BAB II TINJAUAN PUSTAKA Potensi Sumber Daya Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Lahan perkebunan kelapa sawit setiap tahun meningkat dengan pertumbuhan yang cukup tinggi. Tahun 2008, luas lahan kelapa sawit mencapai 7,1 juta Ha, namun saat ini sawit mengalami pertumbuhan sebesar 11,8% dengan luas total tahun 2010 mencapai 8,1 juta Ha. Pengembangannya tidak lagi terfokus di pulau Sumatera melainkan ke pulau Kalimantan, Sulawesi, dan Papua (Kementan RI, 2010). Semenatara itu luas perkebunan kelapa sawit yang ada di Sumatera Utara mencapai 1.017.570 Ha (Departemen Pertanian, 2010). Luasnya areal hutan produksi dan perkebunan di Indonesia memungkinkan untuk memanfaatkan lahan selanya untuk pengembangan budidaya rumput sebagai hijauan makanan ternak. Namun kenyataannya pengembangan secara integrasi menghadapi kendala. Kebanyakan rumput tropis, kecuali yang tahan naungan meskipun kebutuhan nutrient dan airnya terpenuhi, produksi akan rendah apabila tumbuh pada tempat ternaungi dibandingkan dengan yang mendapatkan penyinaran penuh (Wilson, 1982). Hal ini sesuai dengan pendapat Paat (2006) yang menyatakan bahwa potensi lahan dibawah pohon kelapa sawit untuk budidaya tanaman sela cukup besar karena land use intensity kelapa sawit hanya kisaran 15-20% artinya masih terdapat lahan kosong antara 80-85% terutama untuk tanaman kelapa sawit yang berumur diatas 30 tahun.
Universitas Sumatera Utara
Lahan perkebunan kelapa sawit sangat cocok untuk usaha ternak ruminansia karena mampu menyediakan pakan dalam jumlah yang cukup. Pelepah daun kelapa sawit yang secara periodik dipangkas dapat dijadikan pakan ternak. Selain itu rumput yang tumbuh diantara pokok tanaman juga cukup melimpah sehingga mampu mendukung usaha ternak sebanyak 2ekor/ha secara berkelanjutan. Hasil penelitian di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa bahan hijauan yang dihasilkan dari lahan perkebunan mencapai 6,25 ton bahan kering/ha/tahun dan mampu mendukung 1-3 ekor sapi /ha (Suryana dan Sabrani, 2005). Setiap agroekosistem memiliki daya dukung terhadap ternak yang berbedabeda. Hal ini sangat berkaitan dengan kemampuan lahan pertanian menyediakan pakan insitu dalam jumlah yang cukup dan berkualitas bagi ternak. Jika kawasan perkebunan dalam kondisi TBM dikelola dengan pola tumpang sari, maka produk yang dihasilkan sangat bergantung pada tanaman sela yang dibudidayakan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa ketersediaan pakan hijauan berupa vegetasi alam atau produk samping tanaman sela yang dapat tumbuh di kawasan kelapa sawit sangat terbatas dan tidak cukup untuk mendukung penyediaan pakan hijauan yang berkelanjutan (Mathius, 2009). Ketersediaan pakan yang cukup dan berkualitas menjadi hal yang penting dalam mendukung program swasembada daging. Rendahnya pertambahan berat badan ternak disebabkan rendahnya kandungan protein rumput yang tersedia. Semakin terbatasnya lahan penggembalaan dan penanaman hijauan untuk peternakan juga menjadi salah satu kendala yang harus diatasi. Lahan diperlukan untuk penyediaan hijauan bahan berprotein tinggi sebagai pengganti biji-bijian. Pola
Universitas Sumatera Utara
peternakan dengan pakan yang bertumpu pada biji-bijian sebagai sumber protein terbukti tidak berkelanjutan karena harga bijian yang meningkat mahal sebagai akibat kenaikan permintaan sebagai bahan baku biofuel. Dibandingkan dengan rumput unggul, rumput lapangan memberikan kontribusi yang paling kecil dalam mencukupi kebutuhan hijauan pakan ternak ruminansia. Tanaman kelapa sawit normal yang telah berbuah akan menghasilkan kira-kira 20-22 tandan/tahun dan semakin tua produktivitasnya menurun menjadi 12-14 tandan/tahun. Pada tahun-tahun pertama tanaman kelapa sawit berbuah atau pada tanaman yang sehat berat tandannya berkisar antara 3-6 kg. Tanaman semakin tua, berat tandan pun bertambah yaitu antara 25-35 kg/tandan. Mulai dari penyerbukan sampai buah matang diperlukan waktu kurang lebih 5-6 bulan (Hanafi, 2005).
Deskripsi Tanaman Rumput dan Legum Centrosema pubescens Legum Centrosema pubescens merayap memanjat berbunga kupu-kupu besar berwarna ungu muda kemerah-merahan. Polongannya berwarna coklat panjangnya 15 cm dan mengandung 20 biji bewarna hitam berbintik-bintik, tiap kg berat biji mengandung 40.000 butir. Modus reproduksinya adalah menyerbuk sendiri. Kekerasan kulit biji karena variasi genetik telah banyak diketahui (Humpreys, 1979). Spesies legum ini tumbuh baik di daerah-daerah tropik dengan curah hujan sedang sampai tinggi. Persyaratan tanah bagi legum ini tidak spesifik namun inokulasi rhizobium sering menguntungkan. Berbunganya tanaman dipengaruhi sangat baik dengan adanya panjang siang hari yang singkat dan photoperiode yang
Universitas Sumatera Utara
kritik sedikit kurang dari 12 jam (Reksohadiprodjo, 1985). Centro berrgenerassi dengan cepat dan tanaman campurannya adalah antara lain Panicum maximum (Benggala), Melinis minutiflora (Rumput Molasses) serta Cynodon plectostachyon (Rumput Star). Perbanyakan tanaman legum Centro adalah dengan biji (yang tiap lb. mengandung 18.000 biji), tiap acre disebari biji seberat 4-5 lb. Centro tumbuh di tanah yang asam dan di tanah yang sistem drainasenya buruk atau kadang-kadang tergenang air. Jarak tanam antara baris 1-1,5 m. Sebelum biji ditanam sebaiknya direndam dalam air panas selama kurang lebih 30 menit. Sebab biji ini biasanya keras. Centro adalah perennial (hidup lebih dari 1 tahun) sangat agresif, batangbatangnya menjalar dan membentuk pertanaman tertutup tanah 4 sampai 6 bulan sesudah penanaman biji. Centro berdaun lebat dan batangnya tidak berkayu meskipun tanaman telah berumur 18 bulan. Legum ini tahan terhadap tanah kering dan bila pertanaman telah berhasil terjadi maka akan tahan hidup dibawah naungan (Reksohadiprodjo, 1994).
Calopogonium mucunoides Calopogonium muconoides berasal dari Amerika Selatan. Bersifat perennial, merambat, membelit dan hidup di daerah-daerah yang tinggi kelembaban udaranya. Daun-daun terbentuk dengan lebat dalam waktu 5 bulan. Calopo ditanam sebagai penutup tanah di perkebunan kelapa sawit, kopi, karet dan pada tanah yang baru dibuka. Penanaman di padang biasanya dicampur dengan rumput Melinis minutiflora. Legum ini tidak tahan tumbuh di bawah naungan perkebunan karet yang tua. Di Malaysia legum Calopo ini ditanam pula bersama legum lain yaitu Centrosema dan
Universitas Sumatera Utara
Pueraria atau dengan rumput seperti Chloris gayana. Calopo dipergunakan juga untuk memberantas weed atau tanaman liar lain. Di Queensland Calopo ditanam dengan biji seberat 3 lb per acre (tiap lb. berat biji mengandung 30.000 butir). Karena persentase biji yang keras sangat tinggi maka sebelum ditanam biji harus direndam dalam air panas selamam (Reksohadiprodjo, 1981).
Pueraria javanica Pueraria javanica berasal dari India Timur yang kini telah tersebar di negaranegara tropik. Pueraria termasuk tanaman jenis leguminose berumur panjang, yang berasal dari daerah sub-tropis, tetapi bisa hidup di daerah tropik dengan kelembaban yang tinggi. Tanaman ini tumbuh menjalar dan memanjat (membelit), bisa membentuk hamparan setinggi 60-75 cm. Pueraria memiliki sistem perakaran yang dalam (1-6 m), masuk ke dalam tanah dan luas. Maka si musim kemarau ia masih bisa bertahan, hanya meranggas daunnya, tetapi di musim penghujan daun-daun tersebut akan tumbuh menghijau kembali. Pueraria berdaun lebar, bulat dan meruncing di bagian ujungnya dan lebat. Daun-daunnya yang masih muda tertutup bulu yang berwarna coklat, sedangkan bunganya berwarna ungu kebiruan. Karena tanaman ini daun-daunnya sangat lebar dan lebat maka sangat baik dipergunakan sebagai penutup tanah, disamping sebagai bahan makanan ternak yang disenangi oleh hewan. Pueraria javanica disebut juga dengan Kudzu (Kacang ruji). Tanaman ini tahan ditanam di tempat yang agak teduh (AAK, 1985). Di Asia dan Indonesia Pueraria ditanam di perkebunan-perkebunan karet dan kelapa sawit, dimana legum ini tahan sedikit naungan. Di Malaysia Pueraria biasa ditanam bersama-sama dengan
Universitas Sumatera Utara
Centrosema pubescens sebagai penutup tanah dan pencegah erosi. Pueraria tahan pula terhadap tanah asam dan yang kekurangan kapur dan phosphor tahan permukaan air yang tinggi, dapat hidup di tanah yang berat maupun tanah yang berpasir. Pueraria dikembangkan dengan biji sebanyak 5 lb per acre (Reksohadiprodjo, 1981).
Arachis glabarata Arachis glabarata merupakan tanaman perennial dengan rhizome yang bercabang dan tanaman ini untuk tumbuh tegak diatas tanah. Mempunyai dua pasang daun yang berbentuk ellips, panjangnya 6–20 mm dan lebarnya 5–14 mm. Bunga berbentuk bukat dengan diameter 10–12 mm, berwarna kuning sampai dengan orange dan panjang kelopak bunganya 6–7 mm. Polongnya kecil dengan panjang 10 mm dan tebal 5–6 mm. Mampu meningkatkan nilai nutrisi rumput pastura dan dapat bersaing dengan semua rumput pastura meskipun pertumbuhannya agak lambat (Bogdan 1977). Arachis glabarata baik tumbuhnya pada naungan sedang sampai dengan tinggi, dan sangat toleran terhadap penggembalaan berat. Interval pemotongan 12 minggu memberikan hasil yang maksimum, dan berinteraksi baik bila ditanam dengan spesies Digitaria dan Paspalum. Tanaman ini dapat dipergunakan sebagai tanaman padang penggembalaan, untuk tanaman kehutanan dan perkebunan, bahkan untuk hay dan silase. Pertumbuhannya baik dari tanah yang tergenang, berpasir, bahkan tanah liat, memilki adaptasi yang tinggi pada tanah yang memilki pH asam (4.5) bahkan pH basa (8.5) baik juga digunakan untuk konservasi tanah (Freire et al. 2000).
Universitas Sumatera Utara
Brachiaria humidicola Tanaman rumput tahunan yang mempunyai banyak stolon dan rizoma dan membentuk lapisan penutup tanah yang padat. Ditanam untuk padang gembala permanen dan sebagai penutup tanah untuk menahan erosi dan gulma. Dapat digunakan sebagai hay untuk menekan nematoda pada sistem tanaman pangan. Tumbuh pada beragam janis tanah mulai dari tanah sangat asam tidak subur (pH 3,5), tanah liat berat merekah, sampai tanah pasir berbatu pH tinggi. Kebutuhan Ca rendah. Tahan terhadap tanah berpengairan buruk dan sering ditemukan pada tanah liat basah musiman. Tumbuh terbaik pada sinar matahari penuh tetapi daya tahan naungan sedang (misalnya dibawah perkebunan kelapa yang sudah tua). Kurang tahan naungan dibanding Stenotaphrum secundatum. Palatabilitas sedang dan langsung dimakan ternak ketikan tanaman dipertahankan tetap rendah dan banyak daun. Palatabilitas dapat menjadi rendah ketika ditanam pada tanah asam tidak subur karena helai
daun
menjadi
sangat
berserat
dan
berpigmen
tinggi
(http://www.tropicalforages.info, 2012). Merupakan rumput yang baik untuk pertanaman tunggal atau dicampur dengan Stylosanthes maupun Centrosema pubescens (Reksohadiprodjo, 1994).
Stenotaphrum secundatum Stenotaphrum secundatum dikenal dengan nama umum “Buffallo grass” (Australia) atau St. Agustine grass (Amerika Serikat). Termasuk dalam famili Gramineae dengan sub famili Panicoideae. Stenotaphrum secundatum merupakan jenis rumput yang cocok tumbuh pada areal yang intensitas cahayanya rendah.
Universitas Sumatera Utara
Tanaman ini sangat cepat berkembang, memiliki rhizoma dan stolon yang padat, perakaran yang kuat, kemampuan berkompetisi dengan gulma sangat kuat sehingga mampu menekan pertumbuhan gulma serta tahan terhadap penggembalaan berat. Stenotaphrum secundatum merupakan salah satu spesies tanaman pakan ternak yang toleran terhadap naungan. Jenis rumput ini menunjukkan pertumbuhan maupun produksi yang lebih baik pada lahan naungan dibanding alam terbuka (tanpa naungan). Rumput ini memiliki palatabilitas yang tinggi saat masih muda, disukai oleh ternak ruminansia besar maupun kecil. Terdapat kandungan oksalat sejumlah ± 1% namun tidak menyebabkan keracunan pada ternak yang mengkonsumsinya (Konsorsium Bioteknologi Indonesia, 2012). Rumput ini merupakan rumput unggul yang tahan naungan dan pada tingkat naungan antara 40–50 % ternyata masih mampu berproduksi dengan baik (Rika, 1994).
Peranan Cahaya terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Nutrisi Tanaman Ludlow (1978) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman yang kekurangan cahaya akan lebih cepat ke atas sehingga batang lebih tinggi dan pertumbuhan ke samping lebih lambat. Sebaliknya, tanaman yang cukup mendapatkan sinar matahari, pertumbuhan batangnya lebih pendek dan pertumbuhan ke sampingnya akan lebih cepat sehingga luasan tanah yang tertutup akan lebih luas. Intensitas cahaya merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman. Hocker (1979) menyatakan bahwa pertumbuhan yang relatif lambat dari hampir semua jenis tanaman berhubungan erat dengan intensitas cahaya.
Universitas Sumatera Utara
Mappaona (1986) menyatakan bahwa dari seluruh radiasi yang jatuh pada suatu tegakan tanaman hanya sebagian kecil yang dapat ditransmisi. Prinsip dasar dari produksi pertanian adalah eksploitasi energi surya menjadi makanan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman dipengaruhi oleh tingkat intensitas matahari dan juga tersedianya unsur hara untuk sistem keseimbangannya di dalam tanah (Beadle, 1982). Produksi bahan kering menurun dengan adanya intensitas cahaya yang rendah pada beberapa spesies rumput dan legum (Ludlow, et al., 1974). Kemampuan tanaman untuk beradaptasi terhadap kondisi naungan ditentukan oleh kemampuannya untuk dapat melakukan proses fotosintesis secara mormal pada keadaan kekurangan cahaya. Radiasi matahari mempengaruhi kondisi kloroplas. Kloroplas akan mengumpul pada sisi dinding sel terdekat dan terjauh dari radiasi. Keadaan ini menyebabkan daun kelihatan hijau pada kondisi ternaungi karena kloroplasnya menggumpal pada permukaan daun (Myers et al., 1997). Intensitas cahaya optimal selama periode tumbuh penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pada tanaman tertentu jika menerima cahaya berlebihan maka akan berpengaruh terhadap pembentukan buah atau umbi. Sebaliknya berkurangnya radiasi sebagai akibat keawanan atau ternaungi akan mengurangi laju pembentukan buah dan umbi dan menyebabkan pertumbuhan vegetatif berlebihan (Bahrudin, 2004). Untuk memperoleh intensitas cahaya yang sesuai bagi tanaman krisan diperlukan naungan misalnya dengan paranet. Fungsi paranet antara lain untuk
Universitas Sumatera Utara
mengurangi intensitas cahaya juga dapat mengurangi suhu udara lingkungan tanaman (Anonim, 2002). Naungan tidak memiliki efek nyata terhadap kadar N daun, klorofil dan kandungan karoten pada tanaman jagung, tetapi tingkat fotosintesis meningkat karena meningkatnya irradiasi. Hasil biji dan produksi biomassa menurun secara proporsional karena meningkatnya penutupan (naungan). Hasil ini merupakan efek negatif saat tanaman yang membutuhkan intensitas cahaya tinggi mengalami penaungan (Purnomo, 2005). Untuk beberapa tanaman kecepatan fotosintesis bahkan dapat sedikit menurun bila intensitas cahaya bertambah diantara titik-titik jenuh. Nutman (1973) dalam Guslim (2007) mengukur kecepatan fotosintesis daun kopi di lapangan, ternyata nilainilai kecepatan fotosintesis menurun pada keadaan intensitas cahaya yang tinggi pada tengah hari yang disebabkan menutupnya mulut daun. Jumlah asimilasi harian di kebun kopi yang terlindungi lebih besar daripada yang terkena sinar matahari langsung. Intensitas cahaya yang optimum juga berbeda menurut jenis tanaman. Ada tanaman yang tumbuh dengan baik sekali di tempat yang teduh, ada juga tanaman yang memerlukan cahaya dengan intensitas cahaya yang tinggi sekitar cahaya matahari penuh. Tanaman jenis terakhir ini dinamakan sunplants, sedangkan yang suka naungan disebut shadeplants (Devlin dan Withan, 1983). Kualitas dan kuantitas cahaya mempengaruhi terhadap banyak hal dalam pertumbuhan tanaman antara lain etiolasi tanaman, produksi pigmen, pembentukan cabang dan perpanjangan batang (Hartwick, 2004). Alvarenga et al., (2004)
Universitas Sumatera Utara
menemukan adanya tendensi peningkatan konsentrasi klorofil dan penurunan laju fotosintesis dengan meningkatnya taraf naungan pada tanaman Croton urucurana Baill. Pada kondisi kekurangan cahaya tanaman berupaya untuk mempertahankan agar fotosintesis tetap berlangsung dalam kondisi intensitas cahaya rendah. Keadaan ini dapat dicapai apabila respirasi juga efisien (Soepandie et al., 2003). Cruz (1997) menyatakan naungan dapat mengurangi enzim fotosintetik yang berfungsi sebagai katalisator dalam fiksasi CO2 dan menurunkan titik kompensasi cahaya. Tanaman yang tergolong C3 dan C4 menunjukkan tanggap morfologi yang sama terhadap naungan, tetapi tanggap fotosintesisnya berbeda terhadap naungan. Pada golongan rumput yang tahan naungan memiliki kandungan N dan lebih tinggi daripada yang peka terhadap naungan (Kephart dan Buxton, 1993). Kemampuan adaptasi tanaman pada kondisi naungan sangat ditentukan oleh kemampuan tanaman untuk menghindar maupun untuk mentolerir keadaan kurang cahaya tersebut. Karakter fotosintetik tanaman yang dapat tumbuh dengan baik pada intensitas cahaya rendah berbeda dengan tanaman yang tidak dapat menyesuaikan diri pada kondisi ternaungi. Pada tanaman yang toleran, intensitas cahaya yang rendah dapat diatasi antara lain dengan meningkatkan kandungan pigmen per kloroplas. Di samping itu tanaman toleran dapat beradaptasi dengan menghindari penurunan aktivitas enzim.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1 : Adaptasi tanaman yang menghindar terhadap kekurangan cahaya Meningkatkan Efisiensi Penangkapan Cahaya
Miningkatkan Area Penangkapan
Meningkatkan Penangkapan Cahaya Per Area Unit Fotosintetik Penghindaran Refleksi
Meningkatkan Proporsi Area Fotosintetik
Penghindaran Transmisi
Penghindaran Absorpsi Yang
Hilangnya Kutikula, Lilin dan Rambut Pada Permukaan Daun
Meningkatnya Kandungan Kloroplas
Meningkatnya Kandungan Kloroplas
Hilangnya Pigmen Kloroplas (ex.
Meningkatnya Kandungan Pigmen Per Kloroplas
Kloroplas Dalam Sel Epidermis
Sumber : Response of Plants to environmental Stress (Levit, 1980).
Pengaruh Naungan Terhadap Vegetasi Naungan baik secara alami maupun buatan mengakibatkan pengurangan intensitas cahaya yang sampai pada tanaman. Sebagian besar spesies rumput tropis mengalami penurunan produksi sejalan dengan menurunnya intensitas sinar, namun spesies yang tahan terhadap naungan menunjukkan penurunan produksi yang relatif
Universitas Sumatera Utara
kecil atau meningkat pada naungan sedang. Tanaman yang ditanam pada kondisi tanpa naungan cenderung memiliki produksi berat kering akar yang lebih tinggi dibanding tanaman dengan naungan (Ludlow, 1978). Norton et al. (1991) melaporkan bahwa naungan dapat menurunkan produksi hijauan tetapi dapat meningkatkan kandungan nitrogen tanaman. Pemberian naungan terhadap tanaman disamping mengurangi cahaya matahari yang tiba di permukaan dapat juga mempengaruhi iklim mikro tanaman. Naungan dapat memepengaruhi beberapa faktor lingkungan antara lain temperatur, kelengasan tanah, pergerakan udara (Chambers, 1978) menurunkan suhu tanah dan tanaman pada waktu siang, menaikkan suhu udara pada waktu malam, perlindungan dari limpasan hujan, pemindahan uap air dan CO2 dan menaikkan kelembaban relatif (Stiger, 1984). Sebagian besar spesies rumput tropis mengalami penurunan produksi sejalan dengan menurunnya intensitas sinar, namun spesies yang tahan terhadap naungan sering menunjukkan penurunan produksi yang relatif kecil atau masih meningkat pada naungan sedang (Samarakoon et al., 1990). Haris (1999) menyatakan bahwa peningkatan luas daun merupakan salah satu mekanisme toleransi terhadap naungan untuk memperoleh cahaya lebih tinggi atau optimalisasi penerimaan cahaya oleh tanaman. Naungan dapat meningkatkan proporsi daun dan menyebabkan luas daun lebih tersebar ke seluruh kanopi. Tanaman pada perlakuan naungan berusaha mendapatkan arah datangnya cahaya. Peningkatan tinggi tanaman merupakan salah satu bentuk adaptasi untuk memperoleh cahaya. Daun yang ternaungi mengabsorbsi sedikit saja pada infra merah sehingga menyebabkan perubahan karakteristik fitokrom dan tanaman jadi lebih tinggi. Tanaman pada
Universitas Sumatera Utara
perlakuan naungan mengalami proses etiolasi sehingga pertumbuhan tanaman lebih tinggi, begitu juga dengan luas daun dengan bertambahnya taraf naungan. Level naungan adalah faktor yang sangat menentukan produksi pastura yang tumbuh pada areal tanaman tahunan. Penurunan intensitas cahaya mengurangi pertumbuhan spesies pastura pada berbagai tingkatan dan mempengaruhi kompetisi. Proses-proses di dalam tanaman yang dapat dipengaruhi oleh naungan adalah fotosintesis, transpirasi, respirasi, reduks i nitrat, sintesis protein, produksi hormon, translokasi,
penuaan
pertumbuhan
akar
dan
penyerapa
nitrat
(Struik dan Deinum, 1982). Spesies pastura tropis yang ditanam di bawah intensitas cahaya yang berbeda dapat menunjukkan perubahan morfologis dan fisiologis dalam nisbah pucuk atau akar, indeks luas daun dan spesifik dari efisiensi penggunaan cahaya. Perubahan ini akibat dari kompatabilitas rumput bila ditanam pada lingkungan ternaungi (Sophanodora, 1991). Eriksen dan Whitney (1981) menemukan bahwa spesies rumput yang memiliki produksi yang tinggi umumnya mensuplai nitrogen dengan baik, produksi yang tingggi hampir secara linier sampai dengan 75% penyinaran tetapi cenderung menjadi datar ketika transmisi cahaya meningkat 100%. Pada rumput dan legum perbedaan spesies lebih besar di bawah transmisi cahaya sedang dibanding dengan transmisi cahaya rendah. Potensi produksi yang rendah dari keseluruhan spesies pada cahaya yang rendah jadi pembatas utama terhadap produksi hijauan di perkebunan, dimana penutupan kanopi yang terbuka seperti kelapa sedangkan spesies dengan naungan yang sedang dapat dieksploitasi untuk menghasilkan produksi yang tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Naungan dapat memberikan pengaruh terhadap kualitas hijauan, untuk dapat dilihat Gambar 2. Gambar 2. Dampak positif dan negatif terhadap hijauan pakan Naungan
Meningkatkan
Meningkatkan
Meningkatkan
Dinding sel
Daun : Batang
Tannin
Lignin, Silika
Protein, Mineral
Toxin
Menurunkan
Meningkatkan
Menurunkan
Soluble Carbohydrate
Menurunkan
Kecernaan
Palatabilitas
Intake
Sumber : Shade effect and the nutritive value of plants (Norton, 1989). Gambar 2 menjelaskan pengaruh naungan terhadap hijauan pakan, dimana naungan secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap peningkatan serat kasar, protein dan tanin sebaliknya dengan kandungan BETN dimana terjadi penurunan pada kandungan BETN tersebut. Peningkatan kandungan serat kasar akan berpengaruh terhadap penurunan kecernaan, begitu juga dengan intake, sebaliknya
Universitas Sumatera Utara
dengan kandungan protein dan mineral terjadi peningkatan terhadap kecernaan secara tidak langsung berpengaruh juga terhadap peningkatan intake. Peningkatan kandungan tanin dan penurunan kandungan BETN berpengaruh terhadap penurunan palatabilitas dan intake.
Kapasitas Tampung Ternak Menurut Reksohadiprodjo (1985), yang disitasi oleh Kencana (2000), Kapasitas tampung (Carrying Capacity) adalah kemampuan padang penggembalaan untuk menghasilkan hijauan makanan ternak yang dibutuhkan oleh sejumlah ternak yang
digembalakan
dalam
luasan
satu
hektar
atau
kemampuan
padang
penggembalaan untuk menampung ternak per hektar. Departemen Pertanian (2010) lebih lanjut menjelaskan bahwa, kapasitas tampung adalah jumlah hijauan makanan ternak yang dapat disediakan kebun hijauan makanan ternak untuk kebutuhan ternak selama 1 (satu) tahun yang dinyatakan dalam satuan ternak (ST) per hektar. Kemampuan berbagai padang rumput dalam menampung ternak berbeda-beda karena adanya perbedaan dalam hal produktivitas tanah, curah hujan dan penyebarannya serta topografi. Oleh karena itu padang rumput sebaiknya digunakan menurut kemampuannya masing-masing. Menurut Susetyo (1980), yang disitasi oleh Wiryasasmita (1985) bahwa, kapasitas tampung adalah angka yang menunjukan satuan ternak yang dapat digembalakan diluasan tanah pangonan tertentu, selama waktu tertentu, dengan tidak mengakibatkan kerusakan baik terhadap tanah, vegetasi maupun ternaknya. Dengan demikian kapasitas tampung tersebut tergantung pada berbagai faktor seperti kondisi
Universitas Sumatera Utara
tanah, pemupukan, faktor klimat, spesies hijauan, serta jenis ternak yang digembalakan atau terdapat di suatu padangan. Kapasitas
tampung
ternak
bertujuan
untuk
mendefinisikan
tekanan
penggembalaan jangka panjang dalam tingkat optimum yang secara aman berkelanjutan dan dihubungkan dengan ketersediaan hijauan. Taksiran daya tampung menurut Halls et al. (1964) didasarkan pada jumlah hijauan tersedia. Jumlah hijauan yang tersedia ini tidak terlepas hubungan dengan defoliasi, aspek lain dalam hal ini adalah hubungan antara tekanan penggembalaan terhadap produksi ternak. Pengertian tentang tekanan penggembalaan optimum penting artinya dalam pengelolaan padang penggembalaan, karena tekanan penggembalaan optimum dalam hal ini sesuai dengan daya tampung padang rumput bersangkutan. Othman et al. (1989) menunjukkan bahwa terjadi penurunan komposisi legum dari umur 1-6 tahun yaitu terjadi penurunan 10% pada legum dan merumput terjadi peningkatan total bahan kering lebih dari 60%. Lebih dari 60 spesies hijauan telah dikontribusikan secara efektif dibawah pengelolaan yang normal pada perkebunan kelapa sawit dan 70% disukai ternak.
Komposisi Botani Analisa komposisi botani diperlukan untuk mengetahui kondisi pastura yang dapat mempengaruhi produksi dan kualitas hijauan yang dihasilkan. Analisis komposisi botani dapat dilakukan secara manual dengan melihat secara langsung yang ada di suatu pastura. Namun hal ini tentu akan menjadi masalah dalam menentukan akurasi jenis botani dan waktu yang diperlukan untuk melihat kondisi
Universitas Sumatera Utara
botani dan waktu yang diperlukan untuk melihat kondisi botani yang ada secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan metode analisis komposisi botani hijauan makanan ternak yang cepat dan tepat (intanursiam.wordpress.com, 2012). Selain itu analisa komposisi botani diperlukan untuk mengetahui jenis tanaman yang tahan terhadap naungan.Sehingga mempermudah untuk pengaplikasian jenis tanaman yang akan ditanam di bawah naungan.
Kandungan Nutrisi Tanaman yang merupakan sumber makanan pokok bagi hewan juga merupakan satu unit biologi yang terdiri atas unit kimia yang sama dengan hewan. Oleh karena itu membicarakan komposisi atau susunan tubuh hewan dan tubuh tanaman sangat penting. Mahluk hidup termasuk ternak memerlukan zat-zat gizi untuk melengkapi kebutuhan akan protein, energi, mineral, vitamin dan lainnya yang digunakan untuk proses-proses pertumbuhan, produksi, reproduksi dan pemeliharaan tubuhnya. Pakan mengandung zat-zat gizi yang melakukan fungsi-fungsi di atas, tetapi zat gizi yang dikandung oleh setiap pakan sangat berbeda-beda. Secara singkat, tanaman dapat menggunakan energi matahari dalam mensintesa alat makanan organik yang kompleks dari bahan-bahan sederhana seperti karbondioksida dalam udara dengan air dan unsus organik dalam tanah yang disebut fotosintesis. Analisa mineral dimulai dengan membakar zat makanan (bahan kering) dengan istilah diabukan. Dengan pembakaran dapat menghilangkan zat-zat organik. Kuantitas abu dari skema analisis bahan makanan hanyalah merupakan kelanjutan dalam menghitung BETN (bahan ekstrak tanpa nitrogen) dengan cara pengurangan karena setiap mineral di
Universitas Sumatera Utara
dalam tubuh mempunyai fungsi yang terpisah. Gizi yang dapat diuji adalah BK (bahan
kering),
lemak
kasar,
protein
kasar,
serat
kasar,
abu
dan
BETN (Tillman, 1989).
Universitas Sumatera Utara