BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Desentralisasi a. Pengertian Desentralisasi Menurut Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengertian desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. Dengan adanya desentralisasi maka muncullah otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke Pemerintah Daerah. Dasar pemikiran yang melatarbelakangi adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Pengertian desentralisasi yang dimaksud dalam kajian ini sejalan dengan konsep yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu
penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan asas desentralisasi.
Sesuai dengan pemahaman di atas, maka format desentralisasi dapat dikelompokkan ke dalam empat bentuk (Sarundajang, 2002:54-56) yaitu : 1) Comprehensive local government system, yaitu aparat daerah melakukan fungsi-fungsi yang diserahkan oleh pemerintah pusat; 2) Patnership system, yaitu beberapa jenis pelayanan yang dilaksanakan langsung oleh aparat pusat dan beberapa jenis pelayanan yang lain dilakukan oleh aparat daerah; 3) Dual system, yaitu aparat pusat melaksanakan pelayanan teknis secara langsung, demikian juga aparat daerah; 4) Integrated administrative system, yaitu aparat pusat melakukan pelayanan teknis secara langsung di bawah pengawasan seorang pejabat koordinator.
2. Tinjauan Umum Tentang Otonomi Daerah a. Pengertian Otonomi Daerah Disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi otonomi ialah pola pemerintah sendiri. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengenai definisi otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam
suatu
daerah
untuk
mengatur,
mengurus,
mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri dengan menghormati peraturan perundang-undangan yang berlaku (Hanif Nurcholis, 2007: 30).
Dari berbagai definisi yang telah dijabarkan mengenai otonomi daerah, maka dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah adalah pemberian kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk mengurus, mengatur, mengembangkan urusan pemerintahan daerah itu sendiri sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
b. Tujuan Otonomi Daerah Tujuan otonomi daerah menurut Penjelasan Umum Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2014
tentang
Pemerintahan Daerah ialah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, dalam lingkungan strategis globalisasi, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan
dan
kekhususan
serta
potensi
dan
keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. Prinsip Otonomi Daerah Menurut penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, prinsip penyelenggaraan otonomi
daerah
adalah
(Chadid
Noor,
https://www.academia.edu/3691477/Pengertian_Otonomi_ Daerah, diakses pada tanggal 24 November 2015) : 1) Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah;
2) Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah dan daerah kota, sedangkan otonomi provinsi adalah otonomi yang terbatas; 3) Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab; 4) Pelaksanaan otonomi harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah; 5) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah kabupaten dan daerah kota tidak lagi wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah; 6) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawasan, mempunyai fungsi anggaran atas penyelenggaraan otonomi daerah; 7) Pelaksanaan
dekonsentrasi
diletakkan
pada
daerah
provinsi dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu dilimpahkan
kepada
gubernur
sebagai
wakil
pemerintahan; 8) Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan tidak hanya di Pemerintah Daerah dan daerah kepada desa yang disertai pembiayaan, sarana dan pra sarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
1. Tinjauan Umum tentang Pendapatan Asli Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, disebutkan sumber pendapatan daerah terdiri dari:
a. Pendapatan Asli Daerah; b. Dana Perimbangan; c. Lain-lain Penerimaan yang Sah. Kemudian sesuai dengan Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tertulis pengertian mengenai Pendapatan Asli Daerah yaitu Pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pendapatan
Asli
Daerah
merupakan Pendapatan Daerah yang bersumber dari hasil Pajak Daerah, hasil Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas Desentralisasi. Menurut Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah bersumber dari: a. Pajak Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, definisi Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undangundang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. b. Retribusi Daerah Pengertian Retribusi Daerah menurut Pasal 1 angka 64 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Merupakan laba dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan hasil kerja sama Pemerintah Daerah dengan pihak ketiga. d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah Merupakan pendapatan daerah yang sah, bersumber dari: 1) Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; 2) Jasa giro; 3) Pendapatan bunga; 4) Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; 5) Komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau jasa oleh Daerah
2. Tinjauan Umum tentang Pajak a. Pengertian Pajak Pajak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kemudian menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H., dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan menyatakan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapat jasa timbal balik (Rochmat Soemitro, 1979:5).
Pajak menurut Sinsian Isa Djajadiningrat adalah suatu kewajiban menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan untuk menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada negara, yang disebabkan karena suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberi kedudukan tertentu bagi si pembayar pajak, tetapi bukan sebagian hukuman, tanpa ada jasa balik dari negara secara langsung, dalam rangka usaha negara untuk memelihara dan meningkatkan kesejahteraan umum (Marihot Pahala Siahaan, 2010:33) Dapat ditarik kesimpulan dari beberapa definisi diatas, di mana ditemukan setidaknya 6 (enam) ciri pajak sebagai suatu pungutan yang dikenakan kepada masyarakat, yaitu : 1) Pajak dipungut oleh negara (baik oleh Pemerintah pusat maupun Daerah), berdasarkan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya; 2) Pembayaran pajak harus masuk ke kas negara atau ke kas daerah; 3) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individu oleh pemerintah (tidak ada imbalan langsung yang diperoleh pembayar pajak); 4) Penyelenggaraan pemerintahan secara umum merupakan manifestasi kontraprestasi dari negara; 5) Pajak
diperuntukkan
bagi
pembayaran
pengeluaran
pemerintah yang apabila dari pemasukannya masih terdapat kelebihan atau surplus dipergunakan untuk tabungan publik; 6) Pajak dipungut disebabkan adanya suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu pada seseorang. (Marihot Pahala Siahaan, 2010:35-36)
b. Asas Pemungutan Pajak Prinsip-prinsip pokok perpajakan yang terkenal adalah yang dikemukakan oleh Adam Smith yang dikenal sebagai “four canons of taxation”. Berdasarkan prinsip tersebut, terdapat 4 (empat) asas pemungutan pajak yang baik menurut Adam Smith, yaitu asas persamaan, keadilan, dan kemampuan, asas kepastian, asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas
kesenangan,
dan
asas
efisiensi
(wikipedia,
https://id.wikipedia.org/wiki/Pajak, diakses pada tanggal 10 Februari 2016). 1) Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan) Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak. 2) Asas Certainty (asas kepastian hukum) Semua pungutan pajak harus berdasarkan UndangUndang, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum. 3) Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan) Pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah. 4) Asas Efficiency (asas efisien atau asas ekonomis) Biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.
c. Manfaat dan Fungsi Pajak Ada banyak manfaat yang dapat diperoleh dari pajak yang dipungut dari masyarakat. Dana yang diperoleh dari pajak antara lain dapat dipergunakan sebagai salah satu sumber penerimaan negara, alat pemerataan pendapatan, dan pendorong investasi (Marihot Pahala Siahaan, 2010:43). Dikenal adanya 3 (tiga) fungsi pajak di dalam negara (Tunggul Anshari, 2006:12), yaitu Fungsi Anggaran (Budgeter), Fungsi Mengatur (Regulerend), dan Fungsi Sosial. Fungsi Anggaran (Budgeter) adalah bertujuan untuk memasukkan uang ke kas negara untuk kebutuhan belanja suatu negara. Dalam hal ini pajak lebih difungsikan sebagai alat untuk menarik dana dari masyarakat untuk dimasukkan kedalam kas negara. Fungsi Mengatur (Regulerend) memiliki fungsi sebagai alat penggerak masyarakat dalam sarana perekonomian untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, fungsi mengatur ini menggunakan pajak untuk mendorong dan mengendalikan kegiatan masyarakat agar sejalan dengan rencana dan keinginan pemerintah, walaupun kadangkala dari sisi penerimaan (fungsi anggaran) justru tidak menguntungkan. Fungsi Sosial memiliki arti bahwa dalam besarnya pemungutan pajak tersebut harus disesuaikan dengan kekuatan seseorang untuk dapat mencapai pemuasan kebutuhan setinggitingginya setelah dikurangi (dengan yang mutlak) untuk kebutuhan primer.
d. Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia Terdapat 3 (tiga) sistem pemungutan pajak secara umum, yaitu Official Assessment System, Self Assessment System, dan Withholding System (Marihot Pahala Siahaan, 2010:177).
Official Assessment System merupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang yang harus dibayar oleh wajib pajak. Dalam sistem ini wajib pajak bersifat pasif dan menunggu penetapan pajak oleh fiskus dan kemudian membayar pajak yang terutang sesuai dengan besarnya ketetapan pajak yang ditetapkan oleh fiskus. Self Assessment System merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, dan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Dalam sistem ini wajib pajak harus aktif untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri besarnya pajak terutang, sedangkan fiskus hanya bertugas
memberikan
arahan,
penyuluhan,
pembinaan,
pelayanan, dan pengawasan kepada wajib pajak agar dapat memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya. With Holding System merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang dari wajib pajak. Dalam sistem ini pihak yang ditentukan sebagai pemungut atau pemotong pajak oleh undang-undang pajak diberi kewenangan dan kewajiban untuk memotong atau memungut pajak yang terutang dari wajib pajak dan harus segera menyetorkannya ke kas negara sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan.
e. Subyek Pajak, Wajib Pajak dan Obyek Pajak Secara garis besar Subyek Pajak menurut Pasal 1 angka 44 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan Pajak. Sedangkan obyek pajak ialah apa yang
dikenakan pajak (Erly Suandi, 2002:59). Sesuai dengan Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Wajib Pajak adalah orang atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan. Dari ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang Pajak Nasional terdapat berbagai macam kewajiban wajib pajak (Bohari, 2004:141), yakni: 1) Melaksanakan pendaftaran diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebagai identitas diri wajib pajak. Dengan diperolehnya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), berarti wajib pajak telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak. Fungsi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) tersebut selain dipergunakan untuk mengetahui identitas wajib pajak yang sebenarnya, juga berguna untuk menjaga ketertiban
dalam
pembayaran
pajak
dan
dalam
hal
pengawasan administrasi perpajakan. Terhadap wajib pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) akan dikenakan sanksi pidana.
2) Mengambil sendiri blanko Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) di tempat-tempat yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Fungsi Surat Pemberitahuan adalah sarana wajib
pajak
untuk
melaporkan
dan
mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya
terutang
dan
laporan
tentang
pemenuhan
pembayaran pajak yang telah dilaksanakan sendiri dalam satu tahun pajak, serta laporan tentang pembayaran pajak yang telah dipotong oleh pihak ketiga (pasal 3 ayat 2 Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan)
3) Wajib Pajak wajib untuk mengisi dengan benar dan lengkap dan menandatangani sendiri surat pemberitahuan pajak dan kemudian mengembalikan surat pemberitahuan itu kepada Kantor Inspeksi Pajak (pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan). Mengisi Surat Pemberitahuan secara tidak benar atau lengkap, dapat dipidana menurut pasal 38 dan pasal 39 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan.
Demikian
pula
keterlambatan
atau
tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) akan dikenakankan sanksi administrasi berupa denda.
4) Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan pencatatan. Pada dasarnya setiap orang dan badan usaha yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas diharuskan mengadakan pembukuan. Tetapi wajib pajak yang karena kemampuannya belum memadai, dimungkinkan untuk dibebaskan dari kewajiban mengadakan pembukuan, tetapi dianjurkan untuk membuat
catatan-catatan
yang
merupakan
pembuatan
pembukuan sederhana yang memuat data-data pokok yang dapat dipakai untuk melakukan penghitungan pajak yang terutang bagi wajib pajak yang bersangkutan. Pembukuan dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau perusahaan harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun, supaya dalam batas waktu tersebut sewaktu-waktu dapat diadakan pemeriksaan oleh Direktur Jenderal Pajak. Direktur Jenderal Pajak setiap waktu dapat melaksanakan pemeriksaan atas pembukuan wajib pajak. Bagi wajib pajak
yang tidak bersedia memperlihatkan pembukuan akan dikenakan sanksi pidana. Selain memiliki kewajiban, wajib pajak juga memiliki hak-hak diantaranya (Bohari, 2004:142): 1) Wajib pajak mempunyai hak untuk menerima tanda bukti pemasukan Surat Pemberitahuan; 2) Wajib pajak mempunyai hak mengajukan permohonan penundaan penyampaian surat pemberitahuan; 3) Wajib pajak mempunyai hak untuk melakukan pembetulan sendiri Surat Pemberitahuan yang telah dimasukkan; 4) Wajib
pajak
mempunyai
hak
untuk
mengajukan
permohonan penundaan dan pengangsuran pembayaran pajak sesuai dengan kemampuannya; 5) Wajib
pajak
pengambilan memperoleh
berhak
mengajukan
kelebihan
pembayaran
kepastian
terbitnya
Surat
permohonan pajak
serta
Keputusan
Kelebihan Pembayaran Pajak; 6) Wajib pajak berhak mengajukan permohonan pembetulan salah tulis atau salah hitung atau kekeliruan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak dalam Penerapan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan.
f. Penggolongan Pajak Terdapat beberapa jenis penggolongan pajak yang terbagi atas (Marihot Pahala Siahaan, 2000:138-146): 1) Penggolongan Pajak ditinjau dari Golongan Terbagi atas Pajak Langsung dan Tidak Langsung. Pajak Langsung adalah pajak yang dipungut secara periodik menurut kohir (nomor pajak) dan surat ketetapan pajak, di mana pembebanan pajak tidak dapat dilimpahkan/dialihkan kepada pihak lain dan harus menjadi beban langsung wajib
pajak yang bersangkutan, seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Penerangan Jalan, dan sebagainya. Sedangkan Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang dipungut secara insidental (pada saat terjadi peristiwa atau kejadian yang ditentukan oleh undang-undang) tanpa berkohir dan tanpa surat ketetapan pajak, di mana pembebanan pajak dapat dilimpahkan/dialihkan wajib pajak kepada pihak lain. Dengan demikian Pajak Tidak Langsung merupakan pajak yang beban pajaknya pada akhirnya dapat dilimpahkan/dialihkan kepada orang lain, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Hotel, Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), dan sebagainya.
2) Penggolongan Pajak ditinjau dari Sifatnya Ditinjau dari sifatnya, pajak dibagi dua yakni Pajak Subyektif dan Pajak Obyektif. Pajak Subyektif adalah pajak yang berpangkal atau mendasarkan pada diri orang yang menjadi tujuan dikenakannya pajak (subyek pajak yang kemudian menjadi wajib pajak), di mana kedaan diri wajib pajak dapat mempengaruhi besar kecilnya jumlah pajak yang harus dibayarkan. Contoh yakni Pajak Penghasilan, di mana semakin besar penghasilan seseorang maka akan semakin pula besaran pajak yang harus dibayarkan. Sedangkan berpangkal
atau
Pajak
Obyektif
mendasarkan
adalah pada
pajak objek
yang tanpa
memperhatikan kondisi atau keadaan diri wajib pajak. Dengan kata lain pajak obyektif merupakan pajak yang pemungutannya berpangkal pada obyeknya, dan pajak ini dipungut karena keadaan, perbuatan, dan kejadian yang dilakukan atau terjadi dalam wilayah negara dengan tidak
memperhatikan subyek pajak. Contohnya yakni Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan dan lain sebagainya.
3) Penggolongan Pajak ditinjau dari Lembaga Pemungutnya Terbagi menjadi 2 (dua), yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak yang ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui undang-undang, di mana wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat, dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah pusat dan pembangunan. Pajak pusat dipungut oleh pemerintah pusat
yang
penyelenggaraannya
dilaksanakan
oleh
Kementerian Keuangan dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan rumah tangga negara pada umumnya. Pajak pusat sendiri terdiri dari: a) Pajak Penghasilan (PPh); b) Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa (PPN); c) Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM); d) Pajak
Bumi
dan
Bangunan
(PBB)
Perkebunan,
Perhutanan, dan Pertambangan; e) Bea Materai; f) Bea Masuk, Bea Keluar (Pajak Ekspor), dan Cukai (yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai). Untuk Pajak Daerah yakni iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan pembangunan daerah. Pajak Daerah sendiri dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yakni Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota.
4) Penggolongan Pajak ditinjau dari Tarif Pajak yang Dikenakan Besarnya pajak terutang yang harus dibayar oleh wajib pajak ditentukan berdasarkan tarif pajak yang diberlakukan. Ada beberapa sistem tarif pajak yang umum digunakan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi pengenaan pajak. Berdasarkan tarif pajak tersebut, pajak dapat dibedakan menjadi pajak tetap, pajak proporsional, pajak progresif, dan pajak degresif. Pajak tetap adalah pajak yang dikenakan dengan jumlah yang sama atau tetap tanpa melihat berapapun dasar pengenaan pajak. Dengan demikian berapapun jumlah yang dikenakan pajak, besarnya pajak yang terutang adalah sama. Contoh pajak tetap adalah Bea Materai. Pajak proporsional adalah pajak yang dikenakan dengan persentase tetap atau tidak berubah. Jumlah pajak yang harus dibayar berubah menurut jumlah yang dipakai sebagai dasar pengenaan pajak, di mana semakin besar dasar pengenaan pajak maka akan semakin besar pula jumlah utang pajak tetapi kenaikan tersebut diperoleh dengan persentase yang sama. Contoh pajak proporsional adalah PPN, PBB, dan BPHTB untuk jenis pajak pusat. Pajak progresif adalah pajak yang dikenakan dengan persentase tarif yang semakin tinggi dengan semakin tingginya kemampuan membayar pajak (taxable capacity) dari wajib pajak. Contoh pajak ini adalah Pajak Penghasilan wajib pajak orang pribadi. Pajak degresif adalah pajak yang dikenakan dengan persentase tarif yang semakin rendah dengan semakin tingginya jumlah dasar pengenaan pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Di Indonesia tidak ada jenis pajak degresif.
3. Tinjauan Umum tentang Pajak Daerah a. Pengertian Pajak Daerah Sesuai pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, tercantum definisi Pajak Daerah yaitu kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan
Undang-Undang,
dengan
tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. b. Penggolongan Pajak Daerah Pajak Daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terbagi atas 2 (dua) jenis pajak, yakni Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Jenis Pajak Provinsi menurut Pasal 2 ayat (1) terdiri atas: 1) Pajak Kendaraan Bermotor; 2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; 3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; 4) Pajak Air Permukaan; dan 5) Pajak Rokok. Sedangkan Jenis Pajak Kabupaten/kota menurut Pasal 2 ayat (2) terdiri atas: 1) Pajak Hotel; 2) Pajak Restoran; 3) Pajak Hiburan; 4) Pajak Reklame; 5) Pajak Penerangan Jalan; 6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; 7) Pajak Parkir; 8) Pajak Air Tanah; 9) Pajak Sarang Burung Walet;
10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan 11) Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
4. Tinjauan Umum tentang Pajak Hotel a. Pengertian Pajak Hotel Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 1 ayat (20) disebutkan bahwa Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel. Definisi hotel itu sendiri adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh).
b. Subyek Pajak, Wajib Pajak, dan Obyek Pajak pada Pajak Hotel Pada pajak hotel yang menjadi subyek pajak adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel. Secara sederhana yang menjadi subyek pajak adalah konsumen yang menikmati dan membayar pelayanan yang diberikan oleh pengusaha hotel (Marihot Pahala Siahaan, 2005:248). Sedangkan yang menjadi wajib
pajak
adalah
orang
pribadi
atau
badan
yang
mengusahakan hotel, yaitu orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan usaha di bidang jasa hotel. Dengan demikian pada Pajak Hotel subyek pajak dan wajib pajak tidak sama, di mana konsumen yang menikmati pelayanan hotel merupakan subyek pajak yang membayar (menanggung) pajak sementara orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel bertindak sebagai wajib pajak yang diberi kewenangan untuk
memungut
pajak
dari
konsumen
(subyek
pajak)
dan
melaksanakan kewajiban perpajakan lainnya (Marihot Pahala Siahaan, 2010:81). Untuk obyek pajak hotel yakni pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga dan hiburan (Marihot Pahala Siahaan, 2010:52).
c. Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak Hotel Terdapat mekanisme dalam pengenaan pajak hotel itu sendiri, yakni dasar pengenaan, tarif, dan cara perhitungan pajak hotel (Marihot Pahala Siahaan, 2005:249): 1) Dasar pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada hotel. Pembayaran adalah jumlah uang yang harus dibayar oleh subyek pajak kepada wajib pajak untuk harga jual baik jumlah uang yang dibayarkan maupun penggantian yang seharusnya diminta wajib pajak sebagai penukaran atas pemakaian jasa tempat penginapan dan fasilitas penunjang termasuk pula semua tambahan dengan nama apa pun juga dilakukan berkaitan dengan usaha hotel. 2) Tarif Pajak Hotel ditetapkan sebesar sepuluh persen dan ditetapkan dengan peraturan daerah dengan peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. 3) Perhitungan Pajak Hotel yakni besarnya pokok pajak hotel yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. 5. Tinjauan Umum tentang Pajak Restoran a. Pengertian Pajak Restoran
Menurut Undang-undang No.28 Tahun 2009 Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan restoran. Untuk dapat memberlakukan pemungutan pajak restoran, maka Pemerintah Daerah harus terlebih dahulu menerbitkan peraturan daerah tentang pajak restoran itu sendiri. Peraturan daerah untuk Pajak Restoran terdapat pada Peraturan Daerah Nomor 28 Tahun 2009. Dalam pemungutan Pajak Restoran terdapat beberapa terminologi yang perlu diketahui, terminology tersebut menurut Peraturan Daerah Nomor 28 Tahun 2009 dapat dilihat sebagai berikut: 1) Restoran adalah tempat menyantap makanan dan/atau minuman yang disediakan dengan dipungut bayaran, antara lain rumah makan, pujasera, bar, café, dan sejenisnya tidak termasuk usaha jasa boga dan catering. 2) Pengusaha restoran adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan usaha restoran, untuk dan atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi tanggungannya. 3) Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima sebagai imbalan atas penyerahan barang dan/atau jasa sebagai pembayaran kepada pengusaha restoran/rumah makan, café, bar dan sejenisnya. 4) Nota Pesanan atau Bon penjualan (bill) adalah bukti pembayaran, yang sekaligus sebagai bukti pungutan pajak, yang dibuat oleh Wajib Pajak saat mengajukan pembayaran atas pelayanan di restoran/rumah makan, café, bar dan sejenisnya yang meliputi penjualan makanan dan/atau minuman termasuk penyediaan penjualan makanan/minuman yang diantar/dibawa pulang. b. Subyek Pajak, Wajib Pajak dan Obyek Pajak Restoran
Subjek Pajak Restoran menurut Pasal 3 Peraturan Daerah Nomor 25 Tahun 2011 dijelaskan bahwa Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau badan yang membeli makanan dan/atau minuman dari Restoran, sedangkan wajib Pajak Restoran menurut Pasal 3 Peraturan Daerah Nomor 25 Tahun 2011 dijelaskan bahwa Wajib Pajak Restoran adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan Restoran. Secara sederhana Subjek Pajak adalah konsumen yang menikmati dan membayar pelayanan yang diberikan oleh pengusaha restoran. Sementara itu, yang menjadi Wajib Pajak adalah pengusaha restoran, yaitu orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang
dalam
lingkungan
perusahaan
atau
pekerjaannya
melakukan usaha di bidang rumah makan. Dengan demikian subjek pajak dan wajib pajak pada Pajak Restoran tidak sama. Objek Pajak menurut Pasal 2 Peraturan Daeran Nomor Tahun 2011 dijelaskan bahwa Objek Pajak adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran. Pelayanan yang disediakan Restoran tersebut meliputi pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain. c. Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak Restoran Dasar pengenaan Pajak Restoran menurut Pasal 4 Peraturan Daerah Nomor 25 Tahun 2015 tentang Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima Restoran. Pada Pasal 5 Peraturan Daerah Nomor 25 Tahun 2015 tentang Pajak Restoran dijelaskan bahwa tarif Pajak Restoran ditetapkan sebesar 10% (Sepuluh persen). Sedangkan cara penghitungan Pajak Restoran diatur oleh Pasal 6 Peraturan Daerah Nomor 25 Tahun 2015 tentang Pajak Restoran, yakni besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak.
B. Kerangka Pemikiran
Pemerintah Kabupaten Ngawi (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah)
Penerimaan Daerah
Pajak Daerah (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah)
Pajak Hotel (Peraturan Daerah Kabupaten Ngawi Nomor 24 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel )
Pelaksanaan
Peran Pajak Hotel dan Pajak Restoran terhadap PAD
Pajak Restoran Peraturan Daerah Kabupaten Ngawi Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran)
Kendala
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Solusi
Keterangan: Bagan kerangka pemikiran diatas menjelaskan mengenai alur pemikiran penulis untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu mengenai kebijakan Pemerintah Daerah dalam pemungutan Pajak Hotel dan Pajak Restoran di Kabupaten Ngawi, peran pemungutan Pajak Hotel dan Pajak Restoran terhadap Pendapatan Asli Daerah, kendala yang dihadapi Pemerintah Daerah serta solusi yang dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut. Sesuai asas otonomi daerah yang memberikan kewenangan setiap daerah untuk mengatur urusan rumah tangga pemerintahan sendiri, maka setiap daerah diharuskan memiliki kemandirian untuk mensejahterakan dan memajukan daerahnya. Tujuan tersebut membutuhkan anggaran yang tidak sedikit dan memaksa setiap daerah untuk mengoptimalkan pendapatan dan penerimaan daerah yang bersangkutan. Salah satu bentuk pendapatan daerah ialah pajak, di mana pendapatan daerah merupakan salah satu sektor pendapatan daerah yang memiliki nilai pendapatan lebih tinggi daripada sektor lainnya. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan salah satu undang-undang yang mengatur mengenai pajak dan retribusi daerah. Disamping merupakan sebuah sumber pendapatan daerah, pajak dan retribusi daerah juga memiliki tujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Penulis melakukan penelitian pendapatan pajak daerah Kabupaten Ngawi yang dikhususkan pada sektor Pajak Hotel dan Pajak Restoran. Kegiatan pelaksanaan pemungutan Pajak Hotel dan Pajak Restoran harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku agar dapat berjalan lancar dan bernilai efisien dan efektif. Peraturan mengenai Pajak Hotel dan Pajak Restoran diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Ngawi Nomor 24 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel dan Peraturan Daerah Kabupaten Ngawi Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran. Sehingga kita dapat mengetahui seberapa jauh peran Pajak Hotel dan Pajak Restoran bagi Pendapatan Asli Daerah. Dalam melaksanakan kegiatan tersebut pasti terdapat berbagai kendala dan solusi yang diambil oleh Pemerintah Daerah.