BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yangmenyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalamjangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan (Arsyad, 2010).Menurut Meier (1995) dalam Kuncoro (2006), pembangunan ekonomi merupakansuatu proses dimana pendapatan per kapita suatu negara meningkat selama kurunwaktu yang panjang, dengan catatan bahwa jumlah penduduk yang hidup dibawah “Garis Kemiskinan Absolut” tidak meningkat dan distribusi pendapatantidak semakin timpang. Peningkatan pendapatan per kapita dalam jangka panjangmerupakan kunci dalam melihat suatu pengertian pembangunan ekonomi, dalam (Dhyatmika, 2013). Suatu proses pembangunan tidak terlepas dari tujuan yang ingin dicapai.Menurut Todaro (2006) proses pembangunan paling tidak memiliki tiga tujuaninti yaitu 1) peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barangkebutuhan hidup yang pokok; 2) peningkatan standar hidup; dan 3) perluasanpilihan-pilihan ekonomis dan sosial. Disamping memiliki tujuan inti,pembangunan secara garis besar memiliki indikator-indikator kunci yang padadasarnya dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu indikator ekonomi danindikator sosial. Yang termasuk sebagai indikator ekonomi adalah GNP
8
perkapita, laju pertumbuhan ekonomi, GDP per kapita dengan Purchasing Power Parity, sedangkan yang termasuk indikator sosial adalah Human Development Index (HDI) dan Physical Quality Life Index (PQLI) atau indeks mutu hidup (Kuncoro, 2006) dalam (Dhyatmika, 2013). Pembangunan regional mengacu pada pertumbuhan dan perubahan di berbagai aspek dalam suatu daerah. Menurut Meier (1995), pembangunan ekonomi merupakan”suatu proses dimana pendaptan per kapita suatu negara meningkat selama kurun waktu yang panjang dengan catatan jumlah penduduk yang hidup di bawah ‘garis kemiskinan absolute” tidak dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang (dalam kuncoro, 2010). Karena merupakan suatu proses, pembangunan ekonomi meliputi pertumbuhan ekonomi yang diiringi dengan perubahan (growth plus change) dalam perubahan struktur ekonomi dan perubahan kelembagaan. Perubahan struktur ekonomi dapat dicontohkan ketika ada perubahan dari pertanian menuju industri dan jasa.Sedangkan perubahan kelembagaan terjadi melalui reformasi kelembagaan itu sendiri. Arsyad (2010) dalam (Dhyatmika, 2013), mengartikan pembangunan ekonomi daerah sebagai suatuproses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yangada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsangperkembangan ekonomi dengan wilayah tersebut. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses, yaitu proses yang mencakup pembentukan institusi-institusi baru, pembanguan industri-industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk
9
dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan pengembangan perusahaan-perusahaan baru (Arsyad, 2010) dalam (Dhyatmika, 2013). Menurut Arsyad (2010) keadaan sosial ekonomi yang berbeda disetiap daerah akan membawa implikasi bahwa cakupan campur tangan pemerintah untuktiap daerah berbeda pula.Perbedaan tingkat pembangunan antar daerah,mengakibatkan perbedaan tingkat kesejahteraan daerah. Ekspansi ekonomi suatudaerah akan mempunyai pengaruh yang merugikan bagi daerah-daerah lain,karena tenaga kerja yang ada, modal, perdagangan, akan pindah kedaerah yangmelakukan ekspansi tersebut seperti yang diungkapkan Myrdal (1957) dalamJhingan (2010) mengenai dampak balik pada suatu daerah. Menurut Gant (1971) dalam Pakhpahan (2009) ada dua tahap dalam tujuan pembangunan yaitutahap pertama bertujuan untuk menghapuskan kemiskinan.Jika tujuan ini sudahtercapai maka tahap kedua adalah menciptakan kesempatankesempatan bagiwarganya untuk mencukupi segala kebutuhannya. Pertumbuhan
ekonomi
daerah
yang
akanmenyebabkan
terjadinya
ketimpangan
berbeda-beda
atau
disparitas
intensitasnya ekonomi
dan
ketimpangan pendapatan antar daerah.Myrdal (1968) dan Friedman (1976) menyebutkan bahwa pertumbuhan atau perkembangan daerah akan menuju kepada divergensi. 2.2. Pertumbuhan Ekonomi
10
Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatanmasyarakat secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikanseluruh nilai tambah (value added) yang terjadi (Tarigan, 2005 : 46). Perhitungan
pendapatan
wilayah
pada
awalnya
dibuat
dalam
hargaberlaku.Namun agar dapat melihat pertambahan dari satu kurun waktu ke kurun waktu berikutnya, harus dinyatakan dalam nilai riil, artinya dinyatakan dalamharga konstan.Pendapatan wilayah menggambarkan balas jasa bagi faktorfaktorproduksi yang beroperasi di daerah tersebut (tanah, modal, tenaga kerja, danteknologi), yang berarti secara kasar dapat menggambarkan kemakmuran daerahtersebut. Kemakmuran suatu wilayah selain ditentukan oleh besarnya nilai tambahyang tercipta di wilayah tersebut juga oleh seberapa besar terjadi transferpayment, yaitu bagian pendapatan yang mengalir ke luar wilayah atau mendapataliran dana dari luar wilayah. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu dari indikator keberhasilan suatu proses pembangunan ekonomiyang terjadi pada suatu negara atau wilayah. Meskipun demikian, pertumbuhan ekonomi tidak identik dengan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi hanya salah satu syarat dari banyak syarat yang diperlukan dalam proses pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi hanya mencatat peningkatan kapasitas penawaran atau produksi barang dan jasa yang berdasarkan pada peningkatan teknologi, penyesuaian ideologi dan kelembagaan yang dibutuhkan. Sedangkan pembangunan ekonomi mencakup perubahan pada komposisi produksi, perubahan pada pola penggunaan dan alokasi sumber daya produksi diantara sektor-sektor kegiatan ekonomi, perubahan pada pola distribusi
11
kekayaan dan pendapatan diantara berbagai golongan pelaku ekonomi, perubahan pada kerangka kelembagaan dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh (Todaro, 2006) dalam (Dhyatmika, 2013). Pertumbuhan ekonomi tidak terlepas dari faktor-faktor yangmempengaruhi. Menurut pandangan ekonom klasik, Adam Smith, David Ricardo,Thomas Robert Malthus dan John Straurt Mill, maupun ekonom neo klasik sepertiRobert Solow dan Trevor Swan, mengemukakan bahwa pada dasarnya ada empatfaktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu (1) jumlah penduduk, (2)jumlah stok barang modal, (3) luas tanah dan kekayaan alam, dan (4) tingkatteknologi yang digunakan, sedangkan menurut Schumpeter, faktor utama yangmenyebabkan perkembangan ekonomi adalah proses inovasi atau wiraswasta(entrepreneur) (Pratama, 2010). Suatu perekonomian dikatakan mengalamipertumbuhan atau bekembang apabila tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi daripada apa yang dicapai pada masa sebelumnya (Kuncoro, 2006) dalam (Dhyatmika, 2013). 2.3. Ketimpangan Daerah Ketimpangan
mengacu
pada
standar
hidup
relatif
dari
seluruh
masyarakat.Sebab ketimpangan antar wilayah disebabkan adanya perbedaan faktor anugerah awal (Endowmwnt Factor).Perbedaan inilah yang menyebabkan tingkat pembangunan di berbagai wilayah dan daerah berbeda-beda,sehingga menimbulkan gap atau jurang kesejahteraan di berbagai wilayah tersebut (Sadono, 1997 dalam Andono, 2011). Menurut Mydral (1957) dalam Andono (2011), perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antara daerah yang berlebihan akan mengakibatkan pengaruh yang
12
merugikan (backwash effect) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effects) yang dalam hal ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung meningkat bukannya menurun, sehingga mengakibatkan kesenjangan antar daerah (Arsyad,1999). Adelman dan Moris (1973) berpendapat bahwa ketimpangan pendapatan di daerah ditentukan oleh jenis pembangunan ekonomi yang ditunjukan oleh ukuran negara, sumber daya alam, dan kebijakan yang dianut. Dengan kata lain, faktor kebijakan dan dimensi structural perlu diperhatikan selain laju pertumbuhan ekonomi (Mudrajad, 1999). 2.4. Penyebab Ketimpangan Daerah Myrdal (1957) dalam Fadilla (2008) menyatakan bahwa tingkat kemajuan ekonomi antar daerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash effect) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effect) terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang memiliki kekuatan di pasar secara normal akan meningkat bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar daerah (Arsyad, 1999). Menurut Neo-Klasik Ketimpangan Pembangunan Wilayah terjadi karena adanya perbedaansumberdaya, tenaga kerja, dan modal yang dimiliki oleh tiap daerah adalah berbeda-beda.HipotesaNeo-Klasik merupakan dasar teoritis terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah.Termasuk dalam hal ini adalah hasil studi dari Jeffrey G. Williamson yang melakukan pengujianterhadap kebenaran Neo-Klasik tersebut. Menurut Neo-Klasik bahwa ketimpangan wilayah
13
akanberkurang dengan sendirinya. Neo-Klasik berpendapat bahwa dalam awal pembangunan yangdilaksanakan di negara yang sedang berkembang justru ketimpangan meningkat, hal inidikarenakan pada saat proses pembangunan baru dimulai di negara sedang berkembang,kesempatan dan peluang pembangunan yang ada umumnya di manfaatkan oleh daerah-daerahyang kondisi pembangunan sudah lebih baik. Sedangkan daerah-daerah yang masih sangatterbelakang tidak mampu memanfaatkan peluang karena keterbatasan sarana dan prasarana sertarendahnya kualitas sumber daya manusia.Selain faktor ekonomi, faktor sosial-budaya juga turutmempengaruhi ketimpangan pembangunan wilayah (Myrdal. 1976) dalam (Harun, 2012). Pembangunan secara umum menyangkut beberapa aspek utama, mulai dari pembangunan di bidang ekonomi, sosial, kelembangaan dan aspek lingkungan. Akan tetapi di dalam proses pencapaiannya akan selalu mengakibatkan terjadinya ketimpangan. Hal ini sekaligus menolak pendapat kaum neoklasik yang terlalu optimis menyatakan bahwa pada awal pembangunan memang akan dijumpai ketidakseimbangan atau ketimpangan, akan tetapi pada akhirnya akan dicapai suatu keseimbangan atau kemertaan. Pada prinsipnya ada beberapa bentuk ketimpangan yang terjadi antara lain yaitu: a. Distribution Income Disparities; Berbagai macam alat pengukuran banyak dijumpai dalam mengukur tingkat distribusi pendapatan penduduk, yaitu 1) Gini Index Gi = 1 - ∑ (Pi – Pi-1) (Qi + Qi-1), 0 ≤ Gi ≤ 1
14
Dimana: Pi = % kumulatif jumlah penduduk; Qi = % kumulatif jumlah pendapatan; Gi = 0, perfect Equality; Gi = 1, perfect inequlity.
2) Kurva Lorenz Kurva Lorenz secara umum sering dipergunakan untuk menggambarkan bentuk ketimpangan yang terjadi terhadap distribusi pendapatan masyarakat. 3) Kriteria Bank Berdasarkan kriteria Bank Dunia di dalam menentukan tingkat ketimpangan yang terjadi dalam distribusi pendapatan penduduk, maka penduduk dibagi menjadi 3 kategori yaitu: -
20% penduduk pendapatan tinggi;
-
40% penduduk pendapatan sedang;
-
40% penduduk pendaptan rendah.
b. Reginal Income Disparities; Ketimpangan yang terjadi tidak hanya terhadap distribusi pendapatan masyarakat, akan tetapi juga terhadap pembangunan
antar daerah di dalam
wilayah suatu negara. Beberapa perbedaan antara wilayah dapat dilihat dari beberapa persoalan seperti, potensi wilayah, pertumbuhan ekonomi, investasi (domestik dan asing), luas wilayah, konsentrasi industry, transportasi, pendidikan, budaya dan sebagainya (Sirojuzilam, 2010). Lipshitz (1996) melakukan kajian tentang ketimpangan regional di Canada menyatakan bahwa ketimpangan terjadi sebagai akibat dari adanya internal 15
migration yang tidak saja menyebabkan bertambahnya jumlah tempat tinggal (residen) akan tetapi juga terhadap mutu atau kualitas mereka (Sirojuzilam, 2010). Banyak penelitian yang dilakukan oleh pakar tentang bagaimana ketimpangan terjadi dalam proses pembangunan. Kuznets (1955) membuat suatu hipotesis U terbalik (inverted U curve) yang menyatakan bahwa pada awal pembangunan ditandai oleh ketimpangan akan semakin meningkat, namun setelah mencapai pada suatu tingkat pembangunan
tertentu ketimpangan akan menurun
(Sirojuzilam, 2010). Disisi lain banyak pula pakar mengatakan adanya trade off diantara ketimpangan dan pertumbuhan ekonomi. Fei dan Ranis (1964), Kuznets(1966), Adelman dan Moris (1973) menyatakan bahwa disparitas atau ketimpangan pendapatan ditentukan oleh jenis pembangunan ekonomi yang diindikasikan oleh luas wilayah (negara), sumber daya alam sebagai endowment factordan kebijakan yang dilaksanakan(Sirojuzilam, 2010). Meluasnya ketimpangan antara wilayah kuat dan lemah dalam fase awal pembangunan bersumber dari keberadaan efek crowding-out antar wilayah kuat dan wilayah lemah dalam bentuk(Nopriansyah, 2010): 1. Emigrasi tenaga kerja skill wilayah yang relatif lemah ke wilayah yang lebih kuat; 2. Arus masuk kapital ke wilayah kaya karena permintaan yang lebih tinggi, ketersediaan infrastruktur yang lebih baik, ketersediaan pelayanan publik dan potensi pasar, kondisi lingkungan yang lebih baik bagi perusahaan;
16
3. Alokasi investasi publik lebih besar ke wilayah kuat dalam merespon permintaan potensial dan aktual; 4. Keterbatasan perdagangan sumberdaya antar wilayah sehingga pada tahap awal, perkembangan yang terjadi wilayah kaya tidak menghasilkan efek sepenuhnya terhadap wilayah miskin. Menurut(Tambunan,2003) dalam Nopriansyah (2010) beliau berkesimpulan faktor-faktor penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi antar provinsi di indonesia adalah sebagai berikut: a) Kosentrasi kegiatan ekonomi wilayah Kosentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah. Ekonomi dari daerah dengan kosentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh cepat. Sedangkan kosentrasi kegiatan ekonomi rendah akan cenderung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. b) Alokasi investasi Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar adanya korelasi positif antara investasi dan laju pertumbuhan ekonomi, kurangnya investasi disuatu wilayah membuat pertumbuhan dan pendapatan masyarakat perkapita di wilayah tersebut rendah. Karena tidak ada kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri manufaktur. c) Tingkat mobilitas faktor produksi yang rendah antar daerah. Kurang lancarnya mobilitas produksi seperti L dan K antar provinsi juga terjadinya ketimpangan ekonomi regional.
17
d) Perbedaan SDA. Dasar pemikiran klasik sering mengatakan bahwa pembangunan ekonomi di daerah yang kaya SDA akan lebih maju dan masyarakat lebih makmur dibandingkan di daerah yang miskin SDA. e) Perbedaan kondisi sosial demografis antar wilayah. Ketimpangan ekonomi regional di indonesia
juga di sebabkan oleh
perbedaan kondisi geografis antar provinsi. Terutama dalam hal jumlah dan pertumbuhan penduduk, tingkat kepadatan penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakadan etos kerja. f) Kurangnya lancarnya perdagangan antar provinsi. Kurang lancarnya perdagangan antar daerah merupakan unsur yang menciptakan ketimpangan ekonomi regional di indonesia. Ketidaklancaran tersebut disebabkan terutama oleh keterbatasan transportasi dan komunikasi. 2.5. Pengukur Ketimpangan Antar Wilayah Mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah dalam suatu negara atau daerahbukanlah hal yang mudah karena hal ini akan dapat menimbulkan perdebatan yang panjang.Namun pada umumnya metode yang lazim digunakan dalam mengukur ketimpanganpembangunan antar wilayah adalah dengan menggunakan metode Williamson Index. Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah yang mula-mula ditemukan adalahWilliamson Index. Dalam Ilmu Statistik, indeks ini sebenarnya adalah
18
coefficient of variation yanglazim digunakan untuk mengukur suatu perbedaan. Istilah Williamson Index muncul sebagaipenghargaan kepada Jeffrey G. Williamson yang pertama kali menggunakan teknik ini untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah. 1. Williamson Index (Vw) Williamson Index adalah suatu ukuran yang digunakan agar pertumbuhan ekonomi yang dicapai dinikmati secara merata diantara wilayah dalam suatu negara.
Pemerataan
dapat
dilihat
melalui
indeks williamson
yang
menunjukkan nilai mendekati 1 maka pembangunan semakin tidak merata, dan sebaliknya jika mendekati 0 maka pembangunan semakin merata. Walaupun indeks ini mempunyai beberapa kelemahan, antara lain sensitif terhadap definisi wilayah yang digunakan dalam perhitungan, namun demikian indeks ini cukup lazim digunakan dalam mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah.
VW =
∑ (Yi − Y )
2
Fi / n
Y
Dimana: VW Yi Y Fi N
: : : : :
Koefisien ketimpangan Pendapatan perkapita di daerah Pendapatan perkapita provinsi Penduduk di daerah Jumlah penduduk
2. Indeks Entropy Theil Indeks lain yang juga lazim digunakan dalam mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah Theil Index. Data yang diperlukan untuk mengukur indeks ini adalah sama dengan yang diperlukan untuk menghitung williamson index yaitu PDRB per kapita untuk setiap wilayah dan jumlah 19
penduduk. Demikian pula halnya dengan penafsiran yang juga sama yaitu bila indeks mendekati 1 artinya sangat timpang dan sebaliknya bila indeks mendekat 0 artinya sangat merata. Sedangkan formulasi Theil Index (Td) adalah sebagai berikut: Td = ∑∑ {y ij / Y }log{y ij / Y }/{nij / N } n
n
i =1 j =1
Dimana: yj : PDRB perkapita per provinsi ke-j xj : jumlah penduduk per provinsi ke-j Y : PDB nasional X : jumlah penduduk nasional
Namun demikian, penggunaan Theill Index sebagai ukuran ketimpangan mempunyai kelebihan tertentu. Pertama, indeks ini dapat menghitung ketimpangan dalam daerah dan antar daerah secara sekaligus, sehingga cakupan analisa menjadi lebih luas. Dalam kasus Indonesia, dengan menggunakan metode ini dapat dihitung ketimpangan propinsi dan kabupaten/kota serta antar propinsi, kabupaten dan kota. Kedua, dengan menggunakan indeks ini dapat pula dihitung kontribusi (dalam persentase) masing-masing daerah terhadap ketimpangan pembangunan wilayah secara keseluruhan sehingga dapat memberikan implikasi kebijakan yang cukup penting. 2.6.Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Simon Kuznets (dalam Todaro, 2006 : 253) mengatakan bahwa pada tahapawal
pertumbuhan
ekonomi,
distribusi
pendapatan
cenderung
memburuk(ketimpangan membesar), namun pada tahap selanjutnya, distribusi
20
pendapatanakan membaik. Observasi inilah yang kemudian dikenal sebagai kurva Kuznets“U-terbalik” (Hipotesis Kuznets). Dalam
hal
membuatgrafik
ini,
pembuktian
antara
hipotesis
pertumbuhan
Kuznets
dilakukan
dengan
PDRB
dengan
indeks
ketimpangan(IndeksWilliamson). Jika kurva yang dibentuk oleh hubungan antara variabel tersebutmenunjukkan kurva U-terbalik, maka hipotesis Kuznets terbukti bahwa padatahap awal pertumbuhan ekonomi terjadi ketimpangan yang membesar dan padatahap-tahap berikutnya ketimpangan menurun, namun pada suatu waktuketimpangan akan menaik dan demikian seterusnya. Dewasa ini, terdapat banyak ulasan yang mencoba menjelaskan mengapapada tahap-tahap awal pembangunan ditribusi pendapatan cenderung memburuk,namun kemudian membaik.Sebagian besar dari ulasan tersebut mengaitkannyadengan kondisi-kondisi dasar perubahan yang bersifat struktural. Menurut modelLewis, tahapan
pertumbuhan
yangmempunyai
awal
lapangan
akan kerja
terpusat
di
sektor
terbatas
namun
industri
tingkat
modern,
upah
dan
produktivitasterhitung tinggi. Kurva Kuznets dapat dihasilkan oleh proses pertumbuhanberkesinambungan yang berasal dari perluasan sektor modern, seiring denganperkembangan sebuah negara dari perekonomian tradisional ke perekonomianmodern. Di samping itu, imbalan yang diperoleh dari investasi di sektor pendidikan mungkin akan meningkat terlebih dahulu, karena sektor modern yangmuncul memerlukan tenaga kerja terampil, namun imbalan ini akan menurunkarena penawaran tenaga terdidik meningkat dan penawaran tenaga kerja tidakterdidik menurun. Jadi, walaupun
21
Kuznets tidak menyebutkan mekanisme yangdapat menghasilkan kurva U-terbalik ini, secara prinsip hipotesis tersebutkonsisten dengan proses bertahap dalam pembangunan ekonomi. Namun terlihatbahwa, dampak pengayaan sektor tradisional dan modern terhadap ketimpanganpendapatan akan cenderung bergerak berlawanan arah, sehingga perubahan netopada ketimpangan bersifat mendua (ambiguous), dan validitas empiris kurvaKuznets masih patut dipertanyakan. Terlepasdari
perdebatan
metodologisnya,
beberapa
ekonom
pembangunantetap berpendapat bahwa tahapan peningkatan dan kemudian penurunanketimpangan pendapatan yang dikemukakan Kuznets tidak dapat dihindari. 2.7. Teori Kemiskinan Menurut Badan Pusat Statistik, kemiskinan adalah ketidakmampuanindividu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak.Pengertian lainnya Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawahgaris nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan,yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (povertythreshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiapindividu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori perorang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian,kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya. Usaha pembangunan yang dilakukan tidak lain bertujuan untuk memperbaiki sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi upaya itu
22
terkadang kurang dapat dilaksanakan dengan baik atas beberapa kendala, sehingga tidak urung menimbulkan masalah yaitu kemiskinan (Sirojuzilam, 2008). Ditinjau
dari
kelompok
sasaran,
terdapat
beberapa
tipe
kemiskinan.Penggolongan tipe kemiskinan ini dimaksudkan agar setiap tujuan program memilikisasaran dan target yang jelas. Sumodiningrat (1999) membagi kemiskinan menjadi tigakategori, yaitu 1) Kemiskinan absolut (pendapatan di bawah garis kemiskinan dan tidakdapat memenuhi kebutuhan dasarnya), 2) Kemiskinan relatif (situasi kemiskinan di atasgaris kemiskinan berdasarkan pada jarak antara miskin dan non-miskin dalam suatukomunitas), dan 3) Kemiskinan struktural (kemiskinan ini terjadi saat orang ataukelompok masyarakat enggan untuk memperbaiki kondisi kehidupannya sampai adabantuan untuk mendorong mereka keluar dari kondisi tersebut) dalam (Achmad firman, Linda Herlina). Kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Menurut
Friedman
(Suharto, dkk, 2004:6), basis
kekuasaan sosial meliputi (a) modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan), (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit), (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (kopersi, parta politik, organisasi sosial), (d) jaringan social untuk memperoleh pekerjaan, barang dan jasa, (e) pengetahuan dan keterampilan, dan (f) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup(Agus, 2014). Kemiskinan merupakan fenomena yang sangat kompleks (Suharto, dkk,2004). David Cox (2004: 1-6) membagi kemiskinan
ke dalam beberapa
dimensi (Agus, 2014):
23
a. Kemiskinan
yang
diakibatkan
globalisasi.
Globalisasi
menghasilkan
pemenang dan pengalah. Pemanang umumnya adalah negara-negara maju. Di negara-negara
berkembang
seringkali
orang
yang
miskin
semakin
terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi. b. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten (kemiskinan
akibat
rendahnya
pembangunan),
kemiskinan
pedesaaan
(kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang sebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan). c. Kemiskinan sosial: kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak dan kelompok minoritas. d. Kemiskinan konsekuensial: kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan dan tingginya jumlah penduduk. Menurut SMERU (Suharto, 2004) (Agus, 2014), kemiskinan memiliki berbagai dimensi: 1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan). 2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan trasnportasi). 3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).
24
4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun missal. 5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber alam. 6. Tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial masyarakat. 7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan. 8. Ketidakmampuan berusaha karena cacat fisik maupunmental. 9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil. Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak (BPS dan Depsos, 2002: 3). Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada dibawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold).Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (BPS dan Depsos, 2002 : 4) dalam(Agus, 2014). 2.8.Ciri-ciri dan Ukuran Kemiskinan 2.8.1 Ciri-ciri Kemiskinan a. Salim (1984:63) memberikan cirri-ciri kemiskinan sebagai berikut:
25
1. Mereka yang tidak mempunyai faktor produksi sendiri (sperti modal dan keterampilan); 2. Tidak memiliki kemungkinan untuk memiliki asset produksi dengan kekuatan sendiri; 3. Rata-rata pendidikan mereka rendah; 4. Sebagian besar mereka tinggal di pedesaan dan bekerja sebagai buruh tani b. Menurut Juoro, (1985: 8), golongan miskin yang tinggal di kota ialahmereka yang hidup di suatu perekonomian yang biasa disebut slum. Mereka bukanlah gelandangan karena mempunyai pekerjaan, tempat tinggal, aturan hidup bermasyarakat dan memiliki aspirasi. c. Menurut
Tumanggor
dalam
Ismail
(1999:
3),
ciri-ciri
masyarakat
pencarian
mereka
umumnya
yangberpengahasilan rendah/miskin adalah : 1. Pekerjaan
yang
menjadi
mata
merupakanpekerjaan yang menggunakan tenaga kasar; 2. Nilai pendapatan mereka lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlahjam kerja yang mereka gunakan; 3. Nilai pendapatan yang mereka terima umumnya habis untuk membeli kebutuhan pokok sehari-hari; 4. Karena
kemampuan
dana
yang
sangat
kurang,
maka
untuk
rekreasi,pengobatan, biaya perumahan, penambahan jumlah pakaian semuanya itu hampir tidak dapat dipenuhi sama sekali. 2.8.2.Ukuran Kemiskinan
26
Pada umumnya terdapat 2 indikator untuk mengukur tingkat kemiskinan di suatu wilayah, yaitu kemiskinan absolute dan kemiskinan relatif. Mengukur kemiskinan dengan mengacu pada garis kemiskinan yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan relatif (Tulus, 2011 dalam Andono (2011). 1. Kemiskinan Absolut Kemiskinan
absolute merupakan
ketidakmampuan
seseorang dengan
pendapatan yang diperolehnya mencukupi kebutuhan dasar minimum yang diperlukan untuk hidup setiap hari.Kebutuhan minimum tersebut digunakan sebagai batas garis kemiskinan. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil, sehingga dapat ditelusuri kemajuan yang diperoleh dalam menanggulangi kemiskinan pada level absolut sepanjang waktu. 2. Kemiskinan Relatif Kemiskinan relatif ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencapai standar kehidupan yang ditetapkan masyarakat setempat sehingga proses penentuannya sangat subjektif. Mereka yang berada dibawah standar penilaian tersebut dikategorikan sebagai miskin secara relatif.Kemiskinan relatif ini digunakan untuk mengukur ketimpangan distribusi pendapatan. a. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Untuk mengukur kemiskinan, Indonesia melalui BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs) yang dapat diukur dengan angka atau hitungan Indeks Perkepala (Head Count Index), yakni jumlah dan
27
persentase penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita perbulan di bawah garis kemiskinan.Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil sehingga kita dapat mengurangi angka kemiskinan dengan menelusuri kemajuan yang diperoleh dalam mengentaskan kemiskinan di sepanjang waktu. b. Menurut Bank Dunia Suatu
masyarakat
dikategorikan
miskin
apabila
pendapatan
per
kapitanyasetara dengan 1/3 dari pendapatan nasional per kapita. c. Menurut BAPPENAS Tahun 1990, kemiskinan diukur dengan menggunakan ukuran dasar barang setara dengan 30 Kg beras per kapita per bulan untuk masyarakat perkotaan (Zadjuli, 1993: 9). d. Ukuran kemiskinan juga sering dihubungkan dengan Kebutuhan layakHidup (KHL) per kapita atau Kebutuhan Hidup Minimal (KHM) perkapita Masyarakat. (BPS: 2001). 2.9. Hubungan Ketimpangan Dengan Kemiskinan Masalah
pokok
Negara
berkembang,
Kesenjangan
ekonomi
atau
ketimpangan distribusi pendapatan atau tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang hidup dibawah garis kemiskinan. Hipotesis Kuznets: Pada tahap awal pembangunan tingkat kemiskinan meningkat dan pada tahap akhir pembangunan tingkat kemiskinan menurun. Faktor yang berpengaruh pada tingkat kemiskinan : a. Pertumbuhan; b. Tingkat pendidikan; 28
c. Struktur ekonomi. Wodon (1999) menjelaskan hubungan pertumbuhan output dengan kemiskinan diekspresikan dalam: Log Gkt = α + βLog Wkt + αt + ∑kt Dimana: Gkt Wkt αt ∑kt
:Indeks gini untuk wilayah k pada periode t : Rata-rata konsumsi/pendapatan riil (rasio kesejahteraan) diwilayah k pada periode t :Efek lokasi yang tetap :Term kesalahan
Dalam persamaan tersebut, elastisitas ketidakmerataan distribusi pendapatan terhadap pertumbuhan merupakan komponen kunci dari perbedaan antara efek bruto (ketimpangan konstan) dan efek neto (efek dari perubahan ketimpangan) dari pertumbuhan pendapatan terhadap kemiskinan. g l b d
:efek bruto (ketimpangan konstan) :efek neto (efek dari perubahan ketimpangan) :elatisitas ketimpangan terhadap pertumbuhan :elastisitas kemiskinan terhadap ketimpangan
Pertumbuhan
Ketimpangan
Kemiskinan
maka, Λ = γ + βδ Elatisitas ketimpangan terhadap pertumbuhan dan elastisitas kemiskinan terhadap ketimpangan diperoleh dengan persamaan: Log Pkt = w + Log Wkt + Log Gkt + wk + vkt Dimana: Pkt Gkt Wkt Wk vkt
: Kemiskinan diwilayah k pada periode t : Indeks gini untuk wilayah k pada periode t : Rata-rata konsumsi/pendapatan riil (rasio kesejahteraan) diwilayah k pada periode t : efek-efek yang tetap :term kesalahan
29
Studi empiris di LDC’s menunjukkan ada korelasi yang kuat antara pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan. Studi lain menunjukkan bahwa kemiskinan berkorelasi dengan pertumbuhan output (PDB) atau Pendapatan nasional baik secara agregat maupun disektor-sektor ekonomi secara individu. 2.10. Penelitian Sebelumnya Jurnal penelitian yang di tulis oleh Lia Maharani Fadilla (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Ketimpangan Pendapatan Antar Kabupaten Pemekaran Di Sumatera Utara”.Hasil dari penelitiannya menjelaskan bahwa berdasarkan hasil estimasi tersebut bahwa variabel jumlah penduduk (JP) berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara.Sedangkan variable PDRB berpengaruh negatif dan signifikan dan pengeluaran pemerintah (PP) berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap ketimpangan pendapatan antar kabupaten pemekaran di Sumatera Utara. Lukman Harun dan Ghozali Maski (2012) yang berjudul “Analisis Pengaruh Pengeluaran
Pemerintah
Daerah
dan
Pertumbuhan
Ekonomi
Terhadap
Ketimpangan Pembangunan Wilayah”.Hasil dari penelitiannya menjelaskan bahwa Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari Pengeluaran Pemerintah
Daerah
danPertumbuhan
Ekonomi
terhadap
Ketimpangan
Pembangunan Wilayah di seluruh kabupaten dankota di Propinsi Jawa Timur pada tahun 2007-2011. Ketimpangan Pembangunan Wilayah sebagaivariabel dependen diukur dengan menggunakan metode pengukuran Indeks Williamson.Berdasarkan tujuan tersebut metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis
30
regresidata panel dengan pendekatan Random Effect Model.Hasil empiris penelitian ini menunjukkan bahwa Pengeluaran Pemerintah Daerahberpengaruh negatif
dan
signifikan
danPertumbuhan
Ekonomi
terhadap
Ketimpangan
berpengaruh
positif
Pembangunan dan
signifikan
Wilayah terhadap
Ketimpangan PembangunanWilayah. Nopriansyah (2010) yang berjudul “Analisis Hubungan Ketimpangan Daerah Dengan Tingkat Kemiskinan Di Provinsi Jambi Periode Tahun 2000-2009“Hasil dari penelitiannya menjelaskan bahwa Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat di ketahui bahwa tingkat ketimpangan antar daerah di Provinsi Jambi periode tahun 2000-2009 berada pada Vw 0,477 – Vw 0,406 dengan ratarata 0,417. Tingkat kemiskinan di Provinsi Jambi pada periode tahun 2000-2009 di Provinsi Jambi memiliki presentase sebesar 4,85 – 4,44 dengan rata-rata 6,31. Perkembangan penduduk miskin di Provinsi Jambi pada periode ini mengalami peningkatan pada setiap tahunnya. Berdasarkan hasil korelasi antara tingkat ketimpangan antar daerah dengan tingkat kemiskinan
dengan mengunakan
perhitungan person memiliki hubungan positif antara tingkat ketimpangan antar daerah dengan tingkat kemiskinan dan mempunyai tingkat hubungan yang sedang dengan koefisien korelasi person sebesar 0,552. Berdasarkan hasil penelitian dengan mengunakan perhitungan kausalitas dan mengunakan program microfit antara tingkat ketimpangan antar daerah dengan tingkat kemiskinan di Provinsi Jambi periode tahun 2000-2009 adanya hubungan positif antara tingkat ketimpangan antar daerah dengan tingkat kemiskinan sebesar (4,1458>2,228), artinya H0 ditolak dan Ha diterima. Hal ini menunjukan bahwa
31
tingkat ketimpangan antar daerah berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemisikinan di Provinsi Jambi. Sebaliknya dengan mengunakan alat analisis yang sama bahwa tingkat kemiskinan dengan tingkat ketimpangan antar daerah juga memiliki hubungan yang positif sebesar (2,5998>2,228), artinya H0 ditolak dan Ha diterima. Hal ini menunjukan bahwa tingkat kemiskinan berpengaruh signifikan terhadap tingkat ketimpangan antar daerah di Provinsi Jambi periode tahun 2000-2009. 2.11. Kerangka Koseptual
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota
Pendapatan Perkapita
Ketimpangan Antar Daerah
Tingkat Kemiskinan
Kesejahteraan Masyarakat
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
32
2.12. Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban yang disusun oleh penulis yang kemudian akan diuji kebenarannya melalui penelitian yang akan dilakukan, hipotesis nya adalah: 1. Terdapat hubungan timbal balik antara tingkat ketimpangan daerah dengan tingkat kemiskinan di Sumatera Utara. 2. Terdapat pengaruh yang positif antara tingkat ketimpangan daerah dengan tingkat kemiskinan antar daerah di Sumatera Utara.
33