BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Surfaktan
Surfaktan, yang merupakan singkatan dari surface-active agent,
didefinisikan sebagai suatu bahan yang mengadsorpsi pada permukaan atau antarmuka (interface) larutan untuk menurunkan tegangan permukaan atau antarmuka sistem. Besarnya penurunan tegangan permukaan atau antarmuka tergantung pada struktur surfaktan, konsentrasi, dan kondisi fisiko-kimia larutan (misalnya pH, konsentrasi garam, suhu, tekanan, dll.). Secara tipikal surfaktan merupakan spesies amphiphatic, artinya bahwa surfaktan tersusun dari komponen hidrofobik, yang disebut dengan “ekor,” dan komponen hidrofilik, yang disebut dengan gugus “kepala” (Gambar 1) sehingga memungkinkan surfaktan untuk berinteraksi baik dengan molekul nonpolar maupun dengan molekul polar (Mehling et al. 2007).
ekor (hidrofobik)
kepala (hidrofilik)
Gambar 1 Diagram skematik dari sebuah molekul surfaktan (Mehling et al. 2007).
Surfaktan sebagai senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface
active agent) yang digunakan sebagai bahan penggumpal, pembasah, pembusaan, emulsifier dan komponen bahan adesif telah diaplikasikan secara luas pada berbagai bidang industri. Kehadiran gugus hidrofobik dan hidrofilik yang berada dalam satu molekul menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antarmuka antara fase yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogen seperti minyak dan air. Pembentukan film pada antarmuka ini menurunkan energi antarmuka dan menghasilkan sifat-sifat khas molekul surfaktan (Rieger 1985). Secara umum surfaktan dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelompok, yaitu kelompok anionik, nonionik, kationik dan amfoterik. Klasifikasi tersebut berdasarkan sifat ionik gugus hidrofilik yang bersifat menarik air. Gugus
8
hidrofilik yang bermuatan negatif disebut anionik, yang bermuatan positif disebut kationik, yang tidak bermuatan disebut nonionik, dan yang bermuatan positif dan negatif disebut amfoterik (Matheson 1996). Swern (1997) membagi surfaktan menjadi empat kelompok sebagai berikut:
1) Surfaktan kationik, merupakan surfaktan yang bagian pangkalnya berupa gugus hidrofilik dengan ion bermuatan positif (kation). Umumnya merupakan garam-garam amonium kuarterner atau amina. 2) Surfaktan anionik, merupakan surfaktan yang gugus hidrofobiknya dengan ion bermuatan negatif (anion). Umumnya berupa garam natrium, akan terionisasi menghasilkan Na+ dan ion surfaktan yang bermuatan negatif. 3) Surfaktan nonionik, merupakan surfaktan yang tidak berdisosiasi dalam air, kelarutannya diperoleh dari sisi polarnya. Surfaktan jenis ini tidak membawa muatan elektron, tetapi mengandung hetero atom yang menyebabkan terjadinya momen dipol. 4) Surfaktan amfoterik, mengandung gugus yang bersifat anionik dan kationik seperti pada asam amino. Sifat surfaktan ini tergantung pada kondisi media dan nilai pH.
Menurut Sadi (1994), surfaktan pada umumnya dapat disintesis dari minyak nabati melalui senyawa antara metil ester dan alkohol lemak. Proses-proses yang diterapkan untuk menghasilkan surfaktan diantaranya, yaitu asetalisasi, etoksilasi, esterifikasi, sulfonasi, sulfatasi, amidasi, sukrolisis, dan saponifikasi. Jenis surfaktan yang dipilih pada proses pembuatan suatu produk tergantung pada kinerja dan karektiristik surfaktan tersebut serta karakteristik produk akhir yang diinginkan. Sifat hidrofilik surfaktan nonionik terjadi karena adanya gugus yang dapat larut dalam air yang tidak berionisasi. Biasanya gugus tersebut adalah gugus hidroksil (R-OH) dan gugus eter (R-O-R’). Daya kelarutan dalam air gugus hidroksil dan eter lebih rendah dibandingkan dengan kelarutan gugus sulfat atau sulfonat. Kelarutan gugus hidroksil atau eter dalam air dapat ditingkatkan dengan penggunaan gugus multihidroksil atau multieter. Beberapa contoh produk multihidroksil (hasil reaksi antara gugus hidrofob dengan produk multihidroksil)
9
antara lain: glikosida, gliserida, glikol ester, gliserol ester, poligliserol ester dan poligliserida, poliglikosida, sorbitol ester dan sukrosa ester (Porter 1991). Flider (2001) menyatakan bahwa surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu :
1. Berbasis minyak-lemak seperti monogliserida, dan poligliserol ester 2. Berbasis karbohidrat seperti alkil poliglikosida, dan n-metil glukamida 3. Ekstrak bahan alami seperti lesitin dan saponin 4. Biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme seperti rhamnolipid dan
sophorolipid.
2.2 Sifat-Sifat Surfaktan
2.2.1 Tegangan Permukaan
Molekul-molekul pada permukaan suatu cairan hanya memiliki molekul- molekul sekelilingnya dari sisi bagian dalam dan dengan demikian mengalami suatu daya tarik yang cenderung menarik mereka ke bagian dalam. Sebagai hasilnya, molekul-molekul melekat lebih kuat dengan yang berhubungan secara langsung dengan mereka di permukaan dan membentuk permukaan "film". Oleh karena itu perlu lebih banyak gaya untuk menggerakkan objek dari permukaan ke udara daripada untuk menggerakkannya dari fase bagian dalam. Tegangan permukaan adalah energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan luas permukaan cairan dalam berbagai unit, biasanya diukur dalam dynes/cm atau mN/m. Gaya dalam dyne/mN diperlukan untuk memecahkan suatu film dengan panjang 1 cm/1 m. Air pada suhu 20oC memiliki tegangan permukaan 72,8 dyne/cm dibandingkan dengan 22,3 untuk etil alkohol dan 465 untuk merkuri (Myers 2006). Energi molekul-molekul dalam antarmuka menentukan tegangan permukaan dari suatu cairan, jadi jika molekul-molekul permukaan diganti dengan solut yang teradsorpsi, maka nilai tegangan permukaan yang terukur akan berubah. Solut- solut tersebut dapat meningkatkan atau menurunkan tegangan permukaan dari suatu antarmuka air-uap. Menariknya, suatu elektrolit hanya dapat meningkatkan sedikit tegangan permukaan; misalnya, larutan natrium hidroksida 10% akan mempunyai nilai tegangan permukaan sekitar 78 mN/m, sedangkan surfaktan
10
dapat menurunkan tegangan permukaan air sebesar 50% atau lebih. Tingkat ketidakseimbangan dari gaya-gaya pada permukaan menentukan nilai tegangan permukaan. Jika fase uap digantikan dengan pelarut nonpolar, seperti oktana, tegangan antarmuka akan tereduksi menjadi 52 mN/m; jika fase uap digantikan dengan pelarut polar seperti 1-oktanol, tegangan antarmuka akan tereduksi hingga serendah 8,5 mN/m (Myers 2006). Surfaktan dapat diserap pada permukaan atau antarmuka dengan bagian hidrofiliknya berorientasi pada fase encer dan bagian hidrofobiknya berorientasi pada uap atau fase yang kurang polar; perubahan sifat molekul-molekul yang menempati permukaan secara signifikan mengurangi tegangan permukaan. Berbagai jenis surfaktan memiliki kemampuan yang berbeda untuk mengurangi tegangan permukaan atau antarmuka karena struktur kimia yang berbeda. Oleh karena itu tegangan permukaan larutan surfaktan merupakan salah satu sifat fisik yang paling umum dari larutan tersebut yang digunakan untuk mengkarakterisasi sifat-sifat surfaktan.
2.2.2 Stabilitas Emulsi
Telah diketahui dengan baik bahwa peran pengemulsi adalah untuk menurunkan tegangan antarmuka antara fase minyak dan air dengan membentuk lapisan antarmuka kohesif secara mekanik disekitar globula fase terdispersi sehingga membantu dalam fragmentasi globula selama emulsifikasi dan mencegah terbentuknya koalesensi (Rousseau 2000). Selama emulsifikasi, stabilitas globula sementara (transient) merupakan hal penting untuk mengurangi koalesensi kembali selama proses, yang pada gilirannya menentukan distribusi ukuran globula akhir. Secara alami, kebanyakan emulsi tidak stabil secara termodinamika; yaitu, emulsi cenderung terpisah menjadi dua fase yang berbeda atau lapisan seiring berjalannya waktu karena luas antarmuka tinggi. Oleh karena itu, karakteristik emulsi (distribusi ukuran globula, ukuran globula rata-rata dan properti-properti lainnya) juga akan berubah dengan waktu. Stabilitas emulsi dicirikan dengan perilaku parameter dasarnya yang tergantung waktu. Stabilitas emulsi ini penting
11 dalam memahami pembentukan emulsi, karena stabilitas adalah tujuan akhir atau
ukuran dari seluruh proses (Fingas & Fieldhouse, 2004). Ada lima mekanisme utama yang dapat berkontribusi terhadap ketidakstabilan emulsi: (1) creaming dan sedimentasi; (2) flokulasi; (3) Oswald ripening; (4) koalesensi; dan (5) inversi fase (Rousseau 2000). Idealnya semua faktor ini perlu diminimalkan atau dicegah untuk menghasilkan suatu emulsi yang stabil. Creaming dan sedimentasi merupakan pemisahan fase karena perbedaan densiti antara dua fase pada pengaruh gravitasi. Flokulasi merupakan agregasi pertikel tanpa kerusakan individualitas emulsi karena gaya tarik menarik yang lemah antara koloid. Flokulasi tergantung pada energi interaksi antara dua partikel sebagai fungsi dari jarak antar partikel. Energy interaksi merupakan gabungan gaya tarik menarik dan gaya tolak menolak. Selama flokulasi, partikel mempertahankan integritas strukturalnya (McClements & Demetriades 1998). Ostwald ripening adalah pertumbuhan globula-globula yang lebih besar dengan mengorbankan globula-globula yang lebih kecil dan berhubungan dengan gradien kelarutan yang terdapat antara globula-globula kecil dan besar (Rousseau 2000). Selama koalesensi, dua globula yang berbenturan akan membentuk satu globula yang lebih besar. Koalesensi bisa sempurna ketika globula adalah cairan atau sebagian jika globula berisi material kristal. Koalesensi sebagian dapat menyebabkan inverse fase, dimana emulsi minyak dalam air (o/w) menjadi emulsi air dalam minyak (w/o).
2.2.3 Hydrophile-Lipophile Balance (HLB)
Parameter HLB merupakan suatu usaha untuk mengkorelasikan secara kuantitatif struktur surfaktan dengan aktivitas permukaannya. Sistem ini menggunakan formula-formula empiris tertentu untuk menghitung bilangan HLB, secara normal harga yang diberikan dalam kisaran skala 0–20. Makin tinggi nilai HLB menunjukkan surfaktan makin hidrofilik, sehingga mereka lebih larut dalam air dan pada umumnya digunakan sebagai bahan pelarut (solubilizing agents) yang baik, deterjen, dan penstabil untuk emulsi O/W; surfaktan dengan nilai HLB rendah memiliki kelarutan dalam air yang rendah, sehingga mereka digunakan sebagai pelarut (solubilizers) air dalam minyak dan penstabil emulsi W/O yang
12
baik (Myers 2006). Pengaruh nilai HLB terhadap kinerja dari surfaktan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Pengaruh nilai HLB terhadap kinerja
Rentang HLB
Dispersivitas dalam air
Aplikasi yang sesuai
1 4
Tidak mampu mendispersi dalam air
3 6
Kemampuan mendispersi kurang baik
6 8
Pengemulsi W/O
Wetting agent
Dispersi seperti susu setelah pengadukan yang sempurna
8 10
Dispersi seperti susu stabil (ujung atasnya hampir transparan)
Wetting agent, pengemulsi O/W
10 13
Transparan hingga dispersi jernih
Pengemulsi O/W
Larutan jernih
Pengemulsi O/W, solubilizing agent
13+ Sumber: Davis (1994)
2.3 Alkil Poliglikosida
2.3.1 Pengembangan Alkil Poliglikosida
Alkil poliglikosida (APG) merupakan suatu generasi baru surfaktan yang sangat efektif yang didapatkan dari karbohidrat (Hill et al. 1997). Surfaktan ini tingkat toksiknya rendah, aman secara ekologi dan terbuat dari bahan-bahan yang dapat diperbarui (Böge & Tietze 1998; El-Sukkary et al. 2008; Rodriguez et al. 2005; von Rybinski & Hill 1998; Ware et al. 2007). Alkil glikosida pertama kali disintesis dan diidentifikasi di laboratorium oleh Emil Fischer lebih dari 100 tahun yang lalu. Penggunaan paten pertama yang menjelaskan pemakaian alkil glikosida dalam deterjen telah diajukan di Jerman sekitar 40 tahun kemudian. Setelah itu banyak peneliti tertarik meneliti tentang alkil glikosida dan telah mengembangkan
proses-proses teknis untuk
memproduksi alkil poliglikosida berdasarkan sintesis Fischer (Hill et al. 1997).
13
Selama pengembangan ini, selain dilakukan penelitian awal Fischer yaitu mereaksikan glukosa dengan alkohol yang bersifat hidrofilik seperti metanol, etanol, gliserol, dan lain-lain, juga diteliti reaksi dengan alkohol yang bersifat hidrofobik dengan rantai alkil dari oktil (C8) hingga heksadecil (C16) yang merupakan sifat dari alkohol lemak. Hasil sintesis yang diperoleh bukan alkil monoglikosida murni, namun campuran kompleks dari alkil mono-, di-, tri, dan oligoglikosida. Karena itu, produknya disebut alkil poliglikosida (von Rybinski & Hill 1998). Produk alkil poliglikosida dapat dicirikan dengan panjang rantai alkil dan derajat polimerisasi (Gambar 2).
R = gugus alkil (fatty) DP = derajat polimerisasi (jumlah rata- rata unit glukosa/rantai alkil (R))
Gambar 2 Rumus struktur dari alkil poliglikosida (von Rybinski & Hill 1998).
2.3.2 Bahan Baku Alkil Poliglikosida
Sumber karbohidrat
Gugus hidrofilik dari molekul APG berasal dari karbohidrat. Baik karbohidrat polimerik dan monomerik cocok sebagai bahan untuk produksi APG. Karbohidrat polimerik meliputi, misalnya, pati (dari jagung, gandum atau sagu) atau sirup glukosa dengan tingkat degradasi rendah, sedangkan karbohidrat monomerik dapat dari berbagai bentuk dimana glukosa tersedia, misalnya glukosa bebas-air, monohidrat glukosa (dekstrosa) atau highly degraded glucose syrup. Pemilihan bahan baku tidak hanya mempengaruhi biaya bahan baku, tetapi juga biaya produksi (Balzer & Lüders 2000; Hill et al. 1997). Pati adalah polisakarida yang tersusun dari unit D-glukosa dan merupakan suatu bahan baku yang potensial dalam sintesis APG, karena pati lebih mudah didperoleh dan harganya relatif murah dibandingkan dengan D-glukosa. Namun, alkoholisis pati menjadi alkil glikosida membutuhkan kondisi yang jauh lebih
14
drastik daripada glikosidasi D-glukosa atau transglikosidasi alkil glikosida sederhana.
Pati Sagu
Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan tanaman penghasil pati yang
sangat potensial di masa yang akan datang. Tanaman sagu banyak tumbuh secara alami di Papua dan Maluku yang dimanfaatkan oleh sebagian besar penduduk sebagai makanan sehari-hari (Limbongan 2007). Pati sagu, selain sebagai bahan pangan juga banyak digunakan sebagai bahan baku pada industri kosmetik, kertas, dan plastik yang mudah diurai. Sampai saat ini sebagian besar sagu dunia dihasilkan dari perkebunan rakyat yang dikerjakan secara tradisional atau dibudidayakan secara semi-liar. Indonesia adalah pemilik areal sagu terbesar, dengan luas areal 1.128 juta ha atau 51,3% dari 2.201 juta ha areal sagu dunia, disusul oleh Papua New Guinea (43,3%) (Timisela 2008). Namun dari segi pemanfaatannya, Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang masing-masing hanya memiliki areal 1,5% dan 0,2% (Abner & Miftahorrahman 2002 dalam Timisela 2008). Diperkirakan 90% areal sagu Indonesia berada di Papua dan Maluku (Lakuy & Limbongan 2003 dalam Limbongan 2007). Areal sagu seluas ini belum di eksploitasi secara maksimal sebagai penghasil tepung sagu untuk bahan kebutuhan lokal (pangan) maupun untuk komoditi ekspor. Sangat rendahnya pemanfaatan areal sagu yang hanya sekitar 0,1% dari total areal sagu nasional disebabkan oleh kurangnya minat masyarakat dalam mengelola sagu, rendahnya kemampuan dalam mengolah tepung sagu menjadi bentuk-bentuk produk lanjutannya, kondisi geografis dimana habitat tanaman sagu umumnya berada pada daerah marginal/rawa-rawa yang sukar dijangkau, serta adanya kecenderungan masyarakat menilai bahwa pangan sagu adalah tidak superior seperti halnya beras dan beberapa komoditas karbohidrat lainnya. Tepung sagu merupakan hasil ekstraksi inti batang sagu (Metroxylon sp.) yang juga hampir seluruh bagiannya mengandung pati. Kandungan pati sagu sekitar 84% sehingga sagu mampu menghasilkan pati kering hingga 25 ton per ha.
15 Menurut Samad (2002), sagu Indonesia memiliki kadar pati yang lebih baik
dibanding Malaysia. Bahkan, beberapa varietas sagu asal Kendari (Sulawesi Tenggara) dan Bukit Tinggi (Sumatera Barat) mampu memproduksi pati lebih dari 300 kilogram per pohon. Produksi sagu saat ini mencapai 200 ribu ton per tahun, Usia tanaman sagu ini sekitar 7 10 tahun untuk bisa dipanen. Namun baru 56% saja yang dimanfaatkan dengan baik. Sagu mempunyai keunggulan antara lain dapat disimpan lebih lama, dapat dipanen dan diolah tanpa mengenal musim, dan jarang terkena hama penyakit (Bujang & Ahmad 2000 dalam Noerdin 2008). Komposisi kandungan pati sagu dan beberapa sumber pati lainnya per 100 g dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi kandungan pati sagu dan beberapa sumber pati lainnya per 100 g
Komponen
Kalori (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Air (g) Fe (g)
Sagu
Jagung
Tapioka
357,0 1,4 0,2 85,9 15,0 1,4
349,0 9,1 4,2 71,7 14,0 2,8
98,0 0,7 0,1 23,7 19,0 0,6
Sumber : www. pustaka bogor.net 2007
Granula pati dapat menyerap air dan mengembang. Pengembangan granula pati bersifat bolak balik sebelum mencapai suhu tertentu. Proses dimana granula pati bersifat tidak kembali ke bentuk awal disebut gelatinisasi. Suhu dimana larutan pati bersifat tidak kembali ke bentuk awal disebut suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi pati berbeda-beda tergantung jenis pati. Kisaran suhu gelatinisasi pati sagu adalah 72 74oC. Kandungan amilosa dan amilopektin dari setiap jenis pati dapat dilihat pada Tabel 3.
16
Tabel 3 Kandungan amilosa dan amilopektin berbagai jenis pati
Sumber Pati
Amilosa (%)
Amilopektin (%)
27 28 17 21 28 17
73 72 83 79 72 83
Sagu Jagung Beras Kentang Gandum Ubikayu
Sumber : Swinkel dalam Herliana (2005).
Alkohol lemak
Alkohol lemak merupakan turunan dari minyak nabati seperti minyak kelapa maupun minyak kelapa sawit yang lebih dikenal sebagai Alkohol lemak alami sedangkan turunan dari petrokimia (parafin) dikenal sebagai Alkohol lemak sintetik (Hill et al. 1997). Alkohol lemak utamanya digunakan sebagai bahan intermediates, di eropa barat hanya 5% yang digunakan secara langsung dan kira-kira 95% dimanfaatkan dalam bentuk turunannya. Pemanfaatan alkohol lemak untuk pembuatan surfaktan kira-kira sebesar 70-75% (Presents 2000). Lebih dari dua per tiga atau sekitar 80% dari jumlah alkohol lemak yang diproduksi digunakan sebagai bahan baku pembuatan surfaktan. Sebagai bahan baku surfaktan alkohol lemak mampu bersaing dengan produk turunan petroleum seperti alkilbenzena. Selain karena surfaktan yang dihasilkan bersifat lebih stabil, juga harganya lebih murah jika dibandingkan dengan surfaktan turunan petroleum. Alkohol mampu mengadisi ikatan C=O (aldehid/keton), gugus OR akan melekat pada karbon dan proton akan melekat pada oksigen. Aldehid dapat bereaksi dengan alkohol membentuk hemiasetal. Sedangkan keton dapat bereaksi dengan alkohol membentuk hemiketal. Mekanisme pembentukan hemiasetal/ hemiketal melibatkan tiga langkah. Pertama oksigen karbonil (C=O) diprotonasi oleh katalis asam, kemudian oksigen alkohol menyatu dengan karbon karbonil, dan proton dilepaskan dari oksigen positif yang dihasilkan (Hart 2003).
17
Alkohol lemak C12 lebih dikenal dengan nama alkohol lauril (dodekanol/dodecy
alcohol) dengan rumus bangun C12H26O, bobot molekul 186,6 mol/g, densitas 0,8309 dan titik didih sekitar 259oC, tidak berwarna dan tidak larut dalam air.
2.3.3 Produksi Alkil Poliglikosida
Setiap proses produksi yang cocok untuk digunakan pada skala industri harus memenuhi beberapa kriteria. Kemampuan untuk menghasilkan produk dengan sifat-sifat kinerja yang cocok dalam kondisi teknis yang ekonomis merupakan hal yang paling penting. Beberapa aspek lainnya adalah meminimalkan reaksi samping, limbah, dan emisi. Teknologi ini harus cukup fleksibel agar memberikan sifat-sifat dan kualitas yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar yang dinamis. Sejauh ini proses produksi industri dari APG adalah berdasarkan pada sintesis Fischer. Pabrik produksi modern yang dibangun atas dasar sintesis Fischer merupakan perwujudan dari teknologi yang bebas emisi dan rendah limbah. Keuntungan lain dari sintesis Fischer adalah bahwa rasio alkil monoglikosida dengan alkil oligoglikosida dapat dikontrol dengan tepat pada rentang yang luas dengan mengatur jumlah glukosa dan alkohol lemak dalam campuran reaksi (von Rybinski & Hill, 1998). Menurut Eskuchen dan Nitsche (1997), proses produksi APG dapat dilakukan melalui dua prosedur yang berbeda, yaitu prosedur pertama berbasis bahan baku pati dan alkohol lemak (pati-alkohol lemak), sedangkan prosedur kedua berbasis bahan baku dekstrosa (gula turunan pati) dan alkohol lemak (dekstrosa-alkohol lemak). Diagram proses pembuatan APG dari masing-masing prosedur disajikan pada Gambar 3. Pada diagram proses tersebut dapat dilihat perbedaan proses sintesis APG antara tahap prosedur pertama dengan kedua. Prosedur pertama, berbasis pati- alkohol lemak melalui proses butanolisis dan transasetalisasi, sedangkan prosedur kedua yang berbasis dekstrosa-alkohol lemak hanya melalui proses asetalisasi sebelum masing-masing prosedur masuk ke proses netralisasi, distilasi, pelarutan dan pemucatan.
18
Pati atau Sirup dekstrosa
Butanolisis
Glukosa anhidrat atau Glukosa monohidrat
Butanol
Alkohol lemak
Alkohol lemak
Transasetalisasi
Butanol dan Air
Netralisasi
Asetalisasi
Air
Distilasi
Alkohol lemak
Air
Pelarutan
Pemucatan
Alkil Poliglikosida
Gambar 3 Diagram alir sintesis alkil poliglikosida berdasarkan sumber karbohidrat berbeda, sintesis langsung dan transasetalisasi (von Rybinski dan Hill, 1998). Alkil poliglikosida mempunyai dua struktur kimia. Rantai hidrokarbon yang
bersifat hidrofobik (lipofilik) dan bagian molekul yang bersifat hidrofilik. Sifat rantai yang hidrofobik disebabkan oleh rantai hidrokarbon tersebut tersusun dari alkohol lemak (dodekanol/tetradodekanol). Sedangkan, bagian molekul yang bersifat hidrofilik dari APG disebabkan bagian tersebut tersusun dari molekul glukosa yang berasal dari pati. Proses produksi APG melalui proses asetalisasi dilakukan dengan mereaksikan glukosa dan alkohol lemak dengan perbandingan tertentu dan dengan katalis asam p-toluena sulfonat (pTSA) untuk menghasilkan alkil poliglikosida. Reaksinya dapat dilihat pada Gambar 4. Kondisi reaksi diatur pada suhu 100 120°C selama 3 4 jam pada tekanan 15 25 mmHg. Setelah itu, campuran
19
bahan dilakukan netralisasi sampai pH 8 10 dengan menggunakan NaOH 50% pada suhu 80°C. Setelah tahap tersebut akan terbentuk APG kasar yang masih bercampur dengan residu (air + alkohol lemak) yang tidak bereaksi sehingga dilakukan pemisahan dengan menggunakan distilasi vakum untuk mengeluarkan residu. Pemisahan alkohol lemak dilakukan pada suhu 160 200°C dan tekanan 15 mmHg. Tahap akhir adalah pemucatan untuk memperoleh APG murni pada suhu 50 100°C kurang lebih selama 2 jam.
dodekanol
glukosa
[katalis asam]
dodesil poliglikosida Gambar 4 Sintesis APG satu tahap (von Rybinski dan Hill, 1998).
Proses sintesis APG dua tahap adalah dengan menggunakan pati (misal pati sagu) atau hasil degradasi pati seperti poliglukosa atau sirup glukosa dan alkohol rantai pendek. Tahapan proses sintesa APG dengan dua tahap meliputi tahap dasar berikut ini:
Reaksi Butanolisis
Reaksi butanolisis merupakan reaksi antara sumber pati dengan menggunakan katalis asam dengan butanol untuk membentuk produk butil glikosida. Reaksi butanolisis ini berlangsung selama 30 menit pada suhu 148oC
20
dan tekanan 5 bar. Wuest et al. (1992) telah melakukan proses butanolisis dengan rasio mol 8 mol air; 8,5 mol butanol; dan 0,036 mol pTSA per satu mol pati. Dengan suhu 140oC selama 30 menit dengan tekanan 5 bar. Penggunaan suhu dan konsentrasi asam yang rendah mengakibatkan penurunan konversi produk butil glikosida yang dihasilkan.
Reaksi Transasetalisasi
Alkil poliglikosida merupakan suatu asetal yang diperoleh dari pati (glukosa) dan alkohol rantai panjang (C8–C22), sehingga proses pengikatan glukosa siklis terhadap alkohol sering disebut reaksi asetalisasi (Wuest et al. 1992). Salah satu proses asetalisasi bisa melalui glikosidasi (pembentukan ikatan glikosida) glukosa dengan menggunakan alkohol berlebih sehingga proses asetalisasi pada sintesis APG sering juga disebut glikosidasi. Produk akhir proses butanolisis (butil glikosida) direaksikan dengan alkohol rantai panjang (C8-C22) dengan katalisator asam yang jumlahnya 25 50% dari berat katalis pertama membentuk alkil poliglikosida. Reaksi transasetalisasi ini berlangsung pada suhu 120oC dan tekanan vakum (-76 cm Hg) selama 120 menit. Pada tahap ini butanol berlebih yang tidak bereaksi dan air dikeluarkan. Reaksi butanolisis dan transasetalisasi dapat dilihat pada Gambar 5.
Netralisasi
Tahapan netralisasi ini bertujuan untuk menghentikan proses asetalisasi/ transasetalisasi dengan menambahkan basa hingga tercapai suasana basa yaitu pH sekitar 8 10. Basa yang dapat digunakan untuk proses netralisasi ini meliputi
alkali metal, aluminium salt selain itu juga dapat dari anion dari basa organik maupun inorganik seperti sodium hidroksida (NaOH), potasium hidroksida, kalsium hidroksida, alumunium hidroksida dan sebagainya (Wuest et al., 1992). Penggunaan larutan NaOH sangat dianjurkan karena NaOH tidak bereaksi dengan alkohol atau produk. Selain proses penambahan akan lebih mudah karena berbentuk larutan dan tidak memerlukan penyaringan untuk menghilangkan garam yang terbentuk (Wuest et al, 1992). Proses netralisasi juga diperlukan
21 butanol [katalis asam] pati butil oligoglikosida (intermediate)
dodekanol [katalis asam]
dodesil poliglikosida Gambar 5 Proses sintesis APG dua tahap (von Rybinski dan Hill, 1998).
karena sakarida akan lebih mudah rusak dalam keadaan asam selama proses destilasi yang menggunakan suhu yang tinggi. Untuk memastikan bahwa kadar glukosa tersisa tidak akan bereaksi menghasilkan produk yang tidak diinginkan pada saat distilasi menggunakan suhu tinggi, maka pada larutan dapat ditambahkan natrium borohidrat (NaBH4) yang dapat mengubah glukosa menjadi sorbitol. Diperlukan 1 g NaBH4 untuk setiap 10 20 g glukosa yang berlebih. Sorbitol lebih tahan terhadap kondisi asam dan suhu tinggi, sehingga diharapkan tidak terjadi perubahan warna selama proses distilasi (McCurry 2000). Luders (2000), mereduksi sisa glukosa menjadi sorbitol dengan menambahkan 0,1% sodium borohidrat dan memisahkan sisa alkohol lemak pada suhu 180 OC, dan hasil yang diperoleh yaitu APG yang memiliki warna yang lebih terang dibandingkan tanpa penambahan sodium borohidrat. Lueders (1991), melakukan penambahan arang aktif 1–10% sebelum dan sesudah
22
proses destilasi dan diperoleh APG yang lebih cerah pada penambahan sebelum proses distilasi.
Distilasi
Tahapan distilasi ini bertujuan untuk menghilangkan alkohol lemak yang tidak bereaksi dari produk APG. Proses distilasi dapat dilakukan pada interval suhu sekitar 140 180oC dengan tekanan vakum tergantung alkohol lemak yang digunakan yaitu semakin panjang rantai maka semakin tinggi suhu dan semakin rendah tekanan yang dibutuhkan. Dalam proses ini diperlukan suhu tinggi dan tekanan rendah untuk dapat menguapkan alkohol lemak yang tidak bereaksi. Pada tahapan distilasi diharapkan dapat menguapkan alkohol lemak secara maksimal untuk memperoleh produk APG dengan kandungan alkohol lemak kurang dari 5% dari berat produk. Kelebihan alkohol lemak akan mengurangi efektivitas kerja dari surfaktan APG. Hasil akhir proses distilasi akan diperoleh APG kasar berbentuk pasta yang berwarna coklat kehitaman. Untuk itu perlu dilakukan pemucatan untuk memperoleh APG yang memiliki penampakan yang lebih baik dan bau yang tidak terlalu menyengat.
Pemucatan
Bahan pemucat (bleaching agents) merupakan suatu bahan yang dapat
memucatkan atau memudarkan warna suatu substrat melalui proses fisika dan kimia. Proses ini melibatkan proses oksidasi, reduksi, atau adsorpsi yang membuat bagian-bagian yang berwarna pada substrat menjadi lebih larut atau diserap sehingga mudah dihilangkan selama proses pemucatan. Pemucatan dapat juga melibatkan proses kimia yang mengubah kemampuan bagian molekul berwarna untuk menyerap cahaya, yaitu dengan mengubah derajat ketidakjenuhan (Kirk & Othmer 1985). Bahan kimia yang berfungsi sebagai pemucat/pemutih disebut bleaching
agents, seperti hidrogen peroksida, ammonium persulfat, azodicarbonamide, CaSO4, TiO2, dll. Dalam penggunaannya, efek pemutihan yang cukup baik hanya diperoleh dengan menggunakan pelarut hidrogen peroksida (H2O2) yang cukup kuat.
23
Salah satu keunggulan hidrogen peroksida dibandingkan dengan oksidator yang lainnya adalah sifatnya yang ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu yang berbahaya. Kekuatan oksidatornya pun dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Dalam industri APG hidrogen peroksida dibutuhkan dengan konsentrasi 30% (Buchanan et al. 1998). Penggunaan hidrogen peroksida biasa dikombinasikan dengan NaOH. Semakin basa, maka laju dekomposisi hidrogen peroksida pun semakin tinggi. Proses pemucatan dilakukan sebagai tahap akhir proses APG yang bertujuan untuk membuat penampakan dan bau yang lebih baik. Proses pemucatan dilakukan dengan menambahkan larutan H2O2 dan MgO ditambah air dan NaOH hingga diperoleh produk dengan pH 8 10 (Hill et al., 1996). Proses pemucatan dilakukan pada suhu 80-90oC.
2.4 Studi Pustaka Sintesis Alkil Poliglikosida
El-Sukkary et al. (2008) telah mensistesis dan mengkarakterisasi APG menggunakan alkohol lemak dan glukosa. Mereka memvariasikan panjang rantai alkil untuk menghasilkan APG, yaitu C8, C9, C10, C12 dan C14. Mereka juga mengamati pengaruh suhu terhadap tegangan permukaan dan tegangan antarmuka. Tegangan permukaan larutan berkurang dengan bertambahnya konsentrasi APG hingga konsentrasi tertentu, diluar konsentrasi tersebut tidak terjadi lagi penurunan tegangan permukaan. Konsentrasi ini disebut critical micelle
concentration (CMC). Peningkatan suhu larutan akan menyebabkan penurunan energi bebas pada batas udara-cairan, sehingga menurunkan harga tegangan permukaan. Hal ini berlaku untuk konsentrasi APG rendah, namun pada konsentrasi APG tinggi pengaruh suhu tidak signifikan. Didapatkan juga bahwa meningkatnya panjang rantai karbon hidrofilik akan menyebabkan peningkatan gaya repulsi karena perbedaan polaritasnya, ini akan menghasilkan penurunan harga tegangan permukaan. Hasil serupa juga terjadi pada tegangan antarmuka, yaitu meningkatnya panjang rantai alkil akan menurunkan harga tegangan antarmuka. Pada umumnya, daya emulsifikasi tergantung pada panjang dan sifat bagian hidrofobik dari surfaktan yang digunakan. Dari data yang diperoleh
24
menunjukkan bahwa bertambahnya panjang rantai alkil, stabilitas dari emulsi yang terbentuk meningkat. Ware et al. (2007) telah memproduksi APG dengan menggunakan glukosa dan alkohol lemak dengan lima pajang rantai berbeda, yaitu C8, C10, C12, C16 dan C18. Mereka juga mempelajari pengaruh panjang rantai alkil APG terhadap karakteristik dasar seperti tegangan permukaan, tegangan antarmuka, daya dispersi sabun, detergensi, pembusaan, dan pembasahan. Alkil poliglikosida yang disiapkan dari oktanol (C8), dekanol (C10), dan dodekanol (C12) larut dalam air dan memperlihatkan sifat-sifat aktif permukaan yang baik sedangkan APG yang disiapkan dari alkohol lemak rantai panjang tidak larut dalam air, sehingga mereka tidak menghitung sifat-sifat aktif permukaannya. Ada hubungan yang signifikan dari sifat-sifat surfaktan dengan panjang rantai alkil. Didapatkan bahwa detergensi, daya emulsifikasi, dan penurunan tegangan permukaan bertambah dengan meningkatnya panjang rantai alkil. Pengaruh penambahan APG pada sabun menunjukkan bahwa APG dapat menggantikan bagian dasar sabun natrium dengan memperbaiki sifat-sifat pembusaan. Böge dan Tietze (1998) menggunakan alkohol lemak (dodekanol, C12) dan glukosa pada skala laboratorium untuk mensintesis APG. Pengaruh konsentrasi dan jenis asam sulfonat, yaitu methanesulfonic acid
(MsOH) dan
trifluoromethane-sulfonic acid (TfOH), yang digunakan sebagai katalis terhadap laju reaksi dan komposisi produk ditentukan dan dikorelasikan dengan konstanta
Taff
*. Didapatkan bahwa laju reaksi yang diamati pada dua tipe katalis
merupakan pengaruh yang utama dari keasamannya. Karena karakter heterogen reaksi plot laju-konsentrasi menghasilkan kurva saturasi. Pengaruh ukuran partikel kristalin glukosa terhadap laju reaksi dan komposisi produk juga diteliti. Corma et al. (1998) telah mendapatkan alkil glukosida rantai panjang dengan transasetalisasi butil glikosida dengan dua rantai alkohol lemak dan juga dengan glikosidasi langsung menggunakan zeolit H-beta sebagai katalis. Alkohol lemak yang digunakan adalah C8 (1-oktanol) dan C12 (1-dodekanol). Pengaruh variabel proses seperti suhu, rasio molar reaktan, dan panjang rantai alkohol lemak juga dikaji. Mereka mendapatkan bahwa laju pengurangan mula-mula butil glukosida sangat kuat dipengaruhi oleh komposisi umpan, dan makin tinggi
25 jumlah butil glukofuranosida meningkatkan laju reaksi dan memperbesar total
konversi dengan reaksi lebih cepat. Corma et al. (1996) juga telah menyiapkan alkil glukosida yang ramah lingkungan dengan glikosidasi Fischer glukosa dan n-butanol menggunakan berbagai zeolit asam sebagai katalis. Baik butil glukofuranosida dan piranosida terbentuk selama reaksi. Mereka mendapatkan bahwa zeolit dengan pori tridireksional besar dengan rasio Si/Al tinggi seperti faujasite dan beta merupakan katalis yang paling sesuai. Pengaruh rasio molar alkohol dan glukosa terhadap selektivitas alkil monosakarida juga dipelajari. Ringkasan sintesis APG secara kimia dapat dilihat pada Tabel 4 dan ringkasan sintesis alkil glukosida rantai pendek (butil glikosida) secara kimia dapat dilihat pada Tabel 5.
4 Ringkasan hasil studi pustaka sintesis APG secara kimia Sumber
Glukosa
Glukosa
Glukosa
Alkohol lemak (C8, C9, C10, C12, dan C14) Alkohol lemak (C8, C10, C12, C16, dan C18) Dodekanol (C12)
Dua tahap: - Butanolisis - Transasetalisasi Dua tahap: - Butanolisis - Transasetalisasi Satu tahap: - Asetalisasi
PTSA PTSA PTSA PTSA - MsOH - TfOH
o T = 105 C; t = 1 jam T = 115 120oC; P = vakum (300 mm Hg) T = 90oC; t = 3 jam T = 115oC; t = 3 jam
T = 110 C (MsOH) dan 90oC (TfOH) P = 20 mbar; t = 4 jam dan 8 jam o
32 dyne/cm (2,97 x 10-4 mol/L) 36,3 dyne/cm (0,3 g/L) -
Satu tahap: - Asetalisasi Zeolit H-beta T = 120oC; t = 4,5 jam - Dua tahap: - Butanolisis Zeolit H-beta T =120oC; t = 4 jam - - transasetalisasi Zeolit H-beta T = 120oC; P = vakum (400 Torr) Tapioka Alkohol lemak C12 Dua tahap: o T = 140-150 C; 28,7 dyne/cm PTSA - Butanolisis t = 30 menit (0,8%) - Transasetalisasi T = 120oC; t = 2 jam; P= PTSA 15 mm Hg gan: PTSA = p-toluene sulfonic acid; MsOH = methanesulfonic acid; TfOH = trifluoromethanesulfonic acid * (tegangan permukaan) yang diperoleh untuk alkohol lemak C12.
Glukosa
Alkohol lemak (C8 dan C12)
El-Sukkary et (2008) Ware et al. (200
Böge & Tietze (1998)
Corma et al. (1998)
Februadi (2011
5 Ringkasan hasil studi pustaka sintesis alkil glukosida rantai pendek (butil glukosida) secara kimia Sumber hidrofilik
Alkohol
Proses
Glukosa
n-butanol
Asetalisasi
Zeolit HY (dengan 8 rasio Si/Al)
T = 110oC t=- N = 1000 rpm
Yield Referens 40 95% *) Chapat et al. (1999)
Glukosa
n-butanol
Asetalisasi
MCM 41 (dengan 5 rasio Si/Al)
T = 120oC t = 4 jam N = 600 rpm
39 61% Climent et al. (1999)
Glukosa
n-butanol
Asetalisasi
Zeolit H-beta (dengan 4 rasio Si/Al)
T = 120oC t = 4 jam N = 600 rpm
48 72% Camblor et al. (1997)
Glukosa
n-butanol
Asetalisasi
- Zeolit HY-100 - Zeolit HY-2 - Zeolit H-ZSM-5 - Zeolit H-beta - Zeolit H-mordenite - MCM-22
T = 110oC t = 4 jam N = 600 rpm
33 52 Corma et al. (1996)
Pati jagung
n-butanol
- H2SO4
T = 165oC t = 40 mnt
versi
Katalis
Kondisi proses
Lueders (1989
28
2.5 Adsorpsi Pada Suatu Permukaan
Ada dua kondisi penting yang harus dipenuhi agar adsorpsi terjadi secara spontan pada suatu antarmuka. Pertama, dua badan fase yang tidak dapat bercampur harus berkontak langsung dengan satu sama lainnya agar terjadi perpindahan. Kedua, satu atau kedua fase harus mengandung lebih dari satu komponen. Proses perpindahan komponen (adsorbat) dari badan larutan ke antarmuka akan berlangsung terus hingga keadaan kesetimbangan adsorpsi dicapai. Dalam sistem cair adsorpsi tergantung pada komposisi larutan dan baik komponen solut maupun solven dalam badan medium berkompetisi dengan satu sama lainnya agar akumulasi berlebih pada daerah antarmuka (Chattoraj dan Birdi 1984). Thermodinamika akumulasi ekses permukaan untuk berbagai tipe fenomena adsorpsi pada antarmuka fluida dijelaskan dengan konsep universal dari “ekses permukaan Gibbs”.
2.5.1 Termodinamika Adsorpsi: Persamaan Gibbs
Dalam publikasi klasiknya Gibbs telah menurunkan persamaan umum untuk adsorpsi pada antarmuka yang kemudian dikenal dengan persamaan adsorpsi Gibbs. Dia telah meninjau suatu kolom cairan yang mengandung dua badan fase dan
yang terpisah dari satu sama lainnya dengan suatu daerah permukaan
(Gambar 6) (Chattoraj dan Birdi 1984). Karena daerah permukaan aktual tidak homogen dan oleh
karena itu sulit untuk didefinisikan, Gibbs telah
menyederhanakan sistem tersebut dengan menganggap suatu kolom cairan ideal dimana dua fase
dan tidak dipisahkan oleh suatu fase antarmuka aktual tetapi
dengan suatu bidang pemisah sembarang (Gambar 7). Bidang ini dipilih sedemikian rupa sehingga komposisi dari kedua fase tidak berubah hingga permukaan pemisah. Penyederhanaan ini memungkinkan Gibbs untuk mendefinisikan besaran- besaran ekses permukaan pada antarmuka. Dengan menggunakan perlakuan thermodinamik dia mampu menurunkan persamaan berikut untuk sistem biner pada temperatur konstan (Adamson dan Gast 1997):
d
d d1
12
2
(1)
29
Gambar 6 Kolom dalam sistem riil (Chattoraj dan Birdi 1984).
Gambar 7 Kolom dalam sistem ideal (Chattoraj dan Birdi 1984).
dimana adalah tegangan permukaan, 1 dan 2 berturut-turut adalah konsentrasi ekses permukaan dari solven dan solut, dan potensial kimia dari solven dan solut. Karena
1 dan
2 masing-masing adalah
1 dan
2 didefinisikan relatif
terhadap permukaan pemisah yang dipilih sembarang, pada dasarnya kemungkinan ini terhadap posisi permukaan sedemikian rupa
0 , sehingga
2
1
d d 2
(2)
Dengan menggunakan asumsi larutan encer ideal, kita dapat menset koefisien aktivitas mendekati satu dan menghubungkan fraksi mol dengan konsentrasi. Persamaan (2) menjadi: 2
1 d RT d ln c2
(3)
dimana c2 adalah konsentrasi solut di dalam fase cair, R adalah tetapan gas, dan T adalah temperatur absolut. Persamaan (3) merupakan bentuk paling sederhana dari persamaan adsorpsi Gibbs yang menghubungkan perubahan tegangan permukaan terhadap akumulasi ekses (konsentrasi) permukaan atau adsorpsi. Bila turunan dalam Pers. (3) adalah negatif maka
2 adalah positif dan ada suatu konsentrasi
(ekses) permukaan dari solut. Jika turunannya adalah positif maka ada suatu
30
kekurangan permukaan dari solut. Jika solut diadsorp secara positif ini akan menghasilkan penurunan tegangan permukaan.
2.5.2 Isoterm Adsorpsi Kesetimbangan
Tujuan suatu isotherm adsorpsi adalah untuk menghubungkan konsentrasi surfaktan dalam badan larutan dan jumlah yang diadsorb pada antarmuka (Eastoe dan Dalton 2000). Sejumlah isotherm adsorpsi yang paling umum digunakan akan dibahas di sini. Untuk sistem komponen tunggal, isotherm yang paling sederhana adalah isotherm Henry (atau isotherm hukum Henry) yang merupakan suatu hubungan linier antara ekses permukaan dan konsentrasi badan surfaktan:
KH C
(4)
dimana
adalah konsentrasi ekses permukaan dari surfaktan, KH adalah konstanta
adsorpsi kesetimbangan Henry, dan C adalah konsentrasi surfaktan dalam badan fase cair. Konstanta adsorpsi kesetimbangan merupakan suatu ukuran empiris dari aktivitas permukaan surfaktan dan karena itu, merupakan parameter kritis dalam setiap isotherm (Eastoe dan Dalton 2000; Chang dan Franses 1995). Isotherm Henry berlaku untuk konsentrasi permukaan rendah dimana interaksi antara spesies pada antarmuka tidak signifikan. Kekurangan dari isotherm ini adalah bahwa tidak ada batasan harga maksimum . Isotherm non-linier yang paling umum digunakan adalah isotherm Langmuir:
KL C 1 KL C
(5)
dimana
adalah konsentrasi permukaan maksimum dan KL adalah konstanta
adsorpsi kesetimbangn Langmuir. Parameter
adalah batas teoritis dari
konsentrasi permukaan yang tipikali tidak dapat dicapai karena batasan (constraint) C, seperti kelarutan atau konsentrasi misel kritis (cmc). Isotherm Langmuir didasarkan pada model tipe-lattis dimana setiap situs adsorpsi pada lattis ekuivalen. Juga, kemungkinan adsorpsi pada situs kosong adalah tidak tergantung dari pemilikan situs-situs yang berdekatan dan tidak ada interaksi atau
31
gaya-gaya intermolekular yang bekerja antara spesies dalam lattis (Eastoe dan Dalton 2000). Titik akhir ini juga merupakan batasan utama dari isotherm Langmuir. Banyak spesies memperlihatkan interaksi intermolekular pada interface, yang mana dapat memasukkan gaya-gaya van der Waals yang relatif lemah, atau interaksi yang lebih kuat karena pengaruh elektrostatik atau ikatan hidrogen. Jadi, laju adsorpsi dan desorpsi dapat dipengaruhi (secara positif atau negatif) dengan meningkatnya coverage permukaan. Isotherm Frumkin dibangun berdasarkan persamaan Langmuir dengan mencoba memperhitungkan interaksi solut-solven pada permukaan non-ideal (Chang dan Franses 1995). Hal ini paling sesuai untuk surfaktan nonionik dan biasanya disajikan dalam bentuk berikut:
C
K F exp (6) A
dimana KF adalah konstanta adsorpsi kesetimbangan Frumkin, dan A merupakan suatu ukuran non-idealitas lapisan permukaan. Parameter A pada dasarnya berfungsi sebagai perkiraan pengaruh atraksi molekular atau tolakan antar molekul-molekul surfaktan pada antarmuka pada konsentrasi permukaan. Jika
A=0, lapisan permukaan dianggap ideal, dan persamaan tereduksi menjadi isotherm Langmuir. Meskipun sebagian besar isoterm paling cocok untuk surfaktan non-ionik, Borwankar dan Wasan memperpanjang isoterm Frumkin untuk memperhitungkan efek dari lapisan ganda listrik untuk surfaktan ionik (Borwankar dan Wasan 1986). Konsentrasi di bawah permukaan (subsurface) dikoreksi untuk efek-efek lapisan ganda listrik menggunakan faktor Boltzmann dan formulasi ini dapat digunakan untuk kedua surfaktan kationik dan anionik. Baru-baru ini, Lin et al. telah menggunakan pendekatan hambatan energi aktivasi untuk memperhitungkan peningkatan interaksi antarmolekul pada cakupan permukaan meningkat (Lin et
al. 1995; Lin et al. 1991; Lin et al. 1997). Energi aktivasi diasumsikan mengikuti ketergantungan hukum power (power law) pada cakupan permukaan (Γ). Kehadiran gaya-gaya kohesif antarmolekul, yang meningkat dengan cakupan permukaan, menurunkan tingkat desorpsi relatif terhadap laju adsorpsi.
32
2.5.3 Persamaan Keadaan Permukaan
Setelah isoterm yang tepat dipilih, persamaan adsorpsi Gibbs dapat digunakan untuk menurunkan persamaan keadaan permukaan yang sesuai untuk sistem tertentu. Tujuan dari persamaan keadaan adalah untuk menghilangkan konsentrasi permukaan (Γ) dari isoterm adsorpsi dan menghubungkan tegangan permukaan secara langsung dengan konsentrasi surfaktan dalam badan larutan (C). Persamaan berikut hanya berlaku untuk larutan encer premisela (C
RT K H C
(7)
dimana dan 0 berturut-turut adalah tegangan permukaan dari larutan dan solven murni. Bentuk-bentuk analog dari persamaan keadaan permukaan untuk isotherm Langmuir masing-masing adalah persamaan Frumkin dan persamaan Szyszkowski (Eastoe dan Dalton 2000; Chang dan Franses 1995): 0
0
RT RT
ln 1
(8)
ln(1 K L C)
(9)
Persamaan keadaan permukaan yang berhubungan dengan isotherm Frumkin adalah (Eastoe dan Dalton 2000; Chang dan Franses 1995):
2
1 ln 1 RT A RT (10) 0 2
Meneliti Pers. (6) dan (10) itu adalah jelas bahwa hubungan antara γ dan C ada, yang melibatkan tiga parameter
, KF, dan A. Namun, karena nonlinearitas
persamaan-persamaan ini, tidak ada penyelesaian analitis untuk γ(C) dapat diturunkan, dan penyelesaian hanya dapat ditentukan secara numerik.
33
2.5.4 Mekanisme Adsorpsi Surfaktan
Ketika suatu permukaan segar (fresh) dari suatu larutan surfaktan terbentuk,
tegangan permukaan kesetimbangan tidak tercapai langsung. Suatu waktu tertentu diperlukan untuk mencapai kesetimbangan antara konsentrasi permukaan dan konsentrasi badan surfaktan (Chang dan Franses 1995). Tegangan permukaan non-kesetimbangan disebut tegangan permukaan dinamik (DST), dan tergantung pada tipe surfaktan dan komposisinya dalam sistem. Mekanisme adsorpsi surfaktan yang larut dari larutan cair dapat terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama meliputi pertukaran komponen antara badan larutan dan lapisan bawah permukaan (subsurface) (terletak langsung dibawah lapisan permukaan, tebalnya beberapa diameter molekul). Tahap kedua memerlukan (entails) transfer komponen antara bawah permukaan dan lapisan permukaan. Pada tahap akhir, komponen menata kembali sendiri pada permukaan hingga keadaan kesetimbangan. Untuk molekul- molekul kecil, penataan ulang umumnya merupakan suatu proses yang cepat dan memiliki sedikit pengaruh terhadap perilaku adsorpsi keseluruhan. Tahap pertama adalah proses perpindahan massa badan larutan (biasanya difusi) dan tahap kedua adalah proses adsorpsi (Chang dan Franses 1995).
2.6 Emulsi
Emulsi adalah campuran dua cairan immiscible, dimana salah satu cairan terdispersi sebagai droplet pada cairan yang lain oleh adanya zat ketiga sebagai penstabil. Pada dasarnya emulsi terdiri dari tiga fase yaitu internal, eksternal dan
interface. Fase internal atau fase dispersi berada dalam bentuk droplet halus sementara fase eksternal atau fase kontinyu membentuk matriks dimana droplet tersuspensi. Agar sistem menjadi stabil dalam jangka waktu yang lama perlu ditambahkan zat ketiga yang aktif pada interface yang disebut emulsifier. Definisi-definisi lain tentang emulsi telah dijelaskan oleh Clayton atau Becher (Shinoda and Friberg, 1986). Secara umum, jenis emulsi dapat digolongkan dalam dua kelompok ”air” dan ”minyak”. Semua air atau fase fase yang larut dalam air diklasifikasikan sebagai air sedangkan yang lain diklasifikasikan sebagai minyak. Jika air terdispersi dalam minyak maka disebut jenis emulsi air-dalam-minyak (W/O),
34
dengan demikian air sebagai fase terdispersi dan minyak sebagai fase kontinyu. Sebaliknya jika minyak terdispersi ke air maka emulsi tersebut merupakan jenis emulsi minyak-dalam-air (O/W). Dibandingkan dengan emulsi minyak-dalam-air, jenis emulsi air-dalam minyak kurang sensitif terhadap pH, tetapi sensitif terhadap panas, peka pada perlakuan elektrik, mempunyai konduktifitas lebih rendah, terwarnai oleh pewarna yang larut dalam minyak, dan dapat diencerkan dengan penambahan minyak murni. Demikian pula kebalikannya berlaku untuk sistem O/W (Holmberg
et al., 2003). Secara sistematis, gambar dibawah
mengilustrasikan jenis emulsi O/W dan W/O.
Surfaktan Air
Gugus lipofilik
Minyak
Minyak
Gugus hidrofilik
emulsi w/o
emulsi o/w
Air
Gambar 8 Gambaran skematik dari emulsi w/o dan o/w yang mengandung gugus hidrofilik dan lipofilik dari surfaktan (Rosen 2004).
Emulsi ganda atau multiple emulsion dibentuk paling sedikit oleh dua fase
immiscible yang dipisahkan oleh paling sedikit dua film surfactant (emulsifier) seperti terlihat pada Gambar 8. Emulsi ganda dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu emulsi O/W/O (minyak-dalam air-dalam minyak) dan W/O/W (air-dalam minyak-dalam air) (Hou and Papadopulos, 1997).
Air
Minyak
Minyak
35
Air
Gambar 9 Skema emulsi ganda W/O/W dan O/W/O (Rosen 2004).
Proses emulsifikasi
Proses emulsifikasi yaitu proses terdispersinya cairan dalam cairan yang dipicu oleh adanya tegangan permukaan. Energi bebas dari pembentukan droplet dari badan cairan (ΔGform) diberikan oleh Schramm (1992).
ΔGform = ΔA γ – T ΔSconf
(11)
dimana ΔA adalah kenaikan luas interfacial, γ adalah tegangan antarmuka antara dua cairan (air dan minyak); ΔA γ adalah energi yang dibutuhkan untuk menaikkan interfacial area ΔA, dan TΔSconf
adalah entropy sebagai akibat
kenaikan konfigurasi entropy ketika sejumlah besar droplet terbentuk. Biasanya ΔA γ>>TΔSconf, oleh karena itu emulsifikasi merupakan proses yang tidak spontan. Walaupun demikian, energi yang dibutuhkan untuk emulsifikasi (untuk membentuk droplet) lebih besar dari ΔA γ. Tambahan energi yang dibutuhkan dinyatakan dengan rumus Young-Laplace yang dinyatakan sebagai persamaan (12) dibawah ini (Schubert and Armbruster, 1992).
(12) ∆ 1⁄ 1⁄ Untuk tetesan berbentuk bola (spherical droplet) dengan diameter x, persamaan
(12) dapat disederhanakan menjadi : (13) ∆ ∆ ⁄
36
dimana Δp adalah perbedaan tekanan Laplace; r1 dan r2 adalah dua jari-jari dari kurva deformasi antarmuka lokal. Adanya surfaktan akan menurunkan energi yang dibutuhkan untuk emulsifikasi, dengan menurunkan atau mengurangi tegangan antarmuka (γ). Pecahnya emulsi merupakan proses destabilisasi emulsi, dimana fase air dan minyak terpisah. Ostwald ripening, flocculation, coalescence, dan sedimentasi adalah beberapa mekanisme pecahnya emulsi, yang dapat terjadi secara berturut- turut atau simultan selama proses pengendapan seperti diilustrasikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Skematik dari proses pemecahan emulsi (Tadros 2005).
37
2.7 Skin lotion
Produk perawatan kulit, kosmetika dan toiletries terus berkembang. Setelah beberapa tahun, dengan pengenalan material baru ditambah dengan kemajuan pada teknologi surfaktan atau emulsi, pengembangan produk dengan fungsi dan daya tarik yang baik terus berkembang (Butler 2000).
Skin lotion termasuk golongan kosmetika pelembab kulit yang terdiri dari berbagai minyak nabati, hewani, maupun sintesis yang dapat berfungsi sebagai lemak buatan pada permukaan kulit. Lemak ini melenturkan lapisan kulit yang kering dan kasar, serta mengurangi penguapan air dari sel kulit, namun tidak dapat mengganti seluruh fungsi dan kegunaan dari kulit. Kosmetika pelembab kulit umumnya berbentuk sediaan cairan minyak atau campuran minyak dalam air yang dapat ditambahi atau dikurangi zat tertentu untuk tujuan khusus (Wasitaatmadja 1997).
Lotion didefinisikan sebagai campuran dua fase yang tidak bercampur, distabilkan dengan sistem emulsi, dan berbentuk cairan yang dapat dituang jika ditempatkan pada suhu ruang (Schmitt 1992). Hand and body lotion umumnya berbentuk emulsi minyak dalam air (O/W), dimana minyak merupakan fase terdispersi (internal) dan air merupakan fase pendispersi (eksternal). Tipe skin
lotion
umumnya terdiri dari 10 15% fase minyak, 5 10% humektan, dan
75 85% fase air. Karekteristik dasarnya mempunyai kemampuan melembabkan kulit dengan segera dan mengurangi kekeringan kulit atau gejala kulit kering (Balsam et al. 1972). Pelembab kulit yang baik harus memenuhi persyaratan mutu yang terdapat di SNI 16-4399-1996 pada Tabel 6.
Tabel 6 Syarat mutu sediaan tabir surya
No.
Kriteria Uji
Satuan
Persyaratan
- -
Homogen 4,5 8,0
g/ml
0,95 1,05
cP
2000 50000
Koloni/gram
Maks 102
1. 2.
Penampakan pH
3.
Bobot jenis, 25 C
4. 5.
o
o
Viskositas, 25 C
Cemaran Mikroba
Sumber: SNI 16-4399-1996
38
Bahan-Bahan Penyusun Skin Lotion
Bahan penyusun skin lotion terdiri dari asam stearat, mineral oil, setil
alkohol, triethanolamin, gliserin, air murni, pengawet, dan pewangi yang disusun berdasarkan persentase berat dalam formulasi (Nussinovitch 1997). Asam stearat (C16H32O2) merupakan asam lemak yang terdiri dari rantai hidrokarbon, diperoleh dari lemak dan minyak yang dapat dimakan, dan berbentuk serbuk berwarna putih. Asam stearat mudah larut dalam kloroform, eter, etanol, dan tidak larut dalam air Semakin besar pemakaian asam stearat, maka warna putih akan semakin berkilau (Barnett 1972). Emulsi yang baik memiliki sifat tidak berubah menjadi lapisan-lapisan, tidak berubah warna, dan tidak berubah konsistensinya selama penyimpanan. Emulsi yang tidak stabil terjadi karena masing-masing fase cenderung bergabung dengan fase sesamanya membentuk suatu agregat yang akhirnya dapat mengakibatkan emulsi pecah (Suryani et al. 2000). Minyak mineral (parafin cair) adalah campuran hidrokarbon cair yang berasal dari minyak tanah. Minyak ini merupakan cairan bening, tidak berwarna, tidak larut dalam alkohol atau air, juga dingin tidak berbau dan tidak berasa namun jika dipanaskan sedikit berbau minyak tanah. Minyak mineral berfungsi sebagai pelarut dan penambah viskositas dalam fase minyak (Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1993). Pada kosmetika, minyak mineral digunakan pada eye shadow, lipstick, lip
gloss, makeup wajah, produk pembersih, krim, dan lotion (Nikitakis 1988 dan Smolinske 1992). Aplikasi selaput tipis dari bahan oklusif seperti minyak atau lilin, membuat kulit terasa lembut dan halus. Bahan-bahan ini, umumnya dikenal dengan emollients, yang seringkali mengurangi TEWL (Transepidermal Water
Loss) yang cenderung meningkatkan kandungan air pada stratum corneum). Perubahan yang cepat pada gejala kulit yang kering dapat dihubungkan dengan kemampuannya untuk mengisi celah pada lapisan tanduk dan glue down
cornecytes yang menonjol (Butler 2000). Setil alkohol (C16H33OH) merupakan butiran yang berwarna putih, berbau khas lemak, rasa tawar, dan melebur pada suhu 45-500C. Setil alkohol larut dalam etanol dan eter, namun tidak larut dalam air. Bahan ini berfungsi sebagai
39 pengemulsi, penstabil, dan pengental (Departemen Kesehatan Republik Indonesia
1993). Setil alkohol adalah alkohol dengan bobot molekul tinggi yang berasal dari minyak dan lemak alami atau diproduksi secara petrokimia. Bahan ini termasuk ke dalam fase minyak pada sediaan kosmetika. Pada formulasi produk, setil alkohol yang digunakan kurang dari 2%. Setil alkohol merupakan lemak putih agak keras yang mengandung gugusan kelompok hidroksil dan digunakan sebagai penstabil emulsi pada produk emulsi seperti cream lotion. Setil alkohol digunakan sebagai emulsifier, agen opasitas, emollient, agen peningkat viskositas, dan penyokong busa pada kosmetika dan farmasi. Tipe alkohol yang menggunakan setil alkohol termasuk produk untuk mata, bedak wangi, kondisioner rambut, lipstick, makeup, krim dan lotion, serta produk pembersih (Nikitakis 1988 dalam Smolinske 1992). Setil alkohol diketahui dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas (alergi) pada pasien dengan kulit statis atau kaki ulcers yaitu 5,4 % dari 116 kasus (Van Ketel dan Wemer 1983 dalam Smolinske 1992). Reaksi hipersensitivitas pada setil alkohol disinyalir berhubungan dengan ketidakmurnian produk (Hannuksela dan Salo 1986 dalam Smolinske 1992). Triethanolamin ((CH2OHCH2)3N) atau TEA merupakan cairan tidak berwarna atau berwarna kuning pucat, jernih, tidak berbau atau hampir tidak berbau, dan higroskopis. Cairan ini dapat larut dalam air dan etanol tetapi sukar larut dalam eter. TEA berfungsi sebagai pengatur pH dan pengemulsi pada fase air dalam sediaan skin lotion (Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1993). TEA merupakan bahan kimia organik yang terdiri dari amina dan alkohol dan berfungsi sebagai penyeimbang pH pada formulasi skin lotion. TEA tergolong dalam basa lemah (Frauenkron et al. 2002). Gliserin atau gliserol mengandung 95-100
% C4H8O2. Menurut
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1993), gliserin merupakan cairan kental, tidak berwarna, berasa manis, dan higroskopis. Terbuat dari bahan-bahan lemak alami tanaman dan hewan. Gliserin dapat digunakan sebagai pelarut maupun zat pelarut. Gliserin diklasifikasikan sebagai humektan, pemlastis, pelarut, dan agen tonik pada produk farmasi. Pada kosmetika, gliserin digunakan sebagai pendenaturasi dan humektan pada berbagai macam produk, seperti
40
kondisioner dan pewarna rambut, produk makeup, pencuci mulut, penyegar napas,
lotion setelah bercukur, krim cukur, krim, lotion¸dan lulur (Smolinske 1992). Bahan
higroskopis
tertentu
yang dikenal
sebagai
humektan,
dapat
menyeimbangkan air pada lapisan tanduk dan menjaganya matriks lemak interseluler. Air ini dapat dating dari air pada formulasi akhir dan lapisan epidermis bagian bawah bukannya dari lingkungan luar (Butler 2000). Air murni merupakan komponen yang paling besar persentasenya dalam pembuatan skin lotion. Air murni hanya mengandung molekul air saja dan dideskripsikan sebagai cairan jernih, tidak berwarna, tidak berasa, memiliki pH 5.0 dan 7.0, dan berfungsi sebagai pelarut (Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1993). Air yang digunakan harus didestilasi atau dihilangkan garam- garamnya dengan ion exchanger. Sisa-sisa besi dan tembaga sangat berbahaya karena mempercepat ketengikan. Karena kandungan minyak tumbuhan yang tinggi, preparat pelembab ini mudah menjadi tengik. Kosmetika pelembab harus dilindungi dari mikroorganisme dan jamur dengan penambahan bahan pengawet (Tranggono dan Latifah 2007). Manfaat air dalam produk kosmetika adalah membantu penyebaran produk dan pencampuran bahan-bahan lainnya dalam larutan kosmetika. Air dapat pula mengembalikan kelembaban kulit, ini merupakan hal yang penting, mengingat air adalah bagian mayoritas dalam sel kulit manusia (Edgar 2008). Metil paraben atau nipagin digunakan sebagai pengawet dalam kosmetika, produk makanan, dan formula farmasi. Metil paraben dapat digunakan sendiri ataupun dengan kombinasi paraben lainnya, atau zat antimikroba lain. Bentuk metil paraben adalah kristal tak berwarna, serbuk kristal putih, dan tidak berbau. Metil paraben merupakan metil ester dari asam p-hidroksibenzoat. Metil paraben mempunyai aktivitas antimikroba pada pH 4-8. Efek pengawetan akan menurun sebanding dengan meningkatnya pH. Metil paraben memiliki keaktifan paling lemah dari seluruh paraben. Aktivitasnya akan meningkat dengan bertambahnya panjang rantai dari alkil. Aktivitas dapat diperbaki dengan mengombinasikan dengan paraben lain. Metil paraben larut dalam etanol, eter, propilen glikol dan metanol, tidak larut dalam paraffin cair dan air, larut dalam air hangat, aktivitas
41
antimikroba dari metil paraben menurun dengan keberadaan surfaktan nonionik seperti polisorbat 80 (Wade dan Weller 1994). Sangat penting untuk menggunakan parfum yang stabil untuk tidak mengiritasi pada kondisi alkali dan tidak mudah teroksidasi atau menguap. Konsentrasi parfum yang digunakan pada produk beragam, tapi apabila konsentrasinya terlalu rendah, akan menyebabkan aromanya tidak nampak. Di sisi lainnya, bila konsentrasi terlalu tinggi, akan menghasilkan bau yang terlalu menyengat dan dapat menyebabkan gumpalan-gumpalan, terutama pada sediaan bedak. Dapat pula menyebabkan iritasi pada kulit. Biasanya konsentrasi parfum kisaran 0,2 dan 1% masih dapat diterima (Singh 2010).
2.8 Analisis Kelayakan Finansial
Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui tingkat kelayakan finansial suatu proyek yaitu dengan menghitung biaya investasi dan biaya produksi (biaya tetap dan biaya variabel), yang kemudian dinilai kelayakan investasinya berdasarkan kriteria kelayakan investasi, yaitu Net Present Value (NPV), Internal
Rate of Return (IRR), Net Benefi-Cost Ratio (net B/C), Break Even Point (BEP), dan Pay Back Period (PBP).
Net Present Value adalah nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan oleh kegiatan investasi. Jika NPV sama dengan nol atau lebih besar dari nol, maka suatu industri dinyatakan layak karena biaya yang dikeluarkan lebih kecil dari pada nilai keuntungan atau hasil yang diperoleh. Sedangkan bila NPV lebih kecil dari nol, suatu industri dinyatakan tidak layak karena biaya yang dikeluarkan lebih besar dari pada nilai keuntungan atau hasil yang diperoleh. Formulasi yang digunakan untuk menghitung NPV adalah sebagai berikut: n
NPV
C tB
t
i
t 1 (1 ) t
dimana:
Bt = benefit bruto pada tahun ke-t (Rp) Ct = biaya bruto pada tahun ke-t (Rp) n = umur ekonomis proyek (tahun) i = tingkat suku bunga (%)
(14)
42
t = tingkat investasi (t = 1, 2, 3, ..., n)
Internal Rate of Return menggambarkan persentase keuntungan yang diperoleh tiap tahun atau merupakan kemampuan proyek dalam mengembalikan bunga bank. Hal ini berarti IRR sama dengan tingkat suku bunga pada waktu NPV 0. Perhitungan besarnya IRR dapat dilakukan dengan cara interpolasi antara tingkat suku bunga pada saat NPV positif dan tingkat suku bunga pada saat NPV negatif. Pada dasarnya IRR suatu proyek yang layak adalah jika discount
rate proyek lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku, dan secara matematis IRR dapat dirumuskan sebagai berikut:
IRR (%) i1
NPV1 NPV1 NPV2
(i2
(15)
i1 )
dimana: NPV1 = nilai NPV yang positif (Rp) NPV2 = nilai NPV yang negatif (Rp)
i1
= tingkat suku bunga pada NPV positif (%)
i2
= tingkat suku bunga pada NPV negatif (%)
Net Benefit-Cost Ratio adalah perbandingan antara manfaat yang diperoleh dari suatu proyek dengan biaya yang harus dikeluarkan (Gittinger, 1986). Proyek dikatakan layak jika net B/C lebih besar dari satu. Jika net B/C sama dengan satu maka proyek tersebut akan mencapai titik impas saja dan jika net B/C kurang dari satu maka proyek tersebut tidak layak.
n
Bt Ct t t 1 (1 i) n Bt Ct t t 1 (1 i)
Net B/C
; untuk Bt
Ct
0
; untuk Bt
Ct
(16)
0
Break Even Point adalah suatu kondisi dimana perusahaan berproduksi pada tingkat produksi tertentu yang menyebabkan pengeluaran (biaya) sama dengan pemasukan (penerimaan) atau laba = 0 atau nilai NPV 0.
Total Biaya Tetap Total Biaya Variabel 1 Total Penerimaan
BEP
43
Pay Back Period adalah waktu yang diperlukan oleh suatu proyek untuk dapat menutup kembali pengeluaran investasi awal yang direpresentasikan dalam horizon waktu. PBP menggambarkan lamanya waktu agar dana yang telah diinvestasikan dapat dikembalikan seluruhnya. Pengembalian modal ini dipandang sebagai kas masuk (Cash in flow). PBB dapat dirumuskan sebagai berikut:
M
PBP
(Bn
1 Cn
1)
1
dimana: Bn
= benefit bruto pada tahun ke-n (Rp)
Cn = biaya bruto pada tahun ke-n (Rp) M
n
= nilai kumulatif Bt
Ct negatif yang terakhir (Rp)
= periode investasi pada saat nilai kumulatif Bt terakhir (tahun).
Ct negatif yang
2.9 Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji sejauh mana perubahan-perubahan unsur dalam aspek ekonomi dan finansial berpengaruh terhadap keputusan yang diambil. Gray et al. (1992) menyatakan bahwa perhitungan kembali perlu dilakukan mengingat asumsi-asumsi yang ada banyak mengandung unsur ketidakpastian tentang apa yang terjadi dimasa yang akan datang. Pada umumnya analisis sensitivitas dilakukan pada kisaran 10 50% dari nilai yang berlaku saat ini. Perubahan-perubahan yang mungkin terjadi berkenaan dengan analisis sensitivitas adalah (1) kenaikan dalam biaya konstruksi akibat perhitungan yang terlalu rendah, yang kemudian ternyata pada saat pelaksanaan proyek biaya meningkat karena harga peralatan, mesin, dan bahan-bahan bangunan meningkat, (2) perubahan harga bahan baku dan produk, dan (3) terjadi pelaksanaan pekerjaan tambahan.