BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Wilayah 2.1.1. Konsep Wilayah Di Indonesia berbagai konsep nomenklatur kewilayahan seperti ”wilayah”, ”kawasan”, ”daerah”, ”regional”, ”area”, dan istilah-istilah sejenis, banyak dipergunakan dan saling dipertukarkan pengertiannya walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang berbeda-beda. Inkonsistensi istilah tersebut kadang menyebabkan kerancuan pemahaman dan sering membingungkan. Secara teoritik tidak ada perbedaan nomenklatur antara istilah wilayah, kawasan dan daerah. Semuanya secara umum dapat diistilahkan dengan wilayah (region). Penggunaan istilah kawasan di Indonesia digunakan karena adanya penekanan fungsional suatu unit wilayah. Karena itu defenisi konsep kawasan adalah adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional. Dengan demikian, setiap kawasan atau sub kawasan memiliki fungsifungsi khusus yang tentunya memerlukan pendekatan program tertentu sesuai dengan fungsi yang dikembangkan tersebut (Rustiadi et al. 2005). Secara yuridis dalam Undang-Undang No. 24/92 dalam Rustiadi et al. (2005), tentang Penataan Ruang, pengertian ”wilayah” adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan atau aspek fungsional. Sedangkan pengertian ”kawasan” adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya. Sementara itu, pengertian ”daerah” walaupun tidak disebutkan secara eksplisit namun umumnya dipahami sebagai unit wilayah berdasarkan aspek administrasi. Isard dalam Rustiadi et al. (2005), menganggap pengertian suatu wilayah pada dasarnya bukan sekedar area yang memiliki arti (meaningfull) karena adanya masalah-masalah yang ada di dalamnya, ahli regional memiliki interest di dalam
menangani
permasalahan
tersebut,
khususnya
karena
menyangkut
permasalahan sosial ekonomi. Selanjutnya Johnston dalam Rustiadi et al. (2005), memandang wilayah sebagai bentuk istilah teknis klasifikasi spasial dan merekomendasikan dua tipe
wilayah: (1) wilayah formal, merupakan tempat-tempat yang memiliki kesamaankesamaan karakteristik, dan (2) wilayah fungsional atau nodal, merupakan konsep wilayah dengan menekankan kesamaan keterkaitan antar komponen atau lokasi/ tempat. Dengan cara yang lain Murty dalam Rustiadi et al. (2005), mendefinisikan wilayah sebagai sebagai suatu area geografis, teritorial atau tempat, yang dapat berwujud sebagai suatu negara, negara bagian, provinsi, distrik (kabupaten), dan perdesaan. Tapi suatu wilayah pada umumnya tidak sekedar merujuk suatu tempat atau area, melainkan merupakan suatu kesatuan ekonomi, politik, sosial, administrasi, iklim hingga geografis, sesuai dengan tujuan pembangunan atau kajian. Keragaman dalam mendefenisikan konsep wilayah terjadi karena perbedaan dalam permasalahan ataupun tujuan pengembangan wilayah yang dihadapi. Kenyataannya tidak ada konsep wilayah yang benar-benar diterima secara luas. Para ahli cenderung melepaskan perbedaan-perbedaan konsep wilayah terjadi sesuai dengan fokus masalah dan tujuan-tujuan pengembangan wilayah. Menurut Rustiadi et al. (2005), kerangka klasifikasi konsep wilayah yang lebih mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah yang dikenal selama ini adalah: (1) wilayah homogen (uniform), (2) wilayah sistem/fungsional, dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Gambar 1 mendeskripsikan sistematika pembagian dan keterkaitan berbagai konsep-konsep wilayah. Sebagai alat deskripsi, konsep pewilayahan sebagaimana dijelaskan di dalam Rustiadi et al. (2005), Gambar 1, konsep pewilayahan adalah bagian dari konsepkonsep alamiah, yakni sebagai alat mendeskripsikan hal-hal yang terjadi secara alamiah di dalam kehidupan. Di sisi lain, konsep pewilayahan juga merupakan alat untuk perencanaan/pengelolaan (konsep non alamiah). Pewilayahan digunakan sebagai alat untuk mengelola dan mencapai tujuan-tujuan pembangunan, melalui pengelolaan sumberdaya dengan pendekatan yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan karakteristik secara spasial. Secara konseptual wilayah dapat dibedakan menjadi : a. Wilayah Homogen adalah wilayah yang di batasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen). Dengan demikian wilayah homogen tidak lain adalah wilayah-wilayah yang
14
diidentifikasikan berdasarkan faktor pencirinya yang menonjol di wilayah tersebut. Konsep land cover salah satu cara termudah atau tercepat di dalam pewilayahan homogen. Konsep wilayah homogen lebih menekankan aspek homogenitas (kesamaan) dalam kelompok dan memaksimumkan perbedaan (kompleksitas, varians, ragam) antar kelompok tanpa memperhatikan bentuk hubungan fungsional (interaksi) antar wilayah-wilayahnya atau antar komponenkomponen di dalamnya.
Klasifikasi Konsep Wilayah
Konsep Alamiah
Homogen
Nodal (pusat – hinterland)
Sistem Sederhana
Desa - kota
Budidaya - lindung
Wilayah
Sistem / Fungsional
Sistem ekonomi : agropolitan, kawasan produksi, kawasan industri
Sistem Komplek
Sistem ekologi : DAS, hutan, pesisir
Sistem sosial – politik : Cagar budaya, wilayah etnik
Konsep Non Alamiah Perencanaan / Pengelolaan
Umumnya disusun / dikembangkan berdasarakan : Konsep homogen / fungsional : KSP, KATING dan sebagainya Administrasi – politik : propinsi, Kabupaten, Kota
Gambar 1. Sistematika konsep-konsep wilayah (Rustiadi et al. 2005).
b. Wilayah fungsional/sistem adalah konsep wilayah yang menekankan perbedaan dua komponen-komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya. Konsep wilayah sebagai suatu sistem dilandasi atas pemikiran bahwa suatu wilayah adalah suatu entitas yang terdiri atas komponen-komponen atau bagian-bagian yang memiliki keterkaitan, ketergantungan dan saling interaksi satu sama lain dan tidak terpisahkan dalam kesatuan. Setiap sistem selalu terbagi atas dua atau lebih subsistem, dan selanjutnya setiap subsistem terbagi atas bagian-bagian yang lebih kecil lagi.
15
Berdasarkan struktur komponen-komponen yang membentuknya, konsep sistem wilayah dapat dipilah atas wilayah sistem sederhana (dikotomis) dan sistem kompleks (non dikotomis). Sistem sederhana adalah sistem yang bertumpu atas konsep ketergantungan atau keterkaitan antara dua bagian atau komponen wilayah. Konsep-konsep wilayah nodal, kawasan perkotaan-perdesaan, kawasan budidaya-non budidaya, adalah contoh dari konsep wilayah sistem sederhana (model dikotomis). Sedangkan konsep wilayah sebagai suatu sistem kompleks
mendiskripsikan
wilayah sebagai suatu sistem yang bagian-bagiannya (komponen-komponen) di dalamnya
bersifat
kompleks.
Wilayah
sistem
kompleks
memiliki
jumlah/kelompok unsur penyusun serta struktur yang lebih rumit. Setidaknya termasuk di dalam konsep-konsep wilayah sistem kompleks adalah wilayah sebagai (1) sistem ekologis (ekosistem), (2) sistem sosial, dan (3) sistem ekonomi. c. Wilayah Administratif-Politik, yaitu konsep wilayah yang didasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada pada suatu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu.
Wilayah
administrasi
berada
dalam
batas-batas
pengelolaan
administrasi/tatanan politis tertentu seperti negara, provinsi, kabupaten, kecamatan, dan kelurahan/desa. d. Wilayah Perencanaan/Pengelolaan Khusus, adalah wilayah yang di batasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah baik sifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan. Wilayah ini dapat mencakup lebih dari satu wilayah administrasi, sebagai contoh Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang terbentuk dengan matriks dasar kesatuan siklus hidrologis, sehingga DAS sebagai suatu wilayah berdasarkan konsep ekosistem perlu dikelola dan direncanakan secara seksama. Kawasan otorita DAS sering dibentuk sebagai suatu wilayah perencanaan yang dibentuk berdasarkan asumsi konsep wilayah sistem ekologis.
16
2.1.2. Teori Lokasional dan Sektor Basis Pemahaman tentang bagaimana keputusan mengenai lokasi mutlak diperlukan bila membahas kegiatan pada ruang dan menganalisa bagaimana suatu wilayah tumbuh dan berkembang. Keputusan mengenai lokasi yang diambil oleh unit-unit pengambilan keputusan akan menentukan struktur tata ruang wilayah yang terbentuk. Unit-unit pengambilan keputusan dalam penentuan lokasi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) rumah tangga; (2) perusahan; dan (3) pemerintah. Setiap unit pengambil keputusan mempunyai kepentingan sendiri berdasarkan aktivitas ekonomi yang dilakukan. Aktivitas ekonomi rumah tangga adalah (a) penjualan jasa tenaga kerja dan (b) konsumsi; aktivitas perusahaan meliputi (a) pengumpulan input, (b) proses produksi dan (c) proses pemasaran, dengan tujuan memaksimalkan keuntungan yang diperoleh. Sementara itu pemerintah disamping mempunyai peran melindung kepentingan masyarakat juga bertindak sebagai locator dari berbagai aktivitas yang ditanganinya seperti penentuan lokasi sebagai sarana dan fasilitas pelayanan umum. Untuk mengetahui kecenderungan potensi keunggulan suatu komoditas disuatu lokasi tertentu, analisis yang sering digunakan adalah analisis basis ekonomi yaitu Location Quotient Analysis (LQ). Metode LQ secara umum merupakan metode analisis yang digunakan untuk menunjukkan lokasi pemusatan atau basis suatu aktivitas. Di samping itu, LQ juga digunakan untuk mengetahui kapasitas ekspor perekonomian suatu wilayah serta tingkat kecukupan barang/jasa dari produksi lokal suatu wilayah. LQ merupakan suatu indeks untuk membandingkan pangsa sub wilayah dalam aktivitas tertentu dengan pangsa total aktivitas tersebut dalam total aktivitas wilayah. Asumsi yang digunakan dalam LQ adalah sedikit kondisi geografis yang relatif seragam. Pola-pola aktivitas bersifat seragam serta setiap aktivitas menghasilkan produk yang sama. Berbagai dasar ukuran dalam pemakaian LQ harus disesuaikan dengan kepentingan penelitian dan sumberdata yang tersedia. Jika penelitian dimaksudkan untuk mencari sektor yang kegiatan ekonominya dapat memberikan kesempatan kerja sebanyak-banyaknya maka yang dipakai sebagai dasar ukuran adalah jumlah tenaga kerja sedangkan bila keperluannya untuk menaikkan pendapatan daerah, maka pendapatan merupakan dasar ukuran yang tepat, sedangkan jika hasil produksi maka
17
jumlah hasil produksi yang dipilih. LQ juga menunjukkan efisiensi relatif wilayah, serta terfokus pada substitusi impor yang potensial atau produk dengan potensi ekspansi ekspor (Shukla, 2000). Sejalan dengan hal diatas menurut Blakely (1994), analisis LQ ini merupakan suatu teknik analisis yang digunakan untuk melengkapi analisis lain yaitu Shift Share Analysis (SSA). Shift share analysis merupakan salah satu analisis yang berfungsi untuk memahami pergeseran struktur suatu aktivitas di atau sektor di suatu lokasi tertentu dibandingkan dengan suatu referensi wilayah yang lebih luas dalam dua titik tahun. Pemahaman struktur aktivitas dari hasil analisis shift-share juga menjelaskan kemampuan berkompetisi aktivitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktivitas dalam cakupan wilayah lebih luas. Hasil analisis shift-share mampu menjelaskan performance suatu aktivitas atau sektor di suatu wilayah dan membandingkannya dengan kinerjanya di dalam wilayah total serta memberikan gambaran sebab-sebab terjadinya pertumbuhan suatu aktivitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang dimaksud dibagi menjadi tiga bagian yaitu; (a) sebab yang berasal dari dinamika lokal (sub wilayah), (b) sebab dari dinamika aktivitas/sektor dari total wilayah dan (c) sebab dari dinamika wilayah secara umum. Secara umum gambaran kinerja seperti yang disebutkan di atas, dapat dijelaskan dari 3 komponen hasil analisis yaitu: (1) Komponen Laju Pertumbuhan Total atau Komponen Share, yang menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah. (2) Komponen Pergeseran Proporsional, yang menjelaskan pertumbuhan total aktivitas atau sektor tertentu secara relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor atau aktivitas total wilayah dan (3) Komponen Pergeseran Diferensial, yang menggambarkan tingkat competitiveness suatu wilayah tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor atau aktivitas tersebut dalam wilayah. Menurut Tarigan (2004), dalam pengertian ekonomi regional, ekspor adalah menjual produk/jasa ke luar wilayah baik ke wilayah lain dalam negeri itu maupun ke luar negeri. Tenaga kerja yang berdomisili di wilayah kita, tetapi bekerja dan memperoleh uang dari wilayah lain termasuk dalam pengertian ekspor. Pada dasarnya
18
kegiatan ekspor adalah semua kegiatan baik produk maupun penyedia jasa yang mendatangkan uang dari luar wilayah karena kegiatan basis. Lapangan kerja dan pendapatan di sektor basis adalah fungsi dari permintaan yang bersifat exogenous (tidak tergantung pada kekuatan intern/permintaan lokal). Lebih lanjut menurut Tarigan (2004), mengatakan bahwa semua kegiatan lain yang bukan kegiatan basis termasuk ke dalam kegiatan/ sektor service atau pelayanan, tetapi untuk tidak menciptakan pengertian yang keliru tentang arti service disebut saja sektor nonbasis. Sektor nonbasis (service) adalah untuk memenuhi kebutuhan lokal. Karena sifatnya yang memenuhi kebutuhan lokal, permintaan sektor ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat setempat. Oleh karena itu, kenaikannya sejalan dengan kenaikan pendapatan masyarakat setempat. Dengan demikian, sektor ini terkait terhadap kondisi ekonomi setempat dan tidak bisa berkembang melebihi pertumbuhan ekonomi wilayah. Atas dasar anggapan di atas, satu-satunya sektor yang bisa meningkatkan perekonomian wilayah melebihi pertumbuhan alamiah adalah adalah sektor basis. 2.1.3. Sistim Struktur/Hirarki Pusat-Pusat Pelayanan Wilayah didefinisikan sebagai area geografis yang mempunyai ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi. Dari definisi tersebut, dapat diturunkan tipologi-tipologi wilayah berdasarkan sifat hubungannya, fungsi masing-masing komponennya atau berdasarkan pertimbangan sosial, ekonomi maupun politis lainnya. Diantara tipologi-tipologi yang ada terdapat salah satu tipologi yang disebut dengan tipologi wilayah nodal, yang merupakan pengembangan dari konsep sel hidup. Dalam penjabaran wilayah nodal ini, wilayah diasumsikan sebagai suatu sel hidup yang terdiri dari inti dan plasma, yang masing-masing mempunyai fungsi yang saling mendukung. Inti dalam hal ini diasumsikan sebagai pusat kegiatan industri dan pusat pasar serta pusat inovasi. Sedangkan plasma atau hinterland merupakan pusat pemasok dari bahan mentah, tenaga kerja, dan pusat pemasaran barang-barang hasil industri yang diproduksi di pusat/inti. Berdasarkan konsep wilayah nodal tersebut, pusat atau hinterland suatu wilayah dapat ditentukan dari kelengkapan fungsi pelayanan suatu wilayah. Secara teknik hal tersebut dapat dilakukan dengan
19
mengidentifikasi jumlah dan jenis fasilitas tertentu dan sebagainya. Unit wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas dengan kuantitas dan kualitas yang secara relatif paling lengkap dibandingkan dengan unit wilayah yang lain akan menjadi pusat atau mempunyai hirarki lebih tinggi (Panuju et al. 2005). Menurut Richardson (2001), suatu ciri umum dari daerah-daerah nodal adalah bahwa penduduk kota tidaklah bersebar secara merata di pusat-pusat yang sama besarnya, tetapi bersebar di antara pusat-pusat yang besarnya berbeda-beda dan secara keseluruhan membentuk suatu hirarki perkotaan (urban hierarchy). Penyebab pokok dari perkembangan seperti ini adalah lebih efisiennya menyuplai barang dan jasa tertentu dari pusat-pusat yang lebih kecil sedangkan barang dan jasa lainnya lebih efisien kalau disuplai di pusat-pusat yang lebih besar. Akan tetapi, jika hirarki itu sudah terbentuk maka kita akan menyaksikan dominannya pusat-pusat yang lebih besar dan mengutubnya arus fenomena ekonomi yang menyifatkan daerah-daerah nodal. Menurut Djoyodipuro (1992), teori tempat sentral diperkenalkan pada tahun 1933 oleh Walter Christaller, yang dikenal dengan Central Place Theory. Teori ini menerangkan hirarki aktifitas jasa dari tingkat yang paling bawah yang terdapat di kota kecil hingga kota besar. Kota besar memiliki banyak ragam jenis kegiatan jasa dengan skala besar dan makin kecil sebuah kota maka akan makin sedikit pula ragam kegiatan jasa dan makin kecil skala pelayanannya. Sejalan dengan hirarki jasa yang dimiliki, maka akan diperoleh suatu susunan hirarki berbagai kota pusat kegiatan di suatu daerah. Setiap kegiatan pelayanan dari tempat sentral mempunyai batas ambang penduduk dan jangkauan pasar. Batas ambang penduduk atau treshold population adalah jumlah penduduk minimum yang dibutuhkan untuk dapat mendukung suatu penawaran jasa pelayanan. Jika jumlah penduduk di bawah batas ambang tersebut, maka kegiatan pelayanan dari sektor yang dimaksud tidak akan dapat disediakan. Jangkauan pasar atau market range suatu aktifitas jasa adalah jarak yang rela ditempuh seseorang untuk mendapatkan jasa yang dibutuhkannya. Apabila jarak tempuh semakin jauh, maka konsumen akan memilih alternatif lain yang lebih terjangkau untuk memperoleh jasa yang sama. Untuk menerangkan distribusi aktifitas di suatu daerah, teori tempat sentral menyederhanakan keadaan melalui asumsi:
20
1. Daerah yang bersangkutan merupakan daerah yang sama datar dengan penyebaran sumberdaya alam dan penduduk yang terdistribusi merata. 2. Penduduk tersebut memiliki mata pencaharian yang sama, seperti bertani. Konsep dasar dari teori tempat sentral yang dikembangkan oleh Christaller tersebut adalah sebagai berikut: 1. Wilayah yang dilayani oleh tempat sentral adalah wilayah komplementer bagi tempat sentral. 2. Tempat sentral mempunyai kegiatan sentral, yaitu yang melayani wilayah terluas yang disebut tempat sentral orde tertinggi, sedangkan tempat sentral yang melayani wilayah lebih kecil disebut tempat sentral orde rendah. 3. Batas pelayanan dari setiap kegiatan sentral digambarkan sebagai batas jangkauan dari komoditi tersebut. 4. Permintaan terhadap komoditi dari tempat sentral tersebut, tergantung secara timbal balik pada distribusi dan variasi kondisi sosial-ekonomi penduduk serta konsentrasi penduduk di setiap tempat sentral. 5. Permintaan terhadap kegiatan di tempat sentral tergantung pada jarak dan usaha konsumen untuk memperoleh komoditi tersebut. Diasumsikan bahwa permintaan terhadap komoditi tersebut akan semakin berkurang hingga mencapai titik nol untuk setiap pertambahan jarak dari tempat sentral. August Losch yang dikutip oleh Peter E. LIoyd et al. (1977),
membuat
pengaturan hirarki pusat-pusat lebih fleksibel dibandingkan Christaller. Losch berpendapat bahwa market area tidak hanya terjadi pengaturan 3, 4, atau 7 (dalam skema Christaller) tetapi masih memungkinkan terjadi lebih banyak market area dalam suatu jaringan, sehingga menurut Losch tidak ada alasan mengapa market area dikaitkan dengan pusat-pusat produksi, bersifat kaku seperti yang diungkapkan oleh Christaller. Lebih lanjut menurut Losch pusat-pusat market area dibagi menjadi sektor kota kaya (city rich) dan kota miskin (city poor). Sektor kaya mempunyai karakteristik: memiliki jaringan market area lebih luas, aktivitasnya banyak sehingga ordenya lebih tinggi sedangkan kota miskin sebaliknya. Model pengaturan spasial pusat-pusat kota menurut Losch adalah konsisten terhadap apa yang disebut sebagai unsur dasar dari organisasi manusia, yaitu prinsip
21
usaha minimal. Usaha tersebut dilakukan dengan cara memaksimumkan jumlah perusahaan yang beroperasi di dalam pasar dan meminimumkan biaya transportasi secara keseluruhan. Dengan menggunakan asumsi yang sama tetapi pendekatan yang berbeda, Christaller dan Losch menurunkan hirarki urban yang berbeda. Dalam skema hirarki Christaller terdiri dari serangkaian tingkatan diskrit dimana satu pusat menghasilkan campuran barang-barang yang sama dengan pusat lain pada tingkat hirarki yang sama. Sebaliknya pada skema Losch, kombinasi fungsi dan pusat hirarki tidaklah sama. Skema Losch memberikan terjadinya spesialisasi produksi di central place sedangkan Christaller tidak, kecuali jika setiap level hirarki dibedakan oleh marginal barang berhirarki spesifik. Disamping itu model Losch juga lebih fleksibel dan lebih komprehensif dibandingkan Christaller. Ada dua konsekuensi penting dari model landscape Losch, yaitu yang berhubungan dengan implikasi pengaturan sektoral pada pergerakan dan yang berimplikasi terhadap distribusi populasi. Richardson (2001), menyimpulkan bahwa menurut Teori Tempat Sentral (central palce theory) fungsi pokok suatu pusat kota adalah sebagai pusat pelayanan bagi daerah belakangnya (daerah komplementer), menyuplainya dengan barang-barang dan jasa sentral seperti jasa eceran, perdagangan, perbankan dan profesional, fasilitas pendidikan, hiburan, kebudayaan, dan jasa-jasa pemerintah kota. Rustiadi et al. (2005), mengemukakan dalam memenuhi kebutuhan barang dan jasa, konsumen bergerak menuju pusat terdekat. Begitu juga halnya dengan pergerakan barang. Barang berorder lebih rendah yang dihasilkan oleh sejumlah pusat yang juga berorder rendah cenderung bergerak dengan jarak tempuh pendek, sedangkan pergerakan barang berorder tinggi dicirikan dengan jarak yang lebih panjang. Dengan kata lain jarak yang ditempuh untuk memperoleh barang-barang dilokasi pusat berhubungan langsung dengan order barang. 2.2. Pulau-Pulau Kecil 2.2.1. Pengertian dan Klasifikasi Pulau-Pulau Kecil Pulau-pulau kecil memiliki definisi yang sangat beragam dan telah mengalami perdebatan yang panjang. Landasan para peneliti di Limnologi dan geoteknologi LIPI adalah defenisi yang telah mengalami pembahasan mendalam di International
22
Hydrological Programme IHP-III UNESCO, tentang definisi pulau-pulau kecil pada awalnya beberapa Negara Pasifik dalam pertemuan CSC tahun 1984 menetapkan pembatasannya adalah 5.000 km2 (Lumbangaol, 2002). Definisi pulau-pulau kecil yang dianut secara nasional sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 jo Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No. 67/2002 adalah pulau yang berukuran kurang atau sama dengan 10.000 Km2 dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 200.000 jiwa. Lebih lanjut dikatakan bahwa; a) Secara ekologis terpisah dari pulau induk (Mainland Island), memiliki batas fisik yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga bersifat insular. b) Mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi. c) Tidak mampu mempengaruhi hidroklimat. d) Daerah tangkapan air (Catchment Area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen akan masuk ke laut dan e) Kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya. Sedangkan menurut Brookfield dalam Abubakar (2004), pulau-pulau kecil adalah pulau yang luasnya sekitar 1.000 km2 dan berpenduduk lebih kecil dari 100.000 orang. Batasan ini digunakan di Jepang (Nakajima dan Machida dalam Abubakar (2004). Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2005 tentang pengelolaan pulau-pulau kecil terluar pasal 1 ayat 1 huruf b adalah Pulau-pulau kecil terluar adalah pulau dengan luas area kurang atau sama dengan 2000 km2 yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional. Ada tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat batasan pulau kecil, yaitu: (1) Batasan fisik (luas pulau), (2) Batasan ekologis (proporsi spesies endemik dan terisolasi), dan (3) Keunikan budaya. Selain kriteria tersebut, terdapat indikasi besarkecil pulau terlihat dari kemandirian penduduknya dalam memenuhi kebutuhan pokok (Dahuri, 1998). Bengen (2002a), menggolongkan pulau atau kepulauan berdasarkan pada proses geologinya, yaitu:
23
1. Pulau Benua (Continental Island), tipe batuan kaya akan silica. Biota yang terdapat pada tipe ini, sama dengan yang terdapat di dataran utama. 2. Pulau Vulkanik (Volcanic Island), terbentuk dari kegiatan gunung berapi, yang timbul perlahan-lahan dari dasar laut ke permukaan. Tipe batuan dari pulau ini adalah basalt, silica (kadar rendah). 3. Pulau Karang Timbul (Roised Coral Island), terbentuk dari terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut karena proses geologi. Jika proses berlangsung terus, maka karang yang timbul ke permukaan laut berbentuk terasteras seperti sawah di pegunungan. 4. Pulau Daratan Rendah (Low Island), adalah pulau dimana ketinggian daratannya dari muka laut rendah. Pulau-pulau dari tipe ini, paling rawan terdapat bencana alam, seperti angin topan dan gelombang tsunami. 5. Pulau Atol (Atolls), adalah pulau karang tebentuk cincin. Pada umumnya adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi oleh terumbu karang yang berbentuk fringing reef, kemudian berubah menjadi barrier reef, dan akhirnya menjadi pulau atol. Hehanussa (1993) dalam Maanema (2003), membuat klasifikasi pulau-pulau kecil di Indonesia berdasarkan morfologi dan genesis pulau sebagai berikut : (1) Pulau berbukit, dan (2) Pulau darat. Pulau berbukit terdiri dari: Pulau Vulkanik, Pulau Tektonik, Pulau Teras Terangkat, Pulau Petabah (monadnock), dan Pulau Gabungan. Sedangkan Pulau darat terdiri dari : Pulau Aluvium, Pulau Koral, dan Pulau Atol yang memiliki luas daratan lebih kecil dari 50 km2, misalnya pulau-pulau di kepulauan Takabonarate, yang lebarnya kurang dari 150 m dengan panjang antara 1000 hingga 2000 m. Selanjutnya Ongkosongo (1998), lebih menekankan pada proses terbentuknya pulau tersebut, antara lain : 1. Penurunan muka laut, contohnya: P. Akat, P. Sekikir, P. Abang Besar di Kepulauan Riau. 2. Kenaikan muka laut, contohnya: Kepulauan Lingga, P. Batam, P. Karimun Kecil, juga di Kepulauan Riau. 3. Tektonik, zona penunjaman (subduction), contohnya: P. Christmas, P. Nias. 4. Tektonik, zona pemekaran (spreading), contohnya: Kepulauan Hawai.
24
5. Amblesan daratan, contohnya: P. Digul. 6. Erosi, contohnya: P. Popole di Jawa Barat. 7. Sedimentasi, contohnya: pulau-pulau di Segara Anakan, P. Bengkalis. 8. Volkanisme, contohnya: P. Krakatau, P. Ternate, P. Manado Tua. 9. Biologi, biota terumbu karang dan biota asosiasinya, contohnya: pulau-pulau di Kepulauan Seribu. 10. Biologi, biota lain (mangrove, lamun, dan lain-lain) contohnya: P. Karang Anyar, P. Klaces, dan P. Mutean di Segara Anakan. 11. Pengangkatan daratan, contohnya: P. Manui di Sulawesi. 12. Buatan Manusia, contohnya: lapangan udara Kansai Osaka Jepang. 13. Kombinasi berbagai proses, contohnya: P. Raput. Menurut Brookfield dalam Bengen (2002c), karakter lain dari pulau-pulau kecil, adalah pulau-pulau tersebut sangat rawan terhadap pengaruh-pengaruh perubahan iklim jangka panjang sebagai konsekuensi bertambahnya gas CO2 dan gas-gas lain ke udara. Terutama pulau–pulau karang, sangat mudah rusak dan rentan terdapat kenaikan permukaan air laut. Menurut Bengen (2000) disebutkan bahwa lingkungan pulau-pulau kecil bersifat rapuh sebab setiap gangguan pada satu bagian ekosistem pulau akan meningkatkan gema pengaruh pada bagian hulu (down-stream) ekosistem tersebut. Sebagai contoh, pembukaan hutan penutup akan menyebabkan kemerosotan tanah dan fauna, meningkatkan erosi tanah, sedimentasi dan konsukuensinya akan memberi dampak negatif terhadap sumberdaya alam di perairan laut sekitarnya. Secara umum pulau-pulau kecil memiliki karateristik yang unik, antara lain : berukuran kecil (smallness), terisolasi (isolation), ketergantungan (dependence), rentan (vulnerability) (Briguglio, Fauzi, dalam Maanema, 2003). Sifat rentan dimaksudkan karena memiliki kerapuhan ekologis (ecological fragility). Untuk lebih menjelaskan karakteristik pulau-pulau yang di bandingkan dengan pulau besar dan benua, berdasarkan karakteristik geografis, geologi, biologi, dan ekonomi, dan dilihat pada Tabel 2.
25
Tabel 2. Perbandingan Karakteristik Pulau Kecil, Pulau Besar, dan Benua. Pulau Kecil • Jauh dari benua • Dikelilingi oleh laut luas • Area kecil • Suhu udara stabil • Iklim sering berbeda dengan pulau besar terdekat. • • •
Umumnya karang atau vulkanik Sedikit mineral penting Tanahnya porous/permeabel
• Keanekaragaman hayati rendah • Penggantian spesies tinggi • Tinggi pemijahan massal hewan laut bertulang belakang • Sedikit sumberdaya daratan • Sumberdaya laut lebih penting • Jauh dari pasar Sumber : Bengen (2002b).
Pulau Besar Karateristik Geografis • Dekat dari benua • Dikelilingi sebagain oleh laut • Area besar • Suhu udara agak bervariasi • Iklim mirip benua terdekat Karateristik Geologi • Sedimen atau metamorfosis • Beberapa mineral penting • Beragam tanah Karateristik Biologi • Keanekaragaman hayati sedang • Pergantian spesies agak rendah • Sering pemijahan massal hewan laut bertulang belakang Karateristik Ekonomi • Sumberdaya daratan agak luas • Sumberdaya laut lebih penting • Lebih dekat pasar
Benua • Area sangat besar • Suhu udara bervariasi • Iklim musiman
• Sedimen atau metamorfosis • Beberapa mineral penting • Beragam tanahnya • Keanekaragaman hayati tinggi • Pergantian spesies biasanya rendah • Sedikit pemijahan massal hewan laut bertulang belakang • Sumberdaya daratan luas • Sumberdaya laut sering tidak penting • Pasar relatif mudah
2.2.2. Potensi Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Pulau-pulau kecil merupakan aset sumberdaya alam Indonesia yang jika dikelola secara baik dan berkelanjutan akan memberikan manfaat ekonomi yang tinggi baik bagi penduduk pulau-pulau kecil maupun kesejahteraan bangsa secara keseluruhan. Selain memiliki budaya yang unik, pulau-pulau kecil juga kaya akan keanekaragaman hayati baik keanekaragaman kelautan maupun terestial. Keanekaragaman hayati tersebut
26
selain, memberikan arus barang dan jasa yang bernilai tinggi, juga memberikan manfaat non-konsumtif yang tak ternilai harganya (Fauzi, 2003). Potensi sumberdaya di pulau kecil akan tergantung pada proses terbentuknya pulau serta posisi atau letak pulau tersebut, sehingga secara geografis pulau-pulau tersebut memiliki informasi struktur yang berbeda, dan dalam proses selanjutnya pulaupulau tersebut juga akan memiliki kondisi spesifik dan spesifik endemik serta keanekaragaman yang tipikal (Bengen, 2000a). Ekosistem pulau-pulau kecil menyimpan banyak potensi yang mempunyai nilainilai ekonomis tinggi, seperti tangkapan ikan, terumbu karang, mangrove, plasma nutfah dari biota-biota laut serta objek wisata yang selama ini terabaikan. Kekhawatiran ini semakin besar, akibat perkembangan akhir-akhir ini yaitu semakin meningkatnya pengrusakan
lingkungan,
rawannya
keamanan
dan
semakin
meningkatnya
penyeludupan serta punahnya biota-biota laut (Witoelar, 2000). Secara umum, sumberdaya alam di kawasan pulau-pulau kecil terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources), sumberdaya yang tidak dapat pulih (non-renewable resources) dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan lautan (environmental services). Sumberdaya yang dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, plankton, benthos, moluska, krustaseae, mamalia laut, rumput laut (seaweeds), lamun (seagrass), mangrove, dan terumbu karang. Sedangkan sumberdaya yang tidak dapat pulih, meliputi minyak bumi dan gas, mineral, bahan tambang/galian seperti biji besi, pasir, timah bauksit serta bahan tambang lainnya. Sedangkan yang termasuk jasa-jasa lingkungan adalah pariwisata bahari dan perhubungan laut yang merupakan potensi yang mempunyai nilai ekonomis tinggi bagi peningkatan pendapatan masyarakat sekitar maupun pendapatan daerah dan nasional. Kemudian pada wilayah pulau-pulau kecil juga mempunyai potensi energi kelautan yang bersifat non exhaustive (tak pernah habis) seperti energi angin, gelombang, pasang surut dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion). Sumberdaya ikan di kawasan pulau-pulau kecil terkenal sangat tinggi, hal ini karena didukung oleh ekosistem yang kompleks dan sangat beragam seperti ekosistem terumbu karang, mangrove, dan padang lamun. Selain sumberdaya yang disampaikan di
27
atas, pulau-pulau kecil juga memiliki ekosistem darat yang dapat dikembangkan pada berbagai bidang, seperti : pertanian, perkebunan dan peternakan. Selain segenap potensi pembangunan tersebut di atas, ekosistem pulau-pulau kecil juga memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan bukan saja bagi kesinambungan ekonomi, tetapi juga bagi kelangsungan hidup manusia. Hal paling utama adalah fungsi dan peranan ekosistem pesisir dan lautan di pulau-pulau kecil sebagai pengatur iklim global, siklus hidrologi dan bio-geokimia, menyerap limbah, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di darat. Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut harus diiringi dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung optimal dan berkelanjutan (Dahuri, 1998). 2.2.3. Pengembangan dan Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Menurut Witoelar (2000) dalam Ningkeula (2005), pengembangan pulau-pulau kecil dihadapkan pada kesenjangan-kesenjangan antar kawasan seperti kesenjangan antar masyarakat pantai dengan wilayah darat, kurangnya sumberdaya manusia, rendahnya akses informasi, kurangnya akses pasar, kurangnya dukungan sarana dan prasarana serta aksesibilitas. Dengan melihat permasalahan-permasalahan tersebut, maka pengembangan kawasan pulau–pulau
kecil tidak dapat dilakukan dengan
pendekatan sektoral, tetapi dilakukan secara integral dan menyeluruh melalui pengembangan wilayah. Pengembangan wilayah adalah upaya pembangunan pada suatu wilayah atau daerah, guna tercapainya kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya (alam, manusia, kelembagaan, teknologi dan prasarana) secara optimal dan berkelanjutan dengan cara menggerakan kegiatan ekonomi (trade, industri dan pertanian), pelestarian lingkungan, penyediaan fasilitas pelayanan dan penyediaan prasarana seperti; transportasi dan telekomunikasi. Pendekatan pengembangan wilayah dalam lingkup ruang wilayah adalah ; dilakukan melalui penataan ruang sebagaimana ditetapkan dalam PP. No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), yang bertujuan untuk mengembangkan pola dan struktur ruang nasional dengan memperhatikan kawasan-kawasan budidaya dan kawasan lindung. Pendekatan semacam ini adalah pendekatan kawasan dimana masing-masing kawasan diidentifikasi sektor-sektor unggulan yang akan dikembangkan. Di sisi lain lingkup pengembangan
28
wilayah, dihadapkan pada persoalan-persoalan yang menjadi perhatian nasional seperti; penanganan kawasan tertinggal, terisolir, kawasan-kawasan perbatasan, rawan kerusuhan, dan rawan bencana alam, termasuk di dalamnya kawasan pantai dan gugus pulau-pulau kecil (Bengen, 2002c). Menurut Fauzi (2003), pemanfaatan sumberdaya yang ada di pulau-pulau kecil selama ini belum dirasakan optimal karena banyaknya kendala yang harus dihadapi. Kendala tersebut menyangkut jarak, transportasi yang mahal, terbatasnya diversifikasi usaha yang berbasis sumberdaya alam, kurangnya skill sumberdaya manusia yang ada, vuinerable terhadap bencana alam, serta ketergantungan pada daratan maupun teritori lainnya untuk mendukung aktivitas ekonomi mereka. Selain menghadapi kendala struktural dan alamiah, pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil juga harus menghadapi tekanan yang berat akibat multiple demand dari pertumbuhan penduduk, wisata, industri dan sebagainya. Pertumbuhan multiple demand dari waktu ke waktu menyebabkan kompetisi terhadap sumberdaya yang langka seperti lahan dan air semakin meningkat. Praktek ekstraksi sumber daya alam yang tidak tepat, eksploitasi sumberdaya yang tidak terkendali dan berlebihan akan mempengaruhi kemampuan produktivitas dari sumberdaya pulau-pulau kecil dan lingkungannya secara keseluruhan. Sedangkan menurut Dahuri (1998), bahwa dalam pengembangan kawasan pulau-pulau kecil, terdapat beberapa kendala yang harus diperhatikan antara lain: 1) Ukuran yang kecil dan terisolasi, sehingga penyediaan sarana dan prasarana manjadi sangat mahal, serta sumberdaya manusia yang handal menjadi sangat langka, 2) Kesulitan atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi (economies of scale) yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi laut turut menghambat pembangunan, 3) ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar, vegetasi, tanah, dan ekosistem pesisir (coastal ecosystem) dan satwa liar pada akhirnya akan menentukan daya dukung suatu sistem pulau kecil dalam menopang kehidupan manusia penghuni dan segenap kegiatan pembangunannya, 4) Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (seperti pengendalian erosi) yang terdapat di suatu unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan terdapat di sekitar pulau seperti ekosistem terumbu karang dan perairan pesisir adalah
29
saling terkait satu sama lain dan, 5) Budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan. Dalam upaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil untuk kesejahteraan masyarakat dan mempertahankan fungsi-fungsi pulau sebagai penyangga lingkungan dan keamanan, maka pengelolaan pantai dan pulau-pulau kecil perlu dilakukan secara terpadu sebagai bagian dari pengembangan wilayah sekitarnya. Berdasarkan pertimbangan kebijakan pengelolaan pantai atau pulau-pulau kecil maka terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan: a) perlu disiapkan pedoman dan petunjuk penyelenggaraan pembangunan kawasan pantai pulau-pulau kecil dalam meningkatkan kemampuan daerah sehubungan dengan sebagian besar gugus pulaupulau kecil terletak di wilayah administrasi kabupaten atau propinsi, b) Pengendalian dan pembatasan pemanfaatan sumberdaya alam guna mengurangi kerusakan lingkungan dan perlindungan kawasan pantai dan pulau-pulau kecil sebagai ekosistem kelautan, c) Pengembangan pantai pulau-pulau kecil tidak dapat dilakukan secara parsial, namun perlu dilakukan secara terintegrasi dalam suatu sistem perwilayahan, d) Perlu diidentifikasi fungsi masing-masing pulau sesuai dengan potensi yang dimiliki, kondisi lingkungan, rawan bencana dan kedudukan strategis sebagai bagian dalam sistem perwilayahan, e) Pengembangan peluang-peluang produktiv usaha sesuai dengan potensi yang dapat dikembangkan di masing-masing pulau serta penyediaan pusat-pusat pelayanan sesuai dengan sistem pengembangan wilayah dengan tujuan untuk: 1) Membuka aksesibilitas dan keterisolasian pulau-pulau kecil, 2) Meningkatkan usaha kegiatan ekonomi masyarakat pemberdayaan masyarakat khusus dalam pengelolaan sumberdaya hayati laut pada kawasan yang memiliki potensi keragaman dan bernilai ekonomi yang tinggi didasarkan pada potensi masyarakat (grass root), 3) Mendorong minat swasta dan masyarakat untuk dapat menanamkan modal dalamnya rangka pengembangan pantai dan pulau-pulau kecil, dan 4) mengfungsikan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam pengelolaan pantai dan pulau-pulau kecil (Dahuri, 1998). Sehubungan dengan pengembangan wilayah, strategi pengembangan yang sesuai dengan karakteristik dan permasalahan pengembangan kawasan pantai dan pulau-pulau kecil ada tiga jenjang, yaitu:
30
-
Strategi pengembangan pada level Mikro (desa), yaitu pengembangan pada level “grass root” masyarakat berdasarkan tingkat kemampuan masyarakat (potensi sumberdaya manusia dan teknologi) dan sumberdaya kelautan.
-
Strategi pengembangan pada level Messo atau keterkaitan antar pulau-pulau, yaitu upaya-upaya untuk lebih meningkatkan nilai produksi, dikaitkan dengan pengembangan pasar, pengolahan produksi dan kemudahan transportasi.
-
Strategi pengembangan pada level Makro, yaitu mengaitkan kawasan pantai dan pulau-pulau kecil ke dalam sistem yang lebih luas baik sistem nasional maupun internasional (Witoelar, 2000).
2.2.4. Penelitian Terdahulu Tentang Pulau-Pulau Kecil Ningkeula
(2005),
melakukan
penelitian
tentang
pemanfaatan
dan
pengembangan sumber daya pulau kecil di Kabupaten Halmahera Selatan Maluku Utara, yang bertujuan mengkaji potensi dan kondisi pemanfaatan Sumber daya pulau kecil melalui penentuan kesesuaian, peruntukan pemanfaatan sumber daya pulau kecil untuk pengembangan wilayah. Hasil analisis kesesuaian lahan menunjukan bahwa desadesa dalam Kabupaten Halmahera Selatan memungkinkan untuk peruntukan budi daya keramba jaring apung (KJA), budi daya mutiara, budi daya rumput laut, pariwisata pantai dan pemukiman nelayan, sedangkan dari analisis lokasi menunjukan sektor yang lebih unggul adalah sektor pertanian sementara sektor perikanan masih dalam skala kecil, walaupun tiponomi desa-desa pesisir di Halmahera Selatan adalah perikanan. Mutmainnah (2004), melakukan penelitian tentang pemanfaatan sumber daya pulau kecil di Pulau Tanakeke Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan, dengan penekanan pada analisis tingkat pemanfaatan sumber daya berdasarkan pada aspek bioteknis, lingkungan, ekonomi, sosial, budaya dan kelembagaan guna mengkaji pemanfaatan sumber daya secara lestari. Pemanfaatan sumber daya telah mencapai titik optimal, untuk budi daya tambak dan konversi lahan mangrove ke pemukiman tidak layak untuk dilanjutkan, karena dari hasil analisis usaha budi daya tambak tidak menguntungkan, selain itu aktivitas penangkapan ikan telah mengalami overfishing sejak tahun 1999 walaupun usaha tersebut masih menguntungkan. Akhirnya ia merekomendasikan bahwa prioritas pengembangan pemanfaatan sumber daya di Pulau Tanakeke berdasarkan
31
aspek bioteknis, lingkungan, ekonomi, sosbud dan kelembagaan adalah budi daya rumput laut. Lamatenggo (2002), mengkaji potensi dan pengelolaan sumber daya pulau-pulau kecil secara berkelanjutan di Pulau Gag Kabupaten Sorong Papua. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat potensi SDA, permasalahan yang dihadapi dalam pemanfaatan SDA dan bagaimana upaya pengelolaan secara berkelanjutan. Pulau-pulau ini mempunyai potensi yang besar, namun permasalahan yang dihadapi adalah penangkapan ikan oleh nelayan setempat dengan menggunakan bahan peledak dan potasium, rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup, skala usaha perkebunan dan perikanan yang tradisional, rendahnya SDM, status hutan lindung Pulau Gag dan minimnya sarana transportasi untuk memasarkan hasil perkebunan dan hasil laut ke daerah lain. Untuk pengembangan pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan perlu dilakukan penataan ruang untuk menghindari konflik, pengelolaan sumber daya secara terpadu, peningkatan SDM dan pemberdayaan ekonomi penduduk lokal, melibatkan penduduk lokal dalam pengelolaan sumber daya berdasarkan aturan yang ditetapkan, intensifikasi perkebunan dan perikanan serta penyediaan sarana dan penambahan frekuensi transportasi ke Pulau Gag. Lumbangaol (2002), melakukan penelitian tentang Pengelolaan sumber daya pulau-pulau kecil di Kepulauan Tobea Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara, tujuan penelitian ini untuk mempelajari karakteristik umum dan struktur masyarakat, peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pulau-pulau kecil. Ternyata di Kepulauan Tobea memiliki keragaan sumber daya alam yang cukup kompleks yang belum dimanfaatkan secara optimal, perikanan tangkap merupakan usaha andalan masyarakat tetapi yang lebih prospektif adalah budi daya rumput laut, namun demikian menurutnya untuk strategi pengembangan Kepulauan Tobea adalah perikanan tangkap. Selain itu pemerintah memegang peran penting dalam pengelolaan pulau-pulau kecil sedangkan partisipasi masyarakat sangat rendah, hal ini disebabkan karena pada kepulauan ini tidak terdapat hukum-hukum adat yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya, sehingga peran pemerintah daerah sangat dominan dalam mengatur pengelolaan sumber daya berdasarkan kebijakan dan program yang merupakan produk pemerintah pusat.
32
Sedangkan menurut Manafi (2003), sesuai hasil penelitiannya tentang Pendekatan penataan ruang dalam pengelolaan pulau kecil di Pulau Kaledupa Taman Nasional Laut Kepulauan Wakatobi Sulawesi Tenggara, dengan tujuan penelitian adalah menganalisis pemanfaatan ruang ditinjau dari kesesuaian lahan. Hasilnya mengingat lokasi budidaya laut juga terletak di wilayah kegiatan wisata, maka pengaturan teknis sebaiknya mengadopsi kearifan lokal yang telah ada dan pernah berlaku (Kambo/Limbo). Sedangkan untuk wilayah yang belum diatur oleh Kambo/Limbo mengacu pada kesesuaian fisik geografis dan sosial ekonomi masyarakat. Abubakar (2004), dalam penelitiannya tentang analisis kebijakan pemanfaatan pulau-pulau kecil perbatasan studi di Pulau Sebatik Kabupaten Nunukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyusun suatu alternatif kebijakan pemanfaatan pulaupulau kecil perbatasan yang komprehensif dengan mempertimbangkan aspek biofisik, sumberdaya alam, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan kelembagaan, serta pertahanan dan keamanan. Hasil analisis kombinasi metode SWOT dan AHP (A’WOT) menunjukan bahwa urutan prioritas kebijakan pemanfaatan pulau-pulau kecil perbatasan adalah : (1) pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal dan lestari, (2) penataan hukum dan kelembagaan, (3) peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat dan pemerintah, (4) peningkatan aksesibilitas terhadap pulau-pulau kecil perbatasan, (5) pengembangan sistem pertahanan dan keamanan di pulau-pulau kecil perbatasan, (6) pengembangan perekonomian di pulau-pulau kecil perbatasan, (7) pengembangan aspek sosial budaya masyarakat pulau-pulau kecil perbatasan, dan (8) pengisian dan pendistribusian penduduk pada pulau-pulau kecil perbatasan. Arifin (2006), melakukan penelitian tentang penentuan daerah penangkapan ikan cakalang dengan menggunakan data satelit multisensor di daerah perairan Laut Maluku. Tujuan penelitian ini adalah mendeteksi profil suhu permukaan laut, sebaran klorofil-a, dan thermal front serta upwelling di perairan Laut Maluku untuk memetakan daerah penangkapan ikan (DPI) cakalang yang potensial di perairan Laut Maluku. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa 4 DPI potensial di Laut Maluku dengan jarak 4 – 12 mil, yaitu zona A daerah Kepulauan Morotai, zona B daerah Kepulauan Batang Dua (P. Tifure dan Mayau), zona C daerah Kepulauan Bacan dan Obi, dan zona D daerah Kepulauan Sula.
33
2.2.5. Networking Pulau-Pulau Kecil (Interaksi Spasial) Mengingat keterbatasan teori-teori tentang networking (interaksi) antar pulaupulau kecil maka dalam pustaka networking pulau-pulau kecil ini didasarkan pada teoriteori interaksi spasial, karena pada dasarnya prinsip-prinsip dan pola interaksi antara wilayah menggunakan kaidah-kaidah yang sama. Interaksi spasial adalah suatu istilah umum mengenai pergerakan spasial dan aktivitas-aktivitas manusia (Hayness dan Fotheingham dalam Rustiadi et al. (2005). Model grafitasi adalah model interaksi spasial yang paling umum digunakan. Jika hubungan komplementer mewakili kekuatan yang mendorong terjadinya interaksi, dimana transferability dan interviewing opportunity mewakili aspek yang berbeda dari pengaruh friction of distance, maka kita dapat menggagalkan teori Ullman dari tiga prinsip menjadi dua, yaitu: (1) Mesin penggerak dari pergerakan dan interaksi adalah kekuatan dorong-tarik dari supply-demand dan (2) penghambat pergerakan dan interaksi adalah pengaruh friction of distance. Kedua prinsip tersebut mengikuti hukum grafitasi Newton yang dikembangkan dan diaplikasikan dalam interaksi sosial ekonomi. Caret dan Ravenstein dalam Rustiadi et al. (2005), menemukan adanya hubungan pararel antara migrasi masyarakat menurut hukum grafitasi Newton. Interaksi antara dua tempat (dua kala) dipengaruhi oleh produksi yang dihasilkan oleh masyarakat di dua tempat tersebut, jarak antara dua tempat tersebut dan besarnya pengaruh jarak antara dua tempat tersebut. Setiap bagian wilayah mempengaruhi faktor endowment yang khas dalam bentuk sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, penduduk dalam wilayah tersebut sering harus memenuhi dari wilayah lain, oleh karena itu penduduk harus melakukan perjalanan ke wilayah lain sehingga membentuk hubungan antar wilayah. Hubungan atau kontak ini secara ekonomi dapat digambarkan sebagai proses permintaan dan penawaran. Hubungan antar wilayah dapat disebut sebagai keterkaitan (linkages) antara wilayah dimana terjadi kebergantungan antar wilayah. Kontak atau hubungan antar wilayah tersebut dapat juga diartikan sebagai interaksi. Secara harfiah interaksi dapat diartikan sebagai hal yang saling ’mempengaruhi’. Keterkaitan antar wilayah tidak dapat terjalin bila tidak didukung
34
prasarana dan sarana penghubung antar kedua wilayah yang saling berinteraksi, dukungan tersebut dapat merupakan prasarana dan sarana transportasi, meskipun dapat pula dalam bentuk lain. Oleh karena itu keterkaitan (linkages) antar wilayah adalah bentukan dari proses interaksi antar wilayah yang diakibatkan adanya hubungan supplydemand, yang didukung oleh kemudahan perhubungan antara keduanya, serta dapat menguntungkan, merugikan maupun saling mendukung salah satu maupun kedua wilayah yang berinteraksi tersebut (Kasikun, 2004). Pola keterkaitan pertama adalah pola asimetris. Dalam pola keterkaitan asimetris terjadi suatu bentuk eksploitasi kota-kota sebagai bagian di atas dari hirarki terhadap desa-desa sebagai bagian hirarki di bawahnya. Terjadi eksplorasi dan penyapuan sumberdaya alam (backwash effect) besar-besaran di wilayah hinterlannya tanpa adanya timbal balik yang memberikan keuntungan di wilayah-wilayah perdesaan di bawahnya. Pola asimetris adalah suatu proses eksploitasi yang lebih bersifat simbiosis parasitisma yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain. Suatu keadaan yang menciptakan pembangunan yang tidak berimbang, saling melemahkan dan tidak berkelanjutan. Pola keterkaitan kedua adalah pola simetris yang memberikan proses kompetitif antara kota-kota dalam hirarki teratas dengan desa-desa dalam hirarki di bawahnya. Terdapat suatu proses yang bersifat simbiosis mutualisma yang memberikan keuntungan di kedua belah pihak. Pola simetris ini akan menciptakan pembangunan yang berimbang, saling memperkuat dan berkelanjutan. Menurut Rondinelli dalam Kasikun (2004), dalam pembangunan spasial, jenisjenis keterkaitan yang utama dapat dikelompokan dalam tujuh tipe, yaitu: (1) Keterkaitan fisik; jaringan jalan, jaringan transportasi sungai dan air, jaringan kereta api, dan ketergantungan ekologis. (2) Keterkaitan ekonomi; pola-pola pasar, arus bahan baku dan bahan antara, arus modal, keterkaitan produksi, pola konsumsi dan belanja, arus pendapatan, dan arus komoditi sektoral. (3) Keterkaitan pergerakan penduduk; migrasi-temporer dan permanen, dan perjalanan kerja. (4) Keterkaitan teknologi; kebergantungan teknologi, sistem irigasi, dan sistem telekomunikasi. (5) Keterkaitan interaksi sosial; pola visiting, pola kinship, kegiatan rites, rituals dan keagamaan, dan interaksi kelompok sosial. (6) Interaksi deliveri pelayaran; arus dan jaringan energi,
35
jaringan kredit dan finansial, keterkaitan pendidikan, training dan pengembangan, sistem deliveri pelayanan kesehatan, pola pelayanan profesional, komersial dan teknik, dan sistem pelayanan transportasi. (7) Keterkaitan politik, administrasi dan organisasi; hubungan struktural, arus budget pemerintah, kebergantungan organisasi, pola otoritasapproval-supervisi, pola transaksi inter-yuridiksi, dan rantai keputusan politik informal. 2.3. Sumber Daya Perikanan dan Konsep Bioekonomi Menurut Fauzi (2004a), Perikanan seperti halnya sektor ekonomi lainnya, merupakan salah satu aktivitas yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa. Sebagai salah satu sumber daya alam yang bersifat dapat diperbaharui (renewable), pengelolaan sumber daya ini memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati. Sumber daya perikanan pada suatu wilayah perairan pada periode waktu tertentu cenderung mengalami perubahan. Perubahan ini selain disebabkan oleh faktor alami juga oleh faktor non alami. Faktor alami meliputi perubahan fisik lingkungan suatu perairan, keterbatasan makanan dan sumber hara lainnya serta predator, sedangkan faktor non alami ditimbulkan oleh kegiatan manusia dalam memanfaatkan sumber daya perikanan yang tidak terkendali. Sumber daya perikanan laut mempunyai sifat yang spesifik yang dikenal dengan akses terbuka (open accses) yang memberikan anggapan bahwa setiap orang atau individu merasa memiliki sumber daya tersebut secara bersama (common property), oleh karena sifatnya yang demikian maka semua individu baik nelayan maupun pengusaha perikanan laut akan merasa mempunyai hak untuk mengeksploitasi sumber daya laut sesuai dengan kemampuan masing-masing hingga nilai rent dari sumber daya terbagi habis, sebaliknya tidak satupun pihak merasa berkewajiban untuk menjaga kelestariannya. Di satu pihak masing-masing akan berusaha untuk memaksimumkan hasil tangkapan, di lain pihak masing-masing tidak mempunyai insentif untuk mempertahankan ataupun meningkatkan kelestarian sumber daya. Pada akhirnya tetap merugikan nelayan yang lemah kapitalnya dan mayoritas merupakan penduduk setempat dan justru tidak mendapatkan manfaat dari kekayaan sumber daya wilayahnya sendiri.
36
Menurut Dahuri et al. (2001), dalam pemanfaatan sumber daya perikanan yang bersifat milik bersama (common property), keseimbangan jangka panjang dalam usaha perikanan tidak dapat dipertahankan karena adanya peluang untuk meningkatkan keuntungan (exess profit) bagi usaha penangkapan ikan sehingga terjadi ekstensifikasi usaha secara besar-besaran dibarengi masuknya pengusaha baru yang tergiur dengan nilai rent yang cukup besar tersebut. Pemanfaatan sumber daya perikanan harus memperhatikan aspek sustainability agar dapat memberikan manfaat yang sama di masa yang akan datang yang tidak hanya terfokus pada masalah ekonomi tetapi juga masalah lain seperti teknis, sosial dan budaya. Tingkat pemanfaatan sumber daya optimal melalui pendekatan MSY dan MEY. Pendekatan MSY (maximum sustainable yield) akan memberikan hasil lestari secara fisik, namun demikian dalam praktek pengelolaan sumber daya perikanan, tingkat tangkapan MEY (maximum economic yield) akan lebih baik karena selain memberikan keuntungan secara ekonomi juga memberikan keuntungan secara ekologi yang dapat mempertahankan diversitas yang besar. Menurut Fauzi (2004b), istilah bioekonomi diperkenalkan oleh Scott Gordon yang pertama kali menggunakan pendekatan ekonomi untuk menganalisis pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal. Gordon menggunakan basis biologi yang sebelumnya diperkenalkan oleh Schaefer. Pendekatan Gordon ini kemudian dikenal sebagai pendekatan bioekonomi. Pendekatan bioekonomi sangat diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya ikan, ketika Schaefer (1954) mengenalkan konsep MSY (maximum sustainable yield), konsep ini menjadi buzzword (”jimat”) dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Namun konsep MSY hanya didasarkan pada pendekatan biologi semata. Dalam perspektif MSY, jika sumberdaya ikan dipanen pada tingkat MSY (tidak lebih tidak kurang), maka sumberdaya ikan akan lestari. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana halnya dengan biaya pemanenan ikan, pertimbangan sosial ekonomi akibat pengelolaan ikan, nilai ekonomi terhadap ikan yang tidak dipanen. Dalam pendekatan MSY pertanyaan-pertanyaan tersebut sengaja di abaikan karena tujuan pendekatan biologi adalah memperoleh produksi setinggi-tingginya. Melihat kekurangan-kekurangan pendekatan biologi itulah kemudian konsep pendekatan bioekonomi lahir atau dikenal dengan MEY (maximum economic yield). Dalam
37
pendekatan bioekonomi, tujuan utama adalah aspek ekonomi dengan kendala aspek biologi sumberdaya ikan. Model bioekonomi Gordon-Schaefer (GS) di bangun dari model produksi surplus yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Graham pada tahun 1935. Pada model ini, pertumbuhan populasi ikan diasumsikan mengukuti fungsi pertumbuhan logistik. Kajian pemanfaatan sumber daya perikanan bioekonomi Gordon-Schaefer adalah sebuah model statik. Menurut Gordon, model perikanan statik adalah model ekonomi perikanan yang didasarkan pada faktor input yaitu upaya. Asumsi-asumsi dari model Gordon-Schaefer, yaitu : 1. Populasi ikan menyebar merata 2. Tidak ada kejenuhan penggunaan unit alat tangkap ikan 3. Semua unit alat tangkap aktif melakukan kegiatan penangkapan ikan 4. Setiap unit alat tangkap mempunyai kemampuan yang sama 5. Biaya total penangkapan ikan adalah konstan 6. Harga ikan per satuan tangkapan adalah konstan. 2.4. Ikan Cakalang 2.4.1 Klasifikasi dan Biologi Ikan Cakalang Menurut Uktolseja et al. dalam Arifin (2006), ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) termasuk dalam golongan tuna kecil. Tuna kecil mempunyai ukuran antara 20 – 80 cm. Tuna yang termasuk tuna besar diantaranya adalah madidihang (Thunus albacares), albacare (Thunnus alalunga) dan tuna mata besar (Thunnus obesus). Tuna besar ini mempunyai ukuran antara 40-180 cm. Lebih lanjut Unar dalam Arifin (2006), menyatakan bahwa ikan cakalang mempunyai nama umum Skipjack atau Striped tuna dan nama lokal wadan (Jawa), cakalang atau tongkol krai (Jawa Barat dan Jakarta) buambu clorengan atau japak (Madura), kausa (Sulawesi Selatan), cakalang (Sulawesi Utara). Menurut Saanin dalam Arifin (2006), klasifikasi ikan cakalang adalah (Gambar 2) sebagai berikut : Phylum : Chordata Kelas : Pisces/Actinopterigi Ordo : Perciformas Subordo : Scombroidea
38
Famili : Scombridae Genus : Kasuwonus Spesies : Katsuwonus pelamis (linnaeus, 1758) Distribusi cakalang tersebar di daerah tropis dengan suhu air hangat, tidak ditemukan di daerah Laut Mediterania bagian timur dan Laut Hitam. Ikan cakalang bermigrasi jauh. Morofologi ikan cakalang adalah sebagai berikut: 1. Sirip punggung keras 14 – 16 2. Sirip punggung lunak 14 -15 3. Sirip anal 0 4. Sirip anal yang lunak 14 – 15 5. Fiterbrey 41. 6. Tubuh tidak bersisik, tapi hanya terdapat lateralis(titik-titik). 7. Tidak punya swiming plader (kantong renang). 8. Berwarna biru gelap dan perak 9. Terdapat 4 – 6 garis hitam longitudinal.
Gambar 2. Ikan Cakalang (katsuwonus pelamis) Temperatur untuk larva ikan cakalang adalah 15 – 30oC. Scholing terdapat di permukaan air dan terdapat burung, hiu, paus dan mempunyai karakteristik (tingkah laku) berlompat-lompat, tingkah laku makan, dan membuat gelembung udara. Makanan ikan tersebut krustasea, cephalopoda dan mulusca. Bersifat memakan sesama mereka. Ikan ini dimangsa oleh ikan pelagis yang lebih besar, Masa pemijahan di daerah tropis,
39
telur dilepas dibeberapa tempat. Ikan cakalang dewasa dapat hidup di air dingin bersuhu 15 – 300C. Cakalang berada di permukaan pada malam hari. Puncak aktivitas makan diawal pagi hari dan sore hari. Ikan cakalang memerlukan oksigen sebesar 2,5 milli/liter air laut untuk mempertahankan swiming speed. Panjang juvenil cakalang 15 cm berada di area yang sama dengan larva, tetapi biasanya bergerak ke perairan yang lebih dingin untuk proses pendewasaan. 2.4.2 Tingkah Laku Ikan Cakalang Uktolseja dalam Arifin (2006), menyatakan bahwa persediaan cakalang di wilayah Perairan Indonesia Timur tersedia sepanjang tahun, terutama Laut Maluku, Laut Banda, Laut Seram dan Laut Sulawesi. Perairan tersebut termasuk daerah migrasi kelompok ikan di Samudera Pasifik bagian Selatan,
khusus jenis ikan cakalang.
Populasi cakalang yang dijumpai di Perairan Indonesia Bagian Timur sebagian besar berasal dari Samudera Pasifik yang memasuki perairan ini mengikuti arus. Fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap periode migrasi musiman serta terdapatnya ikan di suatu perairan. Laevastu dan Hayes dalam Arifin (2006), menyatakan bahwa daerah fishing ground yang terbaik terkadang ditentukan pada daerah perbatasan dua arus (konvergen dan divergen) dan fenomena oseanografi lainnya seperti pusaran eddies, bukan saja merupakan batas penyebaran bagi ikan namun fish base juga menyebabkan terjadinya pengumpulan ikan. Dari hasil pengamatan-pengamatan yang telah dilakukan bahwa ikan cenderung bergerombol pada isoterm tertentu dan pertemuan dua arus dan daerah yang memiliki perbedaan suhu horizontal yang jelas menjadi pembatas menyebarnya spesies - spesies tertentu.
bagi
Selain itu, beberapa hasil penelitian
menyatakan bahwa kepadatan populasi ikan cakalang tertinggi di sebelah selatan garis katulistiwa, pada kisaran waktu bulan Oktober sampai Maret, sedangkan pada perairan sebelah utara (5o LS) pada bulan April sampai September. Ikan cakalang termasuk dalam ikan perenang cepat dan mempunyai sifat makan yang rakus. Ikan ini sering bergerombol dan bersamaan dalam melakukan ruaya. Lebih lanjut Alimoedin dalam Arifin (2006), menyatakan bahwa ikan cakalang membentuk gerombol pada saat aktif mencari makan. Gerombolan tersebut bergerak dengan cepat
40
sambil meloncat-loncat di permukaan. Kebiasaan makan secara aktif berlangsung pada pagi hari dan kurang aktif pada siang hari. Sore hari mulai aktif lagi dan pada malam hari hampir tidak ada kebiasaan makan sama sekali. Kegiatan pemancingan yang dilakukan pada pagi hari dan sore hari akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan pada siang hari. Dalam menentukan lokasi penangkapan ikan cakalang sangat ditentukan oleh musim, tentu hal ini akan berbeda untuk setiap perairan. Penangkapan ikan cakalang dapat dilakukan sepanjang tahun. Hasil yang diperoleh berbeda menurut periode musim bervariasi pula menurut lokasi penangkapan. Saat-saat dengan hasil lebih banyak dari biasanya disebut musim puncak dan bila hasil penangkapan lebih sedikit dari biasanya disebut musim paceklik. 2.5. Kelembagaan Ekonomi Perikanan Definisi tentang kelembagaan sangatlah beragam, akan tetapi secara umum kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan yang dianut oleh masyarakat atau organisasi yang dijadikan pegangan oleh seluruh anggota masyarakat atau anggota organisasi dalam mengadakan transaksi satu sama lainnya yang meliputi pasar, hak kepemilikan, pelestarian sumberdaya dan sistem pertukaran yang ditentukan berdasarkan normanorma sosial atau kontrak (Hoff et al. 1993). Sedangkan menurut Kherallah dan Kirsten, dalam Fauzi (2005), kelembagaan adalah suatu gugusan aturan (rule of conduct) formal (hukum, kontrak, sistim politik, organisasi, pasar, dan lain sebagainya) serta informal (norma, tradisi, sistim nilai, agama, tren sosial, dan lain sebagainya) yang memfasilitasi koordinasi dan hubungan antara individu ataupun kelompok. Secara lebih spesifik Douglass North, ahli ekonomi kelembagaan, menyatakan bahwa institusi lebih pasti terjadi pada hubungan antara manusia serta mempengaruhi perilaku dan outcomes seperti keragaan ekonomi, efisiensi, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Kelembagaan itu sendiri sebagian besar muncul akibat dari kehidupan bersama dan tidak direncanakan. Para warga masyarakat pada awalnya mencari cara-cara yang dapat digunakan sebagai wadah memenuhi kebutuhan hidup, kemudian mereka menemukan beberapa pola yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
41
dan dalam proses selanjutnya diperkuat melalui pengaturan bersama yang dibakukan. Kelembagaan memberikan ketentuan terhadap anggota masyarakatnya mengenai hakhak, kewajiban dan tanggung jawabnya. Di samping itu, tiap anggota mendapat suatu jaminan hak dan perlindungan dari masyarakat. Kelembagaan memberikan suatu kondisi bahwa tiap-tiap anggota menerima sesuatu yang menjadi ketentuan dan tiap anggota merasa aman, merasa sewajarnya. Arti ekonomi utama dari kelembagaan adalah memberikan kepastian tentang siapa memperoleh apa dan berapa banyaknya. Dengan kata lain kelembagaan menurunkan derajat ketidakpastian dari aliran manfaat atau ongkos yang akan diterima oleh partisipan dalam suatu sistem ekonomi. Kelembagaan dapat diartikan sebagai organisasi atau aturan main. Kelembagaan sebagai organisasi biasanya menunjuk pada lembaga-lembaga formal seperti Departemen Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Daerah, Koperasi Unit Desa, Kelompok Nelayan dan Petani Ikan, Bank dan sejenisnya. Dari perspektif ekonomi, lembaga dalam artian organisasi biasanya menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh mekanisme pasar tetapi melalui mekanisme administrasi atau komando. Pasar dapat menjadi batas eksternal dari suatu organisasi, akan tetapi secara internal aktivitas ekonomi dikoordinasikan secara administrasi (Pakpahan dalam Kusrini, 2003). Kelembagaan menyangkut berbagai aturan atau prosedur tentang bagaimana corak tingkah laku manusia dalam melaksanakan sesuatu, aturan-aturan atau organisasi yang mendapatkan suatu status atau legitimasi tertentu. Selanjutnya dinyatakan bahwa kita tidak dapat melihat, merasakan, mengatakan atau bahkan mengukur institusi tersebut, hal ini dikarenakan institusi tersebut hanya terbentuk di dalam alam pikiran manusia. Selanjutnya Pakpahan dalam Kusrini (2003), menjelaskan bahwa kelembagaan dicirikan oleh tiga hal, yaitu: batas yurisdiksi, hak-hak kepemilikan (property right) yang berupa hak atas benda materi maupun non materi, aturan representatif (rule of the representative). Perubahan kelembagaan dicirikan oleh satu atau lebih unsur-unsur kelembagaan tersebut. a. Batas Yurisdiksi Menentukan apa dan siapa yang tercakup dalam suatu institusi dalam suatu masyarakat ditentukan oleh batas yurisdiksi yang berperan dalam mengatur alokasi
42
sumber daya. Konsep batas yurisdiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu institusi, atau mengandung makna kedua-duanya. Dalam istilah pemerintah daerah misalnya terkandung makna bagaimana batas yurisdiksi berperan dalam mengatur alokasi sumber daya. Faktor-faktor yang mempengaruhi performa apabila terjadi perubahan batas yurisdiksi antara lain : -
Perasaan sebagai suatu masyarakat. Menentukan siapa yang termasuk kita dan siapa yang termasuk mereka. Hal ini erat kaitannya dengan konsep jarak sosial akan menentukan kadar komitmen yang dimiliki oleh suatu masyarakat terhadap suatu kebijaksanaan.
-
Eksternalitas. Satuan analisis dalam mempelajari institusi adalah transaksi yang mencakup transaksi melalui mekanisme pasar, administrasi atau hibah. Dalam transaksi selalu menjadi transfer sesuatu yang dapat berupa manfaat, ongkos, informasi, hak-hak istimewa, kawajiban dan lain-lain, baik sesuatu yang ditransaksikan apakah bersifat internal atau eksternal ditentukan oleh batas yuridiksi. Perubahan batas yuridiksi akan mengubah struktur eksternalitas yang akhirnya mengubah siapa yang menanggung apa.
-
Homogenitas. Homogenitas preferensi dan kepekaan politik ekonomi terdapat perbedaan preferensi merupakan hal yang terpenting dalam menentukan batas yuridiksi, terutama dalam hal merefleksikan permintaan terhadap barang dan jasa. Apabila barang dan jasa harus dikonsumsi secara kolektif, maka isu batas yuridiksi menjadi penting dalam merefleksi preferensi konsumen dalam aturan pengambilan keputusan. Homogenitas preferensi dan distribusi individu masyarakat memiliki preferensi yang berbeda akan mempengaruhi jawaban atas pertanyaan siapa yang memutuskan.
-
Skala Ekonomi. Konsep ini memegang peranan penting dalam menelaah permasalahan batas yuridiksi. Dalam pengertian ekonomi, skala ekonomi menunjukkan suatu situasi di mana ongkos per satuan terus menurun apabila output ditingkatkan. Batas yuridiksi yang sesuai akan menghasilkan ongkos per satuan yang lebih rendah dibanding dengan alternatif batas yuridiksi yang lainnya.
b. Hak Kepemilikan (Property Right)
43
Property Right mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya, situasi atau kondisi. Dalam bentuk formal, property right merupakan produk dari sistem hukum formal. Dalam bentuk lainnya merupakan produk dari tradisi atau adat kebiasaan dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu tidak seorang pun yang dapat menyatakan hak milik tanpa pengesahan dari masyarakat dimana dia berada. Implikasi dari hal ini adalah: (1) hak seseorang adalah kewajiban orang lain, (2) hak seperti dicerminkan oleh kepemilikan adalah sumber kekuatan yang akses dan kontrol terhadap hak miliknya. Hak tersebut dapat di peroleh melalui berbagai cara seperti melalui pembelian apabila barang dan jasa dimaksud boleh dijualbelikan, melalui pemberian atau hadiah dan melalui pengaturan administrasi. Memiliki property right berarti memiliki kekuasaan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan penggunaan sumberdaya untuk menciptakan ongkos bagi orang lain apabila ia menginginkan sumberdaya yang dimiliki tersebut. c.
Aturan Representasi Aturan representasi mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi
dalam proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan sumber daya yang dibicarakan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Aturan representasi menentukan jenis keputusan yang dibuat, oleh karena itu berperanan penting dalam menentukan alokasi dan distribusi sumber daya yang langka. Sehingga aturan representasi merupakan subjek analisis ekonomi. Menurut Anwar (2002), bahwa penentuan kelembagaan (institusional) yang tepat akan dapat mengatur penggunaan dan alokasi sumberdaya atau input kearah efisiensi yang tinggi, keadilan (fairness) kearah pembagian yang lebih merata, dan aktifitas ekonomi dapat langgeng (sustainable). Langkah awal guna mencapai efisiensi dalam alokasi sumberdaya secara optimal adalah perlunya pembagian pekerjaan (division of labor), sehingga setiap pekerjaan dapat dilaksanakan secara profesional dengan produktivitas yang tinggi. Peningkatan pembagian pekerjaan selanjutnya akan
44
mengarah kepada spesialisasi ekonomi, sedangkan kelanjutan dari spesialisasi adalah peningkatan efisiensi dan produktivitas yang semakin tinggi.
Sebagai akibat dari
kondisi di atas maka setiap individu tidak mampu lagi berdiri sendiri. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan individu diperoleh dari individu atau pihak lain, melalui suatu pertukaran (exchange/trade), yang dalam ekonomi disebut transaksi ekonomi. Agar transaksi ekonomi tersebut berlangsung dengan baik maka perlu adanya koordinasi antar berbagai pihak dalam sistem ekonomi dan aturan representasi dari pihak-pihak yang berkoordinasi tersebut (Anwar dan Siregar, 1993). Selanjutnya menurut Anwar (2002), meskipun terdapat banyak ragam dan sistem koordinasi yang terjadi dalam dunia nyata, akan tetapi pada dasarnya ada dua bentuk koordinasi yang utama yaitu koordinasi untuk keperluan; 1) transaksi melalui pasar, dimana harga-harga menjadi panduan dalam mengkoordinasikan alokasi sumberdaya, 2) transaksi melalui sistem organisasi yang berhirarki di luar sistem pasar (extra market institution) dimana otoritas dan kewenangan berperan sebagai koordinator dalam mengatur alokasi sumberdaya. Mekanisme transaksi ekonomi melalui koordinasi yang terjadi apakah dalam bentuk pasar atau sistem organisasi tergantung dari persyaratan informasi yang terjadi disetiap kondisi disamping besarnya biaya transaksi. Apabila informasi bersifat sempurna (perfect information) dan biaya transaksi relatif rendah, maka transaksi ekonomi akan terjadi melalui pasar, sebaliknya apabila informasi tidak sempurna (imperfect information) dan biaya transaksi relatif mahal, maka transaksi ekonomi atau koordinasi akan terjadi melalui sistem organisasi atau kelembagaan (Anwar dan Siregar, 1993). Berbagai bentuk aturan permainan baik yang bersifat formal maupun informal yang mengatur hubungan antara masyarakat nelayan dapat dijumpai di desa pantai di seluruh Indonesia. Dari bentuk tersebut ada 4 sistem organisasi/kelembagaan ekonomi yang sering ditemui yaitu : kelembagaan sistem bagi hasil, kelembagaan hubungan kerja, kelembagaan pemasaran dan kelembagaan perkreditan. Fakta menunjukan bahwa keempat bentuk kelembagaan ini tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Pada umumnya masyarakat nelayan sering terlibat dalam hubungan ganda. Scott dalam
45
Anwar (2002), menyatakan bahwa masyarakat petani termasuk nelayan mempunyai hubungan paternalistik yang telah berlangsung sejak zaman dulu. Seseorang atau kelompok menjadi pengikut (client) dari lapisan atasnya dan sekaligus menjadi pimpinan (patron) lapisan bawahnya. Sebagai patron adalah orang yang berada dalam posisi pembantu clientnya. Menurut Anwar (2002), masyarakat nelayan yang bermukim di wilayah pesisir mempunyai institusi tradisional yang telah lama dianut dan di pegang secara turun temurun hingga sekarang dalam hal pengelolaan sumberdaya perairan secara berkelanjutan, sebagaimana kelembagaan adat pada kehutanan maupun perladangan. Institusi ini bertanggung jawab terhadap manajemen lingkungan menurut keahlian orang-orang/ anggota yang terlibat dalam kegiatan produksi tradisional tersebut. Praktek institusi yang berdasarkan tradisi lokal sangat dihormati oleh masyarakatnya. Tetapi kemudian institusi lokal tingkat desa ini terhegemoni oleh pemerintah melalui peran kepala desanya yang melaksanakan campuran kekuasaan. Kekuasaan ini merupakan perwakilan sebagai kepala desa yang mana tugas-tugas yang diemban sering tidak konsisten dan bahkan selalu berseberangan dengan peranan institusi lokal yang bertanggung jawab dalam pengelolaan dalam sumberdaya guna meningkatkan kesejahteraan
anggota
masyarakatnya
sebagai
upaya
menuju
pembangunan
berkelanjutan. Untuk lebih jelasnya, bagan alur struktur kelembagaan tradisional dalam wilayah pesisir dapat dilihat pada Gambar 3. 2.5.1. Kelembagaan Bagi Hasil Sistem bagi hasil merupakan suatu kelembangan perikanan yang terdapat di desa pantai yang sering kali masih bersifat asli dan merupakan adat kebiasaan masyarakat nelayan secara turun temurun. Pada umumnya sistem bagi hasil yang berlaku adalah : 1) pembagian hasil antara pemilik modal dan operator, 2) pembagian antara operator (juragan laut dan anak buah kapal). Besarnya bagian untuk masing-masing golongan nelayan dapat berbeda, tergantung pada teknologi yang diterapkan dan komponen biaya yang di tanggung masing-masing pihak.
46
Kepala Kampung/Desa
Kepala Desa
Kepala Sungai/perikana
Sungai
Keluarga elit kekerabatan, Dewan desa, Dewan kekarabatan yang diperluas
Orang yang bertanggung jawab dalam perladangan /gembala
Orang yang bertanggung jawab dalam perikanan
Tebat ikan
Orang yang bertanggung jawab dalam pertanian
Gembala / Ladang
Pertanian
Gambar 3. Diagram struktur tradisoinal dalam wilayah pesisir (Anwar, 2002). Dalam upaya meningkatkan kesejatraan nelayan dan pemerataan hasil sumberdaya perikanan sesuai dengan kontribusi masing-masing pihak pengelola sumberdaya tersebut,pemerintah telah mencoba mengatur sistem bagi hasil perikanan melalui UU No. 16 Tahun 1964 (tentang bagi hasil perikanan), tapi sampai saat ini penerapan UU tersebut banyak mengalami hambatan, dikarenakan sistem bagi hasil perikanan lebih merupakan ikatan antara nelayan pemilik dan nelayan buruh yang bersifat lokal dan sangat berbeda antar daerah maupun peralatan yang digunakan (Taryoto et al. dalam Kusrini, 2003). Kelembagaan bagi hasil perikanan sebetulnya sudah melembaga jauh
47
sebelum diundangkannya UU No.16 tahun 1964 yaitu yang dibuat oleh masyarakat komunal setempat. Banyak kelembagaan yang mengandung aspek-aspek pengaturan komunal dan pengelolaan wilayah pantai seperti Sasi di Maluku yang dapat berfungsi sebagai kontrol dalam pengelolaan sumberdaya alam yang sustainable. Namun demikian pemerintah kurang menghargai arti dari kelembagaan ini, maka secara de facto sumberdaya perairan menjadi akses terbuka di sebagain besar perairan Indonesia (Anwar, 1994). 2.5.2. Kelembagaan Hubungan Kerja. Sistem hubungan kerja yang mutualistik ini merupakan suatu hubungan kerja antara pihak yang memiliki kelebihan dan juga sekaligus kekurangan dalam mengakses sumberdaya tertentu. Pemilik modal yang punya kelebihan akses modal, tetapi kekurangan akses tenaga kerja. Sebaliknya terjadi pada pihak pekerja. Pada kondisi ini masing-masing pihak menyadari kelebihan dan kekurangannya, sehingga dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar sesuai dengan apa yang ada pada diri kita masing-masing pihak tersebut. Di beberapa wilayah pesisir Indonesia, sistem kelembagaan ini memiliki karakteristik tersendiri seperti di Sulawesi Selatan dikenal hubungan antara Punggawa – Sawi, di Pantai Utara Jawa dikenal hubungan antara Juragan – Pendega, sedangkan di Sumatera Utara terdapat hubungan antara tauke – nelayan (Mintoro, 1993). 2.5.3. Kelembagaan Pemasaran dan Perkreditan Lembaga pemasaran yang dimaksud adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi pemasaran dimana barang-barang bergerak dari pihak produsen sampai ke konsumen. Termasuk dalam kelembagaan ini adalah produsen, pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa lainnya. Pemilihan saluran pemasaran yang panjang tentunya akan melibatkan berbagai stakeholder dalam saluran tersebut. Semakin panjang suatu rantai pemasaran, semakin tinggi harga akhir ditanggung konsumen dibandingkan harga jual pertama dari tangan produsen. Kelebihan ini mencerminkan insentife yang dikehendaki oleh pelaku rantai pemasaran sebagai pengganti dari fungsi pengangkutan, pergudangan, grading dan lain-lain yang mereka keluarkan (Karsyono dan Syafaat dalam Kusrini, 2003).
48
Menurut Kusnadi (2001), pada negara berkembang pekerjaan sebagai nelayan tidak selalu menyenangkan karena rasionalisasi dari hubungan kredit dan pemasaran (proses ekonomi). Keadaan ini disebabkan oleh lima hal, yaitu : 1) kondisi pasar yang bersifat bersaing sempurna, sehingga usaha ini mengarah pada monopoli, 2) hubungan nelayan kecil dengan para trader dalam bentuk kontrak cenderung menguntungkan trader, 3) berkaitan dengan permintaan dan penawaran ikan melalui penjualan ikan oleh nelayan kecil yang diikat dengan bunga yang tinggi sebagai imbalan kredit yang diterimanya dari trader, sehingga trader bebas melakukan proteksi melalui struktur pasar monopsonistik. Adanya kredit tersebut, mengharuskan nelayan untuk menjual hasil tangkapannya kepada trader dengan harga yang relatif rendah, sebagai angsuran pembayaran hutang, 4) tidak adanya organisasi nelayan yang solid, sehingga lebih menguntungkan pedagang dan pabrik pengolahan ikan, 5) adanya hubungan kumulatif antara pemberi kredit dengan penerima kredit dalam pemasaran hasil-hasil perikanan mengikuti mekanisme yang dikembangkan sepanjang waktu. Dengan sikap nelayan yang serba tergantung, maka sumber kredit yang paling penting bagi nelayan adalah pedagang pengumpul. Pedagang tidak hanya memberi kredit dalam bentuk uang tetapi juga dalam bentuk alat produksi dan kebutuhan lainnya dengan jaminan adalah nelayan harus menjual hasil tangkapannya dengan harga yang telah disepakati sebelumnya, yang tentunya relatif rendah dari harga pasar, hal ini mencerminkan semakin lemahnya bargaining position nelayan (Sidik et al. dalam Kusrini, 2003).
49