BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agroforestri Menurut Nair (1987) dalam Hairiah et al. (2003), agroforestri adalah sistem penggunaan lahan terpadu, yang memiliki aspek sosial dan ekologi, dilaksanakan melalui pengkombinasian pepohonan dengan tanaman pertanian dan/atau ternak (hewan), baik secara bersama-sama atau bergiliran, sehingga dari satu unit lahan tercapai hasil total nabati atau hewan yang optimal dalam arti berkesinambungan. Selain itu, Huxley (1999) diacu dalam Hairiah et al. (2003) menyatakan
agroforestri
adalah
sistem
penggunaan
lahan
yang
mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya. Dari beberapa definisi yang telah dikutip, agroforestri merupakan suatu istilah baru dari praktek-praktek pemanfaatan lahan tradisional yang memiliki ciriciri antara lain (Andayani 2005): 1) budidaya tanaman menetap pada sebidang lahan; 2) mengkombinasikan pertanaman semusim dan tahunan secara berdampingan atau berurutan, tanpa atau dengan pemeliharaan ternak; 3) menerapkan pengusahaan yang sedapat mungkin tergabungkan dengan kebiasaan petani setempat dalam hal budidaya tanaman; 4) merupakan sistem pemanfaatan lahan, dimana pertanaman petanian, perhutanan, dan atau peternakan menjadi komponen, baik secara struktur maupun fungsi. Agroforestri menitikberatkan pada dua karakter pokok yang umum dipakai pada seluruh bentuk agroforestri yang membedakan dengan sistem penggunaan lahan lainnya (Lundgren 1982, diacu dalam Hairiah 2003), yaitu: 1) adanya pengkombinasian yang terencana/disengaja dalam satu bidang lahan antara tumbuhan berkayu (pepohonan), tanaman pertanian dan/atau ternak/hewan baik secara bersamaan (pembagian ruang) ataupun bergiliran (bergantian waktu), 2) adanya interaksi ekologis dan/atau ekonomis yang nyata/jelas, baik positif
5
maupun negatif antara komponen-komponen sistem yang berkayu maupun tidak berkayu. Ciri penting agroforestri yang dikemukakan oleh Lundgren dan Raintree (1982) diacu dalam Hairiah (2003) antara lain: 1) agroforestri biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih (tanaman dan/atau hewan), paling tidak satu di antaranya tumbuhan berkayu; 2) siklus sistem agroforestri selalu lebih dari satu tahun; 3) ada interaksi (ekonomi dan ekologi) antara tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu; 4) selalu memiliki dua macam produk atau lebih (multi product), misalnya pakan ternak, kayu bakar, buah-buahan, obat-obatan; 5) minimal mempunyai satu fungsi pelayanan jasa, misalnya pelindung angin, penaung, penyubur tanah, dan peneduh; 6) sistem agroforestri yang paling sederhanapun secara
biologis
maupun ekonomis
jauh
lebih
kompleks
dibandingkan dengan sistem budidaya monokultur. Berdasarkan uraian tersebut maka sasaran pokok agroforestri meliputi: mengoptimumkan produksi gabungan pertanian-perhutanan dengan atau tanpa peternakan, memperbaiki lahan usaha, serta membuka kesempatan atau lapangan kerja khususnya bagi masyarakat setempat. Andayani (2005) menyatakan bahwa, agroforestri dapat diartikan sebagai suatu bentuk kolektif dari sebuah sistem nilai masyarakat yang berkaitan dengan model-model penggunaan lahan lestari. Oleh karena itu, agroforestri dalam bentuk implementasinya dapat berbentuk seperti: 1) agrisilvikultur (penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan yang masak untuk memproduksi sekaligus hasil-hasil pertanian dari hutan); 2) sylvopastural (sistem pengelolaan hutan dimana hutan dikelola untuk menghasilkan kayu sekaligus juga untuk memelihara ternak); 3) agrosylvo-pastoral (sistem dimana lahan dikelola untuk memproduksi hasil pertanian dan hasil kehutanan secara bersamaan dan sekaligus memelihara hewan ternak); 4) multipurpose forest tree production system (sistem dimana berbagai jenis kayu ditanam dan dikelola, tidak saja untuk menghasilkan kayu tetapi juga dedaunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia maupun dijadikan makanan ternak). Pada
dasarnya
agroforestri
merupakan
pola
pertanaman
yang
memanfaatkan sinar matahari dan tanah yang berlapis-lapis untuk meningkatkan
6
produktivitas lahan. Namun, sebenarnya pola tanam agroforestri sendiri tidak sekedar untuk meningkatkan produktivitas lahan, tetapi juga melindungi lahan dari kerusakan dan mencegah penurunan kesuburan tanah melalui mekanisme alami. Penerapan agroforestri dapat memberikan manfaat yang besar bagi para pemilik lahan. Menurut Wiersum (1980) diacu dalam Matatula (2009) mengemukakan, keuntungan yang diperoleh dengan penggunaan teknik agroforestry yaitu sebagai berikut: 1) keuntungan ekologis, yaitu penggunaan sumber daya yang efisien baik dalam pemanfaatan sinar matahari, air dan unsur hara di dalam tanah; 2) keuntungan ekonomis, yaitu total produksi yang dihasilkan lebih tinggi sebagai akibat dari pemanfaatan lahan yang lebih efisien; 3) keuntungan sosial, yaitu memberikan kesempatan kerja sepanjang tahun. Keberhasilan penerapan agroforestri menuntut adanya pemahaman yang mendalam tentang komponen yang terlibat dalam agroforestri, serta interaksi komponen tersebut. Interaksi antar komponen tersebut, atau dengan kata lain “interaksi antara pohon dengan tanaman semusim atau dengan pohon lainnya”, merupakan satu aspek yang tidak mudah dikaji.
Interaksi antar komponen-
komponen tersebut, antara lain (Hairiah et al. 2002): 1) interaksi positif (peningkatan produksi satu jenis tanaman diikuti oleh peningkatan produksi tanaman lainnya); 2) interaksi netral (kedua tanaman tidak saling mempengaruhi, peningkatan produksi tanaman semusim tidak mempengaruhi produksi pohon atau peningkatan produksi pohon tidak mempengaruhi produksi tanaman semusim); 3) interaksi negatif (peningkatan produksi satu jenis tanaman diikuti oleh penurunan produksi tanaman lainnya, ada kemungkinan pula terjadi penurunan produksi keduanya). 2.2 Sengon (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) 2.2.1 Klasifikasi dan Penyebaran Sengon termasuk suku Fabaceae, keluarga petai-petaian. Di Indonesia, sengon memiliki beberapa nama daerah seperti berikut : jeunjing, jeunjing laut (Sunda), kalbi, sengon landi, sengon laut, atau sengon sabrang (Jawa), seja (Ambon), sikat (Banda), tawa (Ternate), dan gosui (Tidore). Klasifikasi ilmiah tanaman sengon:
7
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Fabales
Suku
: Fabaceae
Marga
: Paraserianthes
Jenis
: falcataria Sengon merupakan tanaman asli Indonesia, Papua Nugini, Kepulauan
Solomon dan Australia (Soerianegara dan Lemmens 1993, diacu dalam Krisnawati 2011). Tegakan alam sengon di Indonesia ditemukan tersebar di bagian timur (Sulawesi Selatan, Maluku dan Papua) dan di perkebunan di Jawa (Martawijaya et al. 1989). Di Maluku, tegakan sengon alam dapat ditemukan di Pulau Taliabu, Mangolle, Sasan, Obi, Bacan, Halmahera, Seram dan Buru. Di Papua, sengon alam ditemukan di Sorong, Manokwari, Kebar, Biak, Serui, Nabire dan Wamena. Selain itu, sengon juga ditanam di Jawa (Martawijaya et al. 1989). 2.2.2 Deskripsi Botani Pohon berukuran sedang sampai besar, tinggi dapat mencapai sekitar 30‒45 m, tinggi batang bebas cabang 20 m. Tidak berbanir, kulit licin, berwarna kelabu muda, bulat agak lurus. Diameter batang sekitar 70‒80 cm. Kulit batang berwarna putih keabu-abuan, tidak beralur, tidak mengelupas dan batangnya tidak berbanir (Martawijaya et al. 1989). Kerapatan tajuk tergolong jarang. Berat jenis kayu rata-rata 0,33 dan termasuk kelas awet IV‒V. Daun sengon tersusun majemuk menyirip ganda dengan panjang sekitar 23‒30 cm . Anak daunnya kecil-kecil, banyak dan perpasangan, terdiri dari 15‒20 pasang pada setiap sumbu (tangkai), berbentuk lonjong (panjang 6‒12 mm, lebar 3‒5 mm) dan pendek ke arah ujung. Permukaan daun bagian atas berwarna hijau pupus dan tidak berbulu sedangkan permukaan daun bagian bawah lebih pucat dengan rambut-rambut halus (Soerianegara dan Lemmens 1993 dan Arche et al. 1998, diacu dalam krisnawati 2011). Sengon memiliki akar tunggang yang cukup kuat menembus ke dalam tanah, akar rambutnya tidak terlalu besar, tidak rimbun dan tidak menonjol ke permukaan tanah.
8
Bunga sengon tersusun dalam malai berukuran panjang 12 mm, berwarna putih kekuningan dan sedikit berbulu, berbentuk seperti saluran atau lonceng. Bunga biseksual, terdiri dari bunga jantan dan bunga betina. Buah sengon berbentuk polong, pipih, tipis, tidak bersekat-sekat dan berukuran panjang 10‒13 dan lebar 2 cm. Setiap polong buah berisi 15‒20 biji. Biji sengon berbentuk pipih, lonjong, tidak bersayap, berukuran panjang 6 mm, berwarna hijau ketika masih muda dan berubah menjadi kuning sampai coklat kehitaman jika sudah tua, agak keras dan berlilin. Sengon mulai berbunga pada umur 3 tahun setelah tanam. Djogo (1997) diacu dalam Krisnawati (2011) melaporkan, waktu berbunga adalah sekitar Oktober‒Januari. Secara umum, buah sengon akan masak sekitar 2 bulan setelah berbunga. Tanaman sengon sehat berumur 5–8 tahun dapat menghasilkan benih sekitar 12.000 butir per ha. Seribu butir benih sengon diperkirakan memiliki berat sekitar 16–26 g (Soerianegara dan Lemmens 1993, diacu dalam Krisnawati 2011). 2.2.3 Syarat Ekologi Sengon dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, termasuk tanah kering, tanah lembab dan bahkan di tanah yang mengandung garam dan asam selama drainasenya cukup (Soerianegara dan Lemmens 1993, diacu dalam Krisnawati 2011). Di Jawa, sengon dilaporkan dapat tumbuh di berbagai jenis tanah kecuali tanah grumusol (Charomaini dan Suhaendi 1997, diacu dalam Krisnawati 2011). Sengon termasuk jenis pionir yang dapat tumbuh di hutan primer, hutan hujan dataran rendah sekunder dan hutan pegunungan, padang rumput dan di sepanjang pinggir jalan dekat laut. Di habitat alaminya di Papua, sengon berasosiasi dengan jenis-jenis seperti Agathis labillardieri, Celtis spp., Diospyros spp., Pterocarpus indicus, Terminalia spp. dan Toona sureni (Soerianegara dan Lemmens 1993, diacu dalam Krisnawati 2011). Di habitat alaminya, curah hujan tahunan berkisar antara 2000–2700 mm, kadang-kadang sampai 4000 mm dengan periode musim kering lebih dari 4 bulan. Curah hujan untuk pertumbuhan optimalnya adalah 2000–3500 mm per tahun. Suhu optimal untuk pertumbuhan sengon adalah 22–29°C dengan suhu maksimum 30–34°C dan suhu minimum 20–24°C (Soerianegara dan Lemmens
9
1993, diacu dalam Krisnawati 2011). Selama bulan kering, jumlah hari hujan minimal yang diperlukan adalah 15 hari. Sengon tumbuh baik pada ketinggian 1600 m dpl, kadang-kadang sampai ketinggian 3.300 m dpl. Di Papua, sengon dapat tumbuh di daerah yang rendah pada ketinggian 55 m dpl di Manokwari (Charomaini dan Suhaendi 1997, diacu dalam Krisnawati 2011). 2.2.4 Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan tanaman bertujuan untuk memperoleh hasil tanaman atau tegakan yang berkualitas sesuai dengan tujuan pengelolaan. Adapun kegiatan dalam pemeliharaan tanaman meliputi : 1. Penyiangan Tanaman sengon harus dibebaskan dari gulma. Gulma dan tanaman terpengaruh secara negatif oleh interaksi dalam bentuk penurunan kegiatan pertumbuhan termasuk peristiwa alelopati. Anino (1997) diacu dalam Krisnawati et al. (2011) menyatakan, penyiangan harus dilakukan secara rutin pada dua bulan pertama, setelah itu secara periodik 3 bulanan. Selama satu tahun pertama pohon harus bersih dari alang-alang paling tidak 2 m di sekitar pohon. 2. Pemupukan Untuk meningkatkan pertumbuhan sengon, setiap anakan perlu diberikan pupuk sekitar 100 gram NPK, baik pada saat penanaman maupun setelahnya. Menurut Santoso (1992) untuk mendapatkan produksi yang sesuai harapan, pada saat tanaman sengon berumur sekitar 4 bulan perlu diberi pupuk Urea 40 kg, ZA 80 kg, TSP 120 kg dan KCl 160 kg tiap ha. Cara pemupukan yaitu dengan meletakkan pupuk dalam lubang sedalam 5‒10 cm di sekeliling batang pada batas proyeksi tajuk tanaman (Indriyanto 2008). Pemupukan diulangi lagi pada awal tahun ke dua dengan takaran yang sama. 3. Pendangiran Menurut Hartini dan Anna (2010), pendangiran merupakan kegiatan penggemburan tanah disekitar tanaman dalam upaya memperbaiki sifat fisik tanah (aerasi tanah). Pendangiran dilakukan setelah penyiangan dengan meninggikan tanah di sekitar tanaman pokok agar air tidak tergenang.
10
4. Penyulaman Penyulaman tanaman merupakan kegiatan penanaman kembali pada bekas tanaman yang mati/diduga akan mati dan rusak sehingga terpenuhi jumlah tanaman normal dalam satuan luas tertentu sesuai jarak tanamnya (Hartini & Anna 2010). Menurut Indriyanto (2008), penyulaman dilakukan apabila persentase hidup tanaman kurang dari 80%. Penyulaman pertama dilakukan satu bulan setelah penanaman. Penyulaman kedua dilakukan setelah satu tahun penanaman. Pada tahun berikutnya tidak perlu dilakukan penyulaman karena tanaman susulan akan tertinggal pertumbuhannya. 5. Pemangkasan Menurut Hartini dan Anna (2010), pemangkasan cabang adalah kegiatan pembuangan cabang bagian bawah untuk memperoleh batang bebas cabang yang tinggi. Pohon sengon memiliki kecenderungan untuk tumbuh menggarpu, sehingga pemangkasan sangat diperlukan pada tahap awal perkembangan pohon. Pemangkasan biasanya dilakukan selama dua tahun pertama mulai dari enam bulan, setelah itu pada interval enam bulan sampai umur 2 tahun (Soerianegara dan Lemmens 1993, diacu dalam Krisnawati 2011). Pemangkasan lebih baik dikerjakan pada waktu cabang pohon masih kecil, untuk mencegah terjadinya luka yang terlalu lebar. Intensitas pemangkasan cabang setiap kali melakukan pemangkasan sebesar 30% dari tajuk (Kosasih et al. 2002, diacu dalam Indriyanto 2008). 6. Penjarangan Penjarangan adalah tindakan pengurangan jumlah batang persatuan luas untuk mengatur kembali ruang tumbuh pohon dalam rangka mengurangi persaingan antar pohon. Pohon yang dipilih untuk dijarangi adalah pohon yang terkena hama, cacat, miskin riap dan tertekan. Secara umum untuk jenis pohon yang cepat tumbuh dilakukan penjarangan pertama kali pada umur 3‒4 tahun, sedangkan jenis pohon yang lambat tumbuh penjarangan pertama kali dilakukan pada umur 5‒10 tahun (Indriyanto 2008). 7. Pengendalian Hama dan Penyakit Salah satu ancaman utama hama yang menyerang tanaman sengon di Indonesia adalah hama penggerek batang (Xystrocera festiva) (Nair dan Sumardi 2000, diacu dalam Krisnawati 2011). Xystrocera festiva mulai menyerang
11
tanaman umur 3 tahun dan apabila dibiarkan, dalam waktu 2 sampai 5 tahun kemudian, seluruh tanaman akan punah. Pengendalian hama X. festiva dapat dilakukan dengan penebangan atau penjarangan pada pohon yang terserang untuk mencegah dan menekan penyebaran hama. Penyakit yang menyerang tanaman sengon antara lain: 1) jamur upas (Upasia salmonicolor), pengendaliannya dengan eradikasi, pembakaran atau pemangkasan tanaman yang diserang; 2) penyakit akar merah, penyebabnya jamur Ganoderma pseudofereum, umumnya jamur tumbuh pada tanah basah dan pH 6,0–7,0. Pengendaliannya dapat dengan fungisida Ganocide atau Calixin CP, atau membakar tanaman yang sakit sampai ke akarnya dan sisa akar di lubang tanam dibersihkan (Rahayu 1999); 3) penyakit karat puru juga menyerang bibit di persemaian dan tanaman sengon sampai umur 5 tahun. Bagian tanaman yang diserang daun dan dahan. Gangguan penyakit ini dapat mengakibatkan kematian pohon. Anino (1997) diacu dalam Krisnawati (2011) menyatakan bahwa penyakit karat puru berhasil dikendalikan dengan menghentikan penanaman sengon pada lokasi di atas ketinggian 250 m dpl. Selain itu juga dapat dikendalikan dengan pemangkasan dan pembakaran bagian-bagian pohon yang terinfeksi. 2.2.5 Teknik Silvikultur Benih sengon dapat dengan mudah dikeringkan hingga kadar air mencapai 8‒10%. Benih yang sudah kering dapat disimpan selama 1,5 tahun pada suhu 4‒8°C tanpa kehilangan viabilitas dan laju perkecambahan masih tetap tinggi sekitar 70‒90% (Soerianegara dan Lemmens 1993, diacu dalam Krisnawati 2011). Untuk periode waktu yang lebih lama, Parrotta (1990) diacu dalam Krisnawati (2011), menganjurkan untuk menyimpan benih dalam wadah tertutup dan ditempatkan dalam ruang penyimpan yang dingin pada suhu 3–5°C. Sebelum penyemaian, benih harus direndam dalam air mendidih selama 1–3 menit kemudian dipindahkan ke dalam air dingin selama 24 jam. Perlakuan yang tepat dapat menghasilkan daya perkecambahan yang tinggi sekitar 80–100% dalam waktu 10 hari.
12
2.2.6 Karakteristik Kayu dan Kegunaan Kayu teras sengon berwarna putih sampai coklat muda pucat atau kuning muda sampai coklat kemerahan. Pada pohon yang masih muda, warna kayu teras dan kayu gubal tidak begitu jelas perbedaannya (berwarna pucat), tetapi pada kayu yang lebih tua perbedaannya cukup jelas (Soerianegara dan Lemmens 1993, diacu dalam Krisnawati 2011). Serat kayunya lurus dan teksturnya cukup kasar tetapi seragam. Kayu sengon dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti bahan konstruksi ringan (misalnya langit-langit, interior, dan perabotan), bahan kemasan ringan (misalnya kotak cerutu dan rokok, serta peti kayu), korek api, sepatu kayu, alat musik, mainan dan sebagainya. Kayu sengon juga dapat digunakan untuk bahan baku kayu lapis, serta cocok untuk bahan papan partikel. Selain itu, menurut Soerianegara dan Lemmens (1993), kayu ini juga banyak digunakan untuk bahan baku pulp untuk membuat kertas. Sebagai jenis pengikat nitrogen, sengon juga ditanam untuk tujuan reboisasi dan penghijauan guna meningkatkan kesuburan tanah (Heyne 1987, diacu dalam Krisnawati 2011). Daun dan cabang yang jatuh akan meningkatkan kandungan nitrogen, bahan organik dan mineral tanah (Orwa et al. 2009, diacu dalam Krisnawati 2011). Sengon sering ditumpangsarikan dengan tanaman pertanian seperti jagung dan buah-buahan (Charomaini dan Suhaendi 1997). Sengon sering pula ditanam di pekarangan untuk persediaan bahan bakar (arang) dan daunnya dimanfaatkan untuk pakan ternak. Di Ambon (Maluku), kulit pohon sengon kadang-kadang digunakan secara lokal sebagai pengganti sabun (Soerianegara dan Lemmens 1993, diacu dalam Krisnawati 2011).