BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1.
Evaluasi Program
II.1.1. Pengertian Evaluasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, evaluasi memiliki arti penilaian. Penilaian berarti pengukuran atau penentuan manfaat dari suatu kegiatan. Penilaian dapat ditujukan kepada seseorang, sekelompok,atau terhadap suatu kegiatan. Dalam suatu perusahaan evaluasi diartikan sebagai suatu proses pengukuran terhadap efektivitas program yang dijalankan untuk mencapai tujuan perusahaan. Hasil yang diperoleh dari pengukuran tersebut akan digunakan sebagai analisis situasi program berikutnya. Evaluasi adalah suatu upaya untuk mengukur secara objektif terhadap pencapaian hasil yang telah dirancang dari aktivitas program yang telah dilaksanakan sebelumnya, hasil penelitian yang dilakukan menjadi umpan balik bagi aktivitas perencanaan baru yang akan dilakukan berkenaan dengan aktivitas yang sama dimasa depan. Evaluasi merupakan bagian penting dari daur: perencanaan program, pelaksanaan program, pemantauan program dan evaluasi program. Keputusan tentang suatu atau beberapa program, apakah program dihentikan, dilanjutkan, dipersempit, atau diperluas dibuat berdasarkan hasil evaluasi. Evaluasi adalah sejumlah dari serangkaian kegiatan mulai dari pengumpulan data, analisis data, dan penyimpulan hasil analisis data. Pengumpulan data bisa dilakukan melalui
11
wawancara, pengamatan lapangan, dan berbicara dengan orang yang menjadi bagian dari khalayak (BNN,2004:121). Ralph Tyler dalam Tayibnapis (2000:3) menyatakan evaluasi adalah proses yang menentukan sejauh mana tujuan dapat dicapai. Evaluasi ialah penelitian yang sistematik atau teratur tentang manfaat atau kegunaan beberapa objek. Jadi, evaluasi hendaknya membantu pengembangan, implementasi, kebutuhan suatu program, perbaikan program, pertanggung jawaban, seleksi, motivasi, serta menambah pengetahuan dan dukungan dari subjek yang terlibat. Berikutnya evaluasi adalah suatu aktivitas yang dirancang untuk menimbang manfaat atau efektivitas suatu program melalu indikator yang khusus, teknik pengukuran, metode analisis, dan bentuk perencanaan (Siagian dan Agus, 2010:117). Menurut Ralph Tyler dalam Arikunto (2009:3) menyatakan bahwa Evaluasi adalah sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagaimana tujuan pendidikan sudah tercapai. Sedangkan menurut Brinkerhoff dalam Widoyoko (2011:4) menyatakan bahwa Evaluasi merupakan proses yang menentukan sejauh mana tujuan pendidikan dapat dicapai. Dalam pelaksanaan evaluasi ada tujuh elemen yang harus dilakukan, yaitu: 1) Penentuan fokus yang akan dievaluasi (focusing the evaluation) 2) Penyusunan desain evaluasi (designing the evaluation) 3) Pengumpulan informasi (collecting information) 4) Analisis dan interprestasi informasi (analyzing and interpreting) 5) Pembuatan suatu laporan (reporting information)
12
6) Pengelolahan evaluasi (managing evaluation) 7) Evaluasi untuk evaluasi (evaluating evalution) Dari beberapa defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk mengumpulkan, mendeskrisipkan, menginterprestasikan dan menyajikan informasi untuk dapat digunakan sebagai dasar membuat keputusan, menyusun kebijakan maupun menyusun program selanjutnya. Tujuan evaluasi adalah memberikan informasi yang akurat dan objektif tentang suatu program. II.1.2. Fungsi Evaluasi Evaluasi memiliki sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan yaitu a. Evaluasi memberikan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilaidan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini, evaluasi mengungkap seberapa jauh tujuan – tujuan dan target tertentu yang telah dicapai. b. Evaluasi memberikan sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai diperjelas dengan mendefenisikan dan mengoperasikan tujuan dan target. c. Evaluasi memberikan sumbangan pada aplikasi metode metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Informasi
tentang tidak
memadainya
kinerja
kebijakan dan dapat memberi sumbangan pada perumusan ulang
13
masalah kebijakan. Evaluasi dapat pula menyumbang pada defenisi alternatif
kebijakan
yang
baru
atau
revisi
kebijakan
(
Wahab,2002:51 ). Wujud hasil dari evaluasi adalah adanya rekomendasi dari evaluator untuk pengambilan keputusan (decision maker). Menurut Arikunto dan Safruddin (2009:22) ada empat kemungkinan kebijakan dapat dilakukan berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan program, yaitu: a) Menghentikan program, jika program tersebut dipandang tidak ada manfaatnya, atau tidak dapat terlaksana sebagaimana yang diharapakan. b) Merevisi program, karena didalam suatu program ada bagian bagian yang kurang sesuai dengan harapan. c) Melanjutkan
program,
jika
pelaksanaan
suatu
program
menunjukkan bahwa segala sesuatu sudah berjalan sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang bermanfaat. d) Menyebarluaskan program ( melaksanakan program ditempat tempat lain atau bisa mengulangi kembali program dilain waktu ), karena program tersebut berhasil dengan baik jika dilaksanakan lagi ditempat dan waktu yang lain. II.1.3 Tolak Ukur Evaluasi Suatu program dapat dievaluasikan apabila ada tolak ukur yang dijadikan penilaian suatu program. Berhasil atau tidaknya program berdasarkan tujuan yang
14
dibuat sebelumnya harus memilki tolak ukur, dimana tolak ukur ini harus dicapai dengan baik oleh sumber daya yang mengelolanya. Adapun yang menjadi tolak ukur dalam evaluasi suatu program adalah: 1) Ketersediaan sarana untuk mencapai tujuan tersebut 2) Apakah hasil proyek sesuai dengan hasil yang diingikan 3) Apakah sarana atau kegiatan yang benar benar dibutuhkan 4) Apakah sarana yang disediakan benar benar dilakukan untuk tujuan semula 5) Berapa pernsen jumlah atau luasan sasaran sebenarnya yang dapat dijangkau oleh program 6) Bagaimana mutu pekerjaan atau sasaran yang dihasilkan dari program 7) Berapa banyak sumber daya (tenaga, dana, barang) yang sudah digunakan untuk mencapai tujuan tersebut 8) Apakah sumber daya kegiatan yang dilakukan benar benar dimanfaatkan secara maksimal 9) Apakah kegiatan yang dilakukan benar benar memberikan masukan
atau
manfaat
terhadap
suatu
perubahan
(Tayibnapis,2000:28). II.1.4 Pengertian Program Arikunto dan Safruddin (2010:3-4) menyebutkan dua pengertian program, secara umum dan khusus. Pengertian program secara umum adalah rencana atau rancangan kegiatan yang akan dilakukan. Sedangkan pengertian secara khusus
15
adalah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan dengan waktu dan pelaksanaannya biasanya membutuhkan waktu yang relatif lama. Program merupakan unsur utama yang harus ada demi tercapainya kegiatan pelaksanaan karena dalam suatu program tersebut telah dimuat berbagai aspek antara lain: 1. Adanya tujuan yang ingin dicapai 2. Adanya kebijakan kebijakan yang harus dimabil dalam pencapaian tujuan ini 3. Adanya aturan aturan dipegang dengan prosedur yang harus dilalui 4. Adanya perkiraan anggaran yang perlu atau dibutuhkan 5. Adanya strategi dalam pelaksanaan Unsur kedua yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan program adalah adanya kelompok orang yang menguji sasaran program sehingga kelompok orang tersebut merasa ikut dilibatkan dam membawa hasil program yang dilibatkan dan adanya perubahan dan peningkatan dalam kehidupannya. Bila tidak memberikan manfaat pada kelompok orang maka boleh dikatakan program tersebut telah gagal dilaksanakan. II.1.5 Pengertian Evaluasi Program Evaluasi program merupakan suatu langkah awal dalam supervisi, yaitu mengumpulkan data yang tepat agar dapat dilanjutkan dengan pemberian pembinaan yang tepat pula. Jika ditinjau dari aspek pelaksanaannya, secara umum evaluasi terhadap program dapat dikelompokkan kedalam dua jenis, yaitu:
16
1. Penilaian atas perencanaan, artinya mencoba memilih dan menetapkan prioritas terhadap berbagai alternatif dan kemungkinan atas cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. 2. Penilaian atas pelaksanaan, artinya melakukan analisis tingkat kemajuan pelaksanaan dibandingkan dengan perencanaan, didalamnya meliputi apakah pelaksanaan sesuai dengan apa yang direncanakan, apakah ada perubahan perubahan sasaran maupun tujuan dari program yang sebelumnnya direncanakan (Siagian dan Suriadi,2012:117-118). Evaluasi program merupakan penilaian yang sistematis dan seobjektif mungkin terhadap suatu objek, program atau kebijakan yang sedang berjalan atau sudah selesai, baik dalam desain, pelaksanaan dan hasilnya, dimana tjuan dari evaluasi program adalah untuk menentukan relevansi dan ketercapaian tujuan, efesiensi, sefektifitas, dampak dan keberlanjutan dimana suatu evaluasi harus memberikan informasi yang dapat dipercaya dan berguna agar donor serta pihak penerima manfaat dapat mengambil pelajaran untuk proses pengambilan keputusan. II.1.6 Jenis jenis Evaluasi Program Secara umum, evaluasi dibagi menjadi tiga jenis, yaitu : a. Evaluasi pada Tahap Perencanaan Kata evaluasi sering digunakan dalam tahap dalam rangka mencoba memilih dan menentukan skala prioritas terhadap berbagai alternatif dan kemungkinan terhadap cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk itu diperlukan berbagai teknik yang dapat dipakai oleh
17
perencana. b. Evaluasi pada Tahap Pelaksanaan Pada tahap ini, evaluasi adalah suatu kegiatan dengan melakukan analisa untuk menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan dibanding dengan rencana. Terdapat perbedaan antara evaluasi menurut pengertian ini dengan monitoring. Monitoring menganggap bahwa tujuan yang ingin dicapai sudah tepat dan bahwa program tersebut direncanakan untuk dapat mencapai tujuan tersebut. c. Evaluasi pada Tahap Pasca Pelaksanaan Pada tahap ini pengertian evaluasi hampir sama dengan tahap pelaksanaan, hanya perbedaannya yang dinilai dan dianalisa bukan lagi tingkat kemajuan pelaksanaan dibanding rencana yakni apakah dampak yang dihasilkan oleh pelaksanaan kegiatan tersebut sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai (Nugroho,2009:337). II.2.
Narkoba dan Adiksi
II.2.1. Pengertian Narkoba Istilah NARKOBA sesuai dengan surat edaran Badan Narkotika Nasional (BNN) NO SE/03/IV/2002. Narkoba merupakan akronim dari Narkotika, Psikotropika, dan Bahan Adiktif yang terlarang. Narkoba dapat diartikan sebagai Zat – Zat alami maupun Kimiawi yang jika dimasukkan kedalam tubuh dapat mengubah pikiran, suasana hati, perasaan, dan perilaku seseorang (Nasution. 2014:1). Menurut Undang Undang Tentang Narkotika mengemukakan bahwa narkoba ialah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik
18
sintesis maupun semisintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Pada dasarnya obat-obatan yang tergolong narkoba itu digunakan untuk kepentingan medis atau pengobatan. Adapun kengunaanya adalah untuk menghilangkan rasa sakit. Tetapi apabila pengunaan narkoba diluar dari hal-hal media dan tanpa mengikuti dosis yang seharusnya akan dapat menimbulkan kerusakan fisik, mental dan sikap hidup masyarakat. Narkoba yang populer didalam masyarakat terdiri dari 3 golongan yaitu: Narkotika, Pisikotropika dan Zat adiktif lainya. 1. Narkotika Narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan tingkat kesadaran, hilangnya rasa, dan dapat menimbulkan ketergantungan Dalam pengertian lain bahwa Narkotika merupakan zat – zat obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat – zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral.
Berdasarkan bahan asalnya Narkotika terbagi dalam 3 ( tiga ) golongan yaitu : 19
a. Alami. Yang dimaksud alami adalah jenis zat / obat yang timbul dari alam tanpa adanya proses fermentasi, isolasi, atau proses produksi lainnya. Contohnya : ganja, opium, daun koka. Didalam Undang Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, bahwa jenis narkotika yang berasal dari alam tidak boleh digunakan untuk terapi adalah golongan 1 terdiri dari : 1) Tanaman Papaver Soniverum L 2) Opium mentah, opium masak (candu,jicing,jicingko) 3) Opium obat 4) Tanaman koka, daun koka, kokain mentah, kokaina, ekgonim (kerja alkoid koka berbeda dengan alkoid opium) 5) Heroin, Morfin (alkoid opium yang telah diisolasi) 6) Ganja, damar ganja b. Semi Sintesis Yakni zat yang diproses sedemikian rupa melalui proses ekstraksi dan isolasi, contohnya : morfin, pethidin dan lain lain. Jenis obat ini menurut Undang-undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, termasuk dalam narkotika golongan II
c. Sintesis Jenis obat atau zat yang diproduksi secara sintesis untuk
20
keperluan medis dan penelitian yang digunakan sebagai penghilang rasa sakit (analgesic) seperti penekan batuk (antitusif). Jenis obat yang masuk kategori sintesis antara lain: Kodein, Amfetamin, Deksamfetamin, Penthidin, Meperidin, Methadon, Dipipanon, Dekstropakasifen, LSD (Lesergik, Dietilamid). Berdasarkan efek yang ditimbulkan terhadap manusia, narkotika terdapat 3 (tiga) jenis, yaitu: 1) Depressan (downer) Jenis obat yang berfungsi mengurangi aktivitas, membuat pengguna menjadi tertidur atau tidak sadar diri. 2) Stimulan (upper) Jenis-jenis zat yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan kerja (segar dan bersemangat) secara berlebihan. 3) Halusinogen 4) Zat kimia aktif atau obat yang dapat menimbulkan efek halusinasi, dapat merubah perasaan dan fikiran.
Jenis – jenis Narkotika yang sering disalahgunakan :
21
A. Ganja Biasanya dikenal dengan nama : cannabis, mariyuana, hasish gelek, budha stick, cimeng, grass, rumput, sayur. Efek yang ditimbulkan dari mengkomsusmsi ganja adalah : a) Denyut jantung semakin cepat, temperatur badan menurun, mata merah. b) Nafsu makan bertambah c) Santai, tenang dan melayang layang d) Pikiran selalu rindu pada ganja e) Daya tahan menghadapi problema menjadi lemah f) Malas, apatis g) Tidak peduli dan kehilangan semangat untuk belajar maupun bekerja h) Persepsi waktu dan pertimbangan intelektual maupun moral terganggu B. Shabu Dikenal dengan nama : kristal, ubas, shabu shabu, mecin. Efek yang ditimbulkan dari mengkomsumsi shabu-shabu adalah : 1. Badan merasa lebih kuat dan energik ( meningkatnya stamina ). 2. Tidak mau diam ( hiperaktif ). 3. Rasa percaya diri meningkat.
22
4. Rasa ingin diperhatikan oleh orang lain. 5. Nafsu makan berkurang akibatnya kondisi badan semakin kurus. 6. Susah tidur 7. Detak jantung berdebar debar 8. Tekanan darah mengalami peningkatan 9. Mengalami pada fungsi sosial dan pekerjaan C. Morfin dan Heroin Nama lain dari morfin dan heroin adalah : putaw, smack, junk, horse, H, PT, etep, bedak, putih. Efek yang ditimbukan dari mengkomsumsi Morfin dan Heroin adalah : 1. Menimbulkan
rasa
mengantuk,
lesu,
penampilan
“dungu” jalan mengembang. 2. Rasa sakit seluruh badan. 3. Badan gemetar, jantung berdebar debar. 4. Susah tidur, dan nafsu makan berkurang. 5. Mata berair dan hidung selalu ingusan. 6. Mengalami problema pada kesehatan. 2. Psikotropika Psikotropika merupakan zat atau obat baik alamiah maupun sintesis bukan Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
23
Dalam bidang farmakologi, Psikotropika dibedakan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu : a. Golongan Psikostimulansi Yaitu jenis zat yang menimbulkan rangsangan, jenis obat yang termasuk golongan ini adalah : 1. Amfetamine ( lebih populer dikalangan masyarakat sebagai shabu dan ekstasi ). 2. Desamfetamine. b. Golongan Psikodepresan Yaitu golongan obat tidur, penenang dan obat anti cemas, merupakan jenis obat yang mempunya khasiat pengobatan yang jelas. Jenis obat yang termasuk didalamnya adalah : 1. Amobarbital 2. Pheno karkital 3. Penti karkital Dalam Undang-undang No, 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, yang dimasukkan dalam golongan III yaitu jenis Psikotropika yang berkhsisiat untuk pengobatan dan hanya digunakan untuk terapi atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat yang mengakibatkan sindrom ketergantungan.
c. Golongan Sedativa
24
Yaitu jenis obat obat yang mempunyai khasiat pengobatan yang jelas dan digunakan sangat luas dalam terapi. Jenis obat yang termasuk kedalam golongan ini adalah : Diazepam, Klobazam, Bromazepam,
Fenibarbital,
Barbital,
Klonazepam,
Klordiazepam. II.2.2. Pengertian Adiksi. Adiksi merupakan suatu kondisi ketergantungan fisik dan mental terhadap hal-hal tertentu yang menimbulkan perubahan perilaku bagi orang yang mengalaminya. Adiksi atau ketergantungan terhadap narkoba merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami ketergantungan secara fisik dan psikologis terhadap suatu zat adiktif dan menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut (DSMIV, 1994): 1. Adanya Proses Toleransi Individu membutuhkan zat yang dimaksud dalam jumlah yang semakin lama semakin besar, untuk dapat mencapai keadaan fisik dan psikologis seperti pada awal mereka merasakannya. 2.
Adanya Gejala Putus Zat (Withrawl Syndrome) Individu akan merasakan gejala-gejala fisik dan psikologis yang tidak nyaman apabila penggunaannya dihentikan. Perasaan tidak nyaman fisik seperti tulang sakit, mata berair, lemas, diare, muntah-muntah, dan lainlain. Pada akhirnya gejala-gejala fisik tersebut dapat menurunkan berat badan dan menimbulkan ketergantungan pada narkoba, serta komplikasi medic. Secara psikologis gejala putus obat ditandai dengan munculnya perasaan malu, rasa bersalah, curiga, tidak aman, marah, kesepian, tidak 25
percaya diri, cemas, emosi tidak terkontrol, gangguan kepribadian, tidak toleran,
mengalami
penolakan,
curiga
(terutama
pada
pengguna
methamphetamine), dan halusinasi. II.3.
Residen
II.3.1 Pengertian Residen Residen merupakan orang yang sedang menjalani rehabilitasi didalam sebuah panti rehabilitasi untuk mendapatkan dan menjalani program pemulihan akibat dari penyalahgunaan NAPZA yang dilakukan didalam kehidupannya. II.4.
Penyalahgunaan Narkoba Penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA merupakan penyakit endemik
dalam masyarakat modern, penyakit endemik dalam masyarakat modern, penyakit kronik yang berulangkali kambuh dan merupakan prose gangguan mental adiktif ( http://e-journal.uajy.ac.id diakses pada tanggal 28 mei 2015, pukul 19.35 wib ). penyalahguna NAPZA dapat dibagi dalam 3 golongan besar, yaitu : 1. Ketergantungan primer, ditandai dengan adanya kecemasan dan depresi, yang pada umumnya terdapat pada orang dengan kepribadian tidak stabil. Mereka ini sebetulnya dapat digolongkan orang yang menderita sakit ( pasien ) namun salah atau tersesat ke NAPZA dalam upaya untuk mengobati 16 dirinya sendiri yang seharusnya meminta pertolongan ke dokter (psikiater). Golongan ini memerlukan terapi dan rehabilitasi dan bukannya hukuman.
26
2. Ketergantungan reaktif, yaitu (terutama) terdapat pada remaja karena dorongan ingin tahu, bujukan dan rayuan teman, jebakan dan tekanan serta pengaruh teman kelompok sebaya (peer group pressure). Mereka ini sebenarnya merupakan korban (victim); golongan ini memerlukan terapi dan rehabilitasi dan bukannya hukuman. 3. Ketergantungan NAPZA sebagai
simtomatis,
yaitu
penyalahgunaan
salah satu gejala dari
tipe
ketergantungan
kepribadian yang
mendasarinya, pada umumnya terjadi pada orang dengan kepribadian antisosial (psikopat) dan pemakaian NAPZA itu untuk kesenangan semata. Mereka dapat digolongkan sebagai kriminal karena seringkali mereka juga merangkap sebagai pengedar (pusher). Mereka ini selain memerlukan terapi dan rehabilitasi juga hukuman (http://e-journal.uajy.ac.id diakses pada tanggal 28 mei 2015, pukul 19.35 wib ). Ada
beberapa
sikap
kepribadian
remaja
yang
rentan
terhadap
penyalahgunaan narkoba, yaitu : a. Kurang Percaya Diri. Sikap kurang mengenal diri sendiri, dimana seseorang tidak menyadari potensi dirinya dan sering menganggap dirinya banyak kekurangan. Akibat terobsesi untuk mengangkat dirinya setara dengan orang lain, ia mudah terpengaruh memilih jalan keluar sendiri yang menjanjikan hasil seketika meskipun tindakan tersebut bukan pilihan yang tepat. b. Harga Diri yang Rendah. Hal ini dapat diartikan bahwa seseorang merasa dirinya tidak
27
berharga dan tidak memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan. Seringkali pihak yang bersangkutan merasa bahwa dirinya tidak dianggap dan disepelekan, hal tersebut merupakan beban psikologis yang cukup berat. Keterbatasan keterampilan mengakibatkan
seseorang
tidak
mampu
melaksanakan
perbaikan diri dan sering lari dari kenyataan. c. Kurang Terampil dalam Mengambil Keputusan. Adanya kebiasaan bahwa setiap keputusan dalam hidup ditentukan oleh orang lain, maka individu yang bersangkutan tidak terbiasa dalam proses membuat suatu keputusan, yang mengakibatkan seseorang tidak mampu membedakan antara keinginan dengan kebutuhan. d. Kurang Terampil Memecahkan Masalah. Dalam kehidupan manusia selalu menghadapi berbagai jenis masalah.
Bagi
pribadi
seseorang
yang
terlibat
dalam
pemecahan masalah selalu dibantu oleh orang lain . biasanya ia akan menyangkal atau meremehkan adanya masalah dengan cara yang kurang matang. e. Sulit Mengendalikan Keinginan. Dalam hal ini, seseorang yang berkeripadian yang rentan lemah dalam mengendalikan keinginannya. Ia cenderung bertindak implusif, yaitu melakukan suatu perbuatan tanpa berfikir atau membuat suatu pertimbangan yang rasional. f. Sulit Menerima Kekecewaan.
28
Terbiasa dengan gaya hidup setiap keinginan harus terpenuhi, ia
sulit
menghadapi
kekecewaan
dan
kemarahan jika
keinginannya tidak terpenuhi. Sehinggan dapat melakukan perbuatan yang merusak diri sendiri dan orang lain jika permintaan tidak dituruti. g. Kurang Arsetif dan Terbuka. Kerentanan seseorang terhadap narkoba berkaitan erat dengan kemampuan
seseorang
mengungkapkan
perasaan
yang
kurang
negatif
mampu
seperti
untuk
kemarahan,
ketidakpuasan, kekecewaan. h. Kondisi Emosi yang Labil. Kondisi yang labil menyebabkan seseorang sering mengalami perubahan emosi yang mendadak tanpa faktor yang jelas (model swing).
Sehingga tindakan mengkomsumsi narkoba
dianggap lebih memberikan ketenangan pada dirinya ( Zulkarnain,2014:35-37). II.5.
Pengobatan dan Rehabilitasi Pemulihan residen residen yang didiagnosis dengan gangguan mental dan
perilaku akibat dari penyalahgunaan narkoba, tidaklah semudah yang dibayangkan banyak orang. Penanganan terhadap mereka tidak seperti pasien yang terkena penyakit infeksi yang jika diterapi dengan antibiotika yang tepat maka dalam jangka waktu seminggu sudah sembuh. Penanganan awal, artinya menghilangkan zat narkoba dari tubuh sipengguna mungkin bisa relatif cepat dilakukan, namun unsur kambuh (relapse) yang sering mendominasi kegagalan pemulihan, 29
menyebabkan pemulihan korban penyalahgunaan narkoba memerlukan jangka waktu yang relatif lama. Bahkan ada keyakinan diantara pengamat dan pengelola panti rehabilitasi bahwa pemulihan baru bisa diyakini keberhasilannya jika hayat terlepas dari badan sipenderita. II.5.1. Aspek Pemulihan bagi Penyalahgunaan Narkoba Pemulihan penyalahgunaan narkoba umumnya mencakup tiga aspek yaitu: terapi, habilitasi, dan rehabilitasi yang merupakan proses berkesinambungan. Tahapan utama proses perawatan dan pemulihan penderita ketergantungan narkoba: a) Tahap Detoksifikasi Terapi lepas narkoba (withrawal syndrome), dan terapi fisik yang ditujukan untuk menurunkan dan menghilangkan racun dari tubuh. b) Tahap Habilitasi Ditujukan untuk stabilitasi suasana mental dan emosional penderita, sehingga gangguan jiwa yang menyebabkan perbuatan penyalahgunaan narkoba dapat diatasi. c) Tahap Rehabilitasi Merupakan tahap rehabilitasi atau pemulihan keberfungsian fisik, mental dan sosial penderita, seperti: bersekolah, belajar, bekerja seta bergaul secara normal.
II.6.
Therapeutic Community (TC)
30
II.6.1. Sejarah Therapeutic Community Program terapi bagi pecandu narkoba merupakan hal yang relative baru berkembang. Program terapi ini kurang lebih mulai timbul dalam bentuk yang terorganisasi pada tahun 1960 sebagai respons terhadap masalah sosial dan masalah kesehatan masyarakat di Amerika Serikat. Pertumbuhan fasilitas terapi pada tahun 1960 dan 1970 mencerminkan berbagai pandangan tentang masalah penyalahgunaan dan ketergantungan narkoba. Selain itu juga dipengaruhi oleh tuntutan bagaimana masalah tersebut dapat ditangani secara efektif. Diluar unit detoksifikasi, yang ditujukan sebagai langkah awal terapi, terdapat
tiga
modalitas
terapi
yang
dominan
dalam
penatalaksanaan
penyalahgunaan narkoba; program rawat jalan, program terapi rumatan metadon, dan program residensial rawat inap jangka panjang yang disebut sebagai TC. Program TC saat itu berorientasi pada kondisi bebas zat (abstinensia), dimana residen diharapkan tidak lagi menggunakan zat selama dalam program dan setelah selesai program. Pada tahun 90-an, muncul program residensial rawat inap jangka pendek yang menggunakan pendekatan 12 langkah atau pendekatan lainnya (Institute Of Medicine, 1990). Sementara pada akhir tahun 90-an beberapa Negara, khususnya Belanda dan Australia mulai memodifikasi program TC dengan memasukkan pendekatan pengurangan dampak buruk dalm programprogramnya, sebagai suatu upaya menekan laju penularan HIV di kalangan pengguna narkoba.
II.6.2. pengertian Therapeutic Community
31
Terapi Komunitas (Therapeutic Community) adalah grup atau sekelompok orang yang memiliki prinsip interpersonal yang cukup tinggi, sehingga mampu mendorong orang lain untuk belajar berinteraksi di suatu komunitas. Terapi komunitas terdiri dari staf yang pernah mengalami rasa sakit dan memiliki perilaku yang timbul akibat ketergantungan narkoba, namun telah mampu dan mengetahui cara mengatasinya, serta telah melalui pendidikan dan pelatihan khusus yang memenuhi syarat dan konselor. Tenaga professional hanya sebagai konsultan saja. Di lingkungan khusus ini pasien dilatih ketrampilan mengelola waktu dan perilaku secara efektif serta kehidupan sehari – hari, sehingga dapat mengatasi keinginan mengonsumsi narkoba. Dalam komunitas ini semua aktif dalam proses terapi. Teori yang mendasari metode Therapeutic Community adalah pendekatan behavioral dimana berlaku sistem reward (penghargaan/penguatan) dan punishment (hukuman) dalam mengubah suatu perilaku. Selain itu digunakan juga pendekatan kelompok, dimana sebuah kelompok dijadikan suatu media untuk mengubah suatu perilaku. Dalam upaya mencapai pemulihan , konsep-konsep TC khususnya pesan yang disepakati sesama rekan sebaya dilaksanakan secara kompak. Konsep ini diterapkan secara konsisten serta berulang kali melalui berbagai program seperti kegiatan dalam kelompok, pertemuan, diskusi dan komunikasi sehari-hari. Residen menjalani waktu dengan rekan-rekan sebaya, bebas dari pengaruh luar. Merupakan satu keharusan program TC dilaksanakan selama 24 jam didalam panti (residential) dan 4-8 jam untuk program TC diluar panti (non residential). TC juga harus didasari oleh perawatan yang berkesinambungan (the continuum of care) yaitu tahap primer, tahap re-entry dan pembinaan lanjut.
32
Konsep Therapeutic Community yaitu menolong diri sendiri, dapat dilakukan dengan adanya keyakinan bahwa: 1. Setiap orang bisa berubah 2. Kelompok bisa mendukung untuk berubah 3. Setiap individu harus bertanggung jawab 4. Program terstruktur dapat menyediakan lingkungan aman dan kondusif bagi perubahan 5. Adanya partisipasi aktif II.6.3. Program TC di Indonesia Penyalahgunaan opiate merupakan masalah yang timbul pada akhir tahun 1970 dan kemudian mereda selama belasan tahun, digantikan zat-zat jenis lainnya. Penyalahgunaan opiate -khususnya heroin- kembali marak pada awal tahun 1990. Epidemic penyuntikan heroin dimulai pada tahun 1995. Hingga pertengahan tahun 1990, terapi adiksi narkoba yang tersedia adalah model medis di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) milik kementerian kesehatan, model rehabilitasi sosial dengan pelatihan vokasional pada berbagai Panti Rehabilitasi Sosial milik Kementerian Sosial, serta model religi yang diterapkan berbagai pesantren milik masyarakat ataupun rehabilitasi bernuansa kristiani. Sebagaimana yang terjadi di Amerika Serikat, pertumbuhan rehabilitasi dengan pendekatan TC di Indonesia dimulai dari kegelisahan keluarga pecandu heroin yang tidak memperoleh layanan terapi ketergantungan heroin bagi anak/ keluarganya di Indonesia. Beberapa keluarga membawa anggota keluarganya yang mengalami kecanduan heroin pada berbagai tempat rehabilitasi dengan pendekatan TC atau 12 langkah yang terdapat di luar negeri, khususnya Malaysia 33
dan Singapura. Para alumni rehabilitasi TC ini dengan dukungan penuh keluarganya kemudian mendirikan program TC di Indonesia. Sekalipun pada pertengahan tahun 90 telah dirintis program rehabilitasi TC oleh beberapa professional medis, namun pionir program ini yang dikenal oleh masyarakat secara luas adalah Yayasan Titihan Respati yang didirikan pada tahun 1997, kemudian diikuti dengan berbagai yayasan lainnya seperti Yayasan Terakota , Yayasan Insan Pengasuh Indonesia, Yayasan Bandulu, dan lainnya. Beberapa program TC yang juga dimotori oleh kalangan professional medis bekerja sama dengan konselor adiksi diantaranya adalah Wisma Adiksi, Sport Campus Wijaya Kusuma, Wisma Srikandi dan Arjuna RS Marzoeki Mahdi (kemudian memisahkan diri dari RS dan berdiri sendiri menjadi Yayasan Permata Hati Kita) dan Wisma Sirih RS Khusus Provinsi Kalimantan Barat. Pusat pembelajaran program TC saat itu Daytop Village, di New York, Amerika Serikat- sebagai pusat pelatihan sebagian besar konselor, baik yang berada di Malaysia, Singapura maupun Indonesia. Program ini menarik minat yang luar biasa, terutama dari kalangan menengah keatas dan berkembang secara cepat. Pada tahun 2000 tercatat lebih 80 lembaga rehabilitasi yang dijalankan dengan metode TC. Lebih dari 85% lembaga ini merupakan inisiatif masyarakat, selebihnya merupakan inisiatif professional kesehatan, pekerjaan sosial, maupun tokoh agama. Bahkan beberapa panti rehabilitasi sosial milik Kementerian Sosial seperti Galih Pakuan, Bogor juga mengadopsi pendekatan ini pada program rehabilitasinya. Biaya operasional penyelenggaraan program umumnya mengandalkan pola tarif layanan yang dibebankan pada residen serta dari donatur, kecuali lembaga rehabilitasi yang
34
berada dalam system pemerintahan. Dukungan pemerintah dalam bentuk biaya perawatan bagi para residen yang mengikuti program rehabilitasi swadaya masyarakat belum tersedia. Oleh karena itu, tidaklah heran apabila pada umumnya lembaga rehabilitasi swadaya masyarakat mengenakan pola tarif yang cukup tinggi dibandingkan dengan pendapatan perkapita masyarakat Indonesia. Hingga saat ini dukungan pemerintah dalam pembinaan lembaga rehabilitasi swadaya masyarakat masih terbatas pada peningkatan kapasitas lembaga ataupun sumber daya manusianya. Saat ini secara nasional keberadaan lembaga rehabilitasi swadaya masyarakat dengan pendekatan TC sangatlah terbatas. Kendala utama adalah beratnya beban biaya operasional TC, sementara sumber dana- baik yang berasal dari residen, maupun dalam bentuk bantuan- semakin lama semakin minim. Daya jangkau masyarakat
terbatas dan bantuan dana tidak diterima
secara
berkesinambungan, sehingga banyak program TC ditutup. Hal ini tentunya bukanlah suatu yang menggembirakan, karena bagaimanapun juga pecandu perlu memiliki berbagai pilihan terapi sehingga dapat memiliki kebutuhan setiap individu. Dalam hal ini perlu disadari bahwa tidak ada satu program pun yang cocok buat semua orang- salah satu prinsip terapi yang efektif dari National Institute on Drug Abuse (NIDA, 2009).
II.6.4 Filosofi Therapeutic Commnunity Dan Penerapan Metode Pekerjaan Sosial. 1. Filosofi Program TC berlandaskan pada filosofi dan slogan-slogan tertentu, baik
35
tertulis maupun yang tidak tertulis (unwritten philosophy). Filosofi TC yang tertulis merupakan sesuatu hal yang harus dihayati, dianggap sacral, tidak boleh diubah dan harus dibaca setiap hari. Sementara filosofi tidak tertulis (unwritten philosophy) adalah merupakan nilai-nilai yang harus diterapkan dalam proses pemulihan yang maknanya mengandung nilai-nilai kehidupan yang universal, artinya filosofi ini tidak mengacu kepada kultur, agama dan golongan tertentu. a. Filosofi TC yang tertulis “Saya berada di sini karena tiada lagi tempat berlindung, baik dari diri sendiri, hingga saya melihat diri saya di mata dan hati insane yang lain. Saya masih berlari, sehingga saya belum sanggup merasakan kepedihan dan menceritakan segala rahasia diri saya ini, saya tidak dapat mengenal diri saya sendiri yang lain, saya akan senantiasa sendiri. Dimana lagi kalau bukan di sini, dapatkah saya melihat cermin diri ini?. Disinilah, akhirnya, saya jelas melihat wujud diri sendiri. Bukan kebesaran semu dalam mimpi atau si kerdil di dalam ketakutannya. Tetapi seperti seorang insane, bagian dari masyarakat yang peduh kepedulian. Disini saya dapat tumbuh dan berakar, bukan lagi seorang seperti dalam kematian tetapi dalam kehidupan nyata dan berharga baik untuk diri sendiri maupun orang lain.”
b. Filosofi tidak tertulis (unwritten philosophy) Filosofi-filosofi yang ada di bawah ini tidak mengenal hirarki, dalam arti tidak ada yang lebih penting dari yang lainnya, melainkan merupakan nilai-nilai kehidupan yang seluruhnya
36
diterapkan dalam keseharian aktivitas para residen di panti rehabilitasi (facility). Berikut merupakan bagian penting dari filosofi tidak tertulis: 1) Honesty (kejujuran): kejujuran adalah nilai hakiki yang harus dijalankan para residen, setelah sekian lama mereka hidup dalam kebohongan. 2) No free lunch (tidak ada yang gratis di dunia ini): tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang didapatkan tanpa usaha terlebih dahulu. 3) Trust
your
environment
(percayalah
lingkunganmu):
percaya pada lingkungan panti rehabilitasi (facility) dan yakin bahwa lingkungan ini mampu membawa residen pada kehidupan yang positif. 4) Understand is rather than to understood (pahami lebih dahulu orang lain sebelum kita minta dipahami): sebelum kita minta untuk dipahami orang lain, adalah jauh lebih positif apabila kita pahami dahulu orang lain. Sikap ini akan lebih menggiring kita untuk berfikir bijaksana dan sabar. 5) Blind faith (keyakinan total pada lingkungan): keyakinan total pada lingkungan panti rehabilitasi akan makin membantu perbaikan diri residen. 6) To be aware is to be alive (waspada adalah inti kehidupan): sikap waspada sangat diperlukan dalam kehidupan , sehingga kita tidak mudah terjerumus pada hal-hal negatif.
37
7) Do your things right everything else will follow (pekerjaan yang dilakukan dengan benar, akan memberikan hasil positif): lakukan tugas-tugas kita sebagaimana mestinya, kita pasti akan memetik buahnya kemudian. 8) Be careful what ask for you, you might just get it (mulutmu harimaumu): jagalah mulut kita, karena ucapan-ucapan negatif dapat menjadi kenyataan. 9) You can’t keep it unless You give it away (sebarkanlah ilmumu pada banyak orang): tidak ada gunanya segenap pengetahuan yang kita miliki bila tidak kita sebarkan pada orang lain. 10) What goes around comes around (perbuatan baik akan berbuah baik): setiap perilaku kita yang positif akan memberikan dampak positif. 11) Compensation is valid (selalu ada ganjaran pada perilaku kita): hati-hatilah dalam bertindak, sebab selalu ada resiko yang menyertai tindakan itu. 12) Act as if (bertindak sebagaimana mestinya): bertindaklah apa adanya, namun apabila tidak sesuai dengan hati nurani, bertindaklah sebagaimana mestinya. 13) Personal growth before vested status (kembangkan dirimu seoptimal mungkin): pengembangan diri mutlak diperlukan sebelum kita mendapatkan jabatan/kepercayaan diri orang lain.
38
Pelaksanaan program disusun untuk membuat residen terlibat secara penuh dalam setiap kegiatan, sesuai dengan job function-nya masing – masing. Kedudukan petugas hanya sebagai pengawas, yang mengawasi program. Kategori struktur program utama dari Therapeutic Community, terdiri dari 4 (empat), yaitu: a. Behaviour management shaping (Pembentukan tingkah laku) Perubahan perilaku yang diarahkan pada kemampuan untuk mengelola kehidupannya sehingga terbentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai, norma – norma kehidupan masyarakat. b. Emotional and psychological (Pengendalian emosi dan psikologi) Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan penyesuaian diri secara emosional dan psikologis. c. Intellectual and spiritual (Pengembangan pemikiran dan kerohanian) Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan aspek pengetahuan, nilai – nilai spiritual, moral dan etika, sehingga mampu menghadapi dan mengatasi tugas – tugas kehidupannya maupun permasalahan yang belum terselesaikan. d. Keterampilan vokasional/mempertahankan diri, yaitu perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan dan keterampilan residen yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan tugas-tugas sehari-hari dan tugas-tugas kehidupannya. Lima pilar dalam metode-metode yang digunakan untuk mencapai perubahan yang diinginkan : a. Konsep Lingkungan Keluarga Pengganti (famili milieu concept).
39
Lingkungan sosial dalam TC dianggap sebagai pengganti dimana setiap staf serta residen merupakan anggota yang mempunyai hak dan kewajiban. b. Tekanan Teman Sebaya (peer pressure reversal). Para residen yang sebelumnya mempunyai kecenderungan untuk mengajak rekan sebaya melakukan hal hal negatif dibimbing untuk saling mendorong dan menciptakan suasana yang kondusif untuk mewujudkan perbuatan yang positif. c. Sesi-sesi Teraputik (Therapeutic sessions). Setiap kegiatan yang dilakukan residen selalu diarahkan untuk membentuk perilaku antara lain disiplin, tanggung jawab, dan kepedulian untuk mendukung proses pemulihan mereka. d. Sesi-sesi Keagamaan dan Spritual (Religious and Spritual sessions). Kegiatan kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas keimanan dan keyakinan mereka.
e. Menjadi Panutan (Role Modeling). Setiap residen belajar menjadi panutan sehingga dimasa mendatang mampu memberikan keteladanan bagi anggota keluarga/ rekan sebaya yang lain. 2. Prinsip pekerjaan sosial dalam TC Prinsip yang mendasari dilaksanakannya konsep TC adalah bahwa setiap orang pada prinsipnya dapat berubah, yaitu dari perilaku negatif ke arah perilaku yang positif. Dalam proses perubahan seperti ini, seseorang sangat memerlukan
40
bantuan pihak lain termasuk kelompok. Oleh karena itu, dalam proses pengubahan perubahan perilaku, TC dianggap sebagai keluarga besar. Konsep TC pada umumnya menerapkan pendekatan self help, artinya residen dibiasakan mengerjakan tugas-tugas yang berkaitan dengan pengelolaan kebutuhan sehari-hari, misalnya memasak, mencuci, membersihkan fasilitas TC, memperbaiki gedung dan sebagainya, disamping kegiatan yang bersifat pemberian keterampilan. Dalam hal ini, setiap kegiatan residen mempunyai tanggung jawab mengubah tingkah laku, baik bagi diri sendiri, maupun orang lain, jadi bukan semata-mata tanggung jawab petugas. Teori yang mendasari metode TC adalah pendekatan behavioral dimana berlaku system reward (penghargaan/penguatan) dan punishment (hukuman) dalam mengubah suatu perilaku. Selain itu juga digunakan pendekatan kelompok, dimana sebuah kelompok dijadikan suatu media untuk mengubah suatu perilaku. Dalam pelaksanaannya, berbagai pendekatan tersebut merupakan penerapan dari beberapa prinsip-prinsip pekerjaan sosial (Friendlander, 1958).
A. Prinsip-prinsip Umum a) Adanya keyakinan akan kebaikan, integritas dan kebebasan residen dalam menentukan hidupnya. b) Adanya keyakinan bahwa setiap residen memiliki kebutuhan baik kebutuhan fisik, sosial, psikologis, dan kebutuhankebutuhan
lain-lainnya.
Dalam
pemenuhannya
mempunyai hak untuk menentukan sendiri.
41
residen
c) Adanya
keyakinan
bahwa
setiap
residen
mempunyai
kesempatan yang sama tetapi kesempatan tersebut dibatasi oleh kemampuan sendiri. d) Adanya
keyakinan
bahwa
setiap
residen
mempunyai
tanggungjawab sosial untuk terlibat di dalam proses pemecahan masalah residen lainnya yang diwujudkan dalam tindakan bersama. B. Prinsip-prinsip Dasar a) Penerimaan (Acceptance) Pekerja sosial harus mengerti bagaimana memahami dan menerima residen „apa adanya‟. Penerimaan ini berarti menerima keseluruhan dimensi yang ada dalam diri residen seperti kekuatan, kelemahan, keistimewaan baik yang positf maupun yang negatif, karakteristik yang tersembunyi, serta aspek tingkah laku negatif yang dapat merusak diri residen. Penerapan prinsip ini diwujudkan dalam bentuk perhatian yang sungguh-sungguh, penerimaan yang hangat, didengarkan dengan baik dan sebagainya. b) Perbedaan individu Prinsip ini menekankan bahwa setiap individu/ residen yang mendapat
pelayanan
mempunyai
kepribadian,
agama,
kemampuan, latar belakang yang berbeda. Oleh karena itu, dalam setiap pelayanan/tindakan ditujukan kepada residen hendaknya didasarkan pada perbedaan tersebut.
42
c) Pengungkapan perasaan Prinsip ini melihat bahwa setiap residen mempunyai perasaanperasaan, keinginan, harapan yang akan diungkapkan. Oleh karena itu, pekerja sosial harus memberikan kesempatan yang luas untuk mengungkapkan atau mengekspresikan perasaanperasaannya.
Hal
ini
memungkinkan
residen
untuk
mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. d) Tidak memberikan penilaian (non-judgmental) Dalam prinsip ini diharapkan pekerja sosial yang bekerja dalam program
TC
baik/buruk,
hendaknya
berguna
atau
tidak
memberikan
tidak.
Pekerja
penilaian
sosial
hanya
memberikan penilaian secara objektif dan professional serta tidak
menghakimi
residen
sehingga
dapat
mendorong
keterlibatan dalam proses pelayanan serta meningkatkan kepercayaan diri residen.
e) Objektivitas Dalam prinsip objektivitas pekerja sosial harus bertindak jujur, tidak memihak dan menilai berdasarkan realitas yang terjadi di dalam melakukan atau memberikan pelayanan kepada residen, juga tidak memberikan suatu prasangka yang mengarah kepada penilaian yang dapat merugikan residen. f) Keterlibatan emosional Dalam prinsip ini, pekerja sosial dituntut untuk memiliki
43
perasaan empati, yang artinya perlu ikut merasakan apa yang dirasakan residen. Namun tidak berarti bahwa empati harus menerima kesalahan residen/terlibat lebih jauh di dalam kehidupan residen yang dapar merugikan residen dan diri pekerja sosial itu sendiri.\ g) Menentukan dirinya sendiri Prinsip ini didasarkan pada suatu nilai bahwa residen mempunyai hak dan kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri. Karena itu, dalam prinsip ini seorang pekerja sosial yang harus bertanggungjawab dalam mengembangkan relasi sosial yang dapat menggali dan mempermudah residen dalam membentuk dirinya sendiri dan membantu dalam mencari alternative-alternatif
pemecahan
masalah
serta
dalam
pengambilan keputusan.
h) Aksesibilitas terhadap sumber Prinsip ini melihat bahwa setiap residen memiliki potensi dan akses terhadap sumber yang dapat dikembangkan. Oleh karena itu, dalam penerapan prinsip ini pekerja sosial harus memberikan peluang tehadap aksesibilitas berbagai sumber dan kesempatan yang bisa merealisasikan harapan dan potensi residen. Pekerja sosial diharapkan mampu membantu residen dalam memanfaatkan sumber-sumber yang diperlukan.
44
i) Kerahasiaan Dalam proses pelayanan, pekerja sosial harus tetap menjaga segala kerahasiaan residen, seperti hal-hal yang berhubungan dengan masalahnya, latar belakang kehidupannya, dan lainlain. Kecuali untuk kepentingan atau penyelesaian masalah residen, seperti pembahasan kasus (case conference). Dalam proses ini semua harus dicatat untuk kepentingan proses penanganan residen. j) Kesinambungan Prinsip ini menekankan perlunya kesinambungan pelayanan kepada residen baik di dalam panti maupun di dalam masyarakat. Karena itu, pekerja sosial harus merencakan suatu pelayanan
yang
menekankan
pada
prinsip-prinsip
kesinambungan.
k) Ketersediaan pelayanan Prinsip ini menekankan perlunya ketersediaan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan diri residen serta kemampuan lembaga. II.7.
Proses Pelayanan Sibolangit Centre
II.7.1. Gambaran umum Pelayanan Metode Therapeutic Community (TC) merupakan sebuah modalitas terapi dalam bentuk rehabilitasi residential dengan jangka waktu yang relatif lama
45
dengan jangka waktu satu tahun atau lebih. Prinsip dasar dari metode TC adalah addict to addict, maksudnya para pengguna membentuk suatu komunitas untuk saling membantu dalam proses pemulihan dari masalah ketergantungan NAPZA. Selain itu para residen juga diwajibkan untuk dapat bekerja sama dengan semua unsur/staf maupun petugas yang terlibat didalam panti rehabilitasi tersebut. Peran keluarga maupun peran masyarakat sangat diperlukan dalam proses rehabilitasi, hal ini sangatlha penting menginga pada akhirnya residen harus kembali kepada keluarga dan masyarakat sekitarnya yang dekat dengan kehidupannya. Peran keluarga maupun orang yang dekat dengan residen dibagi kedalam 2 (dua) bentuk kegiatan, yakni: 1) Kunjungan Keluarga (familiy visit) Dalam kegiatan ini residen yang telah mendapat persetujuan untuk bertemu dengan keluarga, dapat dikunjungi oleh pihak keluarga sesuai dengan waktu yang telah sitetapkan. Pada umumnya adalah jangka waktu 2 (dua) minggu sekali. 2) Kelompok Dukungan Keluarga (family support group/FSG) Pertemuan ini dilakukan antara staff maupun pihak rehabilitasi dengan orang tua residen saja, dimana orang tua residen dapat berbagi pengalaman, perasaan serta harapan mereka untuk jangka waktu kedepannya. Pada umumnya biasa dilakukan 2 (dua) minggu sekali. II.7.2. Tahap Proses Pelayanan A. Proses Penerimaan (Intake Process) Proses Intake merupakan tahap pertama yang ditujukan untuk
46
mengenal calon residen dan memberikan informasi tentang panti kepada calon residen, keluarga, atau significants others lainnya. Upaya untuk memperoleh data dari calon residen dilakukan melalui wawancara yang meliputi: latar belakang, kesehatan, keluarga, lingkunga, pendidikan, dan penyalahgunaan. Setelah data diidentifikasi pekerja sosial menentukan diterima atau tidaknnya pecandu dalam panti yang bersangkutan B. Proses pengenalan (induction) Merupakan tahap dimana residen masuk kedalam lingkngan panti setelah ia menjalani tahap intake. Residen diperkenalkan dengan lingkungan baru (panti) yang meliputi: tujuan, filosofi, norma, nilai, kegiatan, dan kebiasaan panti, yang dirancang secara umu dan khusus untuk memulihkan residen kembali kemasyarakat umum (keluarga sebagai basis utama) dengan fungsi dan peran sesuai kemampuan dan keterbatasan residen. Dalam tahap ini, pekerja sosial dan staff membimbing residen untuk menjalani masa transisi dari kehidupan luar panti kedalam panti untuk menjalani proses pelayanan. Beberapa komponen pentiing dalam tahap Induction, yaitu: 1) Walking Paper. Merupakan satu perangkat pengenalan yang membantu proses adaptasi residen baru, dapat berubah atau ditambah sesuai dengan kebutuhan dan budaya atau sifat khas panti. 2) Induction Group. Merupakan sebuah kelompok yang berfungsi untuk memberikan pemahaman dan pengertian tentang program yang akan dijalankan,
47
beserta dengan pengertian dasarnya. C. Tahap Awal (Primary). Merupakan tahap dimana residen memasuki proses pelayanan. Tahap ini bertujuan untuk memperkuat kondisi stabil yang telah dicapai pada tahap induction. 1) Konsep Umum Dalam tahap ini akan terdapat beberapa konsep umum yang mencakup: a) Lingkungan panti yang sehat. Lingkungan panti yang sehat memuat komponen komponen yang konsep, pemikiran, filosofi, norma, nilai, kegiatan, dan kebiasaan panti yang dirancang secara umum dan khusus untuk melayani residen dalam mengatasi masalahnya. b) Lokasi. Tempat tinggal residen dalam proses pelayanan sebaiknya jauh dari keramaian dan kebisingan pusat kota, sehngga tercipta lingkungan yang tenang yang lebih menfokuskan residen terhadap program pemulihannya. 2) Isu isu Kritis. Dalam tahap primary juga terdapat beberapa isu kritis: a) Separasai dan Integrasi. b) Emosi dan Perilaku. c) Sugesti. d) Belajar untuk berfungsi dalam komunitas. 3) Fase dalam Tahap Primary.
48
a) Younger Member ( 1 – 3 bulan ) b) Middle Peer ( 1 – 2 bulan ). c) Older Member ( 1 – 2 bulan). D. Tahap Lanjutan (re-entry). Tahap ini merupakan tahap dimana residen dilatih untuk bergabung dengan keluarga, lingkungan masyarakatnya, lingkungan sekolah. Tujuannya adalah meningkatkan kemampuan interaksi residen dengan lingkungan sosialnya, namun proses pelayanan belum sampai pada tahap terminasi. 1. Konsep Umum. Dalam tahap ini dikenal beberapa konsep umum yang menjelaskan posisi panti dan residen dalam melaksanakan program, antara lain: a. Permulaan recovery pemulihan atas adiksi. b. Reintegrasi. c. Separasi dan Individualisasi. d. Asimilasi dan Adaptasi. e. Penanganan Residen. f. Lokasi. g. Network. 2. Isu – isu Kritis. a. Separasi. b. Sugesti. c. Kebutuhan akan jaringan sosial yang baru. 3. Fase dalam Re-Entry.
49
a. Orientasi re-entry (kurang lebih 2 minggu). b. Fase re-entry A (1,5 sampai 2 bulan). c. Fase re-entry B (kurang lebih 2 bulan). d. Fase re-entry C (kurang lebih 2 bulan). 4. Kriteria kesiapan Residen untuk menyelesaikan fase Re-entry. Residen yang menyelesaikan fase re-entry C disebutkan bahwa dirinya telah menyelesaikan keseluruhan program residensial. Hal ini patut mendapat kebebebasan secara penuh menjalani kehidupan bermasyarakat diluar panti. a. Jumlah waktu selama fase re-entry Meskipun tidak mutlak, jumlah hari/ minggu/ bulan selama masa primary menjadi pertimbangan untuk penyelesaian fase re-entry. b. Stabil secara emosi, mental, dan rasional. 1. Telah terbina kebiasaan untuk berpikir secara rasional serta memberikan keputusan yang tepat. 2. Dalam aktivitasnya residen mampu mendapat kepuasan secara sehat. c. Jaringan sosial. 1. Memiliki sosial network yang mendukung pemulihannya. 2. Memiliki
lingkungan
yang
positif
mendukung
pemulihannya. d. Arah karir/ tujuan hidup yang jelas. Selain memiliki tujuan yang jelas, dalam tingkat tertentu residen sudah melakukan berbagai upaya penjajangan dan implementasi
50
rencana secara jelas. e. Konsep/ filosofi/ pandangan hidup. 1. Memiliki status identitas yang jelas 2. Memiliki pandangan serta pedoman hidup yang sehat. E. Pembinaan Lanjut (After Care). Merupakan suatu tahap dimana residen telah selesai mengikuti program, dan disebut sebagai alumni. Kemudian alumni memasuki masyarakat luas: keluarga, lingkungan tetangga, lingkungan kerja, dan lingkungan pendidikan. Unsur unsur yang sangat mendukung upaya pembinaan lanjut bagi alumni narkoba adalah: faktor keluarga, teman sebaya, lingkungan kerja , lingkungan sosial masyarakat, pengetahuan tentang replase.
II.8.
Kerangka Pemikiran Narkoba merupakan masalah yang sudah menjadi universal dan bahkan
tidak asing lagi didengar oleh masyarakat. Saat ini penyalahgunaan narkoba hampir tidak bisa dicegah bahkan semakin terus meningkat persentasenya. Dalam mendapatkan narkoba saat ini sangatlha mudah, hal ini diakibatkan adanya oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang dengan sengaja terus menghancurkan generasi generasi bangsa khususnya kaum remaja. Kurangnya tingkat kesadaran masyarakat akan dampak dari penyalahgunaan narkoba menjadikan peredaran gelap narkoba semakin marak dan terus berkembang. 51
Dampak dari penyalahgunaan narkoba ialah dapat merusak sistem kerja organ tubuh dan menghancurkan masa depan sipemakai, Salah satu
upaya yang
dilakukan baik pemerintah maupun pihak swasta untuk mengurangi dan menyelesaikan masalah penyalahgunaan narkoba adalah dengan mendirikan panti panti rehabilitasi. Panti Rehabilitasi Al-Kamal Sibolangit Centre merupakan salah satu tempat rehabilitasi bagi pecandu narkoba yang berada di Indonesia khususnya di Sumatera Utara. Salah satu program yang diterapkan oleh Sibolangit Centre dalam proses rehabilitasi terhadap residen (pecandu narkoba) adalah dengan menerapkan program Therapeutic Community. Dalam menjalani program TC ini setiap residen akan melewati 5 (lima) tahapan yang setiap tahapan memilki tujuan, sasaran mekanisme, serta peran dari pekerja sosial yang berbeda dan mempunyai kekhususan. Kelima tahapan tersebut ialah : 1) Tahap penerimaan (intake process). 2) Tahap pengenalan rehabilitas (induction). 3) Tahap awal pelayanan (primary). 4) Tahap lanjutan (re-entry). 5) Tahap pembinaan berkelanjutan (after care). Program Therapeutic Community (TC) yang diterapkan di Panti Rehabilitasi Al-Kamal Sibolangit Centre merupakan suatu program pemulihan terhadap residen penyalahgunaan narkoba yang dapat dirasakan langsung dan dievaluasi oleh residen. Dan lebih khusus lagi, untuk mengetahui sejauh mana proses pengenalan akan program yang diberikan terhadap residen di Al-Kamal Sibolangit Centre serta proses pelaksanaan Therapeutic Community dan melihat sejauh mana pemahaman residen akan manfaat diterapkannya program Therapeutic Community didalam pemulihan penyalahgunaan Narkoba. 52
Bagan Alur Pemikiran Panti Rehabilitasi Al-Kamal Sibolangit Centre
Program Therapeutic Community (TC)
Tahap tahap Pelayanan: 1. Tahap penerimaan (intake process). 2. Tahap pengenalan rehabilitas (induction). 3. Tahap awal pelayana n (primary). 4. Tahap lanjutan (reentry). 5. Tahap pembinaan berkelanjutan (after care)
53
RESIDEN
Evaluasi: 1. Proses pengenalan program. 2. Proses pelaksanaan program. 3. Pemahaman akan manfaat program. Bagan 2.1. Bagan Alur Pikir
II.9.
Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional
II.9.1. Defenisi Konsep Perumusan defenisi konsep dalam suatu penelitian ilmiah merupakan proses dan upaya penegasan makna konsep didalam suatu penelitian. Perumusan defenisi konsep juga memiliki pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang diterapkan dalam suatu penelitian (Siagian,2011:136). Defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan sejumlah pengertian yang digunakan secara mendasar dan menyamkan perpepsi tentang apa yang akan diteliti dan untuk menghindari kesalaha pahaman pengertian yang dapat mengaburkan tjuan penelitian (Silalahi,2009:112).
54
Adapun konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Evaluasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses yang sistematis dan
berkelanjutan
untuk
mengumpulkan,
mendeskrisipkan,
menginterprestasikan dan menyajikan informasi untuk dapat digunakan sebagai dasar membuat keputusan, menyusun kebijakan maupun menyusun program selanjutnya.. 2. Evaluasi Program yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu rangkaian kegiatan pengumpulan data atau informasi dari suatu program secara sistematis yang bertujuan untuk menilai, mengukur suatu program, meningkatkan keefektifan program dan mengambil keputusan berkaitan dengan program dimasa yang akan datang.
3. Program Therapeutic Community (TC) yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan suatu program rehabilitasi yang bertujuan untuk memulihkan dan mengembalikan fungsi dan peran sosial residen. 4. Residen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah individu atau kelompok yang menjadi penghuni Panti Rehabilitasi Al-Kamal Sibolangit Centre. 5. Penyalahgunaan Narkoba yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu penyakit endemik yang sering terjadi dikalangan masyarakat
dan
merupakan kronik yang berulangkali kambuh dan merupakan prose gangguan mental adiktif akibat dari tindakan penyimapangan terhadap kegunaan pemakaian NAPZA.
55
6. Panti Rehabilitasi Narkoba Al-Kamal Sibolangit Centre yang dimaksud adalah suatu tempat rehabilitasi swasta (non government) terhadap residen penyalahgunaan narkoba
yang menerapkan program Therapeutic
Community (TC) yang berada di Sibolangit, Sumatera Utara.
II.9.2. Defenisi Operasional Defenisi operasional merupakan seperangkat petunjuk atau kriteria atau operasi yang lengkap tentang apa yang harus diamati dan bagaimana mengamatinya dengan memiliki rujukan rujukan empiris yang bertujuan untuk mempermudah peneliti dalam melakukan penelitian lapangan. Untuk itu diperlukan operasionalisasi dari konsep konsep yang menggambarkan tentang apa yang harus diamati (Silalahi,2009:120). Melihat transformasi yang berlaku, maka defenisi operasional sering disebut suatu proses operasionalisasi konsep yaitu menjadikan konsep yang semula bersifat statis menjadi dinamis. Jika konsep bersifat dinamis akan memungkinkan untuk dioperasikan. Wujud operasionalisasi konsep adalah dalam bentuk sajian yang benar-benar terperinci, sehingga makna dan aspek-aspek yang terperangkum dalam konsep tersebut terangkat dan terbuka (Siagian,2011:141142). Adapun yang menjadi defenisi operasional dalam penelitian Evaluasi Pelaksanaan Program Therapeutic Community (TC) Terhadap Residen Penyalahgunaan Narkoba diRehabilitasi Al-Kamal Sibolangit Centre diukur dari indikator indikator berikut ini: 1. Proses Pengenalan Program
56
Dengan indikator: a. Pengetahuan Residen terhadap informasi program Therapeutic Comunnity. b. Pengetahuan Residen terhadap penerapan program Therapeutic Community di Panti Rehabilitasi. c. Pendaftaran diri penyalahgunaan NAPZA untuk Mengikuti Program Theraputic Community d. Pengumpulan data diri residen sebagai bahan pertimbangan kelayakan residen menggikuti program pemulihan.
2. Proses pelaksanaan program Dengan indikator: a. Penilaian residen
terhadap kelengkapan sarana dan pra-sarana
yang ada di Panti Rehabilitasi dalam menjalankan program. b. Kendala
yang
dihadapi
residen
saat
mengikuti
program
Therapeutic Community. c. Tingkat kejenuhan residen selama mengikuti program Therapeutic Community yang dijalankan Panti Rehabilitasi. d. Tanggapan residen terhadap kinerja pelaksanaan Program. 3. Pemahaman akan Manfaat Program Dengan indikator:
57
a. Pemahaman residen akan fungsi penerapan program Theraputic Community didalam suatu rehabilitasi. b. Tingkat keberhasilan program Therapeutic Community diPanti Rehabilitasi terhadap pola hidup residen. c. Pemahaman residen tentang bagaimana pelaksanaan program Therapeutic Community
58