BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Asap atau polutan yang dibuang melalui cerobong asap pabrik akan menyebar atau berdispersi di udara, kemudian bergerak terbawa angin sampai mengenai pemukiman penduduk yang berada di sekitar cerobong asap. Yang harus diperhatikan adalah apakah di lokasi pemukiman tersebut konsentrasi polutan yang dirasakan oleh makhluk hidup, terutama manusia, masih berada dalam taraf yang tidak membahayakan kesehatan manusia. Pembahasan permasalahan tersebut akan diawali dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi dispersi polutan di udara. Faktor-faktor tersebut adalah: •
kecenderungan molekul-molekul polutan untuk berdifusi,
•
karakteristik fisik polutan,
•
kondisi meteorologis di sekitar cerobong asap, dan
•
kondisi topografi di sekitar cerobong asap.
2.1 Prinsip Difusi pada Dispersi Polutan Setelah keluar dari cerobong asap, molekul-molekul asap atau polutan akan mengalami proses difusi. Difusi adalah pergerakan atau perpindahan molekulmolekul dari material tertentu, dari tempat berkonsentrasi tinggi ke tempat dengan konsentrasi lebih rendah. Difusi merupakan sifat alamiah molekul yang terjadi karena setiap molekul memiliki energi kinetik untuk terus bergerak dengan bebas, cepat dan acak sehingga molekul-molekul akan saling bertabrakan sampai terdistribusi merata.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Difusi Satu Dimensi
Gambar 2.1. Difusi satu dimensi pada pipa yang sangat kecil
Gambar 2.1 memberikan ilustrasi untuk proses difusi satu dimensi. Misalkan terdapat suatu pipa yang sangat kecil, tepat di tengah pipa disuntikkan material tertentu yang jumlahnya dinyatakan dengan M. Misalkan lokasi pada pipa dinyatakan dengan sumbu-x sedemikian hingga penyuntikan material tersebut terjadi di titik x = 0 pada waktu t = 0 . Proses
difusi dibatasi hanya terjadi ke kanan dan kiri atau sepanjang sumbu-x saja karena pipa tersebut sangat kecil. Molekul-molekul material yang disuntikkan di titik x = 0 akan berdifusi ke kanan dan kiri atau ke sumbu-x positif dan sumbu-x negatif. Hal ini menyebabkan konsentrasi di tengah pipa akan semakin berkurang dan konsentrasi di titik yang jauh dari tengah pipa akan semakin bertambah. Dengan bertambahnya waktu, molekul-molekul akan berdifusi semakin jauh dari tengah pipa dan akan semakin terdistribusi merata di dalam pipa sehingga konsentrasi pada setiap titik di dalam pipa akan makin berkurang sampai mendekati nol. Selanjutnya akan ditentukan konsentrasi material pada suatu titik di dalam pipa pada waktu tertentu, untuk pipa yang memiliki panjang tak hingga. Pada kasus difusi satu dimensi, konsentrasi diukur dalam satuan massa per satuan panjang. Konsentrasi di suatu titik dalam pipa dapat diaproksimasi dengan mengambil interval kecil di sekitar titik tersebut, menghitung jumlah molekul di dalam interval tersebut, dan membagi jumlah molekul dengan panjang interval yang diambil.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.2. Segmen S di dalam pipa dengan panjang tak hingga
Misalkan diambil suatu segmen S pada pipa dengan panjang 2 Δx yang berpusat di titik x. Definisikan: •
Q adalah jumlah molekul di dalam segmen S, dan
•
M adalah jumlah total molekul yang disuntikkan di tengah pipa.
Jadi Q adalah bagian dari M dan Q bergantung pada Δx .Untuk Δx yang sangat kecil, akan diperoleh aproksimasi yang baik untuk konsentrasi di titik x dalam segmen S yaitu C ( x, t ) ≈
Q 2 Δx
(2.1)
Dengan aproksimasi si atas, konsentrasi pada suatu titik di dalam pipa didefinisikan dengan limit dari (2.1) untuk panjang interval mendekati nol. Q Δ x → 0 2 Δx
C ( x, t ) = lim
(2.2)
2.1.1.1 Pendekatan Probabilistik pada Difusi Satu Dimensi
Molekul-molekul material yang disuntikkan tepat di tengah pipa pada x = 0 dan t = 0 berjumlah sangat banyak. Setiap molekul memiliki
energi kinetik untuk terus bergerak sangat cepat sehingga molekulmolekul akan saling bertabrakan dan membentur dinding tabung. Akibatnya setiap molekul akan bergerak secara acak. Setiap molekul di dalam pipa bergerak sepanjang sumbu-x dan lokasi molekul di dalam pipa dilabelkan dengan titik-titik diskrit x = m Δx untuk m ∈ ] seperti pada gambar berikut.
Gambar 2.3. Label lokasi molekul di dalam pipa berupa titik-titik diskrit
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Misalkan waktu pengamatan dibagi menjadi n periode diskrit Δt . Pada setiap periode, setiap molekul bebas bergerak satu langkah ke kanan atau ke kiri sepanjang Δx dengan peluang yang sama. Karena setiap molekul bergerak sangat cepat maka Δt sangat kecil. Dengan begitu besarnya jumlah molekul dan tabrakan-tabrakan yang dialami setiap molekul, maka Δx juga sangat kecil. Setelah periode ke-n setiap molekul telah bergerak sebanyak n langkah dan akan berada di interval [ −nΔx, nΔx ] . Misalkan: •
P(m,n) adalah peluang suatu molekul berada di m setelah bergerak sebanyak n langkah,
•
r adalah banyaknya langkah ke kanan, dan
•
l adalah banyaknya langkah ke kiri.
Jika molekul berada di titik x = m Δx maka m dan n dapat dinyatakan dengan r dan l yaitu m=r–l
(2.3.a)
n=r+l
(2.3.b)
Misalkan suatu pertikel bergerak ke kanan sebanyak lima langkah dan ke kiri sebanyak tiga langkah. Molekul tersebut akan berada di titik x = 2 Δx atau m = 2 dan telah bergerak sebanyak n = 8 langkah. (2.3)
ekivalen dengan r=
1 (n + m) 2
(2.4.a)
l=
1 (n − m) 2
(2.4.b)
Jika suatu molekul bergerak sebanyak n langkah maka molekul tersebut memiliki 2n lintasan yang mungkin untuk berada di interval
[ −nΔx, nΔx ] .
Hal ini dikarenakan untuk setiap satu langkah, setiap
molekul memiliki dua kemungkinan untuk bergerak ke kanan atau ke kiri. Banyaknya lintasan yang mungkin bagi setiap molekul untuk bergerak ke kanan sebanyak r langkah dari total n langkah yang dialami molekul adalah kombinasi n dan r.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
⎛n⎞ n! ⎜ ⎟= ⎝ r ⎠ r !( n − r ) !
(2.5)
Hal ini analog dengan banyaknya cara untuk memperoleh r kepala dari n kali pelemparan sebuah koin dengan jumlah keluaran yang mungkin dari pelemparan tersebut adalah 2n. Sesuai definisi peluang, P(m,n) dapat dinyatakan dengan
P ( m, n ) =
banyaknya lintasan n-langkah ke titik ( m Δx ) total banyaknya lintasan n-langkah
(2.6)
Setiap molekul memiliki peluang yang sama untuk bergerak ke kanan dan kiri, maka dapat dipilih bahwa P(m,n) adalah peluang suatu molekul berada di posisi x = m Δx dengan bergerak ke kanan sebanyak r langkah dari total n langkah yang dialami molekul.
⎛ n⎞⎛ 1 ⎞ ⎛ 1 ⎞ P ( m, n ) = ⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎝ r ⎠⎝ 2 ⎠ ⎝ 2 ⎠ r
n−r
(2.7)
Dari (2.7) terlihat bahwa P(m,n) adalah fungsi kepadatan peluang (fkp) dari disribusi binomial dan r mengikuti distribusi binomial. Peluang sukses p adalah peluang suatu molekul bergerak satu langkah ke kanan dan peluang gagal q adalah peluang suatu molekul bergerak satu langkah ke kiri, sehingga p = q =
1 . Misalkan molekul 2
telah bergerak sebanyak n = 40 langkah, kurva untuk P(m,40) adalah
Gambar 2.4. Grafik untuk P(m,40)
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Selanjutnya rataan (mean) dan variansi dari r adalah r = np =
n 2
(2.8.a)
(
var ( r ) = r − r
)
2
= n pq =
n 4
(2.8.b)
Dari (2.4.a) diperoleh rataan dan variansi dari m adalah n m = 2r − n = 2r − n = 2 − n = 0 2
var ( m ) = ( 2r − n )
2
2
(2.9.a)
(
n⎞ ⎛ = 4⎜ r − ⎟ = 4 r − r 2⎠ ⎝
)
2
=4
n =n 4
(2.9.b)
P(m,n) pada (2.5) dapat didekati secara sederhana. Pendekatan
⎛n⎞ ini diperlukan karena faktor ⎜ ⎟ pada (2.5) akan sulit dihitung untuk n ⎝r⎠ besar. Di sisi lain, nilai n akan sangat besar karena pergerakan molekul-molekul di dalam pipa sangat pendek dan cepat. Dari Gambar 2.3 terlihat bahwa kurva distribusi binomial pada (2.5) serupa dengan kurva distribusi normal yang berbentuk lonceng. Oleh karena itu distribusi binomial ini akan didekati dengan distribusi normal. Peluang suatu pengamatan yang terdistribusi normal akan berada di interval
[ a, b ]
pada suatu titik x adalah integral dari fkp dari
distribusi normal terhadap interval tersebut, yaitu b
∫ a
1 e 2π σ
− ( x − μ )2 2σ 2
dx
(2.10)
dengan μ dan σ adalah rataan dan standar deviasi distribusi normal. P(m,n) adalah peluang molekul akan berada di m pada interval
[ m − 1, m + 1]
yang panjangnya adalah dua satuan panjang yang sangat
kecil, setelah bergerak sebanyak n langkah. Lokasi molekul di m pada interval
[ m − 1, m + 1]
secara implisit menunjukkan bahwa molekul
berada di titik x = m Δx pada ⎡⎣( m − 1) Δx, ( m + 1) Δx ⎤⎦ . Dengan mensubsitusikan (2.9), P(m,n) dapat dinyatakan dengan
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
P ( m, n ) =
m +1
∫
m −1
2
−m 1 e 2 n dm 2π n
(2.11)
Untuk molekul sebanyak M yang disuntikkan di titik x = 0 pada waktu t = 0 , ekspektasi jumlah molekul di interval
[ m − 1, m + 1]
adalah
peluang molekul akan berada di interval tersebut dikalikan dengan jumlah total molekul atau m +1
M×
∫
m −1
2
−m 1 e 2 n dm 2π n
(2.12)
Selanjutnya (2.12) akan digunakan untuk menghitung konsentrasi di m, yaitu nilai limit dari jumlah molekul di dalam interval
[ m − 1, m + 1]
dibagi dengan panjang interval tersebut, untuk panjang
interval mendekati nol seperti pada (2.2).
ekspektasi jumlah partikel di [ m − 1, m + 1] Δx →0 panjang interval [ m − 1, m + 1]
C ( x, t ) = lim
m +1
M× = lim
∫
m −1
Δx → 0
− m2
1 e 2 n dm 2π n 2 Δx
(2.13)
Menurut Teorema Nilai Rata-rata untuk Integral, jika f adalah fungsi kontinu pada interval [ a, b ] , maka terdapat c di [ a, b ] sehingga b
∫ f ( x ) dx = f ( c )( b − a )
(2.14)
a
Karena fungsi eksponensial adalah fungsi kontinu, dari (2.14) dan (2.13) diperoleh − m2
C ( x, t ) = lim
Δx →0
M
1 e 2 n ( m + 1 − ( m − 1) ) 2π n 2 Δx 2
−m M = lim e 2n Δx → 0 Δx 2π n
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Karena m =
x t dan n = , maka Δx Δt
( Δx )
− x
C ( x, t ) = lim
Δx → 0
M 2π ( Δx ) t 2
e
2t
2
Δt
Δt − x2
= lim
Δx → 0
Misalkan D =
M
( Δx ) 4π t
e
2
4t
( Δx )2
2 Δt
(2.15)
2 Δt
Δx 2 , maka diperoleh konsentrasi di titik x dalam pipa 2 Δt
pada t tertentu adalah 2
−x M 4 Dt C ( x, t ) = e 4π Dt
(2.16)
Perhatikan bahwa syarat agar proses fisis di atas dapat terjadi dan limit pada (2.15) ada dan tak nol, maka nilai Δx dan Δt tidak dapat sembarang. Keduanya harus memenuhi hubungan berikut Δ x 2 ≈ Δt Δx ≈ Δt Δx = k Δ t
untuk k adalah bilangan real sembarang.
2.1.1.2 Fluks (q)
Gambar 2.5. Perbesaran dari segmen S pada Gambar 2.2
Misalkan N ( x ) adalah jumlah molekul pada titik x. Peluang setiap molekul bergerak ke kanan sama dengan peluang bergerak ke kiri, sehingga setengah dari molekul-molekul yang berada pada titik x akan 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA bergerak ke kanan dan setengah dari molekul-molekul yang berada pada titik ( x + Δx ) akan bergerak ke kiri. Jumlah bersih molekul di antara titik x dan ( x + Δx ) yang bergerak dari kiri ke kanan adalah 1 1 1 N ( x ) − N ( x + Δx ) = − ⎡⎣ N ( x + Δx ) − N ( x ) ⎤⎦ 2 2 2
(2.17)
Perhatikan Gambar 2.5. Fluks (q) adalah laju pergerakan molekul pada suatu titik pengamatan. Fluks dinyatakan dengan jumlah bersih molekul yang melewati suatu titik pengamatan per satuan waktu Δt dan per satuan luas A dari bidang yang dilewati molekul. Pada kasus difusi satu dimensi, fluks cukup dinyatakan dengan jumlah bersih molekul yang melewati suatu titik pengamatan per satuan waktu Δt . Jadi fluks pada titik x adalah qx ≈ −
1 ⎡ N ( x + Δx ) − N ( x ) ⎤⎦ 2 Δt ⎣
(2.18)
Pada kasus difusi satu dimensi, konsentrasi molekul C(x,t) di titik x dapat dinyatakan dengan jumlah molekul per satuan panjang atau C ( x ) = N ( x ) / Δx sehingga (2.18) menjadi qx ≈ −
Δx ⎡C ( x + Δx ) − C ( x ) ⎤⎦ 2 Δt ⎣
qx ≈ −
Δx 2 ⎡⎣C ( x + Δx ) − C ( x ) ⎤⎦ Δx 2 Δt
(2.19)
Dari pembahasan sebelumnya telah diperoleh definisi dari koefisien difusi yaitu D = Δx 2 2 Δt maka ⎡C ( x + Δx ) − C ( x ) ⎤⎦ q ≈ −D ⎣ Δx
(2.20)
Ambil limit dari (2.20) untuk Δx mendekati nol.
14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ⎡C ( x + Δx ) − C ( x ) ⎤⎦ q ≈ − D lim ⎣ Δx → 0 Δx
q = −D
∂C ∂x
(2.21)
Persamaan pada (2.21) dikenal dengan Hukum Fick Pertama [6]. Fick menyatakan bahwa konsep fluks dapat digunakan untuk menegaskan prinsip dasar difusi, yaitu bahwa fluks pada suatu titik sebanding dengan gradien atau laju perubahan konsentrasi pada titik tersebut. Tanda negatif menunjukkan bahwa fluks bergerak berlawanan arah dengan gradien konsentrasi.
2.1.1.3. Laju Perubahan Jumlah Molekul di Dalam Pipa
Laju perubahan jumlah molekul dalam segmen S dapat didefinisikan dalam dua cara, yaitu: •
Sebagai turunan pertama dari jumlah molekul yang berdifusi di dalam segmen S terhadap waktu. Laju perubahan jumlah molekul ≈ ≈
∂Q , dari (2.2) diperoleh ∂t
∂ ⎡C ( x, t ) 2 Δx ⎤⎦ ∂t ⎣
≈ 2 Δx
∂ C ( x, t ) ∂t
≈ 2 Δx Ct ( x, t )
•
(2.22)
Dengan definisi fluks. Laju perubahan jumlah molekul dalam segmen S = ( fluks di ujung kiri – fluks di ujung kanan ) segmen S = q ( x − Δx , t ) − q ( x + Δ x , t )
= −D
∂ ∂ ⎛ ⎞ ⎡⎣C ( x − Δx, t ) ⎤⎦ − ⎜ − D ⎡⎣C ( x + Δx, t ) ⎤⎦ ⎟ ∂x ∂x ⎝ ⎠
= D ⎡⎣Cx ( x + Δx, t ) − D Cx ( x − Δx, t ) ⎤⎦
(2.23)
Dari (2.22) dan (2.23) diperoleh
15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Ct ( x, t ) ≈ D
Cx ( x + Δx, t ) − Cx ( x − Δx, t ) 2 Δx
Ambil nilai limitnya untuk Δx mendekati nol.
Cx ( x + Δx, t ) − Cx ( x − Δx, t ) Δx →0 2 Δx
Ct ( x, t ) = D lim Sesuai definisi turunan, maka Ct ( x, t ) = D
∂ ⎡C x ( x, t ) ⎤⎦ ∂x ⎣
Ct ( x, t ) = D C xx ( x, t )
(2.24)
Persamaan pada (2.24) adalah persamaan diferensial parsial (PDP) untuk kasus difusi satu dimensi. Akan dicari solusi dari (2.24) untuk difusi yang terjadi pada pipa dengan panjang tak hingga dan pemberian sumber difusi pada waktu t = 0 . Jadi masalah PDP yang dihadapi adalah Ct ( x, t ) = D C xx ( x, t )
− ∞ < x < ∞, t > 0
(2.25.a)
C ( x, 0 ) = M ϕ ( x )
−∞ < x < ∞
(2.25.b)
dengan C ( x, 0 ) adalah kondisi awal pada waktu pemberian sumber difusi. Solusi dari PDP untuk kasus difusi satu dimensi pada (2.24) dicari dengan metode transformasi Fourier (dijelaskan pada Lampiran). Deskripsi kuantitatif yang memenuhi uraian di atas adalah 2
x − M C ( x, t ) = e 4 Dt 4π Dt
(2.26)
Persamaan pada (2.26) adalah persamaan difusi satu dimensi. Deskripsi tersebut sesuai dengan (2.16) yaitu solusi difusi satu dimensi yang diperoleh melalui pendekatan probabilistik pada pembahasan sebelumnya. C(x,t) menyatakan konsentrasi material pada titik x di dalam pipa pada waktu t tertentu. Karena molekul-molekul dari material tersebut hanya berdifusi secara satu dimensi, konsentrasi material mempunyai satuan unit massa per unit panjang. M menyatakan banyaknya material yang disuntikkan tepat di tengah pipa, yang memiliki satuan unit massa. Pada (2.26) terdapat konstanta pembagi 4, bilangan π , t, dan D. t menyatakan
16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA waktu yang diukur pada sembarang unit waktu, yaitu saat ingin diketahui konsentrasi material di titik tertentu setelah penyuntikan material di titik. D adalah koefisien difusi dengan dimensi L2T-1. Koefisien ini bergantung pada jenis material yang berdifusi dan medium difusi. D menyatakan seberapa cepat molekul berdifusi melalui suatu medium. Medium bagi molekul untuk berdifusi disebut substrat. Misalkan material yang berdifusi adalah pewangi ruangan dan substratnya adalah udara, maka D dapat diperoleh melalui percobaan. Jika substratnya diganti dengan air maka D akan juga berubah. Pada umumnya, koefisien difusi sudah diketahui dan dapat langsung digunakan pada persamaan difusi.
2.1.2
Difusi Dua Dimensi
Gambar 2.6. Difusi dua dimensi pada kotak yang sangat pipih
Gambar 2.5 memberikan ilustrasi untuk proses difusi dua dimensi. Misalkan terdapat suatu kotak yang sangat pipih. Seperti pada kasus difusi satu dimensi, tepat di tengah kotak disuntikkan material tertentu yang jumlahnya dinyatakan dengan M. Misalkan lokasi di dalam kotak dinyatakan dengan koordinat Cartesius sedemikian hingga penyuntikan material terjadi di titik
( x, y ) = ( 0, 0 )
pada waktu t = 0 . Pada kasus ini, masing-masing panjang
kotak pada sumbu-x dan sumbu-y adalah tak hingga. Proses difusi hanya terjadi ke kanan dan kiri atau sepanjang sumbu-x, serta ke depan dan belakang atau sepanjang sumbu-y karena kotak tersebut sangat pipih. Prinsip dasar pada difusi dua dimensi tidak jauh berbeda dengan difusi satu dimensi. Molekul-molekul material yang disuntikkan di titik
( x, y ) = ( 0, 0 )
akan berdifusi ke sumbu-x positif dan sumbu-x negatif, serta
ke sumbu-y positif dan sumbu-y negatif. Hal ini menyebabkan konsentrasi di tengah kotak akan semakin berkurang dan konsentrasi di titik yang jauh dari tengah kotak sepanjang sumbu-x dan sumbu-y akan semakin 17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA bertambah. Dengan bertambahnya waktu, molekul-molekul akan berdifusi semakin jauh dari tengah kotak dan akan semakin terdistribusi merata di dalam kotak sehingga konsentrasi pada setiap titik sepanjang sumbu-x dan sumbu-y di dalam kotak akan makin berkurang sampai mendekati nol.
2.1.2.1
Pendekatan Probabilistik pada Difusi Dua Dimensi
Molekul-molekul di dalam kotak bergerak sepanjang sumbu-x dan sumbu-y sehingga lokasi molekul di dalam kotak dilabelkan dengan titik-titik diskrit x = m1 Δx dan y = m2 Δy untuk m1 , m2 ∈ ] . Molekulmolekul yang disuntikkan di titik ( x, y ) = ( 0, 0 ) tersebut akan berdifusi sepanjang sumbu-x dan sumbu-y secara saling bebas. Misalkan P ( mi , n ) untuk i = 1,2 adalah peluang molekul akan berada di mi pada interval [ mi − 1, mi + 1] yang panjangnya adalah dua satuan panjang yang sangat kecil, setelah bergerak sebanyak n langkah. Analog dengan (2.11), peluang suatu molekul berada di
( m1 , m2 )
setelah bergerak sebanyak n langkah, atau P ( m1 , m2 ; n ) adalah integral dari fkp gabungan antara fkp dari P ( m1 , n ) dan P ( m2 , n ) yaitu
P ( m1 , m2 ; n ) =
m2 +1 m1 +1
∫ ∫
1
2π n m2 −1 m1 −1
e
−( m1 + m2 ) 2n
2
dm1dm2
(2.27)
Konsentrasi di titik ( m1 , m2 ) pada waktu t tertentu seperti pada (2.13) dan (2.14) adalah M× C ( x, y, t ) = lim
m2 +1 m1 +1
∫ ∫
m2 −1 m1 −1
1 e 2π n
Δx , Δy → 0
M e = lim Δx , Δy → 0 Δx Δy ( 2π n )
Karena m =
− m22 2n
1 e 2π n
− m12 2n
dm1dm2
( 2 Δx )( 2 Δy ) (
− m12 + m2 2 2n
) (2.28)
x t dan n = , (2.28) memberikan Δt Δx
18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
( )
C ( x, y, t ) = lim
M
Δx , Δy → 0
2π Δx Δy t
e
( ) ⎞⎟⎟⎠
2 ⎛ − ⎜⎜ x + y Δx Δy ⎝ 2t Δt
2
Δt − x2
M
= lim
Δx →0
4π t
( Δx )
2
2Δt
( Δy )
e
2
4t
( Δx )
− y2
+
2
2 Δt
4t
( Δy )2
2 Δt
2Δt
Δy 2 Δx 2 Misalkan Dx = dan Dy = , maka diperoleh konsentrasi di titik 2Δt 2Δt
( x, y ) dalam kotak pada t tertentu adalah ⎛ x2
y2 ⎞
−⎜ + ⎟ ⎜ 4D t 4D t ⎟ M C ( x, y , t ) = e⎝ x y⎠ 4π t Dx Dy
(2.29)
2.1.2.2. Laju Perubahan Jumlah Molekul di Dalam Kotak
Pada kasus difusi dua dimensi, laju perubahan jumlah molekul di dalam kotak diakibatkan oleh laju perubahan jumlah molekul sepanjang sumbu-x dan sumbu-y. Analog dengan (2.24), laju perubahan jumlah molekul sepanjang sumbu-x adalah Dx C xx ( x, y , t )
(2.30)
laju perubahan jumlah molekul sepanjang sumbu-y adalah D y C yy ( x, y , t )
(2.31)
Jadi laju perubahan jumlah molekul di dalam kotak terhadap waktu adalah
Ct ( x, y, t ) = Dx Cxx ( x, y, t ) + Dy C yy ( x, y, t )
(2.32)
Persamaan pada (2.32) adalah persamaan diferensial parsial (PDP) untuk kasus difusi dua dimensi. Akan dicari solusi dari (2.32) untuk difusi yang terjadi pada kotak dengan masing-masing panjang pada sumbu-x dan sumbu-y adalah tak hingga, dan pemberian sumber
19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA difusi terjadi di titik
( x, y ) = ( 0, 0 )
pada waktu t = 0 . Jadi masalah
PDP yang dihadapi adalah Ct ( x, y , t ) = Dx C xx ( x, y , t ) + Dy C yy ( x, y, t )
untuk − ∞ < x < ∞, − ∞ < y < ∞, t > 0
(2.33.a)
C ( x, y , 0 ) = M ϕ ( x, y )
(2.33.b)
untuk − ∞ < x < ∞, − ∞ < y < ∞
dengan C ( x, y, 0 ) adalah kondisi awal pada waktu pemberian sumber difusi. Seperti pada kasus difusi satu dimensi, solusi dari PDP untuk kasus difusi dua dimensi pada (2.32) dicari dengan metode transformasi Fourier (dijelaskan pada Lampiran). Deskripsi kuantitatif yang memenuhi uraian di atas adalah ⎛ x2
y2 ⎞
−⎜ + ⎟ ⎜ 4D t 4D t ⎟ M C ( x, y , t ) = e⎝ x y⎠ 4π t Dx Dy
(2.34)
Persamaan pada (2.34) adalah persamaan difusi dua dimensi. Deskripsi tersebut sesuai dengan (2.29) yaitu solusi difusi dua dimensi yang diperoleh melalui pendekatan probabilistik. Koefisien difusi Dx dan Dy menyatakan seberapa cepat molekulmolekul berdifui di sepanjang sumbu-x dan sumbu-y. Walaupun molekul berdifusi di dalam substrat yang sama, nilai Dx dan Dy bisa berbeda [5]. Difusi disebabkan oleh energi kinetik yang dimiliki setiap molekul yang menyebabkan molekul bergerak secara acak sehingga terjadi saling transfer molekul antara tempat berkonsentrasi tinggi dan tempat berkonsentrasi rendah. Transfer molekul dapat juga terjadi karena substrat diberi perlakuan tertentu yang dapat mempercepat percampuran atau transfer molekul. Misalkan substrat digerakkan ke sumbu-y, maka proses difusi pada sumbu-y akan lebih cepat karena ada dua proses percampuran yang terjadi yaitu akibat energi kinetik yang dimiliki setiap molekul dan akibat perlakuan khusus pada subtrat sehingga Dy > Dx.
20
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persamaan difusi satu dan dua dimensi akan digunakan sebagai dasar untuk menurunkan persamaan difusi tiga dimensi. Persamaan difusi tiga dimensi akan digunakan untuk memodelkan dispersi polutan dari cerobong asap pabrik dan menentukan konsentrasi polutan tersebut. Akan tetapi, karena difusi yang terjadi pada sumbu-x atau arah yang sejajar dengan arah angin diabaikan dan transportasi polutan pada sumbu-x terjadi karena angin, maka persamaan difusi tiga dimensi disederhanakan kembali menjadi persamaan difusi dua dimensi.
2.2
Karakteristik Fisik Polutan
Pada umumnya, polutan memiliki suhu tinggi saat keluar dari cerobong asap. Seperti halnya gas, polutan yang panas akan cenderung mengembang dan bergerak naik. Hal ini ditambah dengan tingginya kecepatan polutan saat keluar dari cerobong asap sehingga momentum polutan bertambah dan polutan akan bergerak naik. Pengaruh dari suhu dan momentum yang tinggi adalah polutan mempunyai daya apung (buoyancy) untuk bergerak naik setelah keluar dari cerobong asap. Polutan akan bergerak vertikal ke atas sepanjang jarak tertentu sampai pengaruh suhu dan momentum yang tinggi tersebut menghilang karena percampuran dengan udara sekitar, kemudian bergerak horizontal terbawa angin. Jarak vertikal yang ditempuh polutan disebut dengan plume rise. Jarak tersebut mengakibatkan perpanjangan imajiner dari cerobong asap yang dapat mencapai dua sampai sepuluh kali dari tinggi fisik cerobong asap. Tinggi total antara tinggi fisik cerobong asap dan perpanjangan disebut dengan tinggi fisik cerobong asap.
Keterangan: h : tinggi fisik cerobong asap H : tinggi efektif cerobong asap Gambar 2.7. Tinggi fisik dan tinggi efektif cerobong asap
21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Di sisi lain, angin akan mempercepat ‘pembelokan’ polutan, transisi dari gerakan vertikal menjadi gerakan horizontal akan semakin cepat dan polutan akan terus bergerak horizontal hingga menipis dan menghilang pada jarak tak tentu. Secara umum polutan mengalami gerakan vertikal dan gerakan horizontal. Gerakan vertikal diakibatkan oleh tingginya suhu dan kecepatan polutan saat keluar dari cerobong asap sehingga polutan memiliki daya apung (buoyancy). Sementara gerakan horizontal disebabkan oleh angin, semakin tinggi kecepatan angin maka semakin jauh pula polutan bergerak dari sumber dispersi polutan.
2.3
Kondisi Meteorologis di Sekitar Cerobong Asap
Kondisi meteorologis di sekitar pabrik yang mempengaruhi dispersi polutan adalah pola pergerakan udara. Pola pergerakan udara terdiri dari pergerakan vertikal dan horizontal. Pola pergerakan udara horizontal, yaitu angin, sangat mempengaruhi dispersi polutan. Kecepatan angin pada tiap ketinggian berbeda, semakin dekat dengan permukaan tanah kecepatannya semakin kecil karena tereduksi oleh gesekan dengan permukaan tanah. Hal ini menyebabkan adanya gradien kecepatan angin yang mendorong terjadinya percampuran atau pertukaran antara udara di level tertentu dengan udara di level atas dan bawahnya. Jadi, walaupun angin bertiup ke arah horizontal, molekul-molekul polutan akan berotasi atau bergerak ke arah vertikal. Selain itu, yang lebih penting adalah angin mengakibatkan polutan secara keseluruhan bergerak ke arah horizontal, setelah sebelumnya bergerak ke arah vertikal karena pengaruh suhu dan momentum tinggi. Pola pergerakan udara vertikal diakibatkan oleh sinar matahari. Sinar matahari yang diserap oleh tanah menyebabkan suhu di permukaan tanah tinggi sehingga udara di sekitar permukaan tanah menjadi lebih panas dan akan cenderung mengembang. Selain itu kepadatan molekul udara berkurang sehingga udara tersebut akan mengembang naik ke level yang lebih tinggi sehingga terjadi pertukaran dengan udara di level yang lebih tinggi. Fenomena ini disebut juga efek balon udara dan merupakan mekanisme lain yang menyebabkan molekulmolekul polutan akan berotasi atau bergerak naik turun. Banyaknya pertukaran udara di level tertentu dengan udara di level atas dan bawahnya sepanjang jarak horizontal tertentu menentukan kelas stabilitas atmosfer. Semakin sedikit pertukaran udara yang terjadi maka udara dikatakan 22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA lebih stabil. Kelas stabilitas atmosfer juga ditentukan oleh pergolakan udara, yang antara lain diakibatkan oleh angin yang bertiup di sekitar permukaan yang kasar atau dipenuhi bangunan dan pepohonan, turbulensi termal dari udara hangat yang mengembang, dan sebagainya. Derajat pergolakan udara mempengaruhi besarnya plume rise dan proses dispersi polutan setelah keluar dari cerobong asap.
(a)
(b) Keterangan: (a) kestabilan atmosfer tinggi (b) kestabilan atmosfer sedang (c) kestabilan atmosfer rendah
(c) Gambar 2.8. Tipe pergerakan polutan akibat kelas stabilitas atmosfer yang berbeda-beda
Ada banyak metode untuk mengklasifikasi kelas kestabilan atmosfer. Pada tugas akhir ini, klasifikasi yang akan digunakan adalah Kelas Stabilitas PasquillGifford karena telah banyak diterima dan digunakan dalam skala internasional dan relatif lebih mudah digunakan [1]. Kelas Stabilitas Pasquill-Gifford terdiri dari kelas A, B, C, D, E, dan F yang diindikasikan dengan kecepatan angin dan intensitas sinar matahari seperti tampak pada tabel berikut.
Kecepatan angin mil/jam
meter/detik
Siang hari
Malam hari
Pancaran siang matahari
< 4/8 langit
< 3/8 langit
Kuat
Sedang
Lemah
tertutup awan
tertutup awan
< 4,5
<2
A
A–B
B
–
–
4,5 – 6,7
2–3
A–B
B
C
E
F
6,7 – 11,2
3–5
B
B–C
C
D
E
11,2 – 13,4
5–6
C
C–D
D
D
D
Tabel 1.1. Tabel kelas stabilitas Pasquill-Gifford
23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kecepatan angin diukur pada ketinggian 10 meter dari permukaan tanah. Kelas A menyatakan kondisi udara yang paling tidak stabil atau derajat pergolakan udara yang tinggi dan kelas F menyatakan kondisi udara yang paling stabil atau derajat pergolakan udara yang sedikit.
2.4 Kondisi Topografi di Sekitar Cerobong Asap
Walaupun di sekitar cerobong asap terdapat perbedaan ketinggian permukaan tanah dan arah angin mengikuti perbedaan ketinggian tersebut, diasumsikan arah angin dan polutan tidak ikut berbelok mengikuti perbedaan ketinggian karena akan sulit diprediksi. Sebagai akibatnya, reseptor polutan di tempat yang lebih tinggi pada jarak yang sama dari cerobong asap akan merasakan kosentrasi polutan yang lebih tinggi.
Gambar 2.9.a. Aproksimasi lintasan pergerakan polutan
Gambar 2.9.b. Pemodelan lintasan pergerakan polutan
Kondisi topografi seperti lahan terbuka, hutan, pemukiman penduduk, dan sebagainya akan mempengaruhi gradien kecepatan angin. Kondisi topografi di sekitar cerobong asap akan diperumum dan dibagi menjadi dua tipe daerah, yaitu daerah urban dan daerah rural. Perbedaan kekasaran permukaan akan mempengaruhi derajat pergolakan udara dan akan mempengaruhi tingkat kestabilan atmosfer.
24