bayi diawali dari fase oral.
b. Faktor Eksternal, yang terdiri dari 1) Memperbaiki Makanan Pendamping ASI (Maryunani, 2010) Perilaku yang salah dalam pemberian makanan pendamping ASI dapat menyebabkan risiko terjadinya diare sehingga dalam pemberiannya harus memperhatikan waktu dan jenis makanan yang diberikan. Pemberian makanan pendamping ASI sebaiknya dimulai dengan memberikan makanan lunak ketika bayi berumur 6 bulan dan dapat diteruskan pemberian ASI, setelah bayi berumur 9 bulan atau lebih, tambahkan macam makanan lain dan frekwensi pemberian makan lebih sering (4 kali sehari). Saat bayi berumur 11 bulan berikan semua makanan yang di masak dengan baik, frekwensi pemberiannya 4-6 kali sehari.
19
2) Sanitasi lingkungan, dapat berupa a) Menggunakan
air bersih
yang cukup
(Proverawati
&
Rahmawati, 2012) Risiko untuk menderita diare dapat dikurangi dengan menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari sumbernya sampai penyimpanannya di rumah. b) Menggunakan jamban (Proverawati & Rahmawati, 2012) Upaya penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan risiko penularan diare karena penularan kuman penyebab diare melalui tinja dapat dihindari. c) Membuang tinja bayi dengan benar (Maryunani, 2013) Membuang tinja bayi ke dalam jamban sesegera mungkin sehingga penularan kuman penyebab diare melalui tinja bayi dapat dicegah. 3) Perilaku mencuci tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir (Maryunani, 2013) Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dapat dilakukan, antara lain a) Sebelum penyajian makanan b) Sebelum menyusui bayi c) Setelah menceboki bayi d) Setelah ibu BAK dan BAB e) Sebelum menyuapi bayi f) Setelah beraktivitas di luar rumah g) Sebelum memegang makanan 4) Perilaku orang tua dalam menyiapkan makanan Menyimpan makanan di tempat yang bersih, meletakkan makanan dalam wadah yang bersih dan tertutup, menyiapkan makanan di tempat yang dingin dan terhindar dari matahari
20
langsung, menjaga makanan agar tidak dijamah oleh hewan, menjaga piring, panci masak dan peralatan makanan agar selalu tetap bersih, mencuci tangan pakai sabun dan menyajikan makanan. Cara-cara terjadinya pengotoran terhadap makanan berhubungan dengan kejadian diare adalah dalam mengolah atau menjamah makanan (Depkes RI, 2001). 5) Kebiasaan mencuci alat makan dan minum bayi Perilaku mencuci peralatan makan dan minum bayi, serta alat berbagainya dapat mencegah terjadinya diare. Terutama setelah alat–alat tersebut dipakai langsung dicuci tanpa menunggu nanti.
11. Pencegahan Diare Pemerintah melalui Dinas Kesehatan melakukan beberapa upaya yang dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat diare, antara lain 1) Meningkatkan kwalitas dan kwantitas tatalaksana diare melalui pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dan pelaksanaan Pojok Oralit, 2) Mengupayakan tatalaksana penderita diare di rumah tangga secara tepat dan benar, 3) Meningkatkan upaya pencegahan melalui kegiatan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE), 4) Meningkatkan sanitasi
lingkungan,
5)
Meningkatkan
kewaspadaan
dini
dan
penanggulangan kejadian luar biasa diare (DepKes RI, 2000).
B. Perilaku Cuci Tangan Ibu Dalam Pencegahan Diare 1. Pengertian Perilaku Menurut Skiner (1983) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seorang terhadap stimulus (Rangsangan dari luar). Oleh karena itu perilaku terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori Skiner ini disebut teori ”S–O-R” atau Stimulus--organisme---Respons. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) adalah semua perilaku
21
kesehatan yang dilakukan atas dasar kesadaran sehingga anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri dalam hal kesehatan dan berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di masyarakat. PHBS merupakan cerminan pola hidup keluarga yang senantiasa memperhatikan dan menjaga kesehatan seluruh anggota keluarga (Proverawati & Rahmawati, 2012). Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) di Rumah Tangga adalah upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar memahami dan mampu melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) serta berperan aktif dalam Gerakan Kesehatan di masyrakat. PHBS merupakan strategi yang dapat di tempuh untuk menghasilkan kemandirian di bidang kesehatan baik pada masyarakat maupun keluarga (Maryunani, 2013). PERMENKES 2269/Menkes/Per/XI/2011 menjelaskan, PHBS adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat (Downloads/595-perilaku-hidup-bersih-dan-sehat-phbs.htm).
2. Mencuci Tangan Dengan Air Bersih Dan Sabun Air yang tidak bersih banyak mengandung kuman dan bakteri penyebab penyakit. Bila digunakan, kuman berpindah ke tangan. Pada saat makan, kuman dengan cepat masuk ke dalam tubuh, yang bisa menimbulkan penyakit. Sabun dapat membersihkan kotoran dan membunuh kuman, karena tanpa sabun kotoran dan kuman masih tertinggal di tangan. Kedua tangan kita sangat penting untuk membantu menyelesaikan berbagai pekerjaan. Cuci tangan pakai sabun (CTPS) merupakan cara mudah
dan tidak perlu biaya mahal (Proverawati &
Rahmawati, 2012). Membiasakan CTPS hidup sehat sama dengan mengajarkan anak dan keluarga hidup sehat sejak dini. Perilaku hidup bersih dan sehat
22
(PHBS) tertanam kuat pada diri pribadi anak-anak dan keluarga lainnya. Tangan adalah anggota tubuh yang paling sering berhubungan langsung dengan mulut dan hidung. Penyakit yang umumnya timbul karena tangan yang berkuman, antara lain diare, kolera, ISPA, cacingan, flu dan Hepatitis A. Mencuci tangan dengan menggunakan air mengalir dan sabun lebih efektif membersihkan kotoran dan telur cacing yang menempel pada permukaan kulit, kuku dan jari-jari pada kedua tangan (Maryunani, 2013). a. Waktu Yang Tepat Untuk Mencuci Tangan Waktu yang tepat untuk mencuci tangan, antara lain 1) setiap kali tangan kita kotor (setelah memegang uang, memegang binatang, berkebun, dan lain-lain), 2) setelah buang air besar dan buang air kecil, 3) setelah menceboki bayi atau anak, 4) sebelum makan dan menyuapi anak, 5) sebelum memegang makanan atau menyiapkan makanan, 6) sebelum menyusui bayi, 7) setelah bersin, batuk, membuang ingus, setelah bepergian dan bermain (beraktivitas) (Proverawati & Rahmawati, 2012). b. Manfaat Mencuci Tangan Manfaat mencuci tangan, yaitu 1) membunuh kuman penyakit yang ada di tangan, 2) mencegah penularan penyakit seperti Diare, Kolera, Disentri, Typus, Kecacingan, Penyakit Kulit, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Flu Burung atau Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), 3) tangan menjadi bersih dan bebas kuman (Maryunani, 2013). c. Cara Mencuci Tangan Yang Benar Cara mencuci tangan yang benar, antara lain 1) cuci tangan dengan air bersih yang mengalir dan memakai sabun, 2) gosok tangan selama 1520 detik, 3) bersihkan telapak, pergelangan tangan, punggung tangan, sela-sela jari dan kuku, 4) basuh tangan sampai bersih dengan air yang mengalir, 5) keringkan dengan handuk bersih atau alat pengering lain, 6) gunakan tisu atau handuk sebagai penghalang ketika mematikan keran air (Proverawati & Rahmawati, 2012).
23
3. Manfaat Pencegahan Diare a. Bagi Keluarga 1) Menjadikan anggota keluarga lebih sehat dan tidak mudah sakit 2) Anggota keluarga lebih giat dalam bekerja 3) Pengeluaran biaya rumah tangga dapat ditujukan untuk memenuhi gizi keluarga, pendidikan dan modal usaha untuk menambah pendapatan keluarga. b. Bagi Masyarakat 1) Mampu mengupayakan lingkungan sehat. 2) Mampu mencegah dan menanggulangi masalah-masalah kesehatan. 3) Memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada. 4) Mampu mengembangkan Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat (UKBM) seperti Posyandu, Tabungan Ibu Bersalin (Tabulin), Arisan Jamban, Ambulans Desa (Maryunani, 2013).
C. Kerangka Teori Kerangka Teori adalah hubungan antara teori-teori dengan variabel yang akan dilakukan penelitian (Suyanto, 2011). Yang meliputi perilaku cuci tangan ibu dalam pencegahan diare pada bayi.
24
Faktor Internal: 1. Riwayat premature 2. Penyakit bawaan sejak lahir pada saluran pencernaan 3. Pemberian ASI eksklusif 4. Pemberian imunisasi lengkap (0 bulan–12 bulan) 5. Riwayat alergi 6. Fase tumbuh kembang bayi
Diare bayi
Faktor Eksternal : 1.Memperbaiki Makanan Pendamping ASI 2. Sanitasi lingkungan a. Menggunakan air bersih yang cukup b. Menggunakan jamban c. Membuang tinja bayi dengan benar 3. Perilaku mencuci tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir a. Sebelum penyajian makanan b. Sebelum menyusui bayi c. Setelah menceboki bayi d. Setelah ibu BAK dan BAB e. Sebelum menyuapi bayi f. Setelah beraktivitas di luar rumah g. Sebelum memegang makanan 4. Perilaku orang tua dalam menyiapkan makanan 5. Kebiasaan mencuci alat makan dan minum bayi
Gambar 2.1 Kerangka Teori Menurut (Depkes RI, 2001; Depkes RI, 2005; Depkes RI, 2010; Suharyono, 2008; Maryunani, 2010; Maryunani, 2013; Proverawati & Rahmawati, 2012)
1. Setelah BAB dan BAK
2. Setelah menceboki bayi 3. Sebelum menyiapkanmakanan 4. Sebelum menyuapi bayi 5. Setelah beraktivitas di luar rumah
25
D. Variabel Penelitian Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009). Variabel yang terdapat dalam penelitian adalah Perilaku cuci tangan ibu dalam pencegahan diare pada bayi.
E. Pertanyaan Penelitian Bagaimana perilaku cuci tangan ibu dalam pencegahan diare pada bayi di Desa Karangayu Kecamatan Cepiring Kabupaten Kendal ?