BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada tinjauan pustaka ini peneliti akan menguraikan tentang prostitusi yang ada selama ini seperti lokasi-lokasi prostitusi dan jenis-jenis prostitusi yang ada, sebelum menjelaskan pengertian dari pekerja seks perempuan, epidemiologi HIV dan AIDS di Indonesia serta pencegahan IMS serta HIV dan AIDS. Selain itu juga diuraikan beberapa landasan teori yang digunakan pada penelitian yang berhubungan dengan perilaku kesehatan. 2.1 Prostitusi Menurut Terence (1999) dalam Lakollo (2009) prostitusi merupakan suatu kondisi dimana perempuan menawarkan jasa untuk melakukan perbuatan seksual sebagai mata pencaharian. Dimana prostitusi juga diartikan sebagai penyerahan jasa seksual yang dilakukan perempuan kepada banyak laki-laki dan dengan imbalan berupa pembayaran dalam bentuk uang. Indonesia memiliki prostitusi seks yang besar dan beragam yang melayani hampir seluruh tingkat ekonomi. Lokasinya tersebar di lebih dari satu daerah. Kebanyakan pekerja seks bermigrasi secara sementara ke lokasi bekerja mereka dan masih memiliki keluarga di kampung halaman. Mereka juga bermigrasi antar tempat prostitusi seks. Ini berarti kemungkinan mereka dapat menularkan HIV ke tempat lain relatif tinggi. Mereka dapat saja tertular, atau menularkannya ke orang lain namun juga membawanya ke kampung halaman mereka juga (Hugo, 2001).
12
13
Dalam prostitusi, PSP (Pekerja Seks Perempuan) digolongkan menjadi 2 kelompok, PSP dengan kegiatan terorganisir dan PSP yang melakukan kegiatan tanpa terorganisasi. PSP yang tidak terorganisir menjaring pelanggan mereka secara langsung. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah PSP yang mangkal di jalanan atau tempat-tempat umum seperti pasar, kuburan atau stasiun, PSP panggilan, dan yang mencari pelanggan secara bebas di hotel, kafe, diskotik dan tempat-tempat sejenis. PSP yang melakukan kegiatan secara terorganisasi bekerja dibawah kontrol perantara seperti mucikari atau mami. Termasuk dalam kategori ini adalah PSP yang mencari pelanggan di lokasi. PSP dalam kategori ini tidak mendapatkan perlindungan dari pelanggan yang tidak bertanggung jawab. Perlindungan diberikan oleh mucikari atau penjaga keamanan di lokasi dimana PSP tersebut bekerja (Widiyanto, 2008). Karakteristik penting dalam prostitusi di Indonesia adalah keragamannya, baik dalam pengertian lokasi tempat kerja PSP, maupun dalam pengertian, kisaran harga untuk mendapatkan jasa layanan PSP tersebut. Keragaman lokasi PSP dijelaskan oleh Hull, Sulistyaningsih dan Jones (1998, 45-46) berdasarkan lokasi tetap transaksi seks berlangsung dan lokasi pertemuan namun lokasi seks dilakukan di tempat lain. Lokasi tetap transaski seks berlangsung seperti kompleks bordil atau lokasi baik yang resmi maupun tidak, selain itu juga ada panti pijat yang dapat menjadi lokasi tetap bertransaksi seks. Tempat bertransaksi seks berdasarkan lokasi pertemuan seperti klub malam, salon, diskotik, bar dan coffe shop hotel tertentu, warung makan atau tempat tinggal dari pekerja seks itu sendiri. Lokasi berdasarkan tempat pertemuan ini hanya menjadi tempat untuk bertemu dan hubungan seks dilakukan di tempat lain.
14
Kinsey (1963) menyebutkan bahwa pelacuran merupakan suatu bentuk tertentu dari hubungan kelamin di luar perkawinan, yaitu berhubungan dengan siapapun secara terbuka dan hampir selalu dengan pembayaran, baik untuk kegiatan seksual lainnya yang memberikan kepuasan pihak pembayar atau pelanggan. Selain itu, Miracle et al. (2003) menyebutkan bahwa prostitusi merupakan pertukaran jasa seksual dengan uang atau harta lainnya. Bagi Kinsey (1963) perbuatan ini dilakukan sebagai mata pencaharian. Surtees (2003) membagi kerja seks menjadi dua macam yaitu kerja seks yang langsung dan pekerja seks tidak langsung. Pekerja seks langsung adalah mereka yang melakukan bentuk kerja seks terbuka, yaitu: 1. Kompleks rumah bordil resmi (lokasi): tempat ini merupakan sekumpulan tempat yang dikelola oleh pemilik dan diawasi. Lokasi ini berbeda dengan rumah bordil yang cenderung bertempat di luar lokasi dan tidak diatur. 2. Kompleks hiburan: tempat ini adalah lokasi di mana layanan seks seringkali tersedia selain bentuk-bentuk hiburan lain. Dalam beberapa kasus, pekerja seks beroperasi secara independen, sementara dalam situasi lain layanan seksual tersedia melalui pihak manajemen tempat tersebut. 3. Wanita jalanan: mereka ini adalah pekerja seks yang menjajakan layanan seks di jalan atau di tempat terbuka seperti di taman, stasiun kereta api, dan sebagainya. 2.1.1 Jenis Prostitusi Menurut Kartono (2001) (dalam Lakollo, 2009) jenis prostitusi dapat dibagi menurut aktivitasnya yaitu terdaftar dan terorganisir, serta yang tidak terdaftar.
15
a. Prostitusi yang terdaftar dan terorganisir. Pelakunya diawasi oleh bagian vice control dari kepolisian, yang dibantu dan bekerjasama dengan Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan. Pada umumnya dilokasi dalam satu daerah tertentu. Penghuninya secara periodik harus memeriksakan diri pada dokter atau petugas kesehatan dan mendapatkan suntikan dan pengobatan sebagai tindakan kesehatan dan keamanan umum. b. Prostitusi yang tidak terdaftar. Termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang melakukan prostitusi secara gelap dan liar, baik secara perorangan maupun kelompok. Perbuatannya tidak terorganisir, tempatnya tidak tentu, bisa disembarang tempat, baik mencari klien sendiri, maupun melalui calo-calo dan panggilan. Mereka tidak mencatatkan diri kepada yang berwajib, sehingga kesehatannya sangat diragukan, karena belum tentu mereka itu mau memeriksakan kesehatannya kepada dokter. Tempat-tempat hiburan malam juga dapat menjadi tempat prostitusi tidak terdaftar. Macam tempat hiburan malam tersebut adalah : 1. Diskotik Adalah gedung hiburan tempat mendengarkan musik (dari piringan hitam) dan berdansa atau menari mengikuti irama musik. Diskotik biasanya mulai dibuka pukul delapan malam sampai dini hari. Di dalam diskotik terdapat beberapa pelayan bir yang juga bertugas menemani tamu untuk minum. Beberapa dari mereka dapat diajak bertransaksi secara seksual. Ada juga wanita yang memang datang hanya untuk mencari klien yang dapat diajak bertransaksi seksual.
16
2. Pub Tempat hiburan khusus untuk mendengarkan musik sambil minum dan dibuka pada waktu malam sampai larut malam menjelang pagi. Biasanya ada grup musik live yang menghibur para tamu. Para wanita pelayan yang juga biasanya mau diajak berbincang bersama para tamu terkadang dapat diajak bertransaksi seksual. 3. Karaoke Tempat hiburan khusus untuk bernyanyi sambil minum. Suasana di dalam tempat karaoke biasanya dibagi di dalam beberapa ruang, ada yang VIP dan standar. Terdapat beberapa wanita yang bertugas memandu tamu bernyanyi di dalam ruang ruang tersebut. Akan tetapi beberapa diantara wanita tersebut juga dapat diajak bertransaksi seksual. 4. Bar Tempat minum yang menjual minuman keras seperti anggur, wiski, dan bir. Di Indonesia, keberadaan bar cukup jarang karena budaya yang menganggap minum minuman keras adalah hal yang tabu. Biasanya bar dijadikan satu dengan pub, karaoke, dan diskotik. 5. Cafe Tempat minum yang pengunjungnya terkadang dapat dihibur dengan musik. Pada saat sekarang ini keberadaan cafe cukup menjamur dimanamana. Biasanya cafe digunakan untuk anak muda nongkrong bersama, bercakap-cakap, atau sekedar minum dan makan ringan. Akan tetapi beberapa cafe menjadi tempat pertemuan bagi kelompok lesbian, gay, dan remaja putri yang mencari klien untuk diajak bertransaksi seksual.
17
2.1.2 Pekerja Seks Perempuan Pekerja seks perempuan bekerja dalam berbagai macam bentuk. Mereka dapat bekerja di lokasi tertentu, bisa menjual seks secara langsung (pekerja seks langsung) atau dapat juga sebagai pekerja seks tidak langsung. PSPTL mendapatkan klien dari jalan atau ketika bekerja di tempat-tempat hiburan seperti kelab malam, panti pijat, diskotik, cafe, tempat karaoke atau bar. Beberapa dari pekerja seks tidak langsung ini adalah PSP yang sudah pernah bekerja di lokasi tetapi keluar dari lokasi kemudian bekerja menjadi PSPTL di tempat-tempat hiburan yang mereka anggap memiliki kelas yang lebih tinggi. Ada juga yang merasa lebih fleksibel dengan bekerja sebagai PSPTL karena tidak diatur ketat oleh mucikari. Bahkan ada juga karena melihat peluang untuk mendapatkan tambahan uang lebih ketika mereka bekerja sebagai pemandu karaoke, pelayan bir, atau pramuria di tempat hiburan malam. Mereka diketahui memiliki tingkat penggunaan kondom yang rendah dan memiliki angka IMS yang lebih tinggi dibandingkan pekerja seks di lokasi (Lakollo, 2009). Menurut Vikrant Sahasrab Uddhe dan Sanjay Sehendale (2008) dalam buku Prostitution and Beyond an Analysis of Sex Work in India (2008) Pekerja seks perempuan adalah pilihan jarang disukai oleh perempuan tetapi ini sering merupakan konsekuensi dari permasalahan sosial, budaya dan ekonomi mereka. Selanjutnya, sifat dari pekerjaan mereka yang seringkali menghindari masyarakat luas dan ini dapat menjauhkan mereka dari akses ke pelayanan kesehatan yang memadai dan dukungan sosial sehingga membuat mereka rentan terhadap beberapa infeksi menular seksual (UNAIDS, 2002).
18
Kesehatan pekerja seks dipengaruhi oleh beberapa faktor sosial dan individu pekerja seks termasuk kemiskinan, buta huruf, pendidikan, stigma, diskriminasi
dan
pemaksaan.
Ini
secara
kumulatif
menyebabkan
ketidakmampuan mereka dalam pencegahan penyakit IMS, karena rendahnya kendali dari mereka terhadap pengambilan keputusan akibat prostitusi seks ini (Chattopadhyay and McKaig 2004). Pekerja seks perempuan merupakan salah satu kelompok berisiko tinggi terinfeksi HIV. PSP sering dicap sebagai reservoir dari penyakit IMS karena perilaku mereka, sangat jelas ada stigma sosial pada pekerja seks ini dan ada bukti ilmiah tentang tingginya infeksi HIV pada kelompok ini. Risiko pekerjaan mereka yang mendapatkan dan kemudian menularkan HIV dititikberatkan karena sedikitnya dukungan masyarakat dan advokasi jauh lebih sedikit untuk masalah yang dihadapi oleh perempuan yang bekerja dalam perdagangan seks ini. Sementara promosi kesehatan dan pencegahan penyakit telah dilakukan yang menargetkan PSP (Jana and Basu 1995; UNAIDS 2000; Dandona et al. 2005b; Misra et al. 2000; Asthana and Oostvogels 1996), setidaknya secara subtansial mengurangi berbagai beban penyakit dalam kelompok berisiko ini dapat tercapai (Shahmanesh and Wayal 2004; Chandrasekaran et al. 2006). Miracle et.al. (2003) juga membagi pekerja seks menjadi tiga kategori utama berdasarkan lokasi dimana mereka melakukan pekerjaannya, yaitu wanita panggilan, pekerja seks di rumah bordil, dan wanita jalanan. Sedangkan berdasarkan penghasilan setiap bulannya, Hull (dalam Surtees, 2003) membagi kelas pekerja seks berdasarkan penghasilan mereka setiap bulannya, yaitu: 1. Kelas Terbawah: Rp 900.000,00 per bulan.
19
2. Kelas Bawah: Rp 2.250.000,00 per bulan. 3. Kelas Menengah: Rp 4.500.000,00 - Rp 6.750.000,00 per bulan. 4. Kelas Atas: Rp 9.000.000,00 – Rp 13.500.000,00 per bulan. 5. Kelas Tertinggi: Rp 27.000.000,00 per bulan. Menurut Jones et.al. (1997), biasanya perempuan yang ingin masuk dalam bisnis kerja seks adalah perempuan yang ”dipaksa” oleh kondisi lingkungan, keadaan rumah tangga yang kandas, adanya kekecewaan karena percintaan yang gagal, atau kurangnya kesempatan kerja di pasar kerja. Adanya kebutuhan yang mendesak untuk mendapatkan penghasilan untuk membiayai diri sendiri, keluarga, dan anak-anak juga merupakan pendorong untuk masuk dalam kerja seks. Selain itu Bachtiar dan Purnomo (2007) menambahkan faktor kemalasan, dan faktor sakit hati akibat perceraian ataupun percintaan yang gagal, sebagai faktor yang turut mendorong perempuan menjadi pekerja seks (Christie dan Poerwandari, 2008).
2.1.3 Pelanggan Pekerja Seks Perempuan Saat ini ada sekitar 95 juta orang tenaga kerja Indonesia, dengan 7 sampai 9 juta pria dianggap sebagai klien potensial pekerja seks. Di Papua, 1,6% dari populasi melaporkan bahwa pengalaman seksual pertama mereka dengan seorang pekerja seks. Sekitar 16% penduduk melakukan hubungan seks dengan pasangan non-reguler pada tahun sebelumnya. Pada IBBS tahun 2007 empat kategori pekerjaan laki-laki dengan perilaku berisiko tinggi yang disurvei: pengemudi truk (di Deli, Serdang dan Batang), pelaut (di Batam, Medan, Semarang dan Surabaya), pekerja dermaga (di Jakarta, Merauke dan
20
Sorong ), dan supir taksi (di Medan, Banyuwangi dan Jayapura). Tiga puluh enam persen pria dalam kelompok risiko tinggi pendudukan dilaporkan pernah melakukan hubungan seks dengan pekerja seks. Di luar Papua, 60% dari pengemudi truk dan pelaut 46% dilaporkan melakukan hubungan seks dengan pekerja seks dalam satu tahun terakhir. Di Tanah Papua, berhubungan seks dengan PSP cukup umum di antara supir taksi (34%) dan pekerja dermaga (43%). Dalam IBBS yang dilakukan terpisah pada petugas militer pada tahun 2007 menemukan bahwa, di antara mereka yang belum menikah, lebih dari 40% dilaporkan menggunakan jasa pekerja seks, dibandingkan dengan 18% di antara duda / pria bercerai dan 4% di antara mereka yang sudah menikah (Sex Work and HIV, 2010).
2.2 Epidemiologi IMS Serta HIV dan AIDS HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis sel darah putih yang disebut sel T-4 atau disebut juga sel CD-4. HIV tergolong dalam kelompok retrovirus yaitu kelompok virus yang mempunyai kemampuan untuk mencetak kembali materi genetik diri di dalam materi genetik sel-sel yang ditumpanginya, melalui proses ini HIV dapat mematikan sel-sel CD-4. AIDS atau Acquired Immuno Deficiensy Syndrome merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus HIV. Kerusakan progresif pada sistem kekebalan tubuh menyebabkan orang dengan HIV dan AIDS rentan dan mudah terjangkit bermacam-macam penyakit. Oleh karena itu
21
penyakit yang menyerang sangat bervariasi, AIDS kurang tepat disebut penyakit, sehingga definisi yang benar adalah sindrom atau kumpulan gejala penyakit. HIV dapat ditularkan melalui beberapa jalur yang memiliki risiko tinggi maupun risiko rendah. Penularan risiko tinggi seperti penularan melalui hubungan seksual tidak menggunakan kondom kepada pengidap HIV dan berganti-ganti pasangan serta penularan melalui penggunaan jarum suntik secara bersamaan, maupun berbagi peralatan yang tidak steril dan sudah tercemar HIV. Penularan tersebut dikatakan risiko tinggi oleh karena berkaitan dengan perilaku seseorang yang membutuhkan waktu lama untuk mengubahnya menjadi perilaku yang lebih sehat. Dalam penelitian ini, pekerja seks baik pekerja seks langsung dan tidak langsung sama-sama dikatakan risiko tinggi penularan HIV karena melakukan perilaku berisiko yaitu melakukan hubungan seksual yang berganti-ganti pasangan dan seringkali tidak menggunakan kondom. Berbeda halnya dengan penularan risiko rendah yang masih bisa dilakukan intervensi untuk mencegah penularan HIV dan AIDS. Penularan risiko rendah seperti penularan HIV dari ibu hamil ke bayinya serta tranfusi darah maupun transplantasi organ. Pencegahan penularan dari ibu hamil ke bayinya dapat di intervensi dengan program pencegahan penularan dari ibu ke anak (prevention mother to child transmission/PMTCT). Sementara transfusi darah dapat dilakukan dengan deteksi awal, sehingga darah yang didonorkan terbebas dari HIV. Sejak pertama kali dilaporkan jumlah kasus AIDS di Indonesia hingga saat ini terus mengalami peningkatan. Kasus AIDS di Indonesia didominasi oleh penularan melalui hubungan heteroseksual disusul oleh penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan digunakan secara bergantian. Berikut tabel kasus AIDS di Indonesia pada 10 provinsi dengan prevalensi kasus AIDS tertinggi.
22
Tabel 2.1 Prevalensi 10 Provinsi dengan Kasus AIDS terbesar di Indonesia Prevalensi No
Provinsi (per 100.000 penduduk)
1
Papua
180.69
2
Jawa Barat
51.46
3
Bali
48.29
4
DKI Jakarta
42.69
5
Kalimantan Barat
25.24
6
Sulawesi Utara
24.54
7
Kepulauan Riau
23.69
8
DI Yogyakarta
18.87
9
Maluku
14.16
10
Sulawesi Selatan
12.27 Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2011
Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Bali mencatat jumlah HIV dan AIDS di Provinsi Bali secara komulatif sebanyak 2779 kasus untuk HIV dan 2443 kasus untuk AIDS. Kasus HIV dan AIDS di Bali juga didominasi oleh penularan melalui heteroseksual disusul pada pengguna jarum suntik. Kasus HIV dan AIDS di Bali tertinggi terdapat di kota Denpasar. Berikut adalah tabel kumulatif kasus HIV dan AIDS di Bali menurut kabupaten.
23
Tabel 2.2 Situasi Temuan Kasus HIV dan AIDS Menurut Kabupaten di Provinsi Bali Kumulatif dari 1987 hingga November 2011 No.
Kabupaten
AIDS
HIV
%
1
Badung
356
394
14.36
2
Bangli
32
41
1.40
3
Buleleleng
507
586
20.93
4
Denpasar
1114
1141
43.18
5
Gianyar
120
279
7.64
6
Jembrana
44
38
1.57
7
Karangasem
65
80
2.78
8
Klungkung
46
46
1.76
9
Tabanan
159
174
6.38
Sumber : KPA Provinsi Bali, 2011 HIV merupakan salah satu jenis IMS, IMS atau Infeksi Menular Seksual adalah infeksi yang penularannya terutama melalui hubungan seksual yang mencakup infeksi yang disertai gejala-gejala klinis maupun asimptomatis. Penyebab IMS ini sangat beragam dan setiap penyebab tersebut akan menimbulkan gejala klinis atau penyakit spesifik yang beragam pula. Penyebab IMS dapat dikelompokkan atas beberapa jenis yaitu : 1. Bakteri (diantaranya N.gonorrhoeae, C.trachomatis, T.pallidum) 2. Virus (diantaranya HPV,HIV, Herpes B virus, Molluscum contagiosum virus) 3. Protozoa (diantaranya Trichomonas vaginalis) 4. Jamur (diantaranya Candida albicans) 5. Ektoparasit (diantaranya Sarcoptes scabiei)
24
Seseorang rang yang terinfeksi IMS memiliki risiko yang lebih besar 5-10 kali terinfeksi HIV dibandingkan dengan seseorang yang tidak terinfeksi IMS. Kulit kelamin atau alat kelamin yang terinfeksi IMS memiliki luka yang dapat menjadi pintu masuk untuk HIV dan orang yang terinfeksi HIV dengan IMS lebih memungkinkan untuk HIV berada dalam cairan kelamin mereka (Da Ros et al, 2008). Beberapa jenis IMS yang paling umum ditemukan di Indonesia adalah Gonore, Klamidia, Sifilis, lis, Herpes genitalis dan Kandiloma Akuminata. kuminata. Berdasarkan data STBP 2011 prevalensi klamidia di kota Denpasar adalah 40% sedangkan untuk Gonore sebesar 17%. Jumlah IMS di kota Denpasar dapat dilihat dari data Dinas Kesehatan Kota Denpasar untuk beberapa jenis IMS dari tahun 2007 sampai 2010 di bawah ini. 2500
2319 1985
2000
1793 1637
1580
1511
Sifilis
1500
GO
1202 1069
HIV
1000
AIDS IMS Lainnya
500 36
95 70
111
192 134
257
172 112
195 14
6
0 2007
2008
2009
2010
Gambar 2.1 Grafik Penemuan Kasus Penyakit Kelamin elamin pada Pelayanan Kesehatan di Kota Denpasar th. 2006 – 2010 Sumber : Dinas Kesehatan Kota Denpasar, 2010
25
Disini dapat dilihat ada yang mengalami peningkatan dan ada juga penurunan. Bila dilihat dari tahun 2006-2009 terjadi peningkatan kasus adalah Sifilis dari 31,36,111 dan 257 kasus pada tahun 2009 sedangkan pada tahun 2010 terjadi penurunan kasus IMS baik syphilis, GO maupun IMS lain, hal ini disebabkan karena adanya banyak layanan yang ada di Kota Denpasar dimana mereka sudah mulai tahu kalau dirinya berisiko sehingga datang kelayanan VCT (Dinkes Kota Denpasar, 2010).
2.3 Pencegahan IMS, HIV dan AIDS Penularan HIV dan IMS masih dapat dicegah melalui berbagai upaya pencegahan seperti konsep ABCDE, yaitu abstinence, be faithfull, condom, don’t
inject, education. Pencegahan abstinence yaitu menunda atau tidak melakukan hubungan seksual, be faithfull adalah saling setia kepada satu pasangan, dan tidak bergonta ganti pasangan. Condom digunakan untuk melindungi diri dari penularan IMS termasuk HIV melalui hubungan seksual yang berganti-ganti pasangan. Pencegahan don’t inject yaitu jangan menggunakan peralatan atau jarum yang tidak steril. Pencegahan dengan edukasi (education) sebagai pencegahan awal berupa pemberian informasi yang benar dan bertanggung jawab. Intervensi yang diberikan kepada kelompok berisiko juga dapat menjadi salah satu upaya pencegahan pada kelompok tersebut. Intervensi diberikan baik oleh penyedia layanan kesehatan seperti Puskesmas, rumah sakit pemerintah maupun swasta atau oleh LSM. Intervensi yang dimaksud adalah beberapa kegiatan yang diberikan kepada kelompok berisiko tinggi seperti pekerja seks dalam upaya perubahan perilaku pada kelompok berisiko tinggi serta untuk peningkatan
26
pengetahuan untuk mendukung perilaku pencegahan penularan IMS dan HIV. Kegiatan dalam intervensi pada kelompok berisiko tinggi seperti pemberian informasi kesehatan berupa penyuluhan baik individu maupun kelompok, pemberian media informasi berupa brosur, leaflet, poster dan lainnya. Intervensi juga dapat berupa distribusi kondom untuk peningkatan pemakaian kondom, pemberian pelayanan kesehatan berupa pemeriksaan berkala seperti pemeriksaan IMS, tes HIV dan VCT dimana pelayanan kesehatan ini juga dapat berbentuk mobile klinik serta pemberian pengobatan untuk IMS atau anti-retroviral (ARV) bagi penderita HIV. KPA Provinsi Bali bersama-sama dengan Dinas Kesehatan, Puskesmas dan LSM menggiatkan program intervensi yang dikenal sebagai intervensi struktural pada kelompok berisiko tinggi salah satunya pada kelompok PSPL. Intervensi dilakukan dalam sebuah kelompok yang dibentuk di lokasi, dikenal dengan sebutan pokja lokasi. Secara umum pokja berfungsi untuk meningkatkan solidaritas mucikari dalam upaya pencegahan HIV dan AIDS di lokasi tempat mereka bekerja. Kegiatan yang dilakukan adalah memfasilitasi penyuluhan oleh PL yayasan dan atau pendidik sebaya/relawan, memfasilitasi pelaksanaan program pelayanan kesehatan skrining dan pengobatan di Puskesmas atau klinik milik yayasan, dan memfasilitasi distribusi kondom (Januraga et al, 2010). Pembentukan pokja lokasi ini juga bagian upaya pencegahan penularan IMS dan HIV pada kelompok berisiko. 2.4 Perilaku Kesehatan Benyamin Bloom (1908) membedakan adanya 3 domain perilaku yaitu yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor, berdasarkan domain ini dalam perkembangan selanjutnya dikembangkan menjadi 3 tingkat ranah perilaku sebagi berikut:
27
a. Pengetahuan (knowledge) Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Waktu penginderaan sampai pengetahuan dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga) dan indera penglihatan (mata). b. Sikap (attitude) Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat atau emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik dan sebagainya). Newcomb, seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu dengan kata lain, fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup. c. Tindakan atau Praktik (practice) Tindakan adalah kecenderungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain, yaitu antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana. Secara teoritis, ada banyak teori yang menjelaskan tentang timbulnya sebuah perilaku kesehatan. Menurut Becker (1979) perilaku sehat adalah perilaku-perilaku atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan, perilaku sehat juga mencakup perilaku dalam mencegah atau menghindar dari penyakit dan penyebab penyakit atau penyebab masalah
28
kesehatan dan perilaku dalam mengupayakan meningkatnya kesehatan. Dalam hal praktik kesehatan atau tindakan untuk melakukan pencegahan untuk hidup sehat adalah semua aktivitas atau kegiatan orang dalam rangka memelihara kesehatannya, praktik kesehatan ini dapat berupa tindakan sehubungan dengan pencegahan penyakit menular dan tidak menular dan praktik tentang mengatasi atau menangani sementara penyakit yang diderita (Notoatmodjo, 2010), dalam hal ini perilaku pencegahan pekerja seks langsung maupun tidak langsung terhadap IMS serta HIV dan AIDS, seperti teori Marthin Fishbein, Teori Alasan Berperilaku (Theory of Reasoned
Action), Teori Lawrence Green dan Teori Kurt Lewin. 2.4.1 Teori Marthin Fishbein Menurut Marthin Fishbein (1963) perilaku merupakan sebuah proses yang didahului oleh kepercayaan atau keyakinan dan sikap yang positif terhadap sebuah perilaku yang akan dilakukan. Kepercayaan dan sikap akan mengakibatkan timbulnya niat untuk melakukan atau yang disebut dengan niat perilaku. Niat perilaku kemudian akan menghasilkan perilaku baru. 2.4.2 Teori Alasan Berperilaku (Theory of Reasoned Action)
Theory Reasoned Action pertama kali dicetuskan oleh Ajzen pada tahun 1980. Teori ini disusun menggunakan asumsi dasar bahwa manusia berperilaku dengan cara yang sadar dan mempertimbangkan segala informasi yang tersedia. Dalam TRA ini, Ajzen (1980) menyatakan bahwa niat seseorang untuk melakukan suatu perilaku menentukan akan dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku tersebut. Niat melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh dua penentu dasar, yang pertama berhubungan dengan sikap (attitude towards behavior) dan yang lain
29
berhubungan dengan pengaruh sosial yaitu norma subjektif (subjective
norms). Dalam upaya mengungkapkan pengaruh sikap dan norma subjektif terhadap niat untuk dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku, Ajzen melengkapi TRA ini dengan keyakinan (beliefs). Dikemukakannya bahwa sikap berasal dari keyakinan terhadap perilaku (behavioral beliefs), sedangkan norma subjektif berasal dari keyakinan normatif (normative
beliefs). Niat ditentukan oleh sikap dan norma subjektif. Komponen sikap merupakan hasil pertimbangan untung rugi dari perilaku tersebut dan pentingnya konsekuensi-konsekuensi bagi individu. Di lain pihak, komponen norma subjektif atau sosial mengacu pada keyakinan seseorang terhadap bagaimana dan apa yang dipikirkan orang-orang yang dianggap penting dan motivasi seseorang mengikuti pikiran tersebut. Jika orang yang dianggap penting (kelompok referensi) menyetujui tindakan tersebut, terdapat kecenderungan positif untuk berperilaku (Maulana, 2009).
Theory of reasoned action merupakan model untuk meramalkan perilaku preventif dan telah digunakan dalam berbagai jenis perilaku sehat yang berlainan, seperti penggunaan substansi tertentu (merokok, alkohol dan narkotik), perilaku makan dan pengaturan makanan, penggunaaan kondom, latihan kebugaran (fitness) dan olahraga (Maulana, 2009).
30
Keyakinan Terhadap Perilaku
Sikap
Niat
Keyakinan Normatif
Perilaku
Norma Subjektif
Gambar 2. 2 Teori Alasan Berperilaku (Theory of Reasoned Action) Sumber : Maulana, 2009 2.4.3 Teori Lawrence Green Notoatmodjo (2010) menyampaikan bahwa faktor yang menentukan atau membentuk perilaku disebut determinan, banyak teori tentang determinan perilaku ini, salah satu teori yang digunakan dalam bidang perilaku kesehatan adalah Teori Lawrence Green. Green membedakan adanya dua determinan masalah kesehatan yakni behavioral factors (faktor perilaku) dan non-behavioral (faktor non-perilaku), selanjutnya Green menganalisis bahwa faktor perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor yaitu: 1. Faktor Predisposisi (predisposing factors) Faktor predisposisi yaitu faktor-faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi dan sebagainya. 2. Faktor Pemungkin (Enabling factors) Faktor pemungkin adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan faktor
31
pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan. Yang termasuk dalam faktor ini adalah : a. Ketersediaan sumber daya kesehatan (sarana kesehatan rumah sakit dan tenaga) b. Keterjangkauan sumber daya dapat dijangkau baik secara fisik ataupun dapat dibayar masyarakat, misalnya jarak sarana kesehatan dengan tempat tinggal, jalan baik, ada angkutan dan upah jasa dapat dijangkau masyarakat c. Ketrampilan tenaga kesehatan 3. Faktor Penguat (reinforcing factors) Merupakan faktor penyerta (yang datang sesudah) perilaku yang memberikan ganjaran, insentif, atau hukuman atas perilaku dan berperan bagi menetap atau lenyapnya perilaku itu, yang termasuk ke dalam faktor ini adalah faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Faktor penguat adalah faktor yang menentukan apakah tindakan kesehatan memperoleh dukungan atau tidak. Sumber penguat tentu saja tergantung pada tujuan dan jenis program. Apakah penguat ini positif ataukah negatif bergantung pada sikap dan perilaku orang lain yang berkaitan, yang sebagian diantaranya lebih kuat daripada yang lain dalam memengaruhi perilaku. Selanjutnya Green dalam Notoatmodjo (2010), menyebutkan tiga faktor utama yang mempengaruhi perilaku ini dirangkum dalam akronim PRECEDE, Predisposing, Enabling, dan Reinforcing Causes in Educational
Diagnosis and Evaluation. Precede ini adalah arahan dalam menganalisis
32
atau diagnosis dan evaluasi perilaku untuk intervensi pendidikan (promosi) kesehatan, precede merupakan fase diagnosis masalah.
Predisposing Factors
Enabling Factors
Behavior
Reinforcing Factors Gambar 2.3 Precede Model (Green, 1990) Sumber : Notoatmodjo (2010) Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.
2.5 Health Belief Model Menurut Gochman (1997), model ini telah menjadi salah satu model yang paling berpengaruh dan secara luas menggunakan pendekatan psikososial untuk menjelaskan hubungan antara perilaku dengan kesehatan (Lakollo, 2009). Dalam Gochman (1997), komponen-komponen dalam Health Belief Model ini antara lain :
33
a. Kerentanan yang dirasakan (Perceived Susceptibility) Hal ini mengacu pada persepsi subyektif seseorang menyangkut risiko dari kondisi kesehatannya. Di dalam kasus penyakit secara medis, dimensi tersebut meliputi penerimaan terhadap hasil diagnosa, perkiraan pribadi terhadap adanya
resusceptibilily (timbul kepekaan kembali), dan susceptibilily (kepekaan) terhadap penyakit secara umum. b. Keseriusan yang dirasa (Perceived Severity/Seriousness) Perasaan mengenai keseriusan terhadap suatu penyakit, meliputi kegiatan evaluasi terhadap konsekuensi klinis dan medis (sebagai contoh, kematian, cacat, dan sakit) dan konsekuensi sosial yang mungkin terjadi (seperti efek pada pekerjaan, kehidupan keluarga, dan hubungan sosial). Banyak ahli yang menggabungkan kedua komponen diatas sebagai ancaman
yang dirasakan (perceived threat). c. Manfaat yang dirasa (Perceived Benefits) Penerimaan susceptibility sesorang terhadap suatu kondisi yang dipercaya dapat menimbulkan
keseriusan
(perceived
threat)
adalah
mendorong
untuk
menghasilkan suatu kekuatan yang mendukung kearah perubahan perilaku. Ini tergantung pada kepercayaan seseorang terhadap efektivitas dari berbagai upaya yang tersedia dalam mengurangi ancaman penyakit, atau keuntungan-keuntungan yang dirasakan (perceived benefit) dalam mengambil upaya-upaya kesehatan tersebut. Ketika seorang memperlihatkan suatu kepercayaan terhadap adanya kepekaan (susceptibility) dan keseriusan (seriousness), sering tidak diharapkan untuk menerima apapun upaya kesehatan yang direkomendasikan kecuali jika upaya tersebut dirasa manjur dan cocok.
34
d. Penghalang yang dirasa (Perceived Barriers) Aspek-aspek negatif yang potensial dalam suatu upaya kesehatan (seperti: ketidakpastian, efek samping), atau penghalang yang dirasakan (seperti: khawatir tidak cocok, tidak senang, gugup), yang mungkin berperan sebagai halangan untuk merekomendasikan suatu perilaku. e. Variabel lain Perbedaan demografis, sosiopsikologi, dan variabel struktural mungkin memberikan
pengaruh
dalam
persepsi
individu
dan
secara
lansung
mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan. Secara rinci, faktor-faktor sosiodemografi, pencapaian dalam bidang pendidikan, dipercaya mempunyai efak secara tidak langsung terhadap perilaku yang akan mempengaruhi persepsi kerentanan, kekerasan, manfaat, dan penghalang. f. Kemampuan Diri (Self-Efficacy) Faktor ini bukan merupakan salah satu komponen HBM, tetapi sangat berkaitan dengan HBM. Faktor ini memberi pengaruh terhadap HBM dalam rangka meningkatkan kekuatan dalam penjelasan. Self Efficacy didefinisikan sebagai suatu estimasi kemampuan seseorang yang akan mendorong ke suatu hasil tertentu (perilaku), adalah serupa dengan konsep HBM dalam manfaat yang dirasakan. Menurut Nutbeam (2006) pada intinya, model ini menyarankan bahwa kemungkinan seseorang mengambil tindakan untuk menyampaikan masalah kesehatannya berdasarkan pada interaksi empat tipe kepercayaan. Model ini memprediski bahwa seseorang akan mengambil tindakan untuk melindungi atau mempromosikan kesehatannya jika : a. Mereka merasakan dirinya rentan terhadap suatu kondisi atau masalah
35
b. Mereka percaya akan adanya kemungkinan terhadap konsekuensi yang serius c. Mereka percaya bahwa keuntungan dalam bertindak akan lebih banyak mengganti kerugian atau rintangan d. Mereka percaya adanya jalan yang tersedia seperti mengurangi kerentanan atau meminimalisasi konsekuensi.
Perceived susceptibility to problem Perceived threat Perceived seriousness of concequencies of problem
Self-Efficacy (perceived ability to carry our recommended action)
Perceived benefits of special action Outcome expectations Perceived barriers to taking action
Gambar 2.4 The Health Belief Model Sumber : Nutbeam, 2006 dalam Nacia (2011)
2.6 Teori Kurt Lewin Kurt Lewin mengungkapkan bahwa perilaku manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatankeuatan penahan (restining forces) (Notoatmodjo, 2010). Kekuatan pendorong akan
36
mendesak ke arah perubahan sebaliknya, yang penting adalah bagaimana mengidentifikasi kedua kelompok tersebut karena untuk mengadakan perubahan dapat memperlemah faktor penghambat, memperkuat faktor pendorong atau kedua aktifitas tersebut dijalankan secara serentak (Kandera, 2004). Sumber faktor penghambat dapat berasal dari: 1. Kultural yang meliputi nilai-nilai kultur budaya 2. Hambatan
sosial
yang
meliputi
hubungan
antar
manusia
saling
ketergantungan antar individu dalam kelompok 3. Hambatan organis sosial : hambatan yang berasal dari pemegang kekuasaan yang mengganggap pembaharuan akan membahayakan organisasi 4. Hambatan psikologikal yaitu hambatan-hambatan yang bersumber dari kejiwaan Faktor pendorong bisa berasal karena adanya aspek keuntungan, keserasian, kemudahan untuk dikerjakan, kemudahan untuk melihat hasil dan kesederhanaannya.
2.7 Penelitian Kualitatif Penelitian kualitatif adalah sejenis penelitian formutif yang secara khusus memberikan teknik untuk memperoleh jawaban atau informasi mendalam tentang pendapat dan perasaan seseorang. Penelitian kualitatif memungkinkan kita mendapatkan hal-hal yang tersirat (insight) mengenai sikap, kepercayaan, motivasi dan perilaku target populasi. Penelitian kualitatif berusaha menjawab pertanyaan “mengapa”. Proses penelitian kualitatif merupakan satu temuan, bukan mengejar bukti. Sifat kualitatif tersebut tidak hanya berlaku pada teknik untuk mendapatkan jawaban saja tetapi juga teknik analisanya. Penelitian kualitatif memberikan
37
informasi yang mendalam sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih besar. Disamping itu melalui penelitian kualitatif khususnya dengan interview perorangan, memungkinkan peneliti mengikat atau menyatukan sekelompok perilaku yang menjadi dasar bagi pengambilan keputusan atau tindakan yang dilakukan masyarakat tertentu (FKM UI, 2000). Menurut Patton (1990) penelitian kualitatif mengacu pada paradigma naturalistik. Secara awam, istilah naturalistik dapat diinterpretasi dengan berbagai cara. Nauralistik dapat berarti berusaha memahami suatu fenomena atau kejadian secara alamiah (peneliti tidak memanipulasi kejadian tersebut), dan mengamati suatu kejadian yang terjadi secara alamiah bukan karena manipulasi peneliti (Utarini, 2007). 2.7.1 Karakteristik Penelitian Kualitatif Menurut WHO (1994) Penelitian kualitatif lebih memungkinkan untuk menangkap realita ganda (multiple realisties), dan mendiskripsikan situasi secara komprehensif dalam konteks yang sesungguhnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti menggunakan cara sampling yang dapat mengoptimalkan kualitas data yang diperoleh (yaitu purposive sampling). Dengan demikian, sampel tidak mewakili dalam hal jumlah responden (kuantitas), namun kualitas atau ciri-ciri responden yang ingin diwakili. Cara pengumpulan data yang digunakan pun pada dasarnya adalah cara-cara yang dipakai oleh manusia ketika berinteraksi dengan manusia lainnya. Penggunaan kuisioner tertutup adalah alat yang artificial untuk menangkap suatu realita, oleh karena realita dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam kategori tertentu dengan pilihan yang terbatas pula. Dengan pengumpulan
38
data kualitatif, peneliti kemudian melakukan analisisdata secara induktif, berdasarkan data-data yang diperoleh. Dengan demikian konsep atau teori yang dihasilkan benar-benar berasal (emerged) dari data yang dihasilkan (grounded theory) bukan dari teori yang dipercaya sebelumnya. Oleh karena interaksi antara peneliti dan yang diteliti menjadi sangat dinamis dalam penelitian kualitatif, seringkali interaksi tersebut mempengaruhi rancangan penelitiannya dan mengharuskan peneliti untuk melakukan perubahanperubahan. Apa yang direncanakan dalam usulan penelitian dapat diubah untuk mengakomodasi temuan-temuan baru di lapangan (proposal bersifat tentative, bukan definit). Fleksibilitas ini justru merupakan kelebihan penelitian kualitatif (emergent design). Oleh karenanya tahapan penelitian kualitatifpun tidak bersifat linier (seperti halnya dalam penelitian kuantitatif), namun bersifat iteratif seperti skema berikut ini (Utarini, 2007).
39
Gambar 2.5 Tahap-tahap tahap Penelitian Kualitatif Sumber : Utarini (2007) 2.7.2 Wawancara Mendalam Dalam penelitian enelitian kualitatif terdapat banyak banyak cara yang dapat dipakai untuk mengumpulkan data, namun yang paling sering digunakan adalah wawancara mendalam, diskusi kelompok terarah dan observasi. Wawancara mendalam atau indepth interview adalah salah satu teknik pengumpulan data penelitian kualitatif, dimana wawancara dilakukan antara seorang responden dengan pewawancara yang terampil, yang ditandai deng dengan penggalian yang mendalam dan menggunakan pertanyaan terbuka (FKM UI, 2000).
40
Wawancara
mendalam
akan
sangat
tepat
digunakan
dalam
pengumpulan data penelitian kualitatif dalam berbagai keadaan. Keadaan tersebut adalah : a. Masalah sensitif Digunakan dalam memperoleh informasi tentang hal-al yang dianggap sensitif karena orang akan merasa malu untuk mengungkapkannya. b. Masalah rumit Menggali informasi tentang masalah yang rumit yang sulit diperoleh bila menggunakan teknik diskusi kelompok terarah, karena informasi yang diperoleh akan sangat bervariasi dan tanggapan yang diberikan mungkin tidak sesuai dengan apa yang telah dilakukan. c. Tekanan kelompok sebaya Bila tekanan kelompok sebaya akan mempengaruhi tanggapan yang diberikan responden, sehingga mengaburkan informasi yang diberikan sehingga teknik wawancara mendalam sangat tepat digunakan. d. Responden terpencar Bila tempat tinggal responden secara geografis sangat berjauhan maka wawancara mendalam sangat dianjurkan untuk dilakukan. e. Status responden Status disini adalah status sosial responden, bila orang-orang yang memiliki status sosial yang berbeda-beda dikumpulkan dalam satu kelompok untuk mendapatkan informasi, maka informasi yang diberikan bisa bukan yang sebenarnya dilakukan dan mereka akan berusaha memberikan informasi yang terlihat sama baiknya dengan orang lain.
41
2.7.3 Validasi Data Penelitian kualitatif karena pengambilan sampelnya secara purposive dan jumlahnya sedikit, maka agar validitas data tetap terjaga perlu dilakukan beberapa strategi. Berikut adalah beberapa cara validasi penelitian kualitatif : a. Triangulasi Triangulasi menurut Supriyanto (2010) adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang mendapatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Supriyanto dalam Nacia, 2011). Triangulasi terhadap data bisa dilakukan dengan teknik pemeriksaan yang menggunakan sumber, metode, penyidik dan teori. Triangulasi dengan sumber dapat dicapai dengan jalan membandingkan data hasil observasi dengan hasil wawancara mendalam, dapat juga dilakukan dengan membandingkan hasil wawancara mendalam subjek penelitian dan hasil wawancara mendalam dengan informan. Pada triangulasi
dengan
metode,
dicapai
melalui
pengecekan
derajat
kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama. Triangulasi dengan teori digunakan sebagai penjelasan banding. b. Member check Lincoln dan Guba (1985) menyatakan member check merupakan umpan balik hasil penelitian kepada responden lain yang serupa dengan subjek penelitian sebagai pembuat realita pada saat proses pengumpulan data masih berlangsung.
42
c. Peer debriefing Peer debriefing adalah mengungkapkan hasil penelitian kepada orang lain (biasanya pakar) dan sudah banyak memiliki pengalaman dalam penelitian kualitatif dan sudah sangat paham terhadap topik yang diteliti. d. Membandingkan dengan literature Membaca berbagai referensi buku serta hasil-hasil penelitian ataupun dokumentasi yang terkait dengan temuan yang diteliti untuk menambah wawasan serta memeriksa data yang diterima sudah benar atau tidak.