Bab II Tinjauan Pustaka 2.1. Ester Metil Asam Lemak dan Biodiesel Ester metil asam lemak adalah senyawa dengan rumus molekul Cn-1H2(n-r)-1CO-OCH3, n umumnya adalah angka genap (8 - 24), r umumnya 0,1,2 atau 3. Senyawa ini dapat dipandang sebagai hasil kondensasi dari asam lemak
(Cn-1H2(n-r)-1COOH) dengan
metanol (CH3OH). Karena asam lemak biasa ditulis dengan kode ringkas (atau sandi) Cn:r, maka ester metil asam lemak dapat diberi sandi Me-Cn:r. Sebagai contoh, metil linoleat, C17H31COOCH3, memiliki sandi C18:2. Sumber alami utama asam-asam lemak adalah sumber-sumber daya hayati (bioresources) yang berupa minyak-lemak nabati (berasal dari tumbuhan) atau hewani (berasal dari hewan).
Kelebihan ester metil asam lemak dibanding asam-asam lemak lainnya adalah ester dapat diproduksi pada suhu reaksi yang lebih rendah, gliserol yang dihasilkan dari metanolisis adalah bebas air, pemurnian ester metil lebih mudah dibanding dengan lemak lainnya karena titik didihnya lebih rendah dan ester metil dapat diproses dalam peralatan karbon steel dengan biaya lebih rendah daripada asam lemak yang memerlukan peralatan stainless steel.
Ester metil asam lemak tak jenuh memiliki bilangan setana yang lebih kecil dibanding ester metil asam lemak jenuh (r = 0). Meningkatnya jumlah ikatan rangkap suatu ester metil asam lemak akan menyebabkan penurunan bilangan setana. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk komponen biodiesel lebih dikehendaki ester metil asam lemak jenuh. Seperti diperlihatkan dalam Tabel II.1 [Soerawidjaja (2006)], ester metil asamasam lemak yang umum memiliki sifat bahan bakar yang mirip dengan solar (atau minyak diesel otomotif). Karena ini, campuran ester metil asam-asam lemak yang ditargetkan untuk digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel sekarang dikenal dengan sebutan biodiesel.
Tabel II.1. Sifat-sifat penting ester metil asam-asam lemak yang relatif umum. Ester metil asam
Angka setan
Kaprilat, Me-C8:0 Kaprat, Me-C10:0 Laurat, Me-C12:0 Miristat, Me-C14:0 Palmitat, Me-C16:0 Stearat, Me-C18:0 Arakhidat, Me-C20:0 Behenat, Me-C22:0 Lignoserat, Me-C24:0 Palmitoleat, Me-C16:1 Oleat, Me-C18:1 Linoleat, Me-C18:2 Linolenat, Me-C18:3 Gadoleat, Me-C20:1 Erusat, Me-C22:1
≈ 33,6 47,9 60,8 73,5 85,9 101
51,0 59,3 38,0 20,0 76,0
Angka iodium (g-I2/100g) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 94,55 85,60 172,4 260,3 78,20 71,98
Titik leleh (oC) -34 -12 5 18,5 30,5 39,1 48 54
Visk. kin.† (cSt), 40 oC 1,16 1,69 2,38 3,23 4,32 5,61 ‡
Massa jenis (g/cc), 40 oC 0,859 0,856 0,853 0,867 0,851 0,850 0,849
‡ ‡
-20 -35 -52
4,45 3,64 3,27
0,860 0,872 0,883
33
7,21
0,856
Viskositas kinematik pada 40 C (centiStoke). pada ≥40 C berwujud padat (bukan cairan). Sel yang kosong menunjukkan tidak/belum ada data. †
o
‡
o
Pemerintah Indonesia kini telah mengizinkan solar yang mengandung sampai dengan 10 %-volume biodiesel dijual di Stasiun-stasiun Pengisian Bahan-bakar Umum (SPBUSPBU), asalkan biodiesel yang dicampurkan memenuhi syarat mutu yang memenuhi ketetapan pemerintah RI, yaitu SNI-04-7182-2006. Spesifikasi syarat mutu biodiesel (ester metil) menurut SNI-04-7182-2006 tersebut disajikan dalam Tabel II.2.
6
Tabel II.2. Persyaratan kualitas biodiesel menurut SNI-04-7182-2006. Parameter dan satuannya Massa jenis pada 40 oC, kg/m3 Viskositas kinematik pada 40 oC, mm2/s (cSt) Angka setana Titik nyala (mangkok tertutup), oC Titik kabut, oC Korosi bilah tembaga ( 3 jam, 50 oC) Residu karbon, %-berat, - dalam contoh asli - dalam 10 % ampas distilasi Air dan sedimen, %-vol. Temperatur distilasi 90 %, oC Abu tersulfatkan, %-berat Belerang, ppm-b (mg/kg) Fosfor, ppm-b (mg/kg) Angka asam, mg-KOH/g Gliserol bebas, %-berat Gliserol total, %-berat Kadar ester alkil, %-berat Angka iodium, g-I2/(100 g) Uji Halphen
Batas nilai 850 – 890 2,3 – 6,0 min. 51 min. 100 maks. 18 maks. no. 3 Maks. 0,05 (maks 0,03) maks. 0,05 maks. 360 maks. 0,02 maks. 100 maks. 10 maks. 0,8 maks. 0,02 maks. 0,24 min. 96,5 maks. 115 negatif
Metode uji ASTM D 1298 ASTM D 445 ASTM D 613 ASTM D 93 ASTM D 2500 ASTM D 130 ASTM D 4530
Metode setara ISO 3675 ISO 3104 ISO 5165 ISO 2710 ISO 2160 ISO 10370
ASTM D 2709 ASTM D 1160 ASTM D 874 ASTM D 5453 AOCS Ca 12-55 AOCS Cd 3-63 AOCS Ca 14-56 AOCS Ca 14-56 dihitung*) AOCS Cd 1-25 AOCS Cb 1-25
ISO 3987 prEN ISO 20884 FBI-A05-03 FBI-A01-03 FBI-A02-03 FBI-A02-03 FBI-A03-03 FBI-A04-03 FBI-A06-03
*) berdasarkan angka penyabunan, angka asam, serta kadar gliserol total dan gliserol bebas; rumus perhitungan dicantumkan dalam FBI-A03-03
2.2. Minyak Kelapa dan Biodiesel Kelapa Minyak kelapa, yakni minyak-lemak yang diperoleh dari daging buah kelapa (tua), adalah salah satu minyak nabati yang sudah terkenal di dunia. Pengambilan minyak kelapa dari daging buah kelapa (yang umumnya berkadar minyak 34,7 – 44,1 % tetapi berkadar air 35,0 – 52,5 %) dapat dilakukan dengan cara kering maupun cara basah. Pada cara kering, daging buah kelapa atau parutannya dikeringkan terlebih dahulu sehingga kadar airnya turun menjadi hanya 2,5 – 6,0 %; kopra adalah nama yang lazim diberikan pada daging kelapa kering. Minyak selanjutnya diperoleh dengan memerah kopra ataupun parutan kelapa yang sudah kering tersebut. Pada cara kering parutan daging kelapa segar dicampur dengan air dan campurannya kemudian diperas menghasilkan cairan berupa emulsi minyak kelapa dalam air yang disebut santan. Penjumputan (recovery) minyak kelapa dari santan dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain lewat pemanasan atau via pendegradasian zat-zat pengemulsinya oleh mikroba. Perolehan minyak kelapa dengan cara basah umumnya lebih kecil daripada cara kering, terlebihlebih jika air yang digunakan untuk membuat santannya adalah air dingin.
7
Ampas/bungkil kelapa sisa pembuatan santan bisa masih mengandung 12,2 – 15,9 % minyak [ Banzon dan Velasco (1982), Rindengan dkk. (1997)]; rentang komposisi proksimat selengkapnya dari ampas kelapa kering ditampilkan dalam Tabel II.3.
Tabel II.3. Analisis proksimat ampas kelapa kering. Komponen
Rentang kadar (%-berat) 4,65 – 6,20 12,20 – 15,89 4,11 – 18,20 20,00 – 30,58 0,66 – 4,90
Air Lemak Protein Serat kasar Abu Sumber : Banzon dan Velasco (1982), Rindengan dkk. (1997).
Minyak kelapa tergolong ke dalam minyak-lemak laurat (lauric fatty-oil), karena asam lemak yang merupakan komponen terbesar minyak ini adalah asam laurat. Tabel II.4 menyajikan rentang komposisi asam-asam lemak minyak kelapa. Tabel II.4. Rentang komposisi asam-asam lemak minyak kelapa (%-berat) Asam lemak Kaproat, C6:0 Kaprilat, C8:0 Kaprat, C10:0 Laurat, C12:0 Miristat, C14:0 Palmitat, C16:0 Stearat, C18:0 Arakhidat, C20:0 Oleat, C18:1 Linoleat, C18:2 Gadoleat, C20:1
Rentang kadar 0,4 – 0,6 6,9 – 9,4 6,2 – 7,8 45,9 – 50,3 16,8 – 19,2 7,7 – 9,7 2,3 – 3,2 tapak – 0,2 5,4 – 7,4 1,3 – 2,1 tapak – 0,2
Kadar tipikal 0,5 7,8 6,7 47,5 18,1 8,8 2,6 0,1 6,2 1,6 Tapak
Sumber : Hui (1995)
Berdasarkan komposisi asam-asam lemak minyak kelapa dalam Tabel II.4 sambil merujuk pada sifat-sifat bahan bakar ester metil asam-asam lemak dalam Tabel II.1, maka dapat diperkirakan bahwa biodiesel kelapa (yaitu campuran ester metil asam-asam lemak yang dibuat dari minyak kelapa) akan memenuhi persyaratan mutu SNI-04-7182-2006 (Tabel II.2). Kebenaran perkiraan ini dapat disimpulkan dari karakteristik tipikal
8
biodiesel kelapa berikut ini, yang dilaporkan oleh Schafer (1995) dan dikutip oleh Choo dkk (1997) : Angka iodium o
Massa jenis (pada 15 C)
:
10 g-I2/(100 g)
:
872 g/liter (kg/m3)
Viskositas kinematik pada 40 oC :
2,7 mm2/s (cSt)
Angka setana
:
62,7
Nilai kalor netto
:
30,8 MJ/liter (35,3 MJ/kg)
Cara pembuatan biodiesel dari minyak kelapa adalah serupa dengan cara pembuatan biodiesel dari minyak-minyak nabati lainnya, yaitu dengan teknik transesterifikasi dengan metanol (metanolisis).
Indonesia merupakan produsen kelapa terbesar di dunia, sehingga memiliki potensi besar untuk menjadi produsen biodiesel kelapa. Akan tetapi, perlu diingat bahwa minyak kelapa merupakan komoditas dunia yang berharga cukup mahal di pasar internasional, karena minyak ini sangat dibutuhkan oleh industri oleokimia dan industri pangan.
Salah satu cara yang dipandang potensial untuk memproduksi biodiesel kelapa secara ekonomis, karena terhindar dari persaingan penyediaan/pengadaan bahan mentah, adalah dengan memanfaatkan minyak kelapa yang masih terkandung di dalam ampas kelapa dengan teknik yang disebut transesterifikasi ekstraktif (in situ transesterification). Teknik ini sekarang masih dalam taraf penelitian laboratorium di berbagai lembaga riset di dunia dan tidak/belum menggunakan ampas kelapa sebagai bahan penelitiannya. Status kemajuan (state of the art) dari teknik transesterifikasi ekstraktif akan diulas di bagian belakang. Berikut akan diulas terlebih dahulu teknik konvensional pembuatan biodiesel, yaitu dari minyak-lemak dengan cara transesterifikasi, dengan maksud/harapan agar pada pembahasan di bagian belakang tersebut, persoalan-persoalan riset yang masih harus diselesaikan dalam pengembangan lebih lanjut teknik transesterifikasi ekstraktif (transesterifikasi in situ) dapat lebih jelas difahami.
9
2.3. Transesterifikasi Minyak-lemak untuk Pembuatan Biodiesel Persamaan stoikhiometri generik reaksi transesterifikasi trigliserida-trigliserida (yaitu komponen utama aneka lemak dan minyak-lemak) dengan metanol adalah sebagai berikut :
Simbol-simbol R1, R2, dan R3 menyatakan aneka gugus alkil atau alkenil Cn-1H2(n-r)-1. Transesterifikasi dengan alkohol juga dikenal dengan nama alkoholisis dan, karena ini, reaksi di atas disebut juga metanolisis. Persamaan generik di atas menunjukkan bahwa nisbah molar stoikhiometrik metanol : trigliserida adalah 3 : 1.
Tanpa adanya katalis, sebenarnya reaksi alkoholisis berlangsung amat lambat. Katalis bisa berupa zat yang bersifat basa, asam, atau enzim [Schuchardt dkk. (1998), Lotero dkk. (2005), Fukuda dkk. (2001)]. Efek pelancaran reaksi dari katalis basa adalah yang paling besar, sehingga katalis inilah yang sekarang lazim diterapkan dalam praktek. Katalis basa yang paling populer untuk reaksi transesterifikasi adalah natrium hidroksida, kalium hidroksida, natrium metilat (metoksida), dan kalium metilat. Katalis sejati bagi reaksi sebenarnya adalah ion metilat (metoksida) yang, jika pun katalis yang ditambahkan adalah hidroksida, akan terbentuk melalui reaksi kesetimbangan : OH⎯ + CH3OH
H2O + CH3O⎯
Minyak-lemak yang akan dikonversi dengan proses metanolisis trigliserida berkatalis basa harus memenuhi persyaratan sebagai minyak yang betul-betul mulus (fully refined) seperti minyak goreng, yaitu angka asam < 1 (atau kadar asam lemak bebas < 0,5 %-b) dan kadar air < 0,3 % [Soerawidjaja (2006a)]. Jika bahan mentah memenuhi syarat ini, 10
maka dengan nisbah molar metanol : trigliserida : katalis sekitar 6 : 1 : 0,2, konversi ke ester metil sudah praktis sempurna dalam waktu 1 jam. Pada suatu temperatur yang lebih rendah, yakni 32 oC, derajat metanolisis sudah mencapai 99 % dalam waktu sekitar 4 jam.
Kadar air atau kadar asam lemak bebas yang lebih besar dari nilai-nilai pembatas di atas akan menyebabkan deaktifasi katalis, yaitu pengurangan/pemusnahan ion metilat, karena air akan menggeser reaksi kesetimbangan pembentukan ion metilat di atas ke arah kiri, sedang asam lemak bebas menyebabkan reaksi penyabunan : RCOOH + CH3O⎯
⎯⎯→ RCOO⎯ + CH3OH
Kadar asam lemak bebas atau kadar air yang tinggi dengan sendirinya akan menyebabkan deaktifasi total katalis, sehingga reaksi transesterifikasi tak bisa berlangsung.
Permasalahan yang ditimbulkan oleh kehadiran asam lemak bebas dalam transesterifikasi berkatalis basa dapat dihindarkan jika proses ini menggunakan katalis asam. Bahkan, pada kenyataannya katalis asam dapat sekaligus mengkatalisis reaksi transesterifikasi trigliserida dan esterifikasi asam lemak bebas dengan metanol :
RCOOH + CH3OH
RCOOCH3 + H2O
Transesterifikasi berkatalis asam jauh lebih lambat, yaitu sekitar 4000 kali lebih lambat [Lotero dkk (2005)], daripada yang berkatalis basa. Jadi, untuk memperoleh kecepatan reaksi yang cukup besar sehingga konversi sempurna ke ester metil dapat dicapai dalam tempo kurang-lebih 24 jam, reaksi harus dilangsungkan minimal pada 65oC (kondisi refluks pada tekanan atmosferik) dengan nisbah molar metanol : trigliserida : katalis (asam sulfat pekat) sekitar 30 : 1 : 0,2. Seperti pada proses berkatalis basa, air tetap merupakan kontaminan yang tak dikehendaki, karena akan mengurangi perolehan ester metil melalui pergeseran kesetimbangan reaksi esterifikasi (lihat di atas) ke sebelah kiri. Penanggulangan efek buruk air di dalam transesterifikasi berkatalis asam minyak-minyak
11
berkadar air (dan/atau berkadar asam lemak bebas) relatif tinggi dapat dilakukan melalui 2 cara : 1. menambah kelebihan reaktan metanol, sehingga nisbah molar metanol : trigliserida menjadi lebih tinggi lagi, dan/atau 2. menambahkan zat-zat penarik/pengabsorpsi air (seperti CaSO4 atau CaCl2 , yang akan membentuk garam-garam berhidrat) ke dalam campuran reaksi. Salah satu penyebab keunggulan asam sulfat pekat, dibanding asam-asam kuat lain, sebagai katalis juga diduga karena asam sulfat pekat bisa berfungsi ganda sebagai zat penarik air (dehidrator). Jadi, penambahan jumlah katalis asam sulfat pekat bisa pula menjadi pilihan.
2.4. Transesterifikasi Ekstraktif/In-situ Pembuatan ester metil asam-asam lemak dengan transesterifikasi ekstraktif (ekstraksi dan transesterifikasi serempak atau in situ transesterification) dilakukan tanpa terlebih dahulu mengekstrak minyak yang terkandung dalam bahan sumber tetapi langsung memaserasi/menyeduh bahan sumber tersebut dengan methanol yang sudah dibubuhi katalis. Skema dalam Gambar II.1 memperlihatkan
bahwa dalam transformasi
pendayagunaan sumber minyak-lemak menjadi biodiesel, rute via transesterifikasi ekstraktif memiliki langkah-langkah operasi lebih sedikit, sehingga berpotensi menurunkan harga pokok dari biodiesel yang diproduksi.
Transesterifikasi ekstraktif/in situ pertama-tama dilakukan oleh para ahli kimia analitik dalam upaya mempersingkat waktu yang diperlukan untuk menentukan komposisi asamasam lemak yang dikandung biji-biji sumber minyak.. Karena tujuannya adalah untuk analisis komposisi, perhatian mereka lebih difokuskan pada kesamaan komposisi ester alkil asam-asam lemak yang diperoleh via transesterifikasi ekstraktif dengan yang diperoleh via transesterifikasi minyak-lemak hasil ekstraksi dengan heksan. Jadi, Dugan dkk (1966) meneliti transesterifikasi ekstraktif minyak di dalam bahan-bahan hayati dengan metanol yang sudah diasamkan dan menunjukkan bahwa komposisi asam-asam lemak produk yang dibuat via cara ini sangat mirip dengan yang dibuat via transesterifikasi minyak yang diekstraksi lebih dahulu.
12
Gambar II.1. Ikhtisar skematik rute pembuatan biodiesel via transesterifikasi konvensional dan transesterifikasi ekstraktif/in situ. Harrington dan D’Arcy-Evans (1985a,b) adalah peneliti pertama yang menyelidiki transesterifikasi
ekstraktif/in
situ
dalam
lingkup
teknologi
proses.
Mereka
mengemukakan bahwa transesterifikasi in situ memiliki keunggulan-keunggulan yaitu (a) ester alkil asam-asam lemak, karena memiliki viskositas dan karakter kelarutan yang berbeda dari trigliserida asalnya, dapat lebih mudah terjumput (recovered) dari bahan sumber minyak dan bahkan mungkin dengan menggunakan pelarut (yaitu alkohol) yang harga dan marabahayanya lebih rendah daripada heksan (pelarut konvensional ekstraksi
13
minyak-lemak), (b) perbaikan kemudahan dicerna mungkin bisa terjadi pada bungkil ekstraksi, akibat pengaruh asam atau basa katalis transesterifikasi. Transesterifikasi ekstraktif/in situ yang dilakukan pada biji utuh memiliki potensi-potensi keunggulan yaitu minyak yang terkandung di dalam kulit biji (jika ada) akan meningkatkan perolehan keseluruhan ester dari biji dan rugi-rugi atau kehilangan minyak-lemak akibat tak sempurnanya pemisahan daging dari kulit biji (seperti biasa dilakukan dalam ekstraksi konvensional minyak-lemak) dapat dihindari. Sekalipun demikian, dalam kasus transesterifikasi ekstraktif biji utuh, nilai nutrisi bungkil bisa menjadi lebih rendah karena (jika tak dipisahkan) tercampuri kulit ampas kulit biji.
Harrington dan D’Arcy-Evans (1985a,b) meneliti kelayakan teknik transesterifikasi ekstraktif/in situ pada biji bunga matahari menggunakan metanol dan katalis asam sulfat. Reaksi dilakukan selama 4 jam pada kondisi refluks, serta nisbah molar metanol : minyak-lemak (dalam biji) : asam sulfat ≈ 505 : 1 : 12, mereka mendapatkan produksi ester dengan perolehan sampai 20 % lebih banyak daripada yang didapat lewat transesterifikasi minyak-lemak yang diekstraksi lebih dahulu. Mereka mensinyalir bahwa peningkatan perolehan ini dikarenakan : (a). pengaruh kadar air dalam biji, (b).
peningkatan
kemudahan-terekstraksi
dari
lipid
pada
kondisi
asam
dan
(c). transesterifikasi lipid yang dikandung kulit biji.
Siler-Marinkovic dan Tomasevic (1996) meneliti berbagai nisbah molar metanol : trigliserida : asam sulfat di dalam transesterifikasi biji bunga matahari. Mereka melaporkan bahwa perolehan ester metil terbaik didapatkan pada kondisi reaksi 1 jam pada 65 oC atau 4 jam pada 30 oC dengan nisbah molar metanol : minyak-lemak : asam sulfat ≈ 300 : 1 : 9. Pada nisbah molar ini, berat asam sulfat yang ditambahkan sama dengan berat minyak-lemak dalam biji. Sekalipun tidak menampilkan data penguat, mereka juga menyatakan bahwa perolehan ester metil mentah via transesterifikasi ekstraktif/in situ lebih besar daripada via ekstraksi dan transesterifikasi terpisah. Baik Harrington dan D’Arcy-Evans (1985a,b) maupun
Siler-Marinkovic dan Tomasevic
(1996) mendapatkan bahwa komposisi ester metil yang diperoleh via transesterifikasi ekstraktif/in situ serupa dengan yang diperoleh via transesterifikasi konvensional.
14
Ozgul-Yucel dan Turkay (1993, 2002, 2003) meneliti penerapan teknik transesterifikasi ekstraktif/in situ berkatalis asam pada dedak padi, yang mengandung minyak dengan kadar asam lemak bebas bervariasi (15 – 85 %-b), dengan nisbah molar metanol : minyak-lemak : asam sulfat ≈ 510 : 1 : 10 dan waktu reaksi 1 jam pada kondisi refluks (≈ 65 oC). Mereka mengamati bahwa esterifikasi asam lemak bebas berlangsung efisien, tetapi sebagian besar trigliserida tertinggal di dalam dedak karena transesterifikasi tak berlangsung baik. Ketika etanol digunakan sebagai reaktan (menggantikan metanol), transesterifikasi ekstraktif/in situ trigliserida mampu mencapai lebih besar dari 90 % perolehan teoretik, tetapi kadar asam lemak bebas di dalam ester yang didapat bisa mencapi 10 %-b.
Kelompok Turkay [Kildiran dkk. (1996)] juga menerapkan teknik transesterifikasi ekstraktif/in situ berkatalis asam pada tepung kedelai; nisbah molar metanol : minyaklemak : asam sulfat ≈ 295 : 1 : 9 dan waktu reaksi 3 jam pada kondisi refluks. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya 20 – 40 % minyak dapat terekstraksi dan, dari minyak yang terekstraksi ini, hanya 55 % yang tertransesterifikasi. Produknya juga mengandung 3 % asam lemak bebas. Penggunaan alkohol-alkohol yang lebih tinggi (etanol, propanol, butanol) bisa meningkatkan tingkat ekstraksi dan transesterifikasi, masing-masing sampai 99 dan 85 %, sekalipun produknya masih mengandung 1 – 8 %-b asam lemak bebas.
Mengingat bahwa transesterifikasi minyak berkatalis basa jauh lebih cepat dari yang berkatalis asam, Haas dkk. (2004) meneliti transesterifikasi ekstraktif/in situ pada kedelai dengan menggunakan basa NaOH sebagai katalis. Perolehan tertinggi ester metil yang hampir murni (tak terkontaminasi asam lemak bebas maupun gliserida) didapat dengan nisbah molar metanol : trigliserida : NaOH ≈ 226 : 1 : 1,6 dengan temperatur reaksi 60oC selama 8 jam. Jumlah metanol yang lebih besar dari nilai tersebut memungkinkan kadar katalis dipersedikit. Reaksi juga berlangsung baik pada 23 oC dan memberikan perolehan ester metil yang lebih besar dari pada 60oC; dengan waktu reaksi 8 jam, nisbah molar metanol : trigliserida : NaOH yang memberikan perolehan ester yang maksimal adalah 543 : 1 : 2,0.
15
2.5. Pembahasan : Permasalahan Transesterifikasi Ekstraktif/In-situ Semua penelitian transesterifikasi ekstraktif/in situ yang diulas di atas menggunakan nisbah-nisbah molar metanol : trigliserida dan katalis : trigliserida yang jauh lebih besar daripada nisbah-nisbah molar serupa dalam transesterifikasi konvensional minyak-lemak. Tingginya nisbah molar metanol : trigliserida dinilai cukup masuk akal, karena jumlah metanol yang ditambahkan ke dalam sistem transesterifikasi ekstraktif memang paling sedikitnya harus mampu merendam padatan sumber minyak-lemak (jadi harus bervolume lebih besar daripada volume ruah unggun padatan sumber minyak-lemak yang ditransesterifikasi ekstraktif). Akan tetapi, tak ada satu pun peneliti yang menjelaskan mengapa jumlah katalis (asam sulfat maupun NaOH) yang mereka tambahkan jauh lebih besar daripada level katalis pada transesterifikasi konvensional minyak-lemak, sekalipun Haas dkk. (2004) menyatakan bahwa jumlah katalis bisa diturunkan jika jumlah metanol diperbanyak. Kadar katalis yang demikian tinggi itu kemungkinan dibutuhkan untuk mengatasi pengaruh buruk air dan asam lemak bebas yang terkandung di dalam bahan sumber minyak-lemak.
Penggunaan katalis basa tampaknya lebih baik daripada katalis asam, yang tidak hanya lebih bersifat korosif pada peralatan, melainkan juga lebih kecil efek katalitiknya. Penambahan katalis asam dalam jumlah besar yang dilakukan oleh Harrington dan D’Arcy-Evans (1985a,b), Siler-Marinkovic dan Tomasevic (1996), Kildiran dkk. (1996) maupun Ozgul-Yucel dan Turkay (1993, 2002, 2003) mungkin diperlukan agar proses transesterifikasi ekstraktif/in situ dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat (beberapa jam). Oleh karena itu, katalis basa sebaiknya lebih menjadi pilihan, tetapi jumlahnya mungkin harus jauh lebih sedikit daripada yang ditambahkan oleh Haas dkk. (2004). Penambahan katalis basa dalam jumlah besar yang dilakukan oleh Haas dkk (2004) dimaksudkan untuk mencegah terjadinya reaksi penyabunan yang berlebihan antara asam lemak bebas dan ester metil dengan NaOH katalis [pada kenyataannya, Haas dkk (2004) sendiri menyatakan bahwa derajat transesterifikasi tertinggi yang mereka capai hanya 84 %]. Efek negatif yang ditimbulkan oleh air dan asam lemak bebas yang terkandung di dalam padatan sumber minyak pada transesterifikasi ekstraktif/in situ berkatalis basa mestinya ditanggulangi tanpa memperbesar jumlah katalis.
16
Serentetan percobaan pendahuluan transesterifikasi ekstraktif/in situ yang telah dilakukan di Laboratorium Metodika Perancangan dan Pengendalian Proses, Gedung LABTEK X, Institut Teknologi Bandung, dengan pengarahan dari Dr. Tatang H. Soerawidjaja dan Dr. Tirto Prakoso, telah membersitkan hipotesis bahwa proses transesterifikasi ekstraktif/in situ berkatalis basa (natrium atau kalium metoksida) akan dapat dilaksanakan dengan baik pada nisbah molar katalis : trigliserida seperti yang lazim pada transesterifikasi konvensional (yaitu sekitar 0,2 : 1) asalkan dalam campuran reaksi transesterifikasi ekstraktif tersebut dihadirkan garam-garam anhidrat yang memiliki karakter sebagai berikut : bersifat basa, keasaman gugus asamnya lebih kuat daripada gugus asam lemak dan bersifat sangat higroskopik, sehingga merupakan desikan (pengabsorpsi air) yang kuat.
Garam-garam yang memenuhi kriteria tersebut di atas adalah trikalium fosfat (K3PO4), trinatrium fosfat (Na3PO4), kalium asetat (KOOCCH3) dan natrium asetat (NaOOCCH3). Bentuk-bentuk hidrat dari garam-garam tersebut adalah K3PO4.6H2O, Na3PO4.10H2O, KOOCCH3.1½H2O, dan NaOOCCH3.3H2O. Garam alkali fosfat juga memiliki sifat tambahan yang bermanfaat, yaitu tak larut di dalam metanol maupun gliserin, sehingga akan memudahkan pemisahannya di akhir proses transesterifikasi ekstraktif. Garamgaram ini diharapkan mampu menjadi ”penstabil” katalis natrium/kalium metoksida dengan menarik air maupun asam lemak bebas.
Menyusuli gagasan tersebut, 2 – 3 uji-coba awal transesterifikasi ekstraktif/in situ bungkil/ampas kelapa dengan katalis KOCH3 dan padatan K3PO4 sebagai ”penstabil” katalis ternyata menunjukkan hasil yang memberi harapan besar. Ester metil kelapa murni (yaitu memiliki kadar asam lemak bebas maupun gliserol total yang rendah) dapat dijumput dengan perolehan yang memuaskan. Gagasan di atas tampak perlu dielaborasi lebih lanjut dengan melakukan penelitian untuk mengevaluasi efektivitas transesterifikasi ekstraktif/in situ pada ampas kelapa.
17