BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 . Landasan Teori Berdasarkan Undang Undang No.32 Tahun 2004, pasal 1 ayat 5 tentang otonomi daerah, otonomi daerah diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan diimplementasikannya ketentuan tentang pelaksanaan otonomi daerah tersebut, maka akan terbentuklah daerah-daerah yang memiliki hak dan kewenangan tertentu guna mengatur dan menata kepentingan masyarakatnya ke arah yang lebih baik. Daerah-daerah dimaksud disebut dengan daerah otonomi yaitu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Undang Undang No.34 Tahun 2000, pasal 1 ayat 1). Pelaksanaan otonomi daerah dititikberatkan kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang dimulai dengan adanya sejumlah penyerahan daerah kewenangan (urusan) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang bersangkutan. Penyerahan berbagai kewenangan dalam rangka otonomi daerah
ini tentunya harus disertai
dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan. Pelaksanaan otonomi daerah ini
Universitas Sumatera Utara
diharapkan membawa sejumlah peluang kepada daerah untuk membangun wilayah daerahnya sendiri-sendiri.
Selanjutnya dengan pemberlakuan otonomi daerah
tersebut berarti setiap wilayah daerah dihadapkan pada adanya tantangan berupa kemandirian keuangan dan fiskal. Sebaliknya, sebagai konsekuensi logis dari otonomi daerah ini adalah akan menurunnya dukungan keuangan dari Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah dan oleh sebab itu pemerintah daerah harus berupaya untuk meningkatkan sumber-sumber pembiayaan daerahnya sendiri. Sumber pembiayaan daerah yang paling penting adalah sumber pembiayaan yang dikenal dengan istilah PAD (Pendapatan Asli Daerah). Komponen-komponen PAD menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 pasasl 79 terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lain-lain pendapatan yang sah. Pajak daerah adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk investasi publik. Pajak daerah adalah pajak yang wewenang pungutannya berada di daerah. Retribusi adalah pembayaran kepada negara dan atau daerah yang dilakukan karena digunakannya jasa-jasa negara atau daerah. Retribusi sangat berhubungan erat dengan jasa pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat yang membutuhkan. Komponen PAD selanjutnya adalah laba Badan Usaha Milik Daerah. Perusahaan daerah adalah perusahaan yang dimiliki oleh atau modalnya berasal dari Pemerintah Daerah. Komponen terakhir PAD adalah Lain-lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah yang dapat terdiri atas Pendapatan Hibah, Pendapatan Dana Darurat (Bencana Alam) dan Pendapatan Lainnya misalnya
Universitas Sumatera Utara
penerimaan dari swasta, bunga simpanan giro dan Bank serta penerimaan dari denda kontraktor (Peraturan Pemerintah No.24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan). Aspek pembiayaan merupakan aspek yang sangat penting dalam berbagai macam kegiatan, termasuk dalam kegiatan pengelolaan sampah (Meidiana & Gamse, 2010). Hal ini sejalan dengan pendapat Waluyo (2010) bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, baik materil maupun spirituil berbagai pihak perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan. Lebih lanjut Santosa, Darsono dan Syafrudin (2010) mengatakan pula bahwa aspek pembiayaan merupakan sumber daya penggerak agar roda sistem pengelolaan persampahan agar berjalan lancar. Jadi, dapat dikatakan bahwa aspek pembiayaan sebagai ujung tombak dalam pengelolaan sampah karena akan sangat mempengaruhi aspek lainnya terutama aspek teknis operasional seperti dalam penyediaan sarana prasarana pengelolaan sampah seperti wadah sampah, sapu dan truk pengangkut sampah. Ketidak-mampuan dalam penyediaan dana untuk membiayai kegiatan pelayanan kebersihan akan berakibat menurunnya tingkat maupun kualitas pelayanan dan tentu akan berakibat menurunnya kualitas lingkungan di lokasi atau daerah terkait. Pada tahun 2007, diproyeksikan penduduk Kota Medan mencapai 2.083.156 jiwa. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2000 diperkirakan akan terjadi pertumbuhan penduduk selama tahun 2000-2007 sebesar 1,28 % pertahun. Dengan luas wilayah yang mencapai 265,10 km², maka kepadatan penduduk mencapai 7858 jiwa/km². Selanjutnya menurut data dari Dinas Kebersihan Kota Medan bahwa pada
Universitas Sumatera Utara
tahun 2009 jumlah penduduk Kota Medan telah bertambah menjadi 2.578.315 jiwa, sementara jumlah sampah yang dihasilkan akan mencapai sebesar 5.616 m³/hari (1.404 ton/hari). Dengan volume sampah sebesar itu, maka pengelolaan sampah harus dilakukan dengan sebaik mungkin. Jika tidak, maka akan terjadi penurunan kualitas lingkungan, dan hal ini terbukti di mana selama beberapa periode terakhir ini Kota Medan tidak pernah lagi memperoleh piagam penghargaan di bidang kebersihan maupun lingkungan hidup, berupa penghargaan Adipura dan Kalpataru.
2.1.1. Retribusi Daerah Retribusi diartikan sebagai “pungutan yang dikenakan sehubungan dengan suatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh Pemerintah secara langsung dan nyata kepada pembayar” (Resmi, 2007: 2). Jadi, retribusi merupakan sejumlah pungutan biaya yang harus dibayarkan seseorang kepada negara karena telah memperoleh jasa atau pelayanan tertentu secara langsung dari pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah. Contoh: retribusi parkir, retribusi sampah, retribusi jalan tol dan sebagainya. Undang Undang Nomor 34 tahun 2000 pasal 1 ayat 2 menjelaskan bahwa retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Selanjutnya dalam Undang Undang Nomor 18 tahun 1997 pasal 18 ayat (2) Golongan retribusi terdiri dari 3 golongan yaitu: Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan Tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Retribusi Jasa Umum adalah pungutan retribusi yang dilakukan atas jasa yang diberikan atau disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Retribusi jenis ini ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan daerah dengan mempertimbangkan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan (Undang-Undang nomor 34 tahun 2000 Pasal 21). Sementara Retribusi Jasa Usaha merupakan pungutan retribusi yang dilakukan atas jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Pemungutannya didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak. Sedangkan Retribusi Perizinan Tertentu adalah pungutan retribusi atas kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan, didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau sama dengan biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Berdasarkan penggolongan di atas, maka retribusi sampah ini termasuk dalam golongan retribusi jasa umum.
2.1.2. Retribusi Sampah Sejalan dengan pengertian retribusi di atas, maka retribusi sampah merupakan pungutan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah (dalam hal ini SKPD tertentu)
Universitas Sumatera Utara
kepada rumah tangga ataupun objek lainnya yang telah memperoleh jasa pelayanan pengelolaan sampah. Jadi retribusi sampah yang termasuk ke dalam golongan retribusi jasa umum merupakan pungutan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah kepada masyarakat yang berada dalam wilayah hukumnya atas pemberian jasa atau pelayanan penanganan sampah atau kebersihan. Pemungutannya harus didasarkan pada pertimbangan mengenai biaya penyelenggaraan pelayanan, tingkat kemampuan masyarakat dalam membayar serta aspek keadilan. Oleh sebab itu penetapan besarnya tarif retribusi sampah ini harus didasarkan pada besarnya biaya operasional pengelolaan. Selain itu pemungutan retribusi (termasuk retribusi sampah) haruslah dilandasi oleh Undang Undang atau peraturan tertentu. Untuk wilayah Kota Medan retribusi sampah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan Nomor 8 Tahun 2002.
2.1.3. Pengutipan Retribusi Sampah Pemerintah Daerah wajib menentukan besarnya biaya jasa pengelolaan sampah yang dipungut dari masyarakat dan pelaku usaha dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat. Besarnya biaya jasa pengelolaan sampah dari masyarakat dan pelaku usaha yang akan ditentukan oleh Pemerintah Daerah harus mempertimbangkan
infrastruktur
dan
peralatan
yang
tersedia.
Dengan
mempertimbangkan tingkat kemampuan ekonomi masyarakat dan juga infrastruktur dan peralatan yang tersedia, diharapkan pelayanan yang diberikan akan menjadi
Universitas Sumatera Utara
optimal dan dapat memuaskan masyarakat, sehingga hasil pengutipan retribusi sampah akan menjadi tinggi. Pengutipan retribusi sampah di Kota Medan dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 18 Tahun 2002. Apakah jumlah tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Medan sebagaimana diatur dalam peraturan ini telah memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai faktor yang diperkirakan akan ikut mempengaruhi hasil pengutipannya, seperti tingkat pelayanan yang diberikan, kemampuan membayar masyarakat, sosialisasi mengenai pentingnya partisipasi masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat, kiranya perlu penelitian yang tersendiri. Namun demikian, data hasil pengutipan retribusi sampah di Kota Medan dalam beberapa tahun belakangan ini telah menunjukkan penurunan yang cukup berarti, sehingga kemungkinan akan mempengaruhi kemampuan Dinas Kebersihan dalam melakukan atau memberikan pelayanan pengeloaan sampah. Besarnya hasil pengutipan retribusi sampah akan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat berupa faktor yang melekat pada pihak yang menerima pelayanan, maupun faktor yang melekat pada pihak yang memberikan pelayanan. Faktor-faktor yang melekat pada diri pihak yang menerima pelayanan, antara lain dapat berupa tingkat kemampuan dan kemauan rumah tangga untuk membayar retribusi sampah (disebut sebagai faktor-faktor sosiologis dalam Arizal, 2003). Sementara faktor yang melekat pada pihak yang memberikan pelayanan antara lain seperti besaran tarif retribusi sampah, tingkat pelayanan dan kesungguhan petugas pengutip retribusi sampah juga diperkirakan akan mempengaruhi besar kecilnya hasil pengutipan
Universitas Sumatera Utara
retribusi sampah tersebut. Dalam penelitian ini, hanya faktor kemampuan membayar, kemauan membayar retribusi sampah dan tingkat pelayanan saja yang diteliti. Faktorfaktor besaran tarif dan kesungguhan petugas pengutip retribusi sampah tidak ikut diteliti karena penentuan besaran tarif tidak sepenuhnya berada di tangan Dinas Kebersihan, melainkan juga ditentukan oleh pihak lain, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sementara faktor kesungguhan petugas pengutip retribusi sampah juga tidak dimasukkan dalam penelitian ini karena faktor ini dipandang sangat subjektif bagi responden.
2.1.4. Tingkat Pelayanan Berbagai teori mengenai perilaku konsumen menjelaskan hubungan antara tindakan
perusahaan
dalam
rangka
mempengaruhi
konsumen
atau
calon
konsumennya dengan perilaku konsumen tersebut. Stimulus-Response Theory yang dikemukakan oleh Skinner (dalam Samboro, 2008: 19) mengenai proses belajar mengemukakan bahwa suatu tanggapan dari seseorang timbul sebagai akibat dari suatu rangsangan yang dihadapinya. Dalam hal ini, tingkat pelayanan yang baik dan berkualitas serta frekwensi pelayanan yang tinggi dapat dipandang sebagai atau akan menjadi stimulus yang dapat merangsang anggota masyarakat yang dilayani untuk memberikan respons terhadap stimulus itu berupa kesediaan dan kesadaran untuk memberikan kontribusi (balas jasa) atas pelayanan tersebut yang dalam hal ini berupa pembayaran atas retribusi pelayanan sampah. Selanjutnya, menurut Douglas dalam
Universitas Sumatera Utara
Mulyono (2008) bahwa untuk produk yang membutuhkan jasa pelayanan fisik, jasa pelayanan menjadi komponen yang kritis dari nilai. Pelayanan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan seseorang atau sesuatu pihak terhadap orang/pihak lain dalam rangka memberikan kepuasan kepada orang/pihak yang dilayani tersebut. Pelayanan kebersihan atau pelayanan/jasa persampahan termasuk dalam kelompok pelayanan umum, yaitu pelayanan yang ditujukan kepada semua anggota masyarakat di suatu lokasi/daerah tertentu dan umumnya dilakukan oleh pihak pemerintah (pemerintah daerah). Keputusan MenPan No.81 tahun 1993 menyatakan bahwa pelayanan umum adalah segala bentuk pelayanan yang diberikan oleh pemerintah pusat/daerah dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat, dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara Munir (2000: 17) mengartikan pelayanan umum sebagai “setiap kegiatan yang dilakukan oleh pihak lain yang ditujukan guna memenuhi kepentingan orang banyak”. Begitu pula Batinggi (1999: 12) berpendapat bahwa pelayanan umum merupakan “perbuatan atau kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mengurus hal-hal yang diperlukan masyarakat/khalayak umum”. Oleh karena sampah diproduksi oleh setiap anggota masyarakat, maka pelayanan kebersihan merupakan bentuk pelayanan umum yang harus diberikan oleh Pemerintah (dalam hal ini Pemerintah Daerah). Berdasarkan adanya pelayanan tersebut, maka Pemerintah Daerah dapat melakukan pengutipan balas jasa atas pelayanan yang diberikan yang disebut sebagai retribusi sampah.
Universitas Sumatera Utara
Pelayanan yang baik, berkualitas dan memuaskan sangat tergantung kepada sumber daya yang tersedia untuk melakukan kegiatan pelayanan tersebut. Sumber daya ini dapat berupa tenaga manusia yang bertugas melayani pengutipan, pengangkutan dan pemusnahan sampah, peralatan-peralatan yang digunakan, serta fasilitas lainnya yang terkait dengan itu, seperti penyediaan sarana pengumpulan sampah, baik di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) maupun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Selain ketersediaan sumber daya, manajemen terhadap sumber daya tersebut juga merupakan hal yang krusial dalam rangka memberikan pelayanan sampah yang memuaskan. Frekwensi pengutipan/pengambilan sampah oleh para petugas kebersihan dan begitu juga pengangkutannya ke lokasi TPS maupun TPA akan secara langsung berpengaruh kepada kualitas kebersihan di lokasi pelayanan. Hal ini selanjutnya tentu akan menimbulkan kepuasan masyarakat yang dilayani. Kepuasan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian atau diskonfrontasi yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya (Tse & Wilton dalam Tjiptono, 1996: 146). Kunci utama dalam mengelola mutu jasa yang memuaskan adalah adanya kemudahan dalam mengakses dan berkomunikasi, kompetensi karyawan yang dapat diandalkan, kesopanan dan kredibilitas yang tinggi, jaminan jasa pelayanan dengan reabilitas dan keberwujudan, dan adanya kecepatan dalam menanggapi berbagai keluhan dan masalah dari pelanggan, bukan saja dengan pemenuhan fasilitas yang lengkap dan memadai, melainkan juga kelengkapan
Universitas Sumatera Utara
paralatan dan alat-alat dan pemberian tarif yang relatif terjangkau bagi semua kalangan masyarakat (Kotler, 2001: 105). Dapat dikatakan bahwa kepuasan pelanggan merupakan modal utama dalam usaha memenangkan dan tetap dapat bertahan dalam persaingan sekaligus sebagai faktor penting bagi kelangsungan hidup perusahaan. Kotler (1997: 36) mengatakan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan konsumen terhadap jasa yang diberikan akan mempengaruhi tingkah laku konsumen selanjutnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan konsumen, adalah mutu produk dan pelayanan, kegiatan penjualan, pelayanan setelah penjualan dan nilai-nilai perusahaan. Kepuasan dapat diartikan sebagai suatu keadaan dalam diri seseorang, di mana ia telah berhasil mendapatkan sesuatu yang menjadi kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginannya. Untuk dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan, perusahaan harus berusaha mengetahui terlebih dahulu apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh pelanggan yang dilayani. Pratiwi & Prayitno (2005) dalam penelitian mereka tentang tingkat kepuasan atas pelayanan hotel menemukan ada dua variabel yang menentukan tingkat kepuasan pelanggannya, yaitu kualitas pelayanan dan tingkat harga kamar, dan masing-masing memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kepuasan konsumen. Jadi kedua variabel itu harus sama-sama ditingkatkan sehingga akan menjadikan konsumen merasa lebih puas. Dalam
konteks
jasa
pelayanan
sampah,
tingkat
pelayanan
pengutipan/pengambilan sampah, pengangkutan, dan pemusnahannya merupakan faktor penentu tinggi rendahnya kepuasan pelanggan yang dilayani. Bila frekwensi
Universitas Sumatera Utara
kegiatan pengambilan dan pengangkutan sampah yang dilakukan oleh petugas Dinas Kebersihan tinggi dan teratur dan kualitas pelayanan tersebut baik, tentu rumah tangga maupun anggota masyarakat lainnya yang dilayani akan merasa puas terhadap pelayanan tersebut. Selanjutnya, bila tingkat kepuasan pelanggan tinggi, maka dapatlah diharapkan bahwa mereka akan rela melakukan pembayaran atas retribusi yang ditagih oleh petugas Dinas Kebersihan, dan hal ini tentu akan menaikkan jumlah penerimaan retribusi sampah. Dengan demikian dapat diprediksi bahwa tingkat pelayanan akan sangat berpengaruh terhadap pengutipan retribusi sampah. Semakin baik kualitas pelayanan pengelolaan sampah, maka akan semakin tinggi hasil pengutipan retribusi sampah.
2.1.5. Kemampuan Membayar Dalam rangka mendorong kelancaran pelaksanaan otonomi daerah, sumber pembiayaan pengelolaan sampah seharusnya berasal dari retribusi yang dibebankan kepada dan dikutip dari masyarakat yang dilayani dan juga berasal dari dana pemerintah (Meidiana & Thomas, 2010). Selanjutnya, menurut The Allen Consulting Group (2003), salah satu sumber pembiayaan dalam pengelolaan sampah dapat berasal dari retribusi yang biasa disebut dengan user charges (tarif pelanggan atau tarif retribusi sampah). Besarnya tarif retribusi sampah sangat dipengaruhi oleh kemampuan membayar (Ability to Pay, ATP). Hal ini sejalan dengan Teori Gaya Pikul yang dikemukakan oleh Sinninghe Damste dalam Brotodihardjo (1978). Menurut teori ini bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pelayanan
Universitas Sumatera Utara
negara kepada warganya haruslah dipikul oleh segenap orang yang menikmati pelayanan tersebut dan besar pembebanannya haruslah disesuaikan dengan gaya pikul seseorang. Gaya pikul ini terdiri atas pendapatan, kekayaan dan susunan keluarga (Brotodihardjo, 1978: 29). Semakin besar nilai pendapatan seseorang maka akan semakin besar gaya pikulnya dan tentu akan semakin tinggi pula tingkat kemampuannya untuk membayar tarif retribusi sampah. Selanjutnya menurut Wicaksono, Bambang, dan Dianita (2006), kemampuan membayar adalah kemampuan seseorang untuk membayar jasa pelayanan yang diterimanya dan kemampuan ini disesuaikan dengan besarnya penghasilan. Semakin besar penghasilan seseorang atau sebuah rumah tangga, maka akan semakin tinggi pula tingkat kemampuan membayarnya terhadap sesuatu keperluan atau pengutipan tertentu. Penghasilan yang diperoleh oleh suatu rumah tangga tentu terutama dialokasikan untuk membiayai berbagai keperluan atau kebutuhan, terutama kebutuhan primer, seperti pangan, sandang, perlidungan, dan kesehatan serta kenyamanan. Jasa pengelolaan sampah dapat dikatakan termasuk dalam keperluan kesehatan dan kenyamanan, dan oleh karenanya harus ada alokasi dana untuk membayar retribusi sampah tersebut. Jumlahnya tergantung pada besar kecilnya penghasilan yang diperoleh. Sejalan dengan itu, penelitian yang dilakukan oleh Scott (2004) di Amerika menunjukkan temuan bahwa umumnya besaran tarif retribusi sampah yang wajar adalah sebesar 1,5% dari penghasilan keluarga. Khusus untuk Indonesia, menurut Ditjen Cipta Karya Departemen PU dalam Hartono (2006: 52) besarnya retribusi sampah yang dapat ditarik dari masyarakat untuk setiap rumah tangga
Universitas Sumatera Utara
besarnya minimal 0,5% dan maksimal 1% dari penghasilan per rumah tangga per bulannya.
Bertolak dari temuan tersebut dan juga pedoman yang diberikan oleh Ditjen Cipta Karya Departemen PU, maka bila semua rumah tangga mampu membayar retribusi sampah sebesar angka tersebut di atas, maka dapat dikatakan pengelolaan sampah akan dapat berjalan secara “Self Financing” (mampu membiayai sendiri). Sebaliknya bila tingkat kemampuan membayar masyarakat terhadap pengutipan
retribusi sampah lebih rendah dari jumlah tarif yang telah ditetapkan, maka mungkin akan timbul keengganan untuk membayarnya karena mereka harus mengalihkan sebahagian dana yang telah dialokasikan untuk keperluan lainnya di luar pembayaran retribusi sampah. Akibatnya, hasil pengutipan retribusi sampah akan dapat mengalami penurunan. Sebaliknya, bila tingkat kemampuan membayar masyarakat terhadap retribusi sampah melebihi tarif yang ditetapkan, maka kerelaan masyarakat untuk membayarnya akan muncul dan dapatlah diharapkan tingginya hasil pengutipan retribusi sampah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya tingkat kemampuan membayar masyarakat atas pengutipan retribusi sampah akan mempengaruhi hasil pengutipan retribusi sampah yang dilakukan Dinas Kebersihan Kota Medan.
2.1.6. Kemauan Membayar Kemauan membayar merupakan suatu nilai di mana seseorang rela untuk membayar, mengorbankan atau menukarkan sesuatu untuk memperoleh barang atau
Universitas Sumatera Utara
jasa (Widaningrum, 2007). Definisi ini sejalan dengan definisi Wechel & Kimberly dalam Widjonarko (2007: 25), yaitu sebagai jumlah uang yang bersedia dibayarkan oleh individu untuk mendapatkan suatu barang atau jasa layanan. Sementara secara khusus untuk jasa pelayanan sampah, Santosa, Darsono dan Syafrudin (2010: 4) memberikan definisi kemauan membayar atau yang biasa disebut dengan willingnes to pay sebagai kesediaan pengguna untuk mengeluarkan imbalan atas jasa yang diperolehnya atau besaran rupiah rata-rata yang masyarakat mau mengeluarkannya sebagai pembayaran atas satu unit pelayanan sampah yang dinikmatinya. Sebahagian anggota masyarakat ada yang beranggapan bahwa pengelolaan sampah hanyalah merupakan tanggungjawab pemerintah semata. Masyarakat hanya berperan sebagai pihak yang dilayani, dan tidak perlu memberikan kontribusi apapun, termasuk melakukan pembayaran uang retribusi sampah. Dana yang diperlukan untuk membiayai penanganan sampah seharusnya sudah tersedia dalam anggaran pemerintah, sehingga penanganan selanjutnya adalah menjadi tanggung jawab pemerintah. Pada kelompok masyarakat yang seperti ini tingkat kemauan mereka untuk membayar retribusi sampah adalah sangat rendah, karena mereka merasa bahwa kegiatan pengelolaan sampah merupakan kegiatan wajib pemerintah yang tidak perlu dibayar. Padahal peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah adalah amat diperlukan sekali, bukan hanya partisipasi dalam kegiatan pengelolaan sampah dan lingkungan, misalnya dengan mengadakan sendiri tempat penyediaan sampah seperti tong sampah, meletakkan sampah yang diproduksinya secara teratur
Universitas Sumatera Utara
di lokasi yang mudah dijangkau oleh petugas pengutipan sampah, menjaga agar sampah tidak berserakan dan masuk ke dalam parit, tetapi juga seharusnya ikut dalam menanggulangi biaya pengelolaan sampah dengan membayar retribusi sampah. Hal ini sejalan dengan pendapat Wibisono dalam Alfiandra (2009: 41) bahwa partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Partisipasi langsung adalah keikutsertaan, keterlibatan dan kebersamaan masyarakat, mulai dari gagasan, perumusan kebijakan hingga pelaksanaan operasional program. Sedang partisipasi tidak langsung adalah berupa keterlibatan dalam masalah keuangan, pemikiran dan material. Dengan demikian masyarakat seharusnya membayar retribusi sampah sebagai bentuk keikutsertaan atau partisipasi dalam pengeloaan sampah dan juga sebagai bentuk pembayaran kewajiban atas pelayanan yang telah diterimanya. Faktor kemauan membayar ini didasarkan atas Teori Nilai Guna (Utility Theory). Teori yang merupakan salah satu dari teori ekonomi ini umumnya dipakai untuk menerangkan dan juga memprediksi bagaimana perilaku individu (disebut konsumen) dalam memilih barang-barang yang akan dibeli dan dikonsumsinya (Sukirno, 2005: 169). Teori ini kemudian berkaitan dengan teori kepuasan marginal, yang menyatakan bahwa konsumen akan meneruskan pembeliannya terhadap suatu produk untuk jangka waktu yang lama karena telah mendapatkan kepuasan dari produk yang sama yang telah dikonsumsi. Terdapat beberapa asumsi yang melandasi teori ini, yaitu: (1) bahwa konsumen akan berusaha untuk memaksimalkan kepuasannya sesuai batas kemampuan
Universitas Sumatera Utara
keuangannya; (2) bahwa individu mengetahui tentang beberapa alternatif sumber untuk memuaskan kebutuhannya; (3) bahwa individu selalu bertindak rasional. Konsumen akan menggunakan pendapatannya untuk memperoleh kepuasan maksimum dari barang yang akan dikonsumsinya dan tercermin dari besaran harga berdasarkan kemauan membayar (willingness to pay) terhadap barang tersebut. Dalam penelitiannya mengenai air bersih, McIntosh (2003) menyebutkan bahwa kemauan membayar seseorang dalam skala rumah tangga (domestik) tergantung dari pendapatan rumah tangga, jumlah konsumsi air, besaran tarif dan adanya sumber air bersih alternatif. Hal ini tentu juga berlaku untuk pelayanan jasa persampahan, di mana kemauan membayar akan tergantung kepada beberapa faktor, seperti pendapatan, jumlah sampah yang dihasilkan, besaran tarif, dan juga alternatif pelayanan. Pada saat ini, alternatif pelayanan untuk pengelolaan sampah tidak ada, karena kegiatan pengelolaan sampah bukanlah merupakan satu bentuk bisnis jasa yang menguntungkan.
Kemauan membayar seseorang tentu tidak akan dapat tumbuh dengan sendirinya, melainkan akan timbul karena adanya beberapa faktor tertentu. Jakobson, et al, dalam Vitianingsih (2002: 15) berpendapat bahwa konsepsi willingness to pay (WTP) atau kemauan membayar sangat bergantung pada preferensi dan kesadaran (awareness) individu berkaitan dengan manfaat atas penggunaan suatu barang. Preferensi dapat timbul karena adanya pelayanan yang memuaskan, sementara kesadaran akan timbul dengan adanya upaya penyadaran oleh pemerintah dengan melakukan berbagai sosialisasi mengenai pentingnya penjagaan lingkungan dan keikutsertaan semua lapisan masyarakat di dalamnya. Penelitian Widaningrum (2007)
Universitas Sumatera Utara
mengenai tingkat kemampuan dan kemauan membayar terhadap rumah susun menemukan bahwa kemauan membayar masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu penghasilan total keluarga dan jasa pelayanan yang diterimanya (untuk masyarakat berpenghasilan menengah rendah), sementara tingkat kemauan membayar masyarakat berpenghasilan menengah sedang dan tinggi, ditentukan oleh faktor jasa pelayanan yang diterimanya dan penghasilan total keluarga. Pada studi yang dilakukan oleh Ruijgrok dan Nillesen (2000), disimpulkan bahwa responden yang mengerti barang lingkungan yang ditawarkan memiliki nilai kemauan membayar lebih tinggi daripada yang tidak mengerti barang lingkungan yang ditawarkan. Menurut Justine (1996), nilai kemauan membayar pada pengelolaan sampah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tingkat pelayanan, persepsi masyarakat terhadap nilai manfaat dari pelayanan itu, dan penghasilan keluarga untuk daerah yang masyarakatnya berpenghasilan rendah. Sedangkan pada studi yang dilakukan oleh Permana (2005), dikatakan ada hubungan antara nilai kemauan membayar dengan jumlah produksi sampah yang dihasilkan oleh responden. Selain itu, beliau menemukan pula faktor-faktor yang mempengaruhi nilai kemauan membayar yang terdiri dari (1) persepsi responden terhadap permasalahan pengelolaan sampah, (2) persepsi responden terhadap tingkat pelayanan sampah di lingkungannya, (3) persepsi responden terhadap Willingness to Accept, (4) persepsi responden terhadap peningkatan pengelolaan sampah, dan (5) jumlah produksi sampah yang dihasilkan oleh responden, artinya semakin banyak produksi sampah
Universitas Sumatera Utara
maka semakin besar kesediaan untuk membayarnya. Nur As’adah, et al (2010) menemukan dalam penelitiannya bahwa kemauan masyarakat dalam membayar tarif retribusi sampah memberi pengaruh terhadap efektifitas penarikan tarif retribusi sampah, artinya bila kemauan membayar retribusi sampah tinggi, tentu penerimaan hasil pengutipan retribusi sampah akan mengalami kenaikan pula. Dengan demikian dapat diprediksi bahwa tinggi rendahnya kemauan pelanggan untuk membayar retribusi akan berpengaruh terhadap hasil pengutipan retribusi sampah. Penelitian yang dilakukan oleh Salequzzaman, Sqadiqul dan Mostafa (2000), Nur As’adah, Supirin dan Syafrudin (2010), begitu juga Santosa, Darsono dan Syafrudin (2010) telah menemukan bahwa kinerja operasional pengelola sampah atau tingkat pelayanan pengelolaan sampah sangat mempengaruhi kemauan (willingness to pay) masyarakat dalam membayar tarif retribusi sampah. Kemauan membayar ini akhirnya juga akan sangat mempengaruhi jumlah penerimaan retribusi sampah.
2.2
Review Penelitian Terdahulu (Theoretical Maping) Untuk mendukung dan sebagai bahan referensi atas penelitian yang dilakukan
ini, beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan topik penelitian ini akan ditelaah. Penelitian-penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1) Penelitian
Arizal
(2003)
berjudul:
”Faktor-faktor
Sosiologis
Yang
Mempengaruhi Penerimaan Retribusi Kebersihan (Survei di Masyarakat Kecamatan Bangko Kabupaten Merangin Propinsi Jambi)”. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan mempergunakan kuesioner yang disebarkan
Universitas Sumatera Utara
kepada 70 orang kepala keluarga yang tersebar di 4 desa. Hasil akhir penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan dari faktor-faktor sosial masyarakat yang terdiri atas tingkat pendidikan, agama, jenis pekerjaan dan tingkat penghasilan terhadap penerimaan retribusi kebersihan. Selain itu, juga terdapat pengaruh yang positif dan signifikan dari pelayanan pemerintahan di bidang kebersihan terhadap penerimaan retribusi kebersihan. 2) Soleha (2007) telah melakukan penelitian berjudul: ”Peran Serta Masyarakat Dalam Pembayaran Retribusi Sampah di Kawasan Perumahan Kota Pekan Baru (Studi Kasus Kecamatan Lima Puluh)”. Yang menjadi objek penelitian adalah kepala rumah tangga di kawasan perumahan in-formal di Kota pekan Baru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik masyarakat (tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, status kepemilikan rumah, lama tinggal dan asal daerah) tidak berpengaruh pada keinginan masyarakat untuk berperan serta dalam pembayaran retribusi sampah dan sekaligus tidak berpengaruh terhadap penerimaan retribusi sampah. Penelitian ini juga menemukan bahwa rendahnya keinginan masyarakat dalam membayar retribusi sampah adalah karena manajemen perencanaan yang tidak melibatkan masyarakat secara keseluruhan, pengelolaan keuangan yang tidak transparan di tingkat masyarakat, serta kurangnya komunikasi antara pimpinan masyarakat di tingkat atas dengan masyarakatnya. 3) Penelitian yang dilakukan oleh Masrofi (2004) berjudul: “Potensi dan Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah
Universitas Sumatera Utara
(Studi Kasus di Kota Semarang)”. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Riil, Jumlah Penduduk, Tingkat Inflasi, dan Perubahan Peraturan sebagai variabel bebas serta Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah sebagai variabel terikat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PDRB riil dan jumlah penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan pajak dan retribusi daerah, sementara tingkat inflasi dan perubahan peraturan tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak dan retribusi daerah. Penelitian ini juga menemukan indikasi bahwa retribusi sampah di Kota Semarang merupakan salah satu retribusi yang potensil. 4) Penelitian Yulianto (2005) yang berjudul: “Analisis Penerimaan Retribusi Pelayanan Kesehatan (Studi Kasus di Kabupaten Boyolali)”. Penelitian yang dilakukan terhadap semua Puskesmas yang berlokasi di Kabupaten Boyolali bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan retribusi pelayanan kesehatan. Peneliti menempatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Jumlah Penduduk, dan Jumlah Kunjungan Pasien sebagai variabel bebas, sedangkan penerimaan retribusi pelayanan kesehatan sebagai variabel terikat. Berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan dan diolah, diperoleh kesimpulan bahwa ketiga variabel bebas yaitu PDRB, Jumlah Penduduk dan Jumlah Kunjungan Pasien berpengaruh terhadap penerimaan retribusi pelayanan kesehatan, baik secara bersama-sama maupun secara parsial. Variabel Jumlah Kunjungan dan PDRB berpengaruh positif dan signifikan
Universitas Sumatera Utara
terhadap penerimaan retribusi pelayanan kesehatan, sementara jumlah penduduk berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penerimaan retribusi pelayanan kesehatan. Secara ringkas penelitian-penelitian terdahulu sebagaimana ditelaah di atas dapat diringkaskan dalam tabel berikut:
Universitas Sumatera Utara
No Nama Peneliti/ Tahun Arizal (2003)
Faktor-faktor Sosiologis Yang Mempengaruhi Penerimaan Retribusi Kebersihan (Survei di Masyarakat Kecamatan Bangko Kabupaten Merangin Propinsi Jambi)
Independen variabel: (1) Faktor Sosial Masyarakat, dan (2) Faktor Pelayanan Pemerintahan akan Kebersihan. Dependen variabel adalah Penerimaan Retribusi Kebersihan
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa (1) ada pengaruh positif dan signifikan dari faktor sosial masyarakat terhadap penerimaan retribusi kebersihan; (2) ada pengaruh positif dan signifikan dari pelayanan pemerintahan akan kebersihan terhadap penerimaan retribusi kebersihan.
2. Soleha
Peran Serta Masyarakat Dalam Pembayaran Retribusi Sampah di Kawasan Perumahan Kota Pekan Baru (Studi Kasus Kecamatan Lima Puluh)
Independen variabel ialah karakteristik masyarakat Sedangkan Dependen variabel adalah pembayaran restribusi sampah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di kawasan perumahan ini formal memiliki keinginan untuk melakukan pembayaran retribusi sampah di kawasan perumahannya.
1.
( 2007)
3.
Tabel. 2.1 Tinjauan atas Penelitian Terdahulu Judul Penelitian Variabel yang Hasil Penelitian dipergunakan
Masrofi (2004)
Potensi dan Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah (Studi Kasus di Kota Semarang)
Independen variabel ialah potensi dan analisis faktor Sedangkan Dependen variabel adalah penerimaan pajak dan retribusi daerah
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PDRB riil dan jumlah penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan pajak dan retribusi daerah, sementara tingkat inflasi dan perubahan peraturan tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak dan retribusi daerah. Penelitian ini juga menemukan indikasi bahwa retribusi
Universitas Sumatera Utara
4.
Yulianto (2005)
Analisis Penerimaan Retribusi Pelayanan Kesehatan (Studi Kasus di Kabupaten Boyolali)
Independen variabel: (1) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), (2) Jumlah Penduduk, dan (3) Jumlah Kunjungan Pasien Dependen variabel adalah penerimaan retribusi pelayanan kesehatan
sampah di Kota Semarang merupakan salah satu retribusi yang potensil. kesimpulan bahwa ketiga variabel bebas yaitu PDRB, Jumlah Penduduk dan Jumlah Kunjungan Pasien berpengaruh terhadap penerimaan retribusi pelayanan kesehatan, baik secara bersama-sama maupun secara parsial. Variabel Jumlah Kunjungan dan PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan retribusi pelayanan kesehatan, sementara jumlah penduduk berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penerimaan retribusi pelayanan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara