3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) Menurut Elias (2008), PWH adalah kegiatan kehutanan yang menyediakan prasarana/infrastruktur (jaringan jalan, log pond, base camp induk dan base camp cabang, base camp pembinaan hutan, tempat penimbunan kayu/TPK, tempat pengumpulan kayu/TPn, jembatan dan gorong-gorong, menara pengawas, dan lain-lain) dalam melancarkan kegiatan pengelolaan hutan. Hutan alam maupun hutan tanaman tidak akan dapat dikelola secara lestari, bila persyaratan pembukaan wilayah hutan yang memadai belum dipenuhi. Arifin dan Suparto (1983) menyatakan bahwa jaringan jalan hutan adalah unsur permanen dalam pembukaan wilayah hutan yang mutlak harus ada bila dikehendaki pemanfaatannya secara baik. Disamping melayani pengangkutan hasil hutan, jalan hutan juga menunjang kegiatan pengawasan, keamanan dan pemeliharaan hutan. Menurut Musa dan Mohamed (2002), kegiatan yang paling penting kontribusinya dalam upaya mewujudkan sustainable forest management adalah pembangunan jalan hutan. Pola jaringan jalan hutan yang ideal adalah pola jaringan jalan hutan yang membuka wilayah hutan secara merata dan menyeluruh, sehingga menghasilkan PWH yang tinggi dengan kerapatan jalan yang optimal (Elias 2008). Menurut Widarmana dan Oka (1972), tingkat penyebaran jalan perlu diketahui untuk mengetahui berapa besar bagian hutan yang terbuka dengan adanya jaringan jalan tersebut dan membandingkannya dengan luas kawasan hutan yang bersangkutan. Salah satu indikator untuk menilai tingkat penyebaran jalan adalah kerapatan jalan. Kerapatan jalan dapat dinyatakan dalam berbagai cara,antara lain dengan panjang jalan angkutan tiap hektar hutan, luas hutan yang dilayani oleh satu kilometer jalan angkutan, dan jarak antara jalan angkutan. Dulsalam (1994) mengemukakan bahwa jalan hutan harus dibuat dengan kerapatan sedemikian rupa sehingga jalan yang dibuat tersebut cukup efisien dan efektif. Kerapatan jalan hutan yang efektif dapat dicapai bila dalam penentuan kerapatan jalan hutan didasarkan pula antara lain potensi kayu, biaya pembuatan jalan, dan biaya penyaradan.
4
Jaringan jalan hutan dibagi menjadi empat jalan, yaitu jalan induk, jalan cabang, jalan ranting, dan jalan sarad. Jalan induk direncanakan dengan pertimbangan yang luas serta konstruksi yang lebih baik sehingga dapat berfungsi dalam jangka waktu yang lama serta berkapasitas yang tinggi. Jalan cabang merupakan jalan yang lebih rendah persyaratan dan kualitasnya dibandingkan jalan induk. Jalan cabang berfungsi sebagai penghubung antara jalan induk dan jalan ranting. Jalan ranting berfungsi menghubungkan jalan cabang dengan suatu unit tebangan. Jalan ini digunakan selama ada pengangkutan dari unit tebangan yang bersangkutan. Penyaradan kayu dapat berjalan lancar dengan cara membuat jalan sarad yang menghubungkan kedua tempat tersebut (Tinambunan 1975). Bangunan jalan hutan dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu badan jalan dan lapisan pengeras. Masing-masing bagian mempunyai persyaratan tertentu agar dapat berfungsi dengan baik dalam segala keadaan cuaca dan lalu lintas di atas jalan tersebut. Badan jalan adalah bagian fundamen suatu bangunan gedung. Jika fundamen ini tidak kuat, gedung itu dapat turun dan retak-retak, bahkan dapat runtuh. Lapisan pengeras jalan yang baik harus memenuhi dua syarat, yaitu : secara keseluruhan pengeras jalan harus cukup kuat untuk memikul beban kendaraan yang melintasinya, dan permukaan jalan harus tahan terhadap gaya gesek roda kendaraan dan pengaruh air (Tinambunan & Suparto 1999). Elias (2008) menyatakan desain jalan hutan harus memperhatikan standar teknis jalan hutan yang dapat menjamin keamanan jalan hutan. Desain jalan hutan pada umumnya berhubungan dengan penentuan: 1. Desain kecepatan kendaraan pengangkutan kayu. 2. Jarak pandang minimum yang diperlukan. 3. Kemiringan memanjang jalan. 4. Belokan dan pelebaran belokan. 5. Tanda/rambu lalu lintas. 2.2 Penilaian PWH Parameter PWH digunakan untuk mengetahui baik tidaknya kualitas jaringan jalan hutan yang sudah dibuat maupun yang akan direncanakan. Parameter PWH terdiri atas kerapatan jalan (WD), spasi jalan (WA), persen PWH
5
(E), jarak sarad rata-rata (RE), faktor koreksi PWH (KG), dan keterbukaan tegakan akibat pembukaan wilayah hutan. Kerapatan jalan merupakan panjang jalan rata-rata dalam satuan meter per hektar (m/ha). Tingkat kerapatan jalan akan menentukan banyaknya hasil hutan yang diangkut melalui jalan tersebut. Pada potensi produksi yang sama, makin besar tingkat kerapatan yang dibuat maka hasil hutan yang diangkut melalui jalan tersebut makin kecil (Dulsalam 1994). Elias (2008) menyatakan spasi jalan adalah jarak rata-rata antara jalan angkutan kayu yang dinyatakan dalam satuan meter atau hektometer. Jarak sarad rata-rata dibagi menjadi tiga, yaitu jarak sarad rata-rata secara teoritis (REo), jarak sarad rata-rata terpendek sebenarnya (REm), dan jarak sarad rata-rata sebenarnya (REt). REo adalah jarak terpendek rata-rata secara teoritis dari tempat penebangan sampai dengan jalan angkut. REm adalah jarak terpendek rata-rata dari tempat penebangan sampai dengan jalan angkut terdekat di lapangan. REt adalah jarak sarad rata-rata yang sebenarnya ditempuh di lapangan dari tempat penebangan sampai dengan tempat pengumpulan kayu (TPn/ landing) atau jalan angkut. Faktor koreksi PWH dibagi menjadi faktor koreksi jaringan jalan (Vcoor) dan faktor koreksi jarak sarad (Tcoor). Perkalian antara Vcoor dengan Tcoor merupakan faktor koreksi PWH. Vcoor adalah perbandingan antara jarak sarad rata-rata terpendek ke jalan angkut dengan jarak sarad rata-rata secara teoritis dari model ideal PWH. Tcoor adalah perbandingan antara jarak sarad rata-rata sebenarnya di lapangan dengan jarak sarad rata-rata terpendek di lapangan. Persen PWH adalah perbandingan antara luas wilayah yang terbuka (terlayani atau dapat dijangkau dengan mudah dengan adanya PWH) dengan luas total hutan yang dinyatakan dalam persen. Spesifikasi kemiringan memanjang jalan hutan menurut Elias et al. (2001), diantaranya: 1. Kemiringan memanjang jalan hutan sampai dengan 20% untuk suatu seksi jalan yang panjang maksimalnya 500 m masih dapat diterima bila dapat mengurangi gangguan terhadap tanah pada pembuatannya. 2. Pada dua seksi jalan hutan yang mempunyai kemiringan memanjang jalan maksimum harus dipisahkan dengan 100 m jalan yang datar atau yang
6
kemiringannya rendah. Spesifikasi kemiringan memanjang jalan pada tiga kelas jalan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Spesifikasi kemiringan memanjang jalan hutan Kelas jalan Jalan utama Jalan cabang Jalan ranting
Sumber: Elias et al. (2001)
Kemiringan maksimum yang diijinkan (%) 10 15 18
Seksi panjang jalan maksimum pada kemiringan maksimum (m) 1000 750 600
Menurut Elias (2008), jalan cabang dan jalan ranting yang hanya memiliki satu jalur lalu lintas, ditempat-tempat tertentu perlu dibuatkan tempat persinggahan bagi kendaraan kosong yang berpapasan dengan kendaraan bermuatan. Panjang tempat persinggahan tersebut sekitar 10 m. Spesifikasi lebar jalan hutan untuk tiga kelas jalan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Spesifikasi lebar jalan hutan Kelas jalan Jalan utama Jalan cabang Jalan ranting
Sumber: Elias (2008)
Lebar jalan maksimum (m) Permukaan batu kerikil Permukaan tanah liat dipadatkan 8 10 6 8 5 6
Menurut Departemen Kehutanan (Dephut) pada tahun 1993, spesifikasi jalan hutan untuk jalan induk dan jalan cabang adalah sebagai berikut : a. Jalan induk dengan pengerasan mempunyai spesifikasi : 1) Umur
permanen
2) Sifat
segala cuaca
3) Lebar jalan berikut bahu
12 m
4) Lebar permukaan yang diperkeras
6-8 m
5) Tebal pengerasan
20-50 cm
6) Tanjakan menguntungkan maksimum 10% 7) Tanjakan merugikan maksimum
8%
8) Jari-jari belokan minimum
50-60 m
9) Kapasitas muatan minimum
60 ton
b. Jalan induk tanpa pengerasan dengan spesifikasi : 1) Umur
5 tahun
7
2) Sifat
musim kering
3) Lebar jalan berikut bahu
12 m
4) Tanjakan menguntungkan maksimum
10%
5) Tanjakan merugikan maksimum
8%
6) Jari-jari belokan maksimum
50-60 m
7) Kapasitas muatan minimum
60 ton
c. Jalan cabang dengan pengerasan dengan spesifikasi : 1) Umur
5 tahun
2) Sifat
segala musim
3) Lebar jalan berikut bahu
8m
4) Lebar permukaan yang diperkeras
4m
5) Tebal pengerasan
10-20 cm
6) Tanjakan menguntungkan maksimum
12%
7) Tanjakan merugikan maksimum
10%
8) Jari-jari belokan minimum
50 m
9) Kapasitas muatan minimum
60 ton
d. Jalan cabang tanpa pengerasan dengan spesifikasi : 1) Umur
5 tahun
2) Sifat
musim kering
3) Lebar jalan berikut bahu
12 m
4) Tanjakan menguntungkan maksimum
10%
5) Tanjakan merugikan maksimum
8%
6) Jari-jari belokan minimum
50-60 m
7) Kapasitas muatan minimum
60 ton
2.3 Jaringan Jalan Hutan Pendidikan Gunung Walat Menurut Darwini (2003), Jaringan jalan yang terdapat di hutan pendidikan gunung walat (HPGW) berdasarkan susunan lapisan perkerasannya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu jalan makadam dan jalan aspal. Jalan aspal merupakan jalan utama yang menghubungkan jalan raya Sukabumi dengan kawasan HPGW yang terletak diantara daerah Segog dengan asrama.
8
Jalan makadam terletak pada areal dekat asrama, menuju perbatasan HPGW bagian selatan. Jalan ini berada pada satu jalur dengan aspal dan pada jalan ini belum dilakukan pengerasan aspal. Selanjutnya Darwini menyatakan bahwa jalan setapak yang diperkeras maupun tidak diperkeras merupakan bagian dari jaringan jalan yang terdapat di kawasan HPGW. Jalan setapak yang diperkeras menggunakan perkerasan berupa coran beton dengan lebar satu meter yang merupakan jalan untuk rekreasi. Jalan setapak yang tidak diperkeras merupakan jalan yang digunakan penduduk sebagai akses mereka terhadap hutan. Jalan setapak ini juga digunakan oleh petugas keamanan HPGW sebagai rute patroli keamanan hutan. Menurut Muladi (1984), pola jaringan jalan di HPGW membelah areal hutan dari utara ke selatan. Terdapat beberapa seksi jalan yang mempunyai kemiringan memanjang jalan relatif tinggi. Idealnya jaringan jalan yang terpilih merupakan jalan pencapaian yang relatif pendek, tidak ditemukannya tanjakan atau turunan yang membahayakan, dan derajat belokan tidak terlalu banyak atau hampir lurus. Lebih lanjut Muladi menyatakan untuk mengatasi seksi jalan dengan helling yang cukup tinggi adalah mengubah arah trase jalan dengan konsekuensi jalan yang semakin panjang. Pola jaringan jalan yang dirancang diharapkan dapat melayani arus kegiatan praktek. Jaringan jalan di HPGW terdiri dari jalan utama dan jalan cabang. Jalan utama merupakan jalan menuju base camp, mulai dari batas hutan dan jalan umum. Sedangkan jalan cabang mempunyai pola hamper melingkari areal hutan. Jalan utama dirancang dengan lebar 3,5 m untuk mengantisipasi papas an kendaraan (Muladi 1984). Sebagai hutan pendidikan, HPGW mempunyai petak-petak atau kawasan hutan yang khusus digunakan untuk pendidikan, seperti petak penelitian dan camping ground. Penyusunan letak petak-petak tersebut atas pertimbangan efisiensi baik dalam pembangunan yang akan dilaksanakan, manajemen, dan pemeliharaanya (Muladi 1984). Dengan memperhatikan keadaan HPGW, terutama keadaan topografi, kondisi lokasi sumber mata air dan vegetasinya, maka yang dimanfaatkan secara intensif adalah kawasan hutan bagian barat. Kawasan bagian timur dimanfaatkan
9
sebagai lokasi olah raga lintas alam dan dilengkapi dengan saranan jalan setapak yang melingkari kawasan hutan (Purwito 1984). 2.4 Hasil Hutan Nonkayu Secara garis besar hasil hutan dibagi menjadi dua jenis yaitu hasil hutan kayu dan hasil hutan nonkayu. Hasil hutan nonkayu terdiri dari produk nabati dan hewani. Berdasarkan SK Menhutbun No. 310/Kpts-II/1999 tentang pedoman pemberian hak pemungutan hasil hutan, hasil hutan nonkayu adalah segala sesuatu yang bersifat material (bukan kayu) yang dapat dimanfaatkan dari keberadaan hutan, seperti rotan, getah-getahan, minyak atsiri, sagu, nipah, kulit kayu, arang, bambu, kayu bakar, kayu cendana, sirap bahan tikar, sarang burung walat. Sedangkan menurut Chamberlain et al. (2002), hasil hutan nonkayu adalah tanaman, bagian dari tanaman, jamur, dan bahan biologis lainnya yang dipanen dari hutan. 2.4.1 Kopal Kopal adalah getah yang diperoleh dari pelukaan kulit pohon Agathis sp., berwarna putih sampai kekuning-kuningan transparan berbentuk gelembung. Saluran getah terdapat dalam kulit kayu, arah longitudinal mengikuti puntiran batang. Setelah getah keluar lama kelamaan getah itu akan mengeras (Dulsalam dan Sumantri 1985). Lebih lanjut Dulsalam dan Sumantri mengemukakan bahwa rata-rata produksi getah Agathis spp. Pada lama penyadapan satu minggu dan dua minggu berturut-turut adalah 8,57 gram/pohon dan 9,95 gram/pohon. Rata-rata produksi getah Agathis spp. pada arah penyadapan timur dan barat selama 1-2 minggu berturut-turut adalah 7,48 gram/pohon dan 11,26 gram/pohon. Hal ini disebabkan pada arah barat relatif terlindungi dari sinar matahari yang memungkinkan getah tidak lekas membeku. Menurut Koamesakh dan Partadiredja (1973) dalam Hendrayus (1997), penyadapan pohon Agathis mulai berkembang sekitar tahun 1870 saat industri cat dan vernis mulai berkembang di Eropa dan Amerika. Sedangkan dalam penggunaannya kopal bermanfaat sebagai bahan cat, vernis, spiritus, lak merah,
10
vernis bakar, plastik, bahan pelapis untuk tekstil, linoleum, bahan untuk waterproofing tinta cetak, perekat, cairan pengering, dan sebagainya. 2.4.2 Getah Pinus Hillis (1987) menyatakan getah yang dihasilkan pohon Pinus merkusii digolongkan sebagai oleoresin yang merupakan cairan asam-asam resin dalam terpentin yang menetes ke luar apabila saluran resin pada kayu atau kulit pohon jenis daun jarum tersayat atau pecah. Produksi getah rata-rata untuk 1 koakan, 2 koakan, 3 koakan, 4 koakan, 5 koakan, dan 6 koakan berturut-turut sebagai berikut 26,80 gr/pohon/hari, 33,20 gr/pohon/hari, 45,74 gr/pohon/hari, 59,72 gr/pohon/hari, 70,84 gr/pohon/hari, dan 76,78 gr/pohon/hari (Adhi 2008). Namun menurut Acar et al. (2003), kesalahan dalam metode transportasi dapat mengurangi hasil resin. 2.5 Pemilihan Alternatif Pembukaan Wilayah Hutan Menurut Elias (2008), metode pemilihan alternatif-alternatif PWH dapat ditentukan berdasarkan dua pertimbangan yaitu pertimbangan moneter (tangible) dan pertimbangan moneter dan nonmoneter (tangible dan intangible). Metode berdasarkan pertimbangan moneter yang menjadi kriteria (tolok ukur) penilai alternatif-alternatif PWH ialah pengeluaran dan pendapatan yang berhubungan dengan investasi. Metode pemilihan alternatif PWH berdasarkan pertimbangan moneter dan nonmoneter yang dikenal hingga saat ini antara lain: 1. Analisis manfaat biaya. 2. Analisis efisiensi biaya. 3. Analisis nilai manfaat. Analisis manfaat biaya hanya dapat mempertimbangkan pengaruh PWH yang dapat diukur dengan uang secara langsung dan pengaruh PWH yang dapat diukur dengan uang secara tak langsung dengan bantuan biaya pengganti atau harga bayangan, sehingga didalam pertimbangan pemilihan alternatif
PWH
terbaik terpaksa hanya memperhatikan faktor-faktor terpenting saja. Sedangkan analisis efisiensi biaya dan analisis nilai manfaat dapat mempertimbangkan semua faktor, baik yang dapat maupun yang tidak dapat diukur dengan uang.