BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian anak Anak adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dikaruniakan kepada suatu keluarga yang mempunyai harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan generasi dan potensi yang harus dilatih sebagai penerus perjuangan bangsa Indonesia. Anak adalah individu yang memiliki peranan, hak, dan kewajiban didala kehidupannya. Didalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2003 pasal 1 poin 1 tentang perlindungan anak yang menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang ada didalam kandungan. Sedangkan menurut undang-undang kesejahteraan anak didalam pasal 1 poin 2 mengatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 21 tahun atau anak yang belum pernah menikah (Nurdin 1989:121) Anak adalah manusia yang masih kecil, dan bukan manusia yang disebut bayi dan bukan pula orang yang disebut dewasa. Didalam kehidupannya anak patut memiliki kesejahteraan yaitu suatu tata kehidupan, yang dapat menjamin pertumbuhan kehidupan secara wajar baik secara jasmani maupun secara rohani dan sosial. Anak merupakan harapan bangsa dan cita- cita orang tua, yang akan selalu berusaha agar anak mereka menjadi apa yang diinginkan dengan memberikan seluruhnya yang ada pada orang tua tersebut dan semua yang terbaik yang ada pada orang tua yang akan diberikan kepada setiap anak- anaknya.
19
Universitas Sumatera Utara
2. Pengertian tunanetra dan faktor penyebabnya 1. Pengertian tunanetra Dalam pengunaan bahasa sehari- hari, kadang- kadang terjadi penyamaan antara suatu keadaan atau suatu kondisi seseorang, seperti dalam kata menunjukkan orang yang tunanetra buta, padahal keduanya itu adalah berbeda. Kata “tunanetra” berasal dari kata “tuna” yang artinya rusak dan kata “netra” yang artinya adalah mata, jadi kata tunanetra adalah rusak penglihatan, dan anak tunanetra adalah anak yang rusak penglihatannya. Sedangkan orang yang buta adalah orang yang rusak penglihatannya secara total. Dengan kata lain orang yang tunanetra belum tentu mengalami kebutaan total tetapi orang yang buta sudah pasti tunanetra (Pradopo 1977 :12) Penyandang tunanetra adalah seseorang yang karena sesuatu hal mengalami disfungsi visual atau kondisi penglihatan yang tidak berfungsi sebagai mana mestinya. Seseorang dikatakan tunanetra apabila menggunakan kemampuan perabaan dan pendengaran sebagai saluran utama dalam belajar atau kegiatan yang lainnya dan ada juga mengatakan tunanetra adalah kondisi dari indera penglihatan yang tidak sempurna yang tidak dapat berfungsi sebagai orang awas (normal). Menurut WHO istilah tunanetra tebagi kedalam 2 bagian atau kategori yakni blind atau yang disebut dengan buta dan low vision atau penglihatannya yang kurang. Istilah buta itu sendiri menggambarkan kondisi penglihatan yang tidak dapat diandalkan lagi meskipun dengan alat bantu, sehingga tergantung dengan fungsi indera yang lain, sedangkan penglihatan yang kurang menggambarkan kondisi penglihatan dengan ketajaman yang kurang, daya tahan rendah mempunyai kesulitan dengan tugas- tugas yang utama yang menuntut fungsi penglihatan, tetapi masih dapat membantu dengan bantuan alat khusus, namun tetap terbatas.
20
Universitas Sumatera Utara
Seseorang yang dikatakan buta secara legal yaitu apabila ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang pada mata dan setelah dikoreksi atau lantang pandangnya tidak lebih dari 20 derajat, dalam defenisi ini 20 feet atau 6 meter adalah jarak dimana ketajaman penglihatan diukur. Sedangkan 200 feet atau 60 meter menunjukkan jarak dimana mata orang yang normal dapat membaca huruf yang terbesar pada kartu snellen. Seseorang dikatakan buta secara fungsional apabila saluran utama dalam belajar menggunakan perabaan dan pendengaran yang mempergunakan huruf Braille sebagai media membaca dan memerlukan latihan orientasi dan mobilitas (Angelina 2005 :15) Oleh karena itu yang dimaksud dengan penyandang cacat tunanetra adalah yang mengalami disfungsi visual dan kondisi penglihatan yang tidak berfungsi sebagai mana mestinya, karena mengalami kerusakan pada mata, saraf optik bagian saraf yang mengolah stimulius visual. Kerusakan tersebut yang dialami secara total dan sebagian. Klasifikasi ketunanetraan secara garis besar yaitu dibagi menjadi 2 antara lain : 1. Terjadinya kecacatan, yakni sejak kapan anak menderita tunanetra yang dapat digolongkan sebagai berikut : a) Penderita tunanetra sebelum dan sejak lahir, yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman melihat. b) Penderita tunanetra sesudah lahir atau pada usia kecil, yaitu mereka yang sudah memiliki kesan-kesan serta penglihatan visual, tetapi belum kuat dan mudah terlupakan .
21
Universitas Sumatera Utara
c) Penderita tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja, kesan kesan pengalaman visual meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi. d) Penderita tunanetra pada usia dewasa, yaitu mereka yang dengan segala kesadaran masih mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri. e) Penderita tunanetra dalam usia lanjut, yaitu mereka yang sebagian besar sudah sulit mengalami latihan-latihan penyesuaian diri. 2. Pembagian berdasarkan kemampuan daya lihat yaitu : a) Penderita tunanetra ringan, yaitu mereka yang mempunyai kelainan atau kekurangan daya penglihatan b) Penderita tunanetra setengah berat, yaitu mereka yang mengalami sebagian daya penglihatan c) Penderita tunanetra berat, yaitu mereka yang sama sekali tidak dapat melihat atau yang sering disebut adalah buta (Pradopo 1977:12) 2 Faktor penyebab tunanetra Ada dua faktor yang menyebabkan seorang anak yang menderita tunanetra, antara lain : 1. faktor endogen, ialah faktor yang sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan atau yang disebut juga faktor genetik, yaitu yang dilahirkan dari hasil perkawinan antar keluarga yang dekat, dan perkawinan antar sesama tunanetra. Faktor keturunan ini dapat dilihat dari sifat-sifat keturunan yang mempunyai
22
Universitas Sumatera Utara
hubungan pada garis lurus atau pada silsilah hubungan sedarah atau dari faktor perkawinan antar sesama tunanetra atau yang mempunyai orang tua atau nenek moyang yang menderita tunanetra. Sedangkan dari hasil kandungan yaitu gangguan yang diderita oleh siIbu waktu hamil, atau karena penyakit yang bersifat menahun yang dapat merusak sel-sel darah tertentu selama pertumbuhan janin dan kandungan. Adapun ciri yang disebabkan oleh faktor keturunan adalah bola mata yang normal tetapi tidak dapat menerima persepsi sinar atau cahaya, yang kadang-kadang seluruh bola matanya seperti tetutup oleh selaput putih atau keruh 2. faktor eksogen atau faktor luar, seperti a. Penyakit yaitu virus rubella yang menjadikan seseorang mengalami penyakit campak pada tingkat akut yang ditandai dengan kondisi panas yang meninggi akibat penyerangan virus yang lama-kelamaan akan mengganggu saraf penglihatan fungsi indera yang akan menghilangkan fungsi indera yang akan menjadi permanen, dan ada juga diakibatkan oleh kuman syphilis, degenerasi atau perapuhan pada lensa mata yang mengakibatkan pandangan mata menjadi mengeruh b. Kecelakaan yaitu kecelakaan fisik akibat tabrakan atau jatuh yang berakibat langsung yang merusak saraf netra atau akibat rusaknya saraf tubuh yang lain atau saraf tulang belakang yang berkaitan erat dengan fungsi saraf netra, akibat terkena radiasi ultra violet atau gas beracun yang dapat menyebabkan sesorang kehilangan fungsi mata untuk melihat, dan dari segi kejiwaan
23
Universitas Sumatera Utara
yaitu stress psikis akibat perasaan tertekan, kepedihan hati yang amat mendalam yang mengakibatkan seseorang mengalami tunanetra permanen (Pradopo1977 :3)
3. Perkembangan anak tunanetra Perkembangan adalah suatu diferensiasi atau tingkatan ataa tahapan dari segi rohani atau segi jasmaninya. Adapun yang berpengaruh dalam perkembangan itu adalah orang tua sebagai penolong dan pendamping hidupnya, lingkungan dan teman-teman sebaya. Adapun perkembangan yang harus diperhatikan pada anak tunanetra yaitu : 1. Perkembangan kognitif anak tunanetra Perkembangan kognitif adalah suatu proses pemahaman dari yang tidak tahu menjadi tahu. Perkembangan kognitif anak tunanetra terhambat dibanding dengan anak awas pada umumnya. Perkembangan kognitif pada umumnya dengan menggunakan
indera
penglihatan
dan
kecerdasan
serta
kemampuan
dan
intelegensinya. Pada perkembangan kognitif selalu berhubungan dengan lingkungan baik sosial maupun alam yang berhubungan dengan kemampuan indera- indera. Kemampuan indera inilah yang memerlukan kerjasama dalam bekerja sehingga memperoleh pengertian dan makna yang utuh tentang objek yang ada dilingkungannya. Yaitu antara indera penglihatan, pendengaran, perabaan dan lainlain. Indera penglihatan ialah salah satu indera penting dalam menerima informasi yang datang dari luar dirinya, yang mampu mendeteksi objek pada saraf yang jauh, yang mampu melakukan pengamatan terhadap dunia sekitar warna, dinamikanya
24
Universitas Sumatera Utara
yang akan diteruskan ke otak yang akan memberikan kesan atau presepsi melalui kegitan yang bertahap yang dapat merangsang pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang dapat memampukan perkembangan secara optimal. Jalan utama yang digunakan oleh anak tunanetra sebagai penerimaan informasi yang ada di luar dirinya (dunia sekitarnya), biasanya digantikan dengan indera pendengaran sebagai saluran utamanya yaitu berupa suara, yang mampu mendeteksi dan mengambarkan tentang arah, sumber atau jarak suatu objek informasi, tentang ukuran dan kualitas ruangan tetapi tidak secara kongkrit, dan untuk bentuk posisi dan ukuran digunakan dengan perabaan, oleh karena itu setiap bunyi yang didengar, bau yang diciumnya, kualitas yang dirabanya dan rasa yang di serapnya memiliki potensi dalam perkembangan kognitifnya. Sering dikatakan bahwa anak tunanetra tahu, sebenarnya tidak tahu, karena mereka tahu hanya sebatas verbal saja. Kurangnya stimulasi visual, sehingga perkembangan bahasa anak tunanetra juga tertinggal dibanding anak awas. Kemampuan kosa kata bagi tunanetra terbagi menjadi 2 yaitu, kata- kata yang berarti bagi dirinya yang diperoleh dari pengalaman sendiri, dan kata- kata verbalitas yang diperoleh dari orang lain yang ia sendiri tidak paham. Menurut Piaget, perkembangan kognitif berlangsung mengikuti prinsip mencari keseimbangan yaitu kegiatan organisme dan lingkungan yang bersifat timbal balik, artinya lingkungan dipandang sebagai suatu hal yang terus menerus menolong organisme untuk menyesuaikan diri dan demikian pula secara timbal balik organisme secara konstan menghadapi lingkungannya sebagai suatu struktur yang merupakan bagian dari dirinya, tehkniknya adalah asimilasi dan akomodasi(Soemantri 2005: 70).
25
Universitas Sumatera Utara
Tahapan sensomotorik anak tunanetra ditandai dengan prestasi intelektual yang didapatkan dari lingkungan yang memberikan stimulasi yang kuat dan intensif terhadap anak tersebut yang mengalami kelambatan sekitar 4 bulan dibanding dengan anak awas. Banyak anggapan yang mengatakan bahwa anak tunanetra tidak akan mampu menggungguli anak awas dalam ketajaman sensori, logika, hafalan, bakat musik dan kemampuan untuk menginterpretasikan suara. Hal ini adalah tidak semuanya adalah benar, namun dipihak lain anak tunanetra sering menggunakan kemampuannya secara lebih efektif dibandingkan dengan anak awas, yang dilakukan secara tidak otomatis tetapi melalui latihan-latihan yang dilakukan secara rutin dan efektif. Tetapi hingga saat ini, perkembangan fungsi-fungsi kognitif anak tunanetra sulit untuk diidentifikasikan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya alat-alat test intelegensi yang tidak dapat digunakan secara utuh oleh anak tunanetra yang banyakan mengundang berbagai perdebatan dikalangan para ahli. Oleh sebab itu sangat perlu untuk menentukan atau untuk membuat alat integensi yang secara khusus diperuntukkan bagi anak tunanetra (soemantri 2005:75) yang pada akhirnya perkembangan kognitif anak tunanetra sangat bergantung pada jenis ketunanetraan anak, kapan terjadinya ketunanetraan, bagaimana tingkat pendidikannya, dan stimulasi lingkungan terhadap upaya-upaya perkembangan kognitif mereka.
2. Perkembangan motorik anak tunanetra Bagi anak awas sangat mudah untuk menirukan bagaimana orang lain melakukan aktifitas motorik, sedangkan bagi anak tunanetra hal ini adalah suatu hal yang tidak dapat mereka lakukan. Anak tunanetra hanya tahu batas ruang apabila dapat
26
Universitas Sumatera Utara
terjangkau oleh tangannya dan kakinya sedangkan bagi anak awas sepanjang ia mengetahui bahaya apa yang akan terjadi apabila dilakukannya gerakan tersebut. Oleh sebab itu dikatakan bahwa perkembangan motorik anak tunanetra cenderung sangat lambat, karena dalam perkembangan ini diperlukan sistem persyarafan dan otot serta fungsi psikis, yang berpangkal dari ketidakmampuannya untuk melihat. Perkembangan motorik mengikuti prinsip bahwa perkembangan itu berlangsung dari yang sederhana menuju kepada yang kompleks, dari yang kasar dan global menuju kepada yang halus dan khusus. Tetapi bagi anak tunanetra melakukan psikomotorik yang mendasar seperti berjalan dan memegang benda sudah merupakan masalah yang tidak mudah untuk dikuasainya dan dilaksanakan dengan baik. Sehingga hal ini sudah menghambat untuk hal yang lebih kompleks lagi. Karena itu fungsi mata sangat memegang peranan yang cukup utama dan berarti dalam proses perkembangan motorik. Tahap perkembangan perilaku motorik dalam kaitannya dalm fungsi penglihatan 2.1 Tahap sebelum berjalan Tahap ini terjadi pada saat bayi yaitu yang pada awalnya melakukan gerakan menegakkan kepala, telungkup, merayap, dan seterusnya sehingga akhirnya sampai kepada berjalan. Anak tunanetra juga demikian tetapi faktor kecepatannya berbeda karena kurangnya rangsangan visual yang mengakibatkan adanya gangguan pada : a. Koordinasi tangan, untuk anak awas pada awalnya dilakukan dengan pertama-tama melihat suatu objek atau benda yang kemudian ia akan mulai ingin menjangkaunya yang dilakukannya dengan pengalaman dan percobaan kerjasama mata dan tangan. Sedangkan pada anak tunanetra hal ini tidak
27
Universitas Sumatera Utara
dialami dengan sendirinya, tetapi melalui lingkungan yang mampu menggerakkan gerak rangsang anak, seperti halnya melakukan jabat tangan yang lemah, kesulitan memegang suatu benda, serta kelambanan dalam persiapan membaca huruf Braille. b. Koordinasi badan, bagi anak awas untuk mencapai suatu benda maka mereka harus melakukan gerakan dalam mengkoordinasikan badannya, seperti halnya menegakkan kepalanya untuk menggapai suatu benda yang ia ingin dapatkan. Hal ini juga tidak akan dapat kita lihat atau dialami anak tunanetra pada usia 18 minggu, pada masa ini anak tunanetra sering melakukan gerakan yang tidak memiliki arti dan cenderung diam seperti halnya melakukan gerakan menusukkan jari tangan kemata. 2.2 T ahap berjalan Pada usia anak yang normal bahwa usia 15 bulan sudah mampu melakukan jalan dan dapat mengadakan eksplorasi sendiri. Sedangkan pada anak tunanetra, ia akan dapat berjalan jauh lebih tua jika dibandingkan dengan anak awas,hal ini terjadi karena kurangnya motivasi atau pendorong baik yang bersifat internal maupun eksternal untuk melangkahkan kakinya pada posisi yang bermaksud untuk mengambil suatu benda. Salah satu yang sangat menonjol pada anak tunanetra ialah kemampuan dalam melakukan mobilitas atau kemampuan berpindah-pindah tempat. Namun demikian kekurangmampuan ini dapat diminimalkan melalui manipulasi lingkungan tempat dimana tunanetra berada, yaitu melalui penciptaan lingkungan yang lebih berarti yang memungkinkan anak tunanetra mampu mengembangkan pertumbuhan jasmani dan gerak secara bebas dan aman. Oleh sebab, itu hambatan dalam perkembangan
28
Universitas Sumatera Utara
motorik anak tunanetra berhubungan erat dengan kemampuan dalam penglihatannya yang selanjutnya berpengaruh terhadap faktor psikis dan fisik anak. Hal ini juga dilihat dari cara anak tersebut melangkahkan kakinya dan juga menggerakkan tangannya.
3 Perkembangan emosi anak tunanetra Hasil-hasil penelitian, anak tunanetra menunjukkan bahwa kemampuan untuk memberi respon secara emosional sudah dijumpai pada saat seseorang itu masih bayi atau baru lahir. Respon ini pada mulanya nampak secara random yang lama kelamaan akan menjadikan suatu hal yang terbiasa, atau differensiasi atau berurutan sesuai dengan jenjang yang paling bawah terlebih dahulu. Oleh sebab itu perkembangan emosi anak tunanetra akan sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan anak yang awas atau dengan anak yang normal. Keterlambatan
ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan anak
tunanetra dalam proses belajar. Kesulitan bagi anak tunanetra adalah mereka tidak mampu belajar secara visual tentang stimulus-stimulus apa saja yang harus diberi respon stimulus yang sesuai dengan kemampuan berkembangnya. Dengan kata lain, anak tunanetra memiliki keterbatasan yang sangat berpengaruh, khususnya berkomunikasi secara emosional melalui ekspresi atau reaksi wajah dan tubuh lainnya untuk menyampaikan perasaan yang dirasakan kepada orang lain. Perkembangan emosional anak tunanetra akan lebih terhambat apabila anak tersebut mengalami deprivasi emosi yaitu anak tersebut kurang memiki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian dan kesenangan yang pada awal kehidupan atau
29
Universitas Sumatera Utara
perkembangan yang ditolak kehadirannya oleh lingkungan keluarga atau lingkungannya dimana mereka bertempat tinggalnya. Perkembangan emosi anak tunanetra itu ialah ditampilkannya gejala-gejala emosi yang tidak seimbang atau pola-pola emosi yang negatif dan berlebihan, yaitu perasaan takut, malu, khawatir, cemas dan lain-lain.
4. Perkembangan sosial anak tunanetra Bagi anak tunanetra penguasaan seperangkat kemampuan tersebut tidaklah mudah. Hambatan-hambatan tersebut terutama muncul sebagai akibat langsung maupun akibat yang tidak langsung dari ketunanetraannya tersebut. Akibat tersebut yaitu kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan sosial yang lebih luasa atau baru, perasaan rendah diri, malu, sikap masyarakat yang sering tidak menguntungkan seperti penolakan, penghinaan dan lain-lain. Keterbatasan anak tunanetra untuk dapat belajar sosial melalui proses identifikasi dan imitasi. Mereka juga memiliki keterbatasan untuk mengikuti bentuk-bentuk permainan sebagai wahana penyerapan norma-norma atau aturan dalam bersosialisasi. Masa sosialisasi yang sesungguhnya akan terjadi pada saat anak tersebut memiliki lingkungan pendidikan kedua yaitu sekolah. Ketidaksiapan anak tunanetra dalam memasuki sekolah atau lingkungan baru atau kelompok lain yang berbeda atau lebih leluasa sering kali mengakibatkan anak tunanetra gagal dalam mengembangkan kemampuan sosialnya. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penyimpanganpenyimpangan dalam perkembangan sosial anak tunanetra, sikap dan perlakuan orang tua dan keluarga tunanetra yang harus menjadi perhatian terutama pada usia
30
Universitas Sumatera Utara
dini karena orang tua atau keluarga adalah subjek utama yang mempengaruhi perkembangan anak tersebut.
5. Perkembangan kepribadian anak tunanetra Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa perbedaan sifat kepribadian anak tunanetra dengan anak yang awas atau anak yang normal. Ada kecenderungan anak tunanetra lebih banyak mengalami gangguan kepribadian yang lebih besar yang banyak dicirikan dengan introversi, neurotic, frustasi dan gangguan mental. Dan dalam penelitian yang lain juga menyatakan bahwa gangguan lebih banyak terjadi pada anak yang gangguan penglihatannya bisa sedikit atau low vision dibanding dengan anak yang buta total. Karena mereka dapat melihat keadaan yang sebenarnya walaupun tidak begitu jelas.
4. Orientasi dan Mobilitas bagi anak tunanetra Penglihatan memiliki peranan yang amat vital bagi seseorang untuk mengenal objek secara visual atau membantu seseorang untuk mengadakan orientasi dan mobilitas dengan lingkungannya yang menjadikan hambatan terhadap kemampuan untuk bergerak secara bebas. Yang dimaksud dengan orientasi yaitu kemampuan dalam mengenal alam sekitar serta mengetahui posisi diri di dalamnya, sedangkan mobilitas yaitu kemampuan gerak atau berpindah-pindah (Soedjadi 1987: 84) Kemampuan bergerak adalah sutu gerakan yang sangat dibutuhkan oleh setiap orang dalam kehidupannya karena manusia adalah makhluk yang sangat membutuhkan pergerakan yang banyak. Oleh sebab itu, dari penglihatan seseorang itu akan dapat secara cepat mengetahui sekelilingnya tempat ia berada. Oleh sebab
31
Universitas Sumatera Utara
itu, perkembangan mobilitas dan orientasi anak awas sangat cepat. Maka untuk anak tunanetra untuk melakukan hal tersebut mereka akan dibantu orang tua ataupun orang yang dapat melihat untuk membawa mereka mengenalkan sekelilingnya yang seterusnya mereka akan dapat melakukannya sendiri. Melalui orientasi dan mobilitas ini maka anak tersebut akan dapat berkembang kemampuan yang lain yang ada pada dirinya seperti halnya daya ingatnya, serta daya ingat yang dapat mendukung dalam proses kemampuan pendidikannya. Didalam pendidikan juga mereka di ajarkan mata pelajaran orientasi dan mobolitas yang bertujuan agar mereka dapat berjalan sendiri tanpa bantuan orang lain dan dapat mengenal lingkungan tempat ia berada di sekitarnya atau di sekelilingnya. Alat Bantu yang biasa digunakan oleh anak tunanetra dalam melakukan orientasi dan mobilitas adalah tongkat putih yang khas yang menunjukkan kepada orang lain bahwa ia adalah anak tunanetra atau anak yang kurang penglihatan dan sebagai penambah rasa percaya diri mereka. Tetapi walaupun begitu anak tunanetra tidak boleh terlepas dari anak yang awas karena dari hal warna mereka tidak akan dapat membedakannya sebab warna tidak dapat diraba dan di dengar. Oleh sebab itu anak yang awas adalah anak yang dapat membantu anak yang tunanetra yang sangat besar pengaruhnya dalam hal menolong mereka, terutama untuk mengenalkan apa saja yang pertama sekali terutama dalam hal warna yang tidak dapat untuk dirabanya.
5. Kemandirian anak tunanetra Pendidikan dan pelatihan adalah suatu kunci bagi anak tunanetra untuk melaksanakan kegiatan atau memungkinkan anak tunanetra pada umumnya untuk
32
Universitas Sumatera Utara
benar-benar hidup mandiri. Dengan kata lain anak tunanetra akan mencapai suatu kemandirian apabila mereka mempunyai pendidikan dan latihan-latihan yang tepat. James H. Omvig mengemukakan ada empat resep dasar yang dibutuhkan oleh setiap tunanetra agar dapat mencapai tujuan kemandirian yang sejati antara lain : 1) Penyandang tunanetra harus menyadari baik secara intelektual maupun emosional bahwa mereka dapat mandiri, yaitu disini mereka harus diajari untuk memahami bahwa mereka juga dapat mandiri dan juga dalam hal ini mereka harus memiliki pembimbing untuk mengajari mereka untuk latihan intelektual dan latihan dari segi emosional. Untuk itu maka bagi guru yang membimbing mereka maupun bagi panti rehabilitasi yang menampung mereka dalam haruslah dapat melaksanakan program pendidikan dan pelatihan yang tepat. Oleh sebab itu mereka juga harus memiliki prinsip siapun saya pasti saya akan dapat mandiri. 2) Penyandang tunanetra harus benar-benar belajar untuk menguasai keterampilan-keterampilan khusus yang akan dapat menjadikan mereka sebagai orang yang dapat hidup mandiri, yaitu denagn mempergunakan alat indera yang lain sebagai alat yang dapat menutupi kelemahan mereka sehingga mereka dapat terbantu untuk mendapatkan suatu kemandirian dan jika dalam suatu hal yang baru mereka jumpai maka mereka harus dapat menghadapinya dengan dibantu oleh alat indera yang lain. 3) Penyandang tunanetra harus belajar mengatasi sikap negatif masyarakat terhadap ketunanetraan hal-hal yang tidak menyenangkan yang mungkin dikatakan atau dilakukan orang terhadap dirinya akibat kesalah pahaman atau miskonsepsi mereka terhadap ketunanetraan, yaitu mereka harus
33
Universitas Sumatera Utara
dapat kita ajak untuk mereka apa yang menjadikan mereka bersikap demikian dan kita jelaskan apa yang akan timbul apabila mereka melakukan hal demikian dan menyatakan kepada mereka bahwa setiap masyarakat itu memilki niat untuk menolong yang memungkinkan mereka akan mampu memiliki pemahaman yang emosional untuk dapat mandiri dan menghadapi masyrakat dengan senyuman. 4) Mereka penyandang cacat tunanetra harus belajar tampil wajar didalam pergaulan sosial, yaitu karena itu menentukan apakah ia dapat diterima didalam suatu masyarakat tersebut yaitu didalam lingkungan sosialnya (Didi, 2006)
Oleh sebab itu agar individu tunanetra dapat berhasil mendapatkan kemandirian maka mereka tidak hanya memerlukan pendidikan dan latihan yang asal saja tetapi harus mendapatkan pendidikan yang tepat karena kalau tidak tepat sama saja dengan menjerumuskan mereka. Pembentukan konsep diri yang tepat dan motifasi untuk mengaktualisasikan diri yang memungkinkan mereka agar dapat melakukan kegiatan mereka sehari-hari secar efektif dan efisien, kemampuan untuk mengatasi masalahmasalah sosial yang merupakan bagian yang integral dari program pendidikan dan latihan bagi setiap penyandang tunanetra untuk hidup mandiri.
34
Universitas Sumatera Utara
6. Pendidikan tunanetra Dalam undang-undang no.72 tahun 1991 mengatakan bahwa pendidikan luar biasa adalah pendidikan yang khusus diselenggarakan bagi peserta didik yang menyandang kelainan fisik atau mental. Oleh sebab itu, dalam hal ini bagi penyandang tunanetra mereka adalah tergolong kedalam anak yang berkelainan fisik, yang akan dimasukkan kedalam Sekolah Luar Biasa. Pendidikan anak tunanetra adalah pendidikan yang sangat sulit dibandingkan dengan pendidikan anak yang awas, karena pada umunya pendidikan atau bahan mudah ditangkap dengan penglihatan dan pendengaran dari pada hanya dengan pendengaran saja. Adapun tiga prinsip utama tentang pendidikan anak tunanetra menurut Diderot yaitu : 1. Bahwa kehilangan penglihatan tidak berarti mempertajam secara khusus indera-indera yang lain, akan tetapi kehilangan salah satu indera tersebut akan memaksa indera yang lain yang masih ada untuk menerima kesan-kesan. 2. Bahwa kita sebaiknya membangun pendidikan atas dasar apa yang masih dimiliki oleh tunanetra dan apa yang tidak mereka miliki yaitu atas dasar hubungan dengan dunia objektif. 3. Sekalipun orang tunanetra yang tuli dan yang bodoh, tetapi ia dapat dilatih dan didik melalui sensori perabaan dengan penuh kesabaran serta hubungan isyarat yang dapat diraba dari objek atau benda-benda (Pradopo 1977 :47) Adapun jenjang pendidikan bagi anak tunanetra yaitu : 1. Taman Kanak-kanak Luar Biasa 2. Sekolah Dasar Luar Biasa 3. Sekolah Lanjutan Pertama Luar Biasa
35
Universitas Sumatera Utara
4. Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Adapun model pendidikan yang tepat bagi anak tunanetra dapat dibagi menjadi 2 bagian : 1. Pendidikan Formal yaitu pertama, bentuk segresi yaitu bentuk layanan pendidikan yang tertua bagi penyandang tunanetra dan pelayanan yang khusus bagi penyandang cacat tunanetra yang memungkinkan untuk dapat mengendalikan atas kurikulum dan kehidupan sehari-hari secara menyeluruh sehingga variabel dalam lingkungan belajar anak tersebut yaitu jadwal, fasilitas fisik, kondisi kelas yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan anak tersebut. Kedua, bentuk mainstreaming yaitu bahwa asumsi bahwa pendidikan khusus tidak berarti pendidikan yang terpisah. Pendidikan ini merupakan bagian integrasi sosial, instruksional, temporal anak-anak cacat dengan anak yang normal. Oleh sebab itu dalam pendidikan ini mereka akan disesuaikan dengan kemampuan mereka sendiri. 2. Pendidikan Non-Formal yaitu berupa pelatihan-pelatihan atau kursus keterampilan untuk memberikan bekal bagi mereka dalam rangka memahami dunia kerja. Dan pendidikan ini tidak dibagi dengan jenjang dan waktu penyampaiannya lebih pendek dan singkat dan usia mereka dalam suatu kursus tidak perlu sama, dan pelajaran ini tidak merupakan pendidikan yang menjenuhkan karena diselingi dengan praktek. Adapun alat yang digunakan dalam proses belajar bagi anak tunanetra yaitu: 1. Tongkat putih sebagai tanda bahwa ia adalah penyandang tunanetra 2. Reglet sebagai alat untuk mereka menulis 3. Pena yang terbuat dari besi sebagai alat untuk mereka menulis
36
Universitas Sumatera Utara
4. Mesin ketik yaitu untuk membantu mereka menulis agar lebih cepat yang biasanya alat ini hanya digunakan oleh guru saja 5. Tape yaitu alat mereka untuk mendengarkan cerita karena mereka hanya dapat mendengar seperti anak awas yang dapat melihat
7. Defenisi konsep Adapun yang menjadi defenisi konsep dalam penelitian ini adalah perkembangan kemandirian anak tunanetra yaitu tingkatan dari perkembangan anak tunanetra yang sehingga dapat bekerja sendiri dan dapat bekerja sama dan berinteraksi dengan anak yang lainnya.
37
Universitas Sumatera Utara