5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pegagan (Centella asiatica) Pegagan (Centella asiatica) merupakan tanaman liar yang banyak tumbuh
di perkebunan, tepi jalan, pematang sawah ataupun di ladang yang agak basah. Tanaman ini berasal dari daerah Asia beriklim tropis dan tersebar di daerah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, India, Republik Rakyat Cina, Jepang, dan Australia kemudian menyebar ke berbagai negara - negara lain. Nama yang biasa dikenal untuk tanaman ini selain pegagan adalah daun kaki kuda. Klasifikasi ilmiah pegagan adalah sebagai berikut : Kingdom
: Tanaman
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Dicotyledone
Ordo
: Umbillales
Famili
: Umbilliferae (Apiaceae)
Genus
: Centella
Spesies
: C. asiatica. Pegagan sejak dahulu digunakan sebagai tanaman obat seperti : obat kulit,
gangguan syaraf dan memperbaiki sirkulasi darah, dan di Jawa Barat dimanfaatkan sebagai lalapan. Tanaman ini mempunyai banyak nama. Masing daerah memberi nama tanaman ini secara berbeda diantaranya : Pegaga (Aceh), daun kaki kuda (Melayu), antanan (Sunda), gagan – gagan, rending (Jawa), taidah atau piduh (Bali), sandanan (Irian) broken copper coin, buabok (Inggris), paardevoet (Belanda), gotu kola (India), dan ji xue cao (China) (Januwati dan Yusron, 2005).
6
Gambar 2.1. Pegagan (Resep herbal, 2011) 2.1.1
Pertumbuhan pegagan Pegagan merupakan tanaman herbal tahunan yang tumbuh menjalar dan
berbunga sepanjang tahun. Tanaman akan tumbuh subur bila tanah dan lingkungannya sesuai sehingga tanaman ini cocok dijadikan penutup tanah. Jenis pegagan yang banyak dijumpai adalah pegagan merah dan pegagan hijau. Pegagan merah dikenal juga dengan antanan kebun atau antanan batu karena banyak ditemukan di daerah bebatuan, kering, dan terbuka. Pegagan merah tumbuh merambat dengan stolon (geragih) dan tidak mempunyai batang, tetapi mempunyai rhizoma (rimpang pendek). Sedangkan pegagan hijau banyak dijumpai di daerah pesawahan dan di sela rumput. Tempat pertumbuhan yang disukai oleh pegagan hijau yaitu tempat agak lembab dan terbuka atau agak ternaungi (Januwati dan Yusron, 2005). Pegagan mengandung berbagai bahan aktif dan yang terpenting adalah triterfenoid safonin. Triterfenoid safonin meliputi asiaticoside, centelloside, madecassoside, dan asam asiatik. Komponen lainnya adalah minyak volatil, flavonoid, tannin, fytosterol, asam amino, dan karbohidrat (Ito et al., 2000).
7
2.1.2
Sifat dan manfaat pegagan Pegagan terasa manis dan secara konvensional memiliki banyak manfaat
seperti : melancarkan peredaran darah, peluruh kencing (diuretika), penurun panas (antipiretika), menghentikan perdarahan (haemostatika), meningkatkan syaraf memori, anti kuman, tonik, antispasma, antiinflamasi, insektisida, antialergi, dan stimulan. Kandungan saponinnya akan menghambat produksi jaringan yang berlebihan pada jaringan bekas luka, manfaat pegagan lainnya yaitu meningkatkan sirkulasi darah pada lengan dan kaki, mencegah varises dan salah urat, meningkatkan daya ingat, mental dan stamina tubuh, serta menurunkan gejala stres dan depresi (Matsuda et al., 2001).
2.2
Usus Halus Usus berfungsi sebagai tempat terjadinya pencernaan terakhir, dengan
bantuan enzim yang dihasilkan oleh usus, pankreas, dan empedu dari hati. Sebagai tempat penyerapan bahan yang diperlukan tubuh, seperti karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin, dan air, selanjutnya dibuang berupa ampas pencernaan. (Suwiti, 2002). Pada dindingnya untuk melaksanakan fungsi absorpsi dan sekresi, usus halus mempunyai bangunan khusus untuk memperluas bidang permukaan mukosanya. Bangunan tersebut terdiri dari tiga bagian : 1. Plika sirkularis yang menjulur ke arah lumen, lipatan ini bersifat permanen. 2. Villi merupakan permukaan selaput lendir menunjukkan penjuluran berbentuk jari. 3. Mikrovilli merupakan penjuluran sitoplasma pada permukaan bebas epitel villi (Lesson, et al., 1995). Usus halus terbagi dalam tiga bagian yaitu duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum terdapat pada bagian paling atas dari usus halus. Pada bagian ini terjadi pencernaan paling aktif dengan proses hidrolisis dari nutrient kasar berupa pati, lemak, dan protein. Penyerapan hasil akhir dari proses ini sebagian besar terjadi di duodenum. Duodenum merupakan tempat sekresi enzim dari pankreas dan getah empedu dari hati. Jejunum dan ileum merupakan kelanjutan dari duodenum. Pada bagian ini proses pencernaan dan penyerapan zat makanan yang
8
belum diselesaikan pada duodenum dilanjutkan sampai tinggal bahan yang tidak dapat dicerna (Yuwanta, 2004). Sel piala dalam mukosa mensekresikan mukus yang pada duodenum sangat tebal dan melindungi permukaan mukosa terhadap bahan asam dari empedu. Mukus tersebut juga berperan dalam menetralkan bahan asam dari empedu dalam duodenum (Yuwanta, 2004). Struktur histologi usus halus terdiri dari tunika mukosa, submukosa, muskularis, dan tunika serosa. Tunika mukosa dibalut oleh epitel permukaan, lamina propria dengan kelenjar, dan lamina muskularis mukosa. Pada tunika mukosa terdapat penjuluran mukosa yang disebut villi dan merupakan cirri khas dari usus halus, sedangkan bagian yang menuju kebawah lamina muskularis mukosa berbentuk kantong disebut kripta. Villi terdiri dari : Enterocytes, sel mangkok (sel Goblet), dan sel neuroendokrin. Kripta terdiri dari sel Goblet, sel peneth, sel kelenjar endokrin, sel batang, dan limfosit intraepitel (Dellmann dan Brown, 1992). 2.2.1
Struktur histologi duodenum Duodenum merupakan bagian yang pertama dari usus halus. Submukosa
duodenum memiliki kelenjar yang disebut “Brunner’s glands”. Pada ruminansia dan anjing bersifat mukus, babi dan kuda bersifat serus sedangkan pada kucing bersifat serus dan mukus (Caceci, 2004). Dinding duodenum terdiri atas empat lapisan yang terdiri dari mukosa, submukosa, muskularis, dan tunika serosa. Ini semua merupakan penerusan dari lapisan yang sama dari lambung dan terus tidak terputus pada usus halus selanjutnya dan usus besar. Tunika mukosa dibalut oleh epitel permukaan, lamina propria, dan lamina muskularis mukosa. Tunika submukosa terdiri dari jaringan ikat yang terletak antara lamina muskularis mukosa dan tunika muskularis. Ujung kelenjar submukosa berbentuk tubuloalveolar, bermuara pada dasar kelenjar mukosa usus. Submukosa hampir dipenuhi dengan kelenjar duodenum yang tubular. Tunika muskularis terdiri dari otot polos yang tersusun atas lapisan sirkuler sebelah dalam dan longitudinal sebelah luar. Kedua lapisan otot tersebut hampir sama tebalnya. Diantara kedua lapis otot terdapat jaringan ikat longgar dan mengandung ganglion
9
pleksus Auerbach. Tunika serosa berupa suatu lapisan jaringan penyambung yang tertutup oleh mesotel (Dellmann dan Brown, 1992). Perbandingan sel mangkok pada duodenum lebih sedikit dibanding Jejunum. Duodenum memiliki plika yang terdapat pada permukaan mukosa dan submukosa yang membentuk lipatan besar sedangkan pada jejuenum membentuk plika yang cenderung tinggi dan tipis dan plika ini tidak ditemukan lagi pada daerah ileum (Farabee, 2003). Villi duodenum lebar dengan puncak yang tumpul, tidak terlalu panjang, dan lebih langsing (Caceci, 2004). Tinggi villi pada hewan sangat bervariasi tergantung proses pencernaan yang dilakukan pada daerah tersebut, umur, dan jenis hewannya. Fungsi dari villi adalah untuk memperluas permukaan penyerapan, sedangkan mekanisme penyerapan dilakukan oleh sel penyerap, resorpsi lemak ditampung dalam pembuluh limfe, dan sisanya dalam pembuluh darah (Budiarta dan Sudarmadi, 2003; Dellmann dan Brown, 1992). Duodenum, Jejunum, dan ileum sangat sulit dibedakan, tetapi sebagai pedoman bahwa duodenum memiliki kelenjar duodenum. Kelenjar duodenum (kelenjar brunner) ini terdapat dalam submukosa dan kadang dapat sedikit menjorok ke dalam tunika propria. Kelenjar brunner terdiri atas sel kubis tinggi dengan inti gelap, gepeng, terletak di basal sel, dan sitoplasmanya jernih bervakuola (Lesson et al., 1995). Kelenjarnya tergolong tubuloalveolar bercabang dengan epitel kelenjar yang mengandung warna agak cerah dibandingkan dengan kelenjar liberkhun. Kelenjar usus (kelenjar liberkuhn) terdapat pada tunika propria, bentuknya tubulus sederhana. Epitel kelenjar ini silindris rendah dan mikrovilli tidak jelas. Sel mangkok bentuknya lebih kecil dan langsing tetapi jumlahnya tidak sebanyak yang dimiliki usus besar. Lamina propria berbentuk jaringan ikat longgar yang merupakan pusat dari villi dan mengelilingi kelenjar usus, terdiri dari serabut kolagen dan elastik dalam jalinan serabut retikuler. Di dalam jalinan tersebut terdapat pembuluh darah, pembuluh limfe, leukosit, fibrosit, otot polos, sel plasma, dan sel mast (Dellmann dan Brown, 1992).
10
1
3
2
4
5
Gambar 2.2. Struktur Histologi Duodenum (Eweka, 2007) Keterangan : 1. Villi duodenum 2. Kelenjar Brunner 4. Tunika submukosa 3. Lamina propria 5. Tunika muskularis 2.2.2
Struktur histologi jejunum Jejunum memiliki lapisan yang lengkap terdiri dari tunika mukosa, tunika
submukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa. Tunika mukosa jejunum dibalut oleh epitel kolumner simpleks yang disisipi oleh sel mangkok (Dellman dan Brown, 1992). Perbandingan sel mangkok pada jejunum lebih banyak dibanding duodenum, dengan susunan utama permukaan mukosa dan submukosa adanya plika yang cenderung tinggi dan tipis berbeda dengan duodenum yang plikanya membentuk lipatan besar sedangkan pada ileum plika mulai tidak ditemukan lagi (Farabee, 2003). Jejunum memiliki villi runcing dan kecil (Budiarta dan Sudarmadi, 2003).
11
1
2
3 4
5
Gambar 2.3. Struktur Histologi Jejunum (Eweka, 2007) Keterangan : 1. Villi duodenum 4. Tunika submukosa 2. Nodulus limfatikus 5. Tunika muskularis 3. Lamina propria Lamina muskularis mukosa, terdapat penonjolan otot polos sampai lamina epitel atau villi. Tunika submukosa tersusun atas jaringan ikat longgar terletak antara lamina muskularis mukosa dan tunika muskularis internal (sirkular). Terdapat kumpulan nodulus limfatikus (peyer patches) tetapi umumnya dianngap lebih khas pada ileum. Tunika muskularis dan tunika serosa strukturnya mirip dengan usus halus (Dellman dan Brown, 1992). 2.2.3
Struktur histologi ileum Struktur histologi ileum terdiri dari : 1. Tunika mukosa yang tersusun oleh
villi, epitel permukaan dan lamina propria. 2. Tunika submukosa. 3. Tunika muskularis dan tunika serosa (Budiarta dan Sudarmadi, 2003). Epitel permukaan lumen usus dibungkus oleh epitel silindris sebaris yang disisipi sel mangkok. Jumlah sel mangkok pada ujung villi makin berkurang (Dellmann dan Brown,
12
1992). Ileum memperlihatkan susunan utama permukaan mukosanya yaitu adanya plika bersamaan dengan villi.
1 2
3
4
5
Gambar 2.4. Struktur Histologi Ileum (Ross, 2003) Keterangan : 1. Villi ileum 4. Tunika submukosa 2. Nodulus limfatikus 5. Tunika muskularis 3. Lamina propria Pada tunika mukosa ileum lebih banyak ditemukan sel goblet (sel mangkok) yang menyisip diantara sel epitelnya. Ileum memiliki jumlah sel mangkok paling banyak dibandingkan dengan duodenum dan jejunum. Pada submukosa ileum tidak ditemukan glandula atau kelenjar tetapi banyak ditemukan peyer patches (Farabee, 2003). Ileum mempunyai jumlah nodulus limfatikus (peyer patches) yang banyak pada submukosa. Bentuk villi pada ileum adalah seperti jari.
13
2.3
Salmonella typhi
2.3.1
Antigen dan Virulensi Salmonella sp. Salmonella sp. merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang yang
termasuk dalam familia Enterobacteriaceae, genus Salmonellae. Salmonella sp. bersifat motil dan patogenik dengan karakteristik pertumbuhan menghasilkan fermentasi glukosa, mereduksi nitrat menjadi nitrit, negatif oksidase, positif katalase, tidak membentuk spora, dan fakultatif aerobik. Salmonella sp. merupakan kuman bentuk batang, tidak berspora, ukuran 1-3,5 um, besar koloni rata-rata 2-4 mm, serta memiliki flagel peritrikh kecuali Salmonella pullorum dan Salmnonella gallinarum. Biasanya bakteri dikultur pada medium selektif seperti Salmonella-Shigella Agar untuk memisahkannya dari bakteri enterik lain (Sunarno, 2007). Salmonella sp. memiliki tiga antigen utama yaitu somatik, permukaan, dan antigen flagella. Antigen somatik yang dikenal dengan nama antigen O merupakan antigen yang berasal dari dinding sel, stabil terhadap panas dan alkohol. Antigen permukaan biasanya ditemukan pada kapsul sel. Kapsul ini menutupi antigen O, sehingga tidak dapat diaglutinasi menggunakan antisera O. Salah satu antigen permukaan yang spesifik adalah antigen Vi, yang berperan untuk mencegah dektruksi intraseluler. Antigen flagella (H Ag) merupakan protein yang tidak stabil terhadap panas. Antigen ini didapatkan dalam dua fase utama yaitu fase 1 (fase spesifik) dan fase 2 (fase non spesifik). Antigen ini sering dipakai sebagai karakteristik tipe antigen Salmonella (Kenneth, 2005). Salmonella typhimurium dapat menyebabkan penyakit sistemik pada binatang yang menyerupai typhoid pada manusia sehiggga lazim dipakai untuk meneliti patogenesis penyakit tersebut. Meskipun demikian, Salmonella typhi dan paratyphi sebagai agen penyebab typhoid mempunyai antigen Vi yang tidak dipunyai oleh Salmonella typhimurium. Antigen Vi ini mampu mereduksi pengeluaran IL-8 yang berperan untuk menginduksi PMN (neutrofil). Oleh karena itu, pada awal infeksi Salmonela typhimurium, sel radang yang mendominasi adalah serbukan sel PMN, sedangkan pada infeksi Salmonela typhi dan paratyphi didominasi oleh serbukan sel mononuclear (Sunarno, 2007).
14
Salmonella sp. dapat bertahan hidup dalam makrofag yang memfagositnya dan mampu melakukan multiplikasi di dalam fagosom yang tidak berfusi. Hambatan fusi fago-lisosom berhubungan dengan peningkatan survival intrasel dan virulensi bakteri, di mana Salmonella sp. merespon lingkungan intrasel dengan meregulasi ekspresi protein tertentu. Salmonella sp. juga bersifat toksik terhadap makrofag. Sitotoksisitasnya ditandai dengan makropinositosis pada makrofag yang terinfeksi diikuti dengan kematian sel. Gambaran apoptosis berupa kondensasi dan fragmentasi kromatin, pembengkakan membran dan munculnya nukleosom sitoplastik (Sunarno, 2007). Salmonella juga mempunyai kemampuan bermultiplikasi dalam parenkim sel non fagosit, seperti hepatosit dan epitel intestinal. Di dalam sel, mikroba ini tinggal
dalam
vakuola
yang
berikatan
dengan
membran.
Hal
ini
memungkinkannya terlindungi dari makrofag dan respon humoral. Tetapi, antigen bakteri yang mencapai sitoplasma akan didegradasi dan menghasilkan fragmen peptida yang berikatan dengan MHC I untuk dipresentasikan ke CD8 (Sunarno, 2007). 2.3.2
Patogenesis Salmonella typhi pada usus halus Salmonella typhi patogenik mempunyai urutan gen invasif, menghasilkan
protein yang disekresi oleh bagian khusus untuk menghancurkan epitel. Salmonella typhi yang terbawa melalui makanan ataupun benda lainnya akan memasuki saluran cerna. Salmonella typhi memasuki usus halus dengan cara invasi ke jaringan usus dan bertahan di dalam sel usus. Salmonella typhi dapat merusak permukaan penghubung yang menyatukan sel epitel dan melakukan penetrasi pada barrier epitel melalui radang interselluler (Sunarno, 2007). Salmonella typhi yang masuk ke dalam saluran pencernaan akan menembus epitel illeosekal dan bermultiplikasi dalam folikel limfoid intestinal, kemudian mengikuti aliran limfe memasuki sirkulasi darah menuju organ RES terutama hepar dan limpa serta organ lain sehingga akan menyebabkan perubahan histopatologik organ-organ tersebut. Kemungkinan kedua adalah bakteri mencapai sirkulasi karena terbawa makrofag yang terinfeksi (Sunarno, 2007).
15
2.3.3
Kejadian Salmonellosis Penyakit ini tersebar luas di seluruh dunia. Kejadiannya paling banyak
terjadi di Amerika Utara dan Eropa karena sistem pelaporannya sangat baik. Di Amerika serikat dilaporkan kejadian Salmonellosis mendekati 40.000 kasus setiap tahun. Karena kebanyakan kasusnya bersifat ringan ada kemungkinan kasusnya lebih tinggi dari yang dilaporkan. Pada musim panas angka kejadiannya lebih tinggi dari musim dingin. Wabah yang pernah terjadi di AS menyebabkan 25.000 orang jatuh sakit disebabkan oleh suplai air minum perkotaan yang tidak diklorinasi. Wabah tunggal terbesar yang pernah terjadi disebabkan oleh susu yang tidak dipasteurisasi menyebabkan 285.000 orang jatuh sakit (DFBMD, 2008). Di Semarang, riwayat terkena demam tifoid pada responden penjual es keliling sebesar 15,1% dan kejadian pada keluarga serumah sebesar 13,2%, serta prevalensi karier S. typhi dan S. paratyphi mencapai 2,3% (Supali, 2002). Sejumlah besar hewan peliharaan dan hewan liar bertindak sebagai reservoir, termasuk unggas, babi, hewan ternak, tikus, dan hewan peliharaan seperti iguana, tortoise, kura-kura, ayam, anjing, dan kucing. Manusia juga dapat bersifat sebagai pembawa penyakit, khususnya pada proses penyembuhan penyakit atau pada kejadian infeksi dengan tanpa disertai gejala klinis. Namun demikian kejadian pembawa penyakit lebih tinggi pada hewan atau unggas dibandingkan dengan pada manusia (Santander et al., 2003).