BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka dan Kerangka Berpikir 1. Hakikat Novel Hakikat novel adalah cerita (narration) yang di dalamnya dan pencerita, masalah yang diceritakan, di mana, kapan, dan dalam suasana apa masalah yang diceritakan itu terjadi, siapa saja pelaku ceritanya, dan bagaimana cerita itu disusun. Jadi, di sana ada manusia (tokoh) yang sedang berhadapan dengan sesuatu (tema), pada saat dan tempat tertentu (latar), dan bagaimana rangkaian peristiwa itu terjadi (alur). Itulah sebabnya, novel dianggap paling dekat mewakili kehidupan manusia (Mahayana, 2015: 91). Novel menurut Mufidati, Mujiyanto, dan Anindyarini (2014: 414) merupakan karya kreatif yang menampilkan berbagai macam peristiwa kehidupan yang dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Menurut Stanton (2012: 90) novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetil. Bagi seorang novelis menurut Setiyoningsih (2015: 6) novel tidak hanya sebagai alat hiburan saja, tetapi juga sebagai bentuk seni yang mempelajari dan meneliti segi kehidupan dan nilai-nilai moral. a. Pengertian Novel Secara etimologi, kata “novel” berasal dari “novellus” yang berarti baru. Jadi, sebenarnya memang novel adalah bentuk karya sastra cerita fiksi yang paling baru. Dikatakan baru karena dibandingkan dengan jenisjenis karya sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, jenis novel ini muncul kemudian (Tarigan, 1985: 164). Menurut Waluyo (2011: 5), tadinya novel merupakan bentuk catatan harian seorang pembantu rumah tangga. Kemudian berkembang dan menjadi bentuk prosa fiksi yang kita kenal seperti saat ini (menggantikan pengertian roman di samping bentuknya yang utama).
8
9
Novel menurut Nurgiyantoro merupakan bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan dalam perkembangannya yang kemudian, novel dianggap bersinonim dengan fiksi (2005: 9). Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 9) sebutan novel dalam bahasa Inggris inilah yang kemudian masuk ke Indonesia yang berasal dari bahasa Itali novella (yang dalam bahasa Jerman novella). Secara harfiah, novella berarti „sebuah barang baru yang kecil‟, dan kemudian diartikan sebagai „cerita pendek dalam bentuk prosa‟. Istilah novel menurut Prihatmi (dalam Pujiharto, 2012: 8) adalah “gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata dari zaman pada saat novel itu ditulis…”. Menurut Semi (1993: 32) dalam istilah novel tercakup pengertian roman, sebab roman hanyalah istilah novel untuk zaman sebelum perang dunia kedua di Indonesia. Digunakannya istilah roman waktu itu adalah wajar karena sastrawan Indonesia waktu itu pada umumnya berorientasi ke Negeri Belanda, yang lazim menamakan bentuk ini dengan roman. Di antara para ahli teori sastra, memang ada yang membedakan antara novel dengan roman, dengan mengatakan bahwa novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang, dan pemusatan kehidupan yang tegas. Istilah roman kemudian dikatakan sebagai menggambarkan kronik kehidupan yang lebih luas yang biasanya melukiskan peristiwa dari masa kanak-kanak sampai dewasa dan meninggal dunia. Novel mampu menyampaikan permasalahan yang kompleks secara penuh, mengkreasikan sebuah dunia yang “jadi” (Nurgiyantoro, 2005: 11). Wellek dan Warren (dalam Nurgiyantoro, 2005: 15) menyatakan bahwa novel bersifat realistis. Novel berkembang dari bentuk-bentuk naratif nonfiksi, misalnya surat, biografi, kronik, atau sejarah. Jadi, novel berkembang dari dokumen-dokumen, dan secara stilistik menekankan pentingnya detil dan bersifat mimesis. Novel lebih mengacu pada realitas yang lebih tinggi dan psikologi lebih mendalam. Shipley (dalam Pujiharto, 2012: 8) novel adalah karya fiksional yang mengenalkan tokoh-tokoh
10
(tentang yang memiliki nasib yang kita seharusnya buat untuk peduli) di dalam hubungan yang goyah yang dikomplikasikan lebih jauh hingga bergerak dari kegoyahan yang direpresentasikan. Dilihat dari jenisnya, Nurgiyantoro (2005: 18) mengklasifikasikan novel ke dalam dua bentuk yaitu novel serius dan novel populer. Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Sebab jika demikian halnya, novel populer akan menjadi berat, dan berubah menjadi novel serius. Oleh karena itu, novel populer pada umumnya bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi. Novel serius di pihak lain justru harus sanggup memberikan yang serba berkemungkinan, dan itulah sebenarnya makna sastra yang sastra. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa novel adalah suatu cerita rekaan yang dapat menggambarkan kehidupan manusia dari segala sisi kehidupan.
b. Struktur Novel 1) Unsur Intrinsik Sebuah
novel
merupakan
sebuah
totalitas,
suatu
kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur, yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan. Jika novel dikatakan sebagai sebuah totalitas, unsur kata, bahasa, misalnya, merupakan salah satu bagian dari totalitas itu, salah satu unsur pembangun cerita itu, salah satu subsistem organisme itu. Kata inilah yang menyebabkan novel juga sastra pada umumya menjadi berwujud (Nurgiyantoro, 2005: 22 – 23). Pembagian unsur yang dimaksud adalah unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
11
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita (Nurgiyantoro, 2005: 23). a) Tema Untuk menentukan makna pokok sebuah novel, kita perlu memiliki kejelasan pengertian tentang makna pokok, atau tema, itu sendiri. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaanperbedaan (Hartoko dan Rahmanto dalam Nurgiyantoro, 2005: 68). Menurut Waluyo (2011: 7) tema adalah gagasan pokok dalam cerita fiksi. Tema cerita mungkin dapat diketahui oleh pembaca melalui judul atau petunjuk setelah judul, namun yang banyak ialah melalui proses pembacaan karya sastra yang mungkin perlu dilakukan beberapa kali, karena belum cukup dilakukan dengan sekali baca. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tema adalah arti cerita; tema adalah arti penyiaran cerita; tema mungkin menjadi arti penemuan cerita. Dengan demikian Kenney (dalam Pujiharto, 2012: 76) menyimpulkan bahwa tema berarti implikasi yang perlu dari cerita keseluruhan bukan bagian yang terpisah dari cerita. Tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Bagian awal dan akhir cerita menjadi pas, sesuai, dan memuaskan berkat keberadaan tema. Tema menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2005: 25) adalah suatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius, dan sebagainya. Dalam hal tertentu sering tema dapat disinonimkan dengan ide tujuan utama cerita.
12
Tema cerita dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu : (1) tema yang bersifat fisik, (2) tema organik, (3) tema sosial, (4) tema egoik (reaksi pribadi), (5) tema divine (Ketuhanan). Tema yang bersifat fisik menyangkut inti cerita yang bersangkut paut dengan kebutuhan fisik manusia, misalnya tentang cinta, perjuangan mencari nafkah, hubungan perdagangan, dan sebagainya. Tema yang bersifat organik atau moral menyangkut soal hubungan antar manusia, misalnya penipuan, masalah keluarga, masalah politik, ekonomi, adat, tatacara, dan sebagainya. Tema yang bersifat sosial berkaitan dengan masalah kemasyarakatan. Tema egoik atau reaksi individual, berkaitan dengan protes pribadi kepada ketidakadilan, kekuasaan yang berlebihan, dan pertentangan individu, sedangkan tema devine (Ketuhanan) menyangkut renungan yang religius hubungan manusia dengan Sang Khalik (Waluyo, 2011: 8). Dengan demikian, tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel.
b) Alur atau Plot Setiap karya fiksi pasti menyajikan cerita. Cerita itu terdiri atas peristiwa-peristiwa. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak semata-mata dijajarkan begitu saja, tetapi memiliki hubungan kausalitas antara satu dengan lainnya. Hal inilah yang biasanya disebut dengan alur (Pujiharto, 2012: 32) Alur atau plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain (Nurgiyantoro, 2005: 110). Menurutnya, kejelasan plot adalah suatu kejelasan cerita, dan kesederhanaan plot berarti kemudahan cerita untuk dimengerti. Sebaliknya, plot sebuah karya fiksi yang ruwet, kompleks, dan sulit dikenali hubungan kausalitas antarperistiwanya, menyebabkan cerita menjadi lebih sulit dipahami.
13
Plot menurut Lukman Ali (dalam Waluyo, 2011: 9) merupakan sambung sinambungnya cerita berdasarkan hubungan sebab akibat dan menjelaskan mengapa sesuatu terjadi, sedangkan menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2005: 113) plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Seorang ahli lain yaitu Kenny, menyatakan bahwa plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwaperistiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat (dalam Nurgiyantoro, 2005: 113). Peristiwa-peristiwa cerita (dan atau plot) dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku, dan sikap tokoh-tokoh (utama) cerita. Bahkan, pada umumnya peristiwa yang ditampilkan dalam cerita tak lain dari perbuatan dan tingkah laku para tokoh, baik bersifat verbal maupun fisik, baik yang bersifat fisik maupun batin. Plot merupakan cerminan atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, berasa, dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan (Nurgiyantoro, 2005: 114). Menurut Scott (dalam Waluyo, 2011: 9) plot merupakan prinsip esensial dalam cerita. Ia menyatakan plot sebagai external action. Menurut Semi (1993: 44) pada umunya alur cerita rekaan terdiri dari: (1) alur buka, yaitu situasi mulai terbentang sebagai suatu kondisi permulaan yang akan dilanjutkan dengan kondisi berikutnya; (2) alur tengah, yaitu kondisi mulai bergerak ke arah kondisi yang mulai memuncak; (3) alur puncak, yaitu kondisi mencapai titik puncak sebagai klimaks peristiwa; dan (4) alur tutup, yaitu kondisi memuncak sebelumnya mulai menampakkan pemecahan atau penyelesaian.
14
c) Tokoh dan Penokohan Istilah „tokoh‟ biasa dipergunakan untuk menunjuk pada pelaku cerita. Tokoh merujuk pada individu-individu yang muncul di dalam cerita. Namun, kata character yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi kata „tokoh‟ dengan pengertian seperti terurai di atas, juga memiliki arti „watak, karakter, sifat.‟ (Pujiharto, 2012: 43 – 44). Tokoh cerita menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Penggunaan istilah “karakter” (character) sendiri dalam berbagai literatur bahasa Inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut (Stanton dalam Nurgiyantoro, 2005: 165).
Menurut
Nurgiyantoro,
istilah
“penokohan”
lebih
luas
pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (2005: 166 – 167). Seperti telah diuraikan di atas, kata „tokoh‟ memiliki arti yang berbeda dengan „watak‟. Namun, karena keduanya saling berkaitan antara yang satu dengan lainnya, pembahasan terhadap keduanya disatukan. Bertolak dari argumen tersebut, pembahasan tentang penokohan juga tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang perwatakan. Penokohan adalah cara pengarang dalam melukiskan tokoh,
sedangkan
perwatakan
adalah
cara
pengarang
dalam
menggambarkan watak dan kepribadian tokoh (Pujiharto, 2012: 44).
15
d) Latar atau Setting Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam
Nurgiyantoro,
2005:
216).
Nurgiyantoro
(2005:
217)
menjelaskan bahwa latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Menurut Stanton (2012: 35) latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dalam karya fiksi tidak terbatas pada penempatan lokasi-lokasi tertentu, atau sesuatu yang bersifat fisik saja, melainkan juga yang berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan. Latar sebuah fiksi kadang-kadang menawarkan berbagai kemungkinan yang justru dapat lebih menjangkau di luar makna cerita itu sendiri (Nurgiyantoro, 2005: 220). Latar adalah elemen fiksi yang menyatakan pada pembaca di mana dan kapan terjadinya peristiwa (Pujiharto, 2012: 47). Bila dijabarkan secara lebih detail, menurut Kenney (dalam Pujiharto, 2012: 48) latar bisa mengacu pada (1) lokasi geografis yang sesungguhnya, termasuk topografi, pemandangan, bahkan detail-detail interior ruang; (2) pekerjaan dan cara-cara hidup tokoh sehari-hari; (3) waktu terjadinya tindakan atau peristiwa, termasuk periode historis, musim, tahun, dan sebagainya; dan (4) lingkungan religius, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh-tokohnya. Setting menurut Waluyo (2011: 23) adalah tempat kejadian cerita. Tempat kejadian cerita dapat berkaitan dengan aspek fisik, aspek sosiologis, dan aspek psikis. Namun, setting juga dapat dikaitkan
16
dengan tempat dan waktu. Fungsi setting menurut Waluyo (2011: 23) adalah untuk: (1) mempertegas watak pelaku; (2) memberikan tekanan pada tema cerita; (3) memperjelas tema yang disampaikan; (4) metafora bagi situasi psikis pelaku; (5) sebagai pemberi atmosfir; dan (6) memperkuat posisi plot.
e) Sudut Pandang Pengarang (Point of View) Point of view menurut Waluyo (2011: 25) dinyatakan sebagai sudut pandang pengarang, yaitu teknik yang digunakan oleh pengarang untuk berperan dalam cerita itu. Hal ini diperkuat dengan pendapat Pujiharto (2012: 66) bahwa dalam menentukan posisinya itu, pengarang harus memilihnya dengan hati-hati agar cerita yang diutarakannya menimbulkan efek yang tepat. Pengarang dapat menyampaikan ceritanya dari sisi dalam atau dari sisi luar. Pertama cerita disampaikan oleh salah satu tokoh di dalam cerita, sedangkan yang kedua cerita disampaikan oleh orang ketiga. Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan tentang siapa yang menceritakan, atau dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat. Stevick menjelaskan bahwa sudut pandang mempunyai
hubungan
psikologis
dengan
pembaca.
Pembaca
membutuhkan persepsi yang jelas tentang sudut pandang cerita (dalam Nurgiyantoro, 2005: 251). Sudut pandang menurut Lubbock (dalam Nurgiyantoro, 2005: 251) merupakan sarana terjadinya koherensi dan kejelasan penyajian cerita. Bahkan oleh Schorer (dalam Nurgiyantoro 2005: 251), sudut pandang tak hanya dianggap cara pembatasan dramatik saja, melainkan secara lebih khusus sebagai penyajian definisi tematik. Menurut Shipley (dalam Waluyo 2011: 25) ada dua jenis point of view, yaitu internal point of view dan external point of view. Internal point of view ada empat macam, yaitu: (1) tokoh yang bercerita; (2) pencerita menjadi salah seorang pelaku; (3) sudut pandang akuan; dan
17
(4) pencerita sebagai tokoh sampinngan dan bukan tokoh hero. Sementara untuk gaya eksternal, dikemukakan ada dua jenis, yaitu: (1) gaya diaan; dan (2) penampilan gagasan dari luar tokoh-tokohnya. f) Amanat Pengertian amanat menurut Dewi (2015: 20) berbeda dengan tema, untuk membedakan amanat dan tema dapat dinyatakan bahwa tema bersifat sangat objektif, lugas, dan khusus, sedangkan amanat bersifat subjektif, kias, dan umum. Setiap pembaca dapat berbeda-beda menafsirkan makna karya itu bagi dirinya dan semuanya cenderung dibenarkan. Amanat terdapat pada sebuah karya sastra secara implisit ataupun secara eksplisit. Implisit jika jalan keluar atau ajaran moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang akhir cerita dan eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, larangan, dan sebagainya. (Sudjiman, 1988: 57 – 58). 2) Unsur Ekstrinsik Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Atau secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya (Nurgiyantoro, 2005: 23).
2. Hakikat Pendekatan Psikologi Sastra a. Pengertian Psikologi Gerungan menjelaskan arti psikologi, yaitu berasal dari kata psyche yang dalam bahasa Yunani berarti “jiwa” dan kata logos yang dapat diterjemahkan dengan kata „ilmu”. Dengan demikian, istilah ilmu jiwa merupakan terjemahan harfiah dari istilah psikologi (2004: 1). Ilmu jiwa merupakan istilah dalam bahasa Indonesia sehari-hari dan dipahami setiap orang sehingga kita pun menggunakannya dalam arti yang luas karena
18
masyarakat telah memahaminya. Arti kata psikologi sendiri merupakan suatu istilah ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah sehingga kita menggunakannya untuk merujuk kepada pengetahuan ilmu jiwa yang bercorak ilmiah tertentu. Menurut Syah (2014: 7), psikologi yang dalam istilah lama disebut ilmu jiwa itu berasal dari kata bahasa Inggris psychology. Kata psychology merupakan dua akar kata yang bersumber dari bahasa Greek (Yunani), yaitu: 1) psyche yang berarti jiwa; 2) logos yang berarti ilmu.Jad secara harfiah psikologi memang berarti ilmu jiwa. Definisi psikologi menurut Chaplin (dalam Syah, 2014: 9) dalam Dictionary of Psychology yaitu: …the science of human and animal behavior, the study of the organism in all its variety and complexity as it responds to the flux and flow of the physical and social events which make up the environment. (Psikologi ialah ilmu pengetahuan mengenai perilaku manusia dan hewan, juga penyelidikan terhadap organisme dalam segala ragam dan kerumitannya ketika mereaksi arus dan perubahan alam sekitar dan peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang mengubah lingkungan). Menurut Rohmah, psikologi bukan hanya diartikan sebagai ilmu yang mempelajari sesuatu yang abstrak/tidak bisa dilihat, melainkan psikologi adalah ilmu yang ingin mempelajari manusia sebagai satu kesatuan antara jasmani dan rohani (2012: 1). Menurut Knight dan Knight (dalam Khodijah, 2014: 3) psikologi dapat didefinisikan sebagai studi sistematis tentang pengalaman dan perilaku manusia dan hewan, normal, dan abnormal, individu dan sosial. Dalam definisi ini dijelaskan bahwa perilaku yang dipelajari tidak hanya dibatasi pada perilaku manusia, melainkan juga meliputi perilaku hewan. Dalam perkembangannya, menurut Chaer (2009: 2 – 3) psikologi telah terbagi menjadi beberapa aliran sesuai dengan paham filsafat yang dianut. Karena itulah dikenal adanya psikologi yang mentalistik, behavioristik, dan kognifistik. Psikologi yang mentalistik melahirkan aliran yang disebut psikologi kesadaran. Tujuan dari psikologi kesadaran ini adalah mencoba mengkaji proses-proses akal manusia dengan cara mengintrospeksi atau mengkaji diri. Psikologi ini merupakan suatu proses
19
akal dengan cara melihat ke dalam diri sendiri setelah suatu rangsangan terjadi. Psikologi yang behavioristik melahirkan aliran yang disebut psikologi perilaku. Tujuan utama dari psikologi perilaku ini adalah mencoba mengkaji perilaku manusia yang berupa reaksi apabila suatu rangsangan terjadi, dan selanjutnya bagaimana mengawasi dan mengontrol perilaku itu. Aliran psikologi yang terakhir adalah psikologi yang kognifistik dan lazim disebut psikologi kognitif. Psikologi kognitif mencoba mengkaji proses-proses kognitif manusia secara ilmiah. Aliran psikologi yang lain diungkapkan oleh Sagala (2010: 117) bahwa,
ada
beberapa
aliran
psikologi
misalnya,
strukturalisme,
asosiasionisme, fungsionalisme, behaviorisme, psikologi dalam, psikologi personalistik, dan sebagainya. Semua aliran-aliran ini yang mempengaruhi cabang-cabang psikologi karena aliran itu terutama bergerak dalam bidang pemikiran dan pandangan. Adapun cabang-cabang psikologi misalnya psikologi umum, psikologi perkembangan, psikologi pendidikan, psikologi kepribadian, psikologi industri, psikologi sosial, dan sebagainya. Adanya cabang-cabang psikologi ini memberi gambaran ini memberi gambaran bahwa ada perbedaan-perbedaan lapangan yang dipelajari. Cakupan psikologi itu luas, meliputi hampir semua aspek kepribadian dan tingkah laku manusia. Psikologi sangat berkaitan erat dengan kehidupan manusia dalam segala kegiatannya yang sangat luas. Oleh karena itu, menurut Chaer (2009: 3) muncullah berbagai cabang psikologi yang diberi nama sesuai dengan penerapannya. Di antara cabang-cabang ilmu itu adalah psikologi sosial, psikologi perkembangan (kanak-kanak), psikologi klinik, psikologi komunikasi, dna psikologi bahasa.
b. Pengertian Psikologi Sastra Suatu karya sastra pasti tak lepas dari peran penting tokoh utama dalam cerita.Karakter yang dibawakannya pun akan melekat dalam benak pembaca. Hal inilah yang kemudian dianggap sebagai unsur kejiwaan
20
yang terdapat pada tokoh. Sastra juga tak lepas dari ilmu psikologi sebagai pelengkap dan pendukung kajiannya. Analisis psikologi dalam karya sastra terutama fiksi dan drama, tampaknya memang tidak terlalu berlebihan karena baik sastra maupun psikologi sama-sama membicarakan manusia. Hal yang berbedanya adalah sastra membicarakan manusia yang diciptakan manusia imajiner oleh pengarang, sedangkan psikologi membicarakan manusia yang diciptakan Tuhan yang secara riil hidup di alam nyata. Meskipun sifat-sifat manusia di alam sastra bersifat imajiner, tetapi di dalam menggambarkan karakter dan jiwanya, pengarang menjadikan manusia yang hidup di alam nyata sebagai model di dalam penciptaannya. Hal ini senada dengan pendapat Emzir dan Rohman (2015: 186) bahwa menganalisis tokoh dalam karya sastra dan perwatakannya seorang pengaji sastra juga harus mendasarkan pada teori dan hukumhukum psikologi yang menjelaskan perilaku dan karakter manusia. Menurut Semi (1993: 66) prinsip pokok fiksi psikologi adalah eksplorasi segi-segi pemikiran dan kejiwaan tokoh-tokoh utama cerita, terutama menyangkut alam pikiran pada tingkat yang lebih dalam, di tingkat alam bawah sadar. Dalam psikologi terdapat tiga aliran pemikiran (revolusi yang memengaruhi pemikiran personologis modern). Pertama, psikoanalisis yang menghadirkan manusia sebagai bentukan dari naluri-naluri dan konflik-konflik struktur kepribadian. Konflik-konflik struktur kepribadian ialah konflik yang timbul dari pergumulan antar id, ego, dan superego. Kedua, behaviorisme mencirikan manusia sebagai korban yang fleksibel, pasif, dan penurut terhadap stimulus lingkungan. Ketiga, psikologi humanistik, adalah sebuah “gerakan” yang muncul, yang menampilkan manusia yang berbeda dari gambaran psikoanalisis dan behaviorisme. Di sini manusia digambarkan sebagai makhluk yang bebas dan bermartabat serta selalu bergerak ke arah pengungkapan segenap potensi yang dimilikinya
apabila
Minderop, 2010: 9).
lingkungan
memungkinkan
(Koswara
dalam
21
Menurut Wellek dan Warren (2013: 81) istilah “psikologi sastra” mempunyai empat kemungkinan pengertian. Pertama, studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Kedua, studi proses kreatif. Ketiga, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Keempat, mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca). Psikologi sastra menurut Endraswara (2008: 16) adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra. Mempelajari psikologi sastra sebenarnya sama halnya dengan mempelajari manusia dari sisi dalam. Aspek „dalam‟ ini acap kali bersifat subjektif, yang membuat para pemerhati sastra menganggapnya berat. Sesungguhnya mempelajari psikologi sastra amat indah, karena kita dapat memahami sisi kedalaman jiwa manusia, jelas amat luas dan amat dalam (Endraswara, 2008: 14). Daya tarik psikologi sastra adalah pada masalah manusia yang melukiskan potret jiwa. Minderop (2010: 59) menyatakan bahwa tanpa psikologi sastra dengan berbagai acuan kejiwaan, kemungkinan pemahaman sastra akan timpang. Endraswara (2008: 7 – 8) menjelaskan bahwa psikologi sastra dianggap penting karena: pertama, karya sastra merupakan produk dari suatu keadaan kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada dalam situasi setengah sadar (subconsicious) setelah mendapat bentuk yang jelas dituangkan ke dalam bentuk tertentui secara sadar (conscious) dalam penciptaan karya sastra. Jadi, proses penciptaan karya sastra terjadi dalam dua tahap, yaitu tahap pertama dalam meramu gagasan dalam situasi imajinatif dan abstrak, kemudian dipindahkan ke dalam tahap kedua, yaitu penulisan karya sastra yang sifatnya konkritisasi apa yang sebelumnya dalam bentuk abstrak. Kedua, mutu sebuah karya sastra ditentukan oleh bentuk proses penciptaan dari tingkat petama, yang berada dalam keadaan sadar. Bisa jadi bahwa dalam situasi tingkat pertama gagasan itu sangat baik, namun setelah berada dalam situasi kedua menjadi kacau, sehingga mutu karya
22
tersebut akan sangat bergantung pada kemampuan penulis menata dan mencerna perwatakan dan menyajikannya dengan bahasa yang mudah dipahami. Jadi, dalam penelitian dan analisis ini ditujukan kepada masalah proses. Ketiga, di samping membahas proses penciptaan dan kedalaman segi perwatakan tokoh, perlu pula mendapat perhatian dan penelitian yaitu makna, pemikiran, dan falsafah yang terlihat di dalam karya sastra (dalam Minderop, 2010: 15). Endraswara (2008: 200) juga menyatakan bahwa gagasan Freud yang banyak dianut oleh beberapa pemerhati psikologi sastra adalah teori mimpi dan fantasi. Mimpi yang kerap dipandang sebagai kembang tidur, dalam konsep Freud dianggap lain. Mimpi memliki peranan khusus dalam studi psikologi sastra.Inti pengmatan Freud terhadap sastra adalah bahwa sastra lahir dari mimpi dan fantasi. Freud juga percaya bahwa mimpi mempengaruhi perilaku seseorang. Menurutnya, mimpi merupakan representasi dari konflik dan ketegangan dalam kehidupan kita sehari-hari (Eagleton dalam Minderop, 2010: 17). Psikologi sebagai ilmu yang bertujuan memahami, menjelaskan, dan meramalkan tingkah laku manusia tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya yang melingkupi para peneliti dan orang-orang yang ditelitinya. Keadaan psikologis orang-orang dalam sebuah wilayah budaya merupakan sistem yang dibagi bersama
yang dengan itu orang-orang mengelola
pengalaman, pengetahuan, dan transaksi mereka dengan dunia sosial. Dengan demikian, menurut Takwin (2007: 32) pemahaman terhadap aspek psikologis manusia sebagai individu adalah pemahaman terhadap bagaimana rangkaian cerita itu terbentuk. Lebih khusus lagi bagaimana makna dari berbagai peristiwa dikonstruksikan oleh individu sebagai bagian dari kebudayaannya. Dewi (2015: 22) menyatakan bahwa pendekatan psikologi sastra adalah sebuah pendekatan yang dari dalamnya dapat kita ketahui watak atau kepribadian yang beragam dari tokoh dalam karya sastra tersebut, dan pendekatan psikologi sastra ini berorientasi pada
23
pandangan bahwa sebuah karya sastra selalu membahas kehidupan manusia yang perilakunya beragam.
c. Langkah-langkah Penerapan Pendekatan Psikologi Sastra terhadap Novel SUTI Karya Sapardi Djoko Damono Kajian psikologi sastra dimanfaatkan untuk mengungkap nilai-nilai kejiwaan dalam hal ini nilai kejiwaan tokoh utama yang terdapat dalam novel SUTI karya Damono. Penelitian psikologi sastra memiliki peranan penting dalam pemahaman sastra karena adanya beberapa kelebihan seperti: pertama pentingnya psikologi sastra untuk mengkaji lebih mendalam aspek perwatakan. Kedua, dengan pendekatan ini dapat memberi umpan balik kepada peneliti tentang masalah perwatakan yang dikembangkan. Dan terakhir, penelitian semacam ini sangat membantu untuk menganalisis karya sastra yang kental dengan masalah-masalah psikologis (Endraswara, 2008: 12). Abrams (dalam Minderop, 2010: 61) mengungkapkan bahwa sebelum dilakukan telaah bagaimana hubungan antara kepribadian dan karya sastra, terdapat beberapa unsur yang perlu diketahui, yaitu: (a) Kita perlu mengamati si pengarang untuk menjelaskan karyanya; dan (b) Perlu memahami si pengarang terlepas dari karyanya. Perlu membaca suatu karya sastra untuk menemukan cerminan kepribadian si pengarang di dalam karya tersebut. Endraswara (2008: 89) mengemukakan terdapat tiga langkah dalam memahami teori psikologi sastra, yaitu: (1) melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian dilakukan analisis terhadap suatu karya sastra; (2) menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk digunakan; dan (3) secara simultan menemukan teori-teori dan objek penelitian. Terkait dengan hubungan antara sastra dan psikologi, Minderop (2010: 61) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) suatu karya sastra harus merefleksikan kekuatan,
24
kekaryaan, dan kepakaran penciptannya; (2) karya sastra harus memiliki keistimewaan dalam hal gaya dan masalah bahasa sebagai alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan pengarang; dan (3) masalah gaya, struktur dan tema karya sastra harus saling terkait dengan elemen-elemen yang mencerminkan pikiran dan perasaan individu, tercakup di dalamnya.
d. Teori Psikoanalisis Sigmund Freud Dari berbagai cabang psikologi, maka psikologi-analisis yang lebih banyak dianut oleh para sastrawan. Menurut Semi (1993: 66 – 67) psikologi-analisis ini menganut teori adanya dorongan bawah sadar yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Pelopor psikoanalisis ini adalah Sigmund Freud. Prinsip yang dianut psikologi ini antara lain: (1) Lapisan kejiwaan yang paling dalam (rendah) adalah lapisan bawah sadar (libido) atau daya hidup yang berbentuk dorongan seksual dan perasaan-perasaan lain yang mendorong manusia mencari kesenangan dan kegairahan; (2) Pengalaman-pengalaman semasa dalam kandungan dan masa bayi banyak memberi pengaruh terhadap sikap hidup pada masa dewasa; (3) Sebuah pikiran, betapa pun kelihatannya tidak berarti, masih tetap penting bila dihubungkan dengan daerah bawah sadar; (4) Konflik emosi dan pada dasarnya adalah konflik antara perasaan bawah sadar dengan keinginan-keinginan yang muncul dari luar; (5) Emosi itu sendiri bersifat dwirasa: benci dan sayang saling berbaur; dan (6) Sebagian konflik emosi bisa diendapkan atau disublimasikan maka ia akan menjadi konflik emosi di dasar jiwa yang menyerupai neurosis. Menurut Brenner (dalam Minderop, 2010: 11) psikoanalisis adalah disiplin ilmu yang dimulai sekitar tahun 1900an oleh Sigmund Freud. Teori psikoanalisis berhubungan dengan fungsi dan perkembangan mental manusia.Ilmu ini merupakan bagian dari psikologi yang memberikan kontribusi besar dan dibuat untuk psikologi manusia selama ini. Boeree (2006: 35 – 36) menyatakan bahwa Sigmund Freud membagi kehidupan jiwa menjadi tiga tingkat kesadaran, yaitu:
25
(1) Alam sadar (conscious mind) Alam sadar adalah apa yang anda sadari pada saat-saat tertentu, pengindraan langsung, ingatan, pemikiran, fantasi, perasaan yang anda miliki; (2) Pra-sadar (available memory) Pra-sadar yaitu, apa yang kita sebut saat ini dengan “kenangan yang sudah tersedia”, yaitu segala sesuatu yang dengan mudah dapat dipanggil ke alam sadar, kenangan-kenangan yang walaupun tidak dapat diingat waktu berpikir, tapi dapat dengan mudah dipanggil lagi; dan (3) Alam bawah sadar (unconscious mind) Bagian ini mencakup segala sesuatu yang sangat sulit dibawa ke alam sadar, termasuk segala sesuatu yang memang asalnya alam bawah sadar, seperti nafsu dan insting kita serta segala sesuatu yang masuk ke situ karena kita tidak mampu menjangkaunya, seperti kenangan atau emosi-emosi yang terkait dengan trauma. Menurut Semi (1993: 67), Freud merumuskan hipotesisnya berhubungan dengan seluk beluk jiwa manusia, yakni yang tersusun dalam tiga tingkat, yaitu: (1) id (libido atau dorongan dasar); (2) ego (pertautan secara sadar antara orang); dan (3) superego (penuntun moral dan aspirasi seseorang). Id tidak dapat dimusnahkan, hanya dapat dikawal dan di dalam tidur sebagian sering menjelma kembali. Ego biasanya bertugas mengawal dan menekan dorongan id yang kuat, mengubah sifatnya jika menjelma ke tingkat alam sadar. Superego berfungsi sebagai lapisan atau saringan yang menolak sesuatu yang melanggar prinsip moral, yang menyebabkan seseorang mempunyai sifat malu atau merasa senang terhadap sesuatu yang baik dan terpuji. Dalam buku Psikologi Sastra, menurut Freud id merupakan energi psikis dan naluri yang menekan manusia agar memenuhi kebutuhan dasar seperti misalnya kebutuhan: makan, seks menolak rasa sakit atau tidak nyaman. Menurutnya, id berada di alam bawah sadar, tidak ada kontak dengan realitas. Cara kerja id berhubungan dengan prinsip kesenangan, yakni
selalu
mencari
kenikmatan
dan
selalu
menghindari
ketidaknyamanan (Minderop, 2010: 21). Ego terperangkap di antara dua kekuatan yang bertentangan dan dijaga serta patuh pada prinsip realitas dengan mencoba memenuhi
26
kesenangan individu yang dibatasi oleh realitas. Ego berada di antara alam sadar dan alam bawah sadar. Tugas ego memberi tempat pada fungsi mental
utama,
misalnya
penalaran,
penyelesaian
masalah,
dan
pengambilan keputusan. Id dan ego tidak memiliki moralitas karena keduanya ini tidak mengenal nilai baik dan buruk. Struktur yang ketiga adalah superego yang mengacu pada moralitas dalam kepribadian. Superego sama halnya dengan „hati nurani‟ yang mengenali nilai baik dan buruk (conscience). Sebagaimana id, superego tidak mempertimbangkan realitas karena tidak bergumul dengan hal-hal realistik. Psikologi Freud bertitik tolak dari dunia nyata, dunia yang penuh benda-benda. Di antaranya ada objek yang sangat khusus, yaitu organisme. Menurut Boeree (2006: 37 – 38), objek tersebut dikatakan khusus karena, dia bertindak untuk mempertahankan diri dan berkembang-biak, dan untuk mencapai tujuan ini, dia diarahkan oleh kebutuhannya seperti, rasa lapar, haus, menghindari rasa sakit, dan seks. Salah satu bagian terpenting dari suatu organisme adalah sistem saraf yang memiliki karakter sangat peka terhadap apa yang dibutuhkannya. Sistem syaraf inilah yang disebut sebagai id. Penjelasan Boeree (2006: 38 – 39) tentang id, yakni bahwa id bekerja sejalan dengan prinsip-prinsip kenikmatan, yang bisa dipahami sebagai dorongan untuk selalu memenuhi kebutuhan dengan serta merta.Sebagian id berubah menjadi ego. Ego menghubungkan organisme dengan realitas dunia melalui alam sadar yang dia tempati, dan dia mencari objek-objek untuk memuaskan keinginan dan nafsu yang dimunculkan id untuk mempresentasikan apa yang dibutuhkan organisme. Ketika ego berusaha membuat id (atau organisme) tetap senang, di sisi lain dia juga mengalami hambatan yang ada di dunia nyata. Seiring dia mengalami objek yang menghalanginya mencapai tujuan. Ego akan tetap mencatat apa-apa yang menghalangi dan sekaligus mengingat apa-apa
27
yang memuluskan jalannya mencapai tujuan. Catatan tentang segala objek inilah yang kemudian disebut sebgai superego. Superego menurut Boeree (2006: 39 – 40) memiliki dua sisi. Pertama, nurani (conscience) merupakan internalisasi dari hukuman dan peringatan. Kedua, ego ideal berasal dari pujian dan contoh-contoh positif yang diberikan kepada anak-anak.
3. Hakikat Nilai-nilai Pendidikan Karakter a. Pengertian Nilai Pendidikan Karakter Nilai memiliki pengertian yang beragam. Dalam kehidupan seharihari,
manusia
tidak
asing
dengan
istilah
nilai,
bahkan
sering
menggunakannya, serta dapat merasakan adanya berbagai macam pengertian nilai. Menurut Hartini (2013: 19) nilai adalah sesuatu yang menarik, karena dapat memberi daya tarik terhadap manusia. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Moeleong (dalam Hartini, 2013: 19) bahwa nilai dapat memberikan kunci pemecahan persoalan nilai dalam ranah psikologi, serta percaya bahwa persoalan nilai berakar dalam kehidupan emosional. Nilai selalu menjadi ukuran dalam menentukan kebenaran dan keadilan sehingga tidak akan pernah lepas dari sumber asalnya, yaitu berupa ajaran agung dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Pendidikan menurut Syah (2014: 10) berasal dari kata “didik”, lalu kata ini mendapat awalan me sehingga menjadi “mendidik”, artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam bahasa Inggris menurut McLeod (dalam Syah, 2014: 10) pendidikan bersal dari kata education (mendidik) artinya memberi peningkatan (to elicit, to give rise to), dan mengembangkan (to evolve, to develop). Dalam pengertian yang sempit education atau pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan untuk memeroleh pengetahuan. Menurut John Dewey (dalam Muslich, 2014: 67), pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia. Tujuan pendidikan dalam
28
hal ini agar generasi muda sebagai penerus generasi tua dapat menghayati, memahami, mengamalkan nilai-nilai atau norma-norma tersebut dengan cara mewariskan segala pengalaman, pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang melatarbelakangi nilai-nilai dan norma-norma hidup dan kehidupan. Pendidikan menurut Silberman (dalam Sagala, 2010: 5) tidak sama dengan pengajaran. Pengajaran hanya menitikberatkan pada usaha mengembangkan intelektualitas manusia, sedangkan pendidikan berusaha mengembangkan seluruh aspek kepribadian dan kemampuan manusia, baik dilihat dari aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor. Pendidikan mempunyai makna yang lebih luas dari pengajaran, tetapi pengajaran merupakan sarana yang ampuh dalam menyelenggarakan pendidikan. Menurut Simon Philips (dalam Muslich, 2014: 70), karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sementara itu, Koesoema (2007: 80)
menyatakan bahwa karakter sama dengan
kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik, atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukanbentukan yang diterima lingkungan misalnya keluarga. Karakter menurut Maksudin (2013: 3) adalah jati diri (daya qalbu) yang merupakan saripati kualitas batiniah/rohaniah manusia yang penampakannya berupa budi pekerti (sikap dan perbuatan lahiriah), sedangkan menurut Suryanto (dalam Maksudin, 2013: 3) karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan demikian yang dimaksud dengan karakter adalah ciri khas setiap individu berkenaan dengan jati dirinya (daya qalbu), yang merupakan saripati kualitas batiniah/rohaniah, cara berpikir, cara berperilaku (sikap dan perbuatan lahiriah) hidup seseorang dan bekerja sama baik dalam keluarga, masyarakat, bangsa maupun negara.
29
Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona (dalam Listyarti, 2012: 8) adalah perihal menjadi sekolah karakter, di mana sekolah adalah tempat terbaik untuk menanamkan karakter. Adapun proses pendidikan karakter itu sendiri didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosiokultural dalam konteks interaksi dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat. Suwija (2015: 139 – 140) menyatakan bahwa talk about character education in a phenomeneon of life, there is a study of the moral, ethics, morals traditions, customs, and the trait of good and bad. There are also assesments require good behavior. Berbicara tentang pendidikan karakter dalam fenomena kehidupan, terdapat beberapa topik terkait antara lain pelajaran moral, etnik, moral tradisi, kepercayaan, dan hal-hal yang berkaitan dengan karakter salah dan benar. Terdapat pula penilaian-penilaian yang membutuhkan kebiasaan baik. Listyarti (2012: 8) menyatakan bahwa berdasarkan totalitas psikologis dan sosiokultural pendidikan karakter dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1) Olah hati, olah pikir, olah rasa/karsa, olahraga. 2) Beriman dan bertaqwa, jujur, amanah, adil, betanggung jawab, berempati, berani mengambil risiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik. 3) Ramah, saling menghargai, toleran, peduli, suka menolong, gotong royong, nasionalis, kosmopolit, mengutamakan kepentingan umum, bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, beretos kerja. 4) Bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, gigih, cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi IPTEKS (Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni), dan reflektif. Karakter dan budaya suatu bangsa harus dipertahankan sehingga dapat dibedakan antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lainnya. Untuk mempertahankan eksistensi bangsa Indonesia perlu melakukan pembangunan karkter yang merupakan upaya perwujudan amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Dengan kata lain, pendidikan
30
karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik (Rachmah, 2013: 9). Pendidikan yang hakiki adalah pendidikan yang mengajarkan kemanusiaan yaitu membentuk pribadi yang unggul dan berkompeten. Menurut Caralee (2013: 7) Character education often entails a school embracing a set of values that are taught in regular advisory sessions or integrated into classroom lessons or both. Supporters say character education is simply about how people treat each other, and the ideas are fairly universal. Pendidikan karakter sering kali memerlukan bantuan sekolah untuk mengajarkan nilai-nilai yang diajarkan dalam aktivitas sehari0hari atau diintegrasikan ke dalam pengajaran di dalam kelas. Kebanyakan orang menganggap bahwa pendidikan karakter hanya tentang bagaimana orang memperlakukan satu sama lain, dan pandangan ini sangatlah umum. Pendidikan karakter menjadi penting bila kita melihat jauh ke masa depan generasi bangsa (Nugraheni, 2013: 3). Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi positif, bukan netral. Jadi orang berkarakter adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian pendidikan adalah membangun karakter, yang secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau baik, bukan negatif atau buruk.
b. Macam-macam Nilai Pendidikan Karakter Dalam penelitian ini, nilai-nilai pendidikan karakter yang akan digunakan adalah nilai pendidikan karakter menurut Kemendiknas (2010: 9 – 10), yang mengklasifikasikan pendidikan karakter sebagai berikut : 1) Religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleransi terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain;
31
2) Jujur adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan; 3) Toleransi adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dengan dirinya; 4) Disiplin adalah tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan; 5) Kerja Keras adalah perilaku yang menunjukkan upaya sungguhsungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya; 6) Kreatif adalah berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki; 7) Mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas; 8) Demokratis adalah cara berpikir, bertindak, dan bersikap yang menilai sama hak dan kewajibandirinya dan orang lain. 9) Rasa Ingin Tahu adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar; 10) Semangat Kebangsaan adalah cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan kelompoknya; 11) Cinta Tanah Air adalah cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan tertinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan polituk bangsa; 12) Menghargai Prestasi adalah sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain; 13) Bersahabat/Komunikatif adalah tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain; 14) Cinta Damai adalah sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya; 15) Gemar Membaca adalah kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya; 16) Peduli Lingkungan adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang terjadi; 17) Peduli Sosial adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang mebutuhkan; dan 18) Tanggung Jawab adalah sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan,
32
terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara, dan Tuhan Yang Maha Esa. 4. Hakikat Materi Ajar Sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA) a. Pengertian Materi Ajar Materi ajar disebut juga sebagai bahan ajar yang digunakan sebagai bahan/materi pembelajaran di sekolah.bahan atau materi ajar adalah sesuatu yang dapat memberikan pelajaran serta ilmu yang berguna bagi siswa. Hal ini juga dikemukakan oleh Ismawati (2013: 35) materi ajar atau bahan ajar adalah sesuatu yang mengandung pesan yang akan disampaikan dalam proses belajar-mengajar. Bahan ajar dikembangkan berdasarkan tujuan pembelajaran. Beberapa hal terkait dengan pemilihan materi ajar menurut Ismawati (2013: 35) di antaranya: 1) Materi harus spesifik, jelas, akurat, mutakhir. 2) Materi harus bermakna, otentik, terpadu, berfungsi, kontekstual. Komunikatif. 3) Materi harus mencerminkan kebhinekaan dan kebersamaan, pengembangan budaya, ipteks, dan pengembangan kecerdasan berpikir, kehalusan perasaan, kesantunan sosial. Bahan ajar atau materi kurikulum (curriculum material) menurut Majid (2007: 174) adalah isi atau muatan kurikulum yang harus dipahami oleh siswa dalam upaya mencapai tujuan kurikulum. Menurut Panen (dalam Prastowo, 2011: 16), bahan ajar merupakan bahan-bahan atau materi pelajaran yang disusun secara sistematis, yang digunakan guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran. Bahan ajar menurut Widodo dan Jasmadi (dalam Lestari, 2013: 1) adalah seperangkat sarana atau alat pembelajaran yang berisikan materi pembelajaran, metode, batasan-batasan, dan cara mengevaluasi yang didesain secara sistematis dan menarik dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu mencapai kompetensi atau subkompetensi dengan segala kompleksitasnya. Bahan ajar atau materi pembelajaran pada dasarnya adalah “isi” dari kurikulum, yakni berupa mata pelajaran atau bidang studi dengan topik/subtopik dan rinciannya (Ruhimat, 2011: 152).
33
Dengan materi ajar, memungkinkan siswa dapat mempelajari suatu kompetensi atau kompetensi dasar secara runtut dan sistematis sehingga secara akumulatif mampu menguasai semua kompetensi secara utuh dan terpadu. Menurut Lestari (2013: 2) bahan ajar adalah seperangkat materi pembelajaran yang mengacu pada kurikulum yang digunakan (dalam hal ini adalah silabus perkuliahan, silabus mata mata pelajaran, dan/atau silabus mata diklat tergatung pada jenis pendidikan yang diselenggarakan) dalam rangka mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ditentukan. Materi ajar merupakan segala bentuk materi yang digunakan guru untuk membantu melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Materi ajar yang baik, yaitu materi yang mampu mencakup segala kompetensi yang akan dicapai, serta relevan dengan tujuan pembelajaran yang ada. Hal ini juga disampaikan oleh Winkle (2009: 331 – 332), pemilihan bahan ajar atau materi pengajaran harus sesuat dengan beberapa kriteria sebagai berikut: (1) materi atau bahan pelajaran harus relevan terhadap tujuan instruksional yang harus dicapai, yaitu dari segi isi maupun jenis perilaku yang dituntut siswa yang mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik; (2) materi atau bahan pelajaran harus sesuai dengan taraf kesulitannya dengan kemampuan siswa untuk menerima dan mengolah materi itu; (3) materi atau bahan pelajaran harus dapat menunjang motivasi siswa, antara lain karena relevan dengan pengalaman hidup sehari-hari siswa, sejauh hal itu masih memungkinkan; (4) materi atau bahan pelajaran harus membantu untuk melibatkan diri secara aktif, baik dengan berpikir sendiri maupun dengan melakukan berbagai kegiatan; (5) materi atau bahan pelajaran harus sesuai dengan prosedur didaktis yang diikuti. Misalnya, materi pelajaran akan lain bila guru menggunakan bentuk ceramah, dibandingkan dengan pelajaran bentuk diskusi kelompok; dan (6) materi atau bahan pelajaran harus sesuai dengan media pengajaran
34
yang tersedia misalnya perangkat lunak seperti videocassette dan film hanya dapat digunakan bila tersedia alat perangkat keras yang sesuai.
b. Pembelajaran Sastra Membaca karya sastra bagi siswa tentunya dapat memberikan pengertian baik tentang hidup dan kehidupan para tokoh, serta mampu memunculkan ide dan nilai-nilai yang terkadung di dalamnya. Dengan hal ini pula, siswa diharapkan dapat mengapresiasi karya sastra dengan baik. Menurut Waluyo (2011: 32) di dalam pembelajaran sastra di sekolah memang cukup sulit untuk menyajikan novel atau roman dalam buku ajar atau disampaikan di kelas. Karena betapa banyaknya materi ajar berupa novel tersebut. Karena itu, dalam proses pengapresiasian novel perpustakaan sekolah perlu memiliki novel-novel yang memadai. Pengajaran sastra yang ideal mensyaratkan adanya guru/dosen sastra yang dapat dijadikan model, teladan, contoh bagi peserta didiknya dalam hal yang terkait dengan apresiasi sastra. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Derakhshan dan Shirmohammadli (2015: 103) bahwa: Teaching is a multidimensional process, and teachers should pay enough attention to all skills of students such as: reading, writing, listening, and speaking. These skills are educated by teachers and learnt by students. (Mengajar merupakan proses multidimensi, dan guru seharusnya memberikan perhatian yang cukup terhadap semua komponen kemampuan yang berkaitan dengan siswa seperti: membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara. Kemampuan-kemampuan tersebut merupakan jenis kemampuan yang diajarkan oleh guru dan dipelajari oleh siswa). Menurut Emzir dan Saifur (2015: 233), pembelajaran sastra tidak akan mencapai tujuan bila guru tidak memiliki inovasi dan peserta didik hanya ditugasi untuk menghapal periodisasi sastra, tokoh, karya, istilahistilah, dan teori. Pendekatan pembelajaran menurut Sagala (2010: 68) merupakan jalan yang akan ditempuh oleh guru dan siswa dalam mencapai tujuan instruksional untuk suatu satuan instruksional tertentu. Salah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak.Tampaknya istilah sastra paling tepat diterapkan pada seni sastra,
35
yaitu sastra sebagai karya imajinatif. Namun, istilah sastra sebagai karya imajinatif di sini tidak berarti bahwa setiap karya sastra harus memakai imaji (citra) (Wellek dan Warren, 2013: 10,12,19). Sastra melalui unsur imajinasinya mampu membimbing anak didik pada keluasan berpikir, bertindak, berkarya dan sebagainya. Menurut Schiller (dalam Wibowo, 2013: 20) sastra bisa menjadi semacam permainan menyeimbangkan segenap kemampuan mental manusia, berhubung dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan. Dengan kesusastraan, seseorang diasah kreativitas, perasan, kepekaan, dan sensitivitas kemanusiaannya, sehingga terhindar dari tindakan-tindakan destruktif, sempit, kerdil, dan picik. Pada
kondisi
bangsa
Indonesia
yang
tengah
serius
mengimplementasikan pendidikan karakter, kiranya tepat jika sastra menjadi salah satu medianya. Hal itu karena salah satu definisi sastra menurut Wibowo (2013: 128) adalah sastra secara etimologis berarti alat untuk mendidik, alat untuk mengajar, dan alat untuk memberi petunjuk. Selain sebagai media edukatif, sastra menurut Aristoteles (dalam Wibowo, 2013: 128) bisa menjadi media katarsis atau pembersih jiwa tidak saja bagi penulis, tetapi juga pembaca maupun penikmatnya. Pembelajaran sastra di sekolah khususnya di SMA belumlah berdiri sendiri sebagai sebuah mata pelajaran, melainkan masuk dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini mengharuskan guru mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk mampu pula menguasai materi tentang sastra dan menyampaikan secara apik dan efisien kepada siswa.
c. Pengajaran Sastra di SMA dengan Kurikulum Satuan Pendidikan (KTSP) Menurut Ismawati (2013: 1) yang dimaksud dengan pengajaran sastra adalah pengajaran yang menyangkut seluruh aspek sastra, yang meliputi: teori sastra, sejarah sastra, kritik sastra, sastra perbandingan, dan apresiasi sastra. Dari lima aspek pengajaran sastra tersebut, aspek apresiasi sastra adalah yang paling sulit untuk diajarkan. Ini disebabkan karena
36
apresiasi sastra menekankan pengajaran pada aspek afektif yang berurutan dengan rasa, nurani, nilai-nilai, dan seterusnya. Dalam proses belajar mengajar di sekolah, salah satu komponen terpenting yang harus ada adalah kurikulum. Kurikulum dijadikan sebagai patokan kegiatan pembelajaran sehingga dapat berjalan terarah dan memiliki tujuan. Istilah kurikulum menurut Trianto (2014: 13) berasal dari bahasa Yunani Curir yang artinya pelari, dan Curere artinya tempat berpacu atau tempat lomba, dan
Curriculum
berarti
“jarak”
yang
harus
ditempuh.
Dalam
perkembangan selanjutnya istilah kurikulum digunakan dalam dunia pendidikan dan pengajaran sebagai termuat dalam Webster Dictionare (dalam Trianto, 2014: 13) yang mendefinisikan kurikulum sebagai berikut, “a course, especially a specified fixed course of study, as in a school or collage, as one leading to a degree.” (Kurikulum merupakan sejumlah mata pelajaran di sekolah atau di akademi yang harus ditempuh oleh siswa untuk mencapai tingkat atau ijazah).Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, karakteristik sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan karakteristik peserta didik (Mulyasa, 2007: 8). Menurut Setiyoningsih (2015: 25) sekolah dan komite sekolah, atau madasrah dan komite madasrah, menngembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabus berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, di bawah supervisi dinas kabupaten/kota yang bertanggungjawab di bidang pendidikan SD, SMP, SMA, dan MTK, serta Departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK. Pengajaran sastra menurut Dewi (2015: 35) meliputi teori sastra, apresiasi, dan kritik sastra. Pengajaran sastra di sekolah menengah biasanya mengenal kritik sastra dalam bentuk resensi karya sastra. Karya sastra digunakan sebagai bahan ajar di sekolah menengah atas biasanya berbentuk puisi, cerpen, roman, dan novel. Pengajaran sastra di sekolah
37
menengah pertama dilakukan dengan berpatokan pada kurikulum yang berlaku. Jika dikaitkan dengan pembelajaran sastra, aspek pembahasan pembelajaran sastra dalam KTSP terdapat pada tingkat SMA kelas XI semester I dengan standar kompetensi (SK): memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan dengan kompetensi dasar (KD) antara lain: (a) menemukan unsur intrinsik dan ekstrinsik hikayat; dan (b) menganalisis unsur-unsur instrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/novel terjemahan.
B. Kerangka Berpikir Penelitian ini difokuskan pada kajian psikologi sastra, nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam novel, serta relevansinya dengan pembelajaran sastra di SMA. Aspek pendekatan psikologi sastra dalam penelitian ini diarahkan pada aspek kejiwaan tokoh utama yang ada dalam novel SUTI karya Damono tentang bagaimana pergulatan batinnya dalam menghadapi perubahan hidup yang dialami. Selain itu, dari aspek kejiwaan yang telah dikaji, maka akan dapat diambil nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam tokoh utama. Novel SUTI karya Damono di dalamnya terdapat pesan nilai pendidikan karakter yang disampaikan baik secara implisit maupun eksplisit kepada pembaca. Untuk menemukan nilai pendidikan karakter yang ada di dalamnya, pembaca harus mampu menganalisis nilai yang ingin disampaikan penulis. Nilai pendidikan karakter tersebut dapat dijadikan bahan pembelajaran sastra di SMA. Kerangka berpikir dalam penelitian ini lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.
38
Novel SUTI karya Sapardi Djoko Damono
Analisis unsur
Analisis aspek kejiwaan
Analisis Nilai
intrinsik
tokoh utama
Pendidikan Karakter
Relevansi novel SUTI SapardiBerpikir Djoko Damono Gambar 1.1karya Kerangka sebagai materi ajar sastra di SMA
Gambar 1. Kerangka Berpikir