BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Melon Tanaman melon berasal dari daerah Mediterania yang merupakan perbatasan antara Asia Barat dengan Eropa dan Afrika, secara khusus berasal dari lembah Persia (Syria). Tanaman ini kemudian menyebar secara luas ke Timur Tengah dan merambah ke Eropa (Denmark, Belanda, dan Jerman). Pada abad 14 melon dibawa ke Amerika dan ditanam secara luas di daerah Colorado, California, dan Texas. Akhirnya tanaman melon menyebar ke penjuru dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis mulai dari Jepang, Cina, Taiwan, Korea, Australia, hingga Indonesia. Melon mulai dikembangkan di Indonesia pada tahun 1980-an di daerah Cisarua (Bogor) dan Kalianda (Lampung) oleh PT Jaka Utama Lampung. Perusahaan agribisnis ini mencoba penanaman berbagai varietas melon dari Amerika, Taiwan, Jepang, Cina, Perancis, Denmark, Belanda, dan Jerman. Sampai saat ini melon berkembang di daerah Ngawi, Madiun, Ponorogo sampai wilayah eks-keresidenan Surakarta (Sragen, Sukoharjo, Boyolali, Karanganyar, dan Klaten). Daerah tersebut merupakan pemasok buah melon terbesar dibandingkan dengan asal melon sebelumnya (Prajnanta 1997). Tanaman melon termasuk dalam keluarga labu-labuan (Cucurbitaceae) yang termasuk ke dalam spesies Cucumis melo L. Bagian yang dimakan dari buah ini adalah bagian daging buah (mesokarp) yang teksturnya lunak, berwarna putih sampai merah (Gambar 1). Melon merupakan tanaman semusim, merambat dan menjalar, daun berbentuk menjari dengan lekuk moderat sehingga seperti lingkaran bersudut. Tumbuhan ini berumah satu dengan buah dua tipe, yaitu: bunga jantan dan hermafrodit. Kulit buah
Plasenta Daging buah
Biji
Gambar 1. Penampang melintang melon cantaloupe Tanaman melon sangat baik tumbuh di dataran sedang, yakni pada ketinggian 300-1000 m dpl. Melon yang ditanam di dataran sedang umumnya memiliki daging buah yang tebal dengan sedikit rongga dan rasa yang jauh lebih manis daripada melon yang ditanam di dataran rendah
3
(Samadi 2007). Dalam budidaya diperlukan air yang cukup banyak. Suhu ideal bagi pertumbuhan melon berkisar 25-30oC. Tanaman melon tidak dapat tumbuh jika suhu kurang dari 18oC dan pertumbuhan terhambat di tempat yang kelembaban udara rendah (kering) dan ternaungi. Tanaman ini memerlukan penyinaran matahari penuh selama pertumbuhannya. Intensitas sinar matahari yang diperlukan tanaman melon berkisar 10-12 jam sehari (Prajnanta 1997). Umur panen melon bervariasi antara 55-85 HST, tergantung beberapa faktor, yaitu: faktor genetis, lingkungan, serta perpaduan dari beberapa tindakan budidaya. Penanganan panen dan pascapanen harus diperhatikan karena mempengaruhi kualitas buah melon. Apabila melon dipanen terlalu dini maka kadar gula kurang optimal sehingga rasa buah kurang manis, sebaliknya pemanenan yang terlambat menyebabkan buah terlalu lembek dan kurang tahan lama disimpan. Melon yang sudah matang ditandai dengan jaring dikulit buah telah terbentuk sempurna, nyata, dan tebal; tangkai buah berubah warna dari hijau menjadi kekuningan; warna kulit buah berubah, misalnya dari hijau tua menjadi kekuningan; serta muncul aroma yang harum (Prajnanta 1997). Di dalam melon terdapat banyak kandungan unsur gizi yang beragam dan cukup tinggi, secara lengkap kandungan melon untuk 100 gram bahan yang dimakan ditunjukkan pada Tabel 1. Vitamin dan mineral sangat baik bagi kesehatan tubuh, protein dan karbohidrat penting bagi pembentukan sel tubuh serta regenerasi sel. Di samping itu, karbohidrat juga berfungsi sebagai sumber energi untuk meningkatkan kemampuan tubuh dalam melakukan berbagai aktivitas. Tabel 1. Kandungan gizi melon per 100 gram berat yang dapat dimakan Kandungan gizi
Nilai satuan
Energi (kal)
22.0
Protein (g)
0.6
Lemak (g)
0.1
Karbohidrat (g)
5.3
Kalsium (mg)
12.0
Fosfor (mg)
30.0
Serat (g)
0.3
Abu (g)
0.5
Kalium (mg)
183
Zat besi (mg)
0.5
Natrium (mg)
6.0
Vitamin A (SI)
2140.0
Vitamin B1 (mg)
0.03
Vitamin B2 (mg)
0.02
Vitamin C (mg)
35.0
Niasin (mg)
0.8
Air (g)
93.5
Sumber: Rukmana (2008) Menurut Sobir dan Siregar (2010) melon untuk perdagangan domestik maupun internasional harus memenuhi standar mutu minimum, sebagai berikut: 1) Buah utuh tidak pecah atau retak, dengan atau tanpa tangkai.
4
2) Buah layak dikonsumsi, bersih, dan bebas dari benda asing maupun dari tangkai yang mati atau kering. 3) Daging buah bebas dari kememaran maupun pencoklatan internal (internal browning). 4) Buah bebas dari hama dan penyakit yang berpengaruh pada penampakan produk secara umum. 5) Apabila buah masih disertai dengan tangkai maka tangkai melon tersebut tidak boleh lebih dari 3 cm dan pemotongan tangkai harus mendatar, lurus, dan bersih. Melon yang dipanen telah mencapai tingkat kemasakan fisiologis, contohnya bebas dari tanda-tanda ketidakmatangan (jaring kulit belum penuh, tidak bercahaya, hambar, dan kadar air yang berlebihan untuk varietas tertentu) atau dari tanda-tanda lewat matang (warna daging buah berubah lebih tua, tingkat kelunakan meningkat). 6) Mutu melon sangat ditentukan rasa yang dicerminkan dengan kadar kemanisan tidak kurang dari 12oBrix.
B. Pengemasan Pengemasan tidak memperbaiki mutu produk tetapi mempertahankan mutu. Oleh karena itu, pengemasan produk yang busuk atau rusak akan menjadi sumber kontaminasi bagi produk lain yang baik (Soedibyo 1979). Pengemasan buah merupakan penyusunan buah-buahan ke dalam suatu wadah yang sesuai dan baik sehingga produk tersebut terlindungi dari kerusakan mekanis, fisiologis, kimiawi, dan biologis (Satuhu 2004). Aktivitas pengemasan sering disebut pengepakan atau packaging. Sesuai tujuannya, kemasan yang digunakan untuk pengangkutan buah-buahan harus berfungsi baik dan efisien. Menurut Satuhu (2004) tujuan dari kegiatan pengemasan secara umum adalah: (1) Melindungi hasil (produk) dari kerusakan. (2) Melindungi dari kehilangan air. (3) Melindungi dari pencurian. (4) Mempermudah dalam pengangkutan. (5) Mempermudah penyusunan baik dalam pengangkutan maupun penyimpanan. (6) Mempermudah dalam perhitungan. Pemilihan bahan kemasan harus tepat dan sesuai dengan sifat komoditi yang dikemas. Bahan kemasan untuk pengangkutan dirancang sesuai jarak angkut, lama perjalanan, keadaan jalan, jenis alat angkut, panas respirasi produk, serta kehilangan air atau kesegaran produk. Wadah atau kemasan juga harus sesuai agar mudah diangkut ketika berisi buah, dan cukup kuat untuk melindungi buah selama diangkat, dipindahkan, atau ditumpuk. Permukaannya harus lembut dan memiliki lubang ventilasi yang cukup untuk menghindari kerusakan mekanis (Liu dan Ma 1983). Kemasan ada beberapa macam, mulai dari yang alami sampai yang buatan. Jenis kemasan yang dipilih harus dapat memberikan kondisi yang cocok bagi produk sehingga dapat mencegah atau mengurangi terhadap kerusakan selama distribusi, seperti: perubahan suhu, kelembaban, kontaminasi, guncangan, dan sebagainya. Secara ekonomis ukuran kemasan harus dibuat efisien agar tidak banyak ruang yang kosong. Menurut Satuhu (2004), bahan dan bentuk kemasan secara umum dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu: (1) Kemasan langsung, yaitu kemasan utama yang langsung berhubungan dengan produk yang dikemas. Bahan pengemas utama ini dapat berupa karung, plastik, kertas, dan daun.
5
(2) Kemasan tidak langsung, yaitu kemasan kedua yang tidak bersentuhan langsung dengan produk. Jenis kemasan ini untuk melindungi bahan dari kerusakan fisik dan mekanis terutama untuk memudahkan pengaturan dalam alat angkut. Bahan pengemas jenis ini dibuat dari peti kayu, peti plastik, peti karton, dan keranjang bambu. Kemasan dapat mengurangi kehilangan air yang mengakibatkan susut bobot terutama untuk bahan kedap air dapat mencegah dehidrasi. Pada umumnya kemasan untuk hasil pertanian perlu dilubangi untuk ventilasi, kecuali untuk komoditas segar yang telah dikupas. Lubang ventilasi ini memungkinkan masuknya oksigen yang cukup dan menghindarkan akumulasi karbondioksida selama pemasaran pada suhu tinggi yang mengakibatkan kerusakan produk (Handerbug 1975). Dalam kemasan yang tidak diberi ventilasi, komoditas tampak tetap baik daripada yang berada dalam kemasan dengan ventilasi. Hal ini disebabkan termodifikasinya udara dengan kandungan oksigen rendah dan karbondioksida yang tinggi. Namun bau dan rasa yang tidak diinginkan dapat timbul dalam kemasan yang tertutup rapat. Penggunaan kemasan yang tanpa disertai ventilasi juga bertujuan untuk menyeragamkan kematangan produk. Penyebab kerusakan mekanis selama pengangkutan antara lain adalah: (1) Isi kemasan terlalu penuh Kemasan yang berisi terlalu penuh menyebabkan peningkatan kerusakan tekan atau kompresi sebagai akibat tambahan tekanan dan tutup kemasan. (2) Isi kemasan kurang Kemasan yang berisi kurang menyebabkan kerusakan vibrasi pada lapisan atas. Akibat adanya ruang di atas bahan sehingga selama pengangkutan bahan bagian atas akan terlempar-lempar dan saling berbenturan. (3) Kelebihan permukaan Tumpukan yang terlalu tinggi di bagian kemasan menyebabkan tekanan yang besar pada buah lapisan bawah sehingga meningkatkan kerusakan kompresi.
C. Karton Gelombang (Kardus) Papan karton gelombang adalah material mentah yang paling terkenal untuk kemasan transportasi pada berbagai jenis produk seperti buah dan sayuran segar, manufaktur, peralatan rumah tangga, dan industri. Bahan kemasan ini juga digunakan dalam transportasi semi curah berbagai komoditi dengan jumlah yang luas. Papan karton gelombang yang telah dibentuk sebagai kemasan sering disebut kardus. Peti karton gelombang adalah wadah yang ideal untuk buah selama pengangkutan (Liu dan Ma 1983). Kertas gelombang antara permukaan pada papan karton gelombang disebut fluting atau media gelombang. Kualitas terbaik dari fluting adalah yang terbuat dari serat kayu dengan metode pengolahan pulp secara khusus. Terdapat tiga daya tahan yang dimiliki oleh kemasan karton, yaitu daya tahan jebol, daya tahan susun, dan daya tahan air (basah). Ketahanan jebol dan daya tahan susun dari kemasan karton sangat bergantung pada kualitas bahan yang digunakan. Daya tahan terhadap air (basah) dapat dilakukan dengan menambah lapisan lilin pada permukaan karton, baik di bagian dalam, maupun di bagian luar sesuai kebutuhan (FPI 1983 dalam Wijandi 1989). Umumnya terdapat empat jenis utama dari papan karton gelombang, yaitu: (1) Single-faced board Papan ini terbuat dari satu permukaan pipih dengan sebuah medium bergelombang atau fluting. Material ini hanya digunakan untuk membuat produk kardus.
6
Gambar 2. Single-faced board (2) Single-wall atau double-faced board Papan ini terbuat dari dua permukaan dengan satu bagian yang bergelombang di tengahnya. Hampir 90% dari semua kardus terbuat dari papan karton gelombang jenis ini.
Gambar 3. Single wall (3) Double-wall board Terbuat dari dua permukaan dan dua media bergelombang dengan penuh pembatas di tengahnya sehingga terdapat lima lapisan. Tingkatan ini sering digunakan untuk pengemasan dalam skala ekspor.
Gambar 4. Double wall board (4) Tripple-wall board Tingkatan ini memiliki tiga media bergelombang sehingga seluruh lapisannya berjumlah tujuh lapisan. Hanya sebagian pabrik yang membuat jenis ini, yang mana sering digunakan untuk aplikasi industri yang sangat berat.
Gambar 5. Tripple wall board Menurut Satuhu (2004), dengan lebih majunya industri kertas dan karton, pengguna kotak karton sekarang ini sudah cukup mendesak karena beberapa hal berikut ini: (1) Pembuatannya dilakukan secara masinal (dengan mesin) sehingga dapat diproduksi secara massal sesuai dengan ukuran dan kapasitas rancangan.
7
(2) Kemasan kotak karton bekas dapat dipakai kembali dan setelah rusak dapat didaur ulang menjadi karton kembali. (3) Perancangannya dapat disesuaikan dengan kondisi buah yang dikemas. (4) Kotak karton dapat dilengkapi dengan gambar buah yaang dikemas, golongan ukuran, jenis mutu, keterangan jumlah, berat bersih, daerah asal, dan produsen. (5) Kotak karton dapat dilengkapi dengan ventilasi. (6) Sifat meredam getaran yang baik. (7) Lapisan karton dapat dibuat bergelombang sebagai partisi atau penyekat antarbuah sehingga kerusakan akibat gesekan dan tekanan dapat dihindari. (8) Kotak karton memiliki bahan yang ringan sehingga akan mempermudah pembongkaran dan dinding karton yang halus dibandingkan peti kayu menyebabkan gesekan antara komoditi dengan dinding tidak berakibat buruk.
D. Peti Kayu Kemasan peti kayu memiliki sifat fisik dan mekanik yang bervariasi sehingga untuk keperluan tertentu dilakukan pemilihan yang selektif terhadap jenis kayu yang digunakan. Pada dasarnya tidak ada kriteria khusus untuk menentukan jenis kayu yang digunakan sebagai kemasan. Pemilihannya umumnya ditentukan hanya berdasarkan jumlah kayu yang tersedia, kemudahannya untuk dipaku, jenis produk yang akan dikemas, kekuatan dan kekakuan kayu, serta harganya (Hanlon 1984). Sedangkan menurut Sjaifullah (1996), berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pustaka dan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Sub Bagian Perlakuan Segar Hasil Hortikultura Bagian Teknologi, Lembaga Penelitian Hortikultura Pasar Minggu, jenis yang digunakan untuk membuat peti kayu adalah yang berwarna putih dan lentur seperti kayu teki (Albizia lebbeck Benth), kayu kenanga, dan kayu sengon. Keuntungan pemakaian peti kayu sebagai kemasan yaitu dapat ditumpuk dengan ketinggian tertentu tanpa menyebabkan kerusakan yang diakibatkan oleh penumpukan tersebut dan mampu melindungi komoditi yang dikemas terhadap kerusakan yang mungkin terjadi akibat adanya tekanan dari segala arah (Poernomo 1979).
E. Bahan Pengisi Kemasan Selama transportasi dan penyimpanan, kemasan dan bahan segar akan menghadapi beberapa kerusakan, baik dari segi mekanis, lingkungan ataupun biologi. Kerusakan mekanis dapat dinyatakan sebagai kerusakan yang disebabkan oleh tumbukan, getaran kompresi, dan tusukan. Kerusakan tumbukan dapat terjadi jika kemasan jatuh atau terlempar. Buah di dalamnya akan bergerak dan bersentuhan antara sesama buah dan antara buah dengan kemasan yang mengakibatkan kerusakan. Untuk mengurangi efek tersebut pada produk kemasan harus dibuat tidak bergerak dan membagi beban yang ada pada setiap bagian dan memberikan bantalan. Efek merugikan dari getaran termasuk luka lecet yang disebabkan karena perpindahan relatif produk dari kemasan dan dari produk yang lain bisa dikurangi dengan menahan tiap bagian produk. Kerusakan kompresi terjadi selama penumpukkan kemasan. Kemasan kaku yang terlampau penuh atau cacat dapat menyebabkan gaya kompresi yang ada dari penumpukkan lebih banyak dilanjutkan kepada produk daripada kemasannya. Hasilnya, produk menjadi memar, tingkat
8
kerusakannya tergantung pada besarnya gaya yang terjadi dan tingkat kematangan dari produk (Pantastico 1989). Beberapa dari kerusakan ini dapat diminimalisir dengan menghindari adanya ruang kosong yang terdapat di dalam kemasan serta melindungi tekanan dan gesekan antara sesama produk ataupun antara produk dengan kemasan selama kegiatan transportasi. Bahan yang digunakan untuk mengisi ruang tersebut sering disebut dengan istilah bahan pengisi kemasan. Bahan ini dapat mengurangi sebagian besar kerusakan yang terjadi selama transportasi. Selain itu, bahan ini dapat juga menjadi alat penyekat antarproduk, sebagai bahan pelapis dinding kemasan, atau sebagai bahan pengganjal untuk melindungi buah atau sayur terhadap pergeseran dengan dinding kemasan atau sebagai bahan pengisi disela-sela antara setiap komoditas yang dikemas untuk mencegah terjadinya pergeseran letak komoditas. Bahan yang umum digunakan adalah merang atau jerami, daun-daun kering, pelepah batang pisang, tikar, kertas koran atau kertas lainnya, dan sebagainya.
F. Simulasi Transportasi Pengangkutan merupakan mata rantai yang penting dalam penanganan, penyimpanan, dan distribusi buah-buahan serta sayuran. Pengangkutan dilakukan untuk menyampaikan komoditas hasil pertanian secara cepat dari produsen ke konsumen. Di Indonesia perhubungan lewat darat sangat dominan terhadap pengangkutan buah yang hendak dipasarkan selanjutnya. Alat angkut yang umum digunakan adalah truk, mobil bak terbuka atau sejenisnya, dan menggunakan kereta api (Satuhu 2004). Dalam kondisi jalan yang sebenarnya, permukaan jalan ternyata memiliki permukaan yang tidak rata. Permukaan jalan yang tidak rata ini menyebabkan produk mengalami berbagai guncangan ketika ditransportasikan. Besarnya guncangan yang terjadi bergantung kepada kondisi jalan yang dilalui. Ketidakrataan ini disebut amplitudo dan tingkat kekerapan terjadinya guncangan akibat ketidakrataan jalan tersebut dinamakan frekuensi. Kondisi transportasi yang buruk ini dan penanganan yang tidak tepat pada komoditi yang ditransportasikan (buah dan sayuran) dapat menyebabkan kerugian berupa turunnya kualitas komoditi yang akan disampaikan ke tangan konsumen. Penurunan kualitas yang sering terjadi adalah kerusakan mekanis pada buah dan sayuran (Tirtosoekotjo 1992). Menurut Darmawati (1994), hal yang menjadi dasar perbedaan jalan dalam kota dan luar kota adalah besar amplitudo yang terukur dalam suatu panjang tertentu. Jalan dalam kota mempunyai amplitudo yang rendah dibanding jalan luar kota, maupun jalan buruk aspal dan jalan buruk berbatu. Frekuensi alat angkut yang tinggi bukan penyebab utama kerusakan buah dalam pengangkutan, yang lebih berpengaruh terhadap kerusakan buah adalah amplitudo jalan. Pada simulasi pengangkutan dengan menggunakan truk guncangan yang dominan adalah guncangan pada arah vertikal. Sedangkan guncangan pada kereta api adalah guncangan horisontal, guncangan lain berupa puntiran dan bantingan diabaikan karena jumlah frekuensinya kecil sekali (Tirtosoekotjo 1992). Purwadaria (1992) menyatakan bahwa guncangan yang terjadi selama pengangkutan baik di jalan raya maupun di rel kereta api dapat mengakibatkan kememaran, susut bobot, dan memperpendek masa simpan. Hal ini terutama terjadi pada pengangkutan buah dan sayuran yang tidak dikemas. Meskipun kemasan dapat menahan efek guncangan, tetapi gaya redamnya tergantung pada jenis kemasan dan tebal bahan kemasan, susunan komoditas di dalam kemasan, dan susunan kemasan di dalam alat angkut. Darmawati (1994) meneliti pengaruh guncangan terhadap jeruk dalam kemasan karton gelombang di atas meja getar dengan kompresor. Simulasi dengan pengangkutan ini dilakukan
9
selama delapan jam dengan frekuensi penggetaran sebesar 6 Hz dan amplitudo 5 cm. Keadaan ini setara dengan 2490 km pada jalan beraspal atau 905 km pada jalan berbatu. Simulasi pengangkutan ini mewakili pengangkutan antarpulau (Jawa dan Sumatera) dan mengakibatkan kerusakan buah sebesar 26.1%. Anwar (2005) mengkaji dampak kemasan terhadap perubahan sifat fisik dan masa simpan buah dengan menggunakan meja getar yang sama. Simulasi transportasi dalam penelitian ini dilakukan selama satu jam dengan frekuensi 3.33 Hz dan amplitudo 5.31 cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kemasan kardus karton dengan bahan pengisi kertas koran merupakan kemasan yang paling baik untuk transportasi buah dengan kerusakan mekanis terkecil, yaitu 8.46% apabila dibandingkan dengan jenis kemasan lain seperti kantong plastik tanpa bahan pengisi dengan kerusakan mekanis yang terjadi sebesar 23.70%. Pradnyawati (2006) telah melakukan penelitian mengenai pengaruh kemasan dan guncangan terhadap mutu fisik jambu biji selama transportasi. Jenis kemasan yang digunakan adalah keranjang bambu dengan pengisi daun pisang, kardus karton dengan bahan pengisi kertas koran cacah, dan kardus karton dengan bahan pembungkus kertas koran. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tingkat kerusakan mekanis yang tertinggi dialami oleh jambu biji dalam kemasan keranjang bambu dengan bahan pengisi daun pisang. Sedangkan tingkat kerusakan mekanis terendah dialami oleh jambu biji dalam kemasan kardus karton dengan bahan pembungkus koran. Kusumah (2007) mengkaji pengaruh kemasan dan suhu terhadap mutu fisik mentimun selama transportasi. Penelitian ini menggunakan empat kemasan yang berbeda untuk mengemas mentimun yang akan ditransportasikan. Simulasi penggetaran dilakukan selama tiga jam. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tingkat kerusakan mekanis tertinggi dialami oleh mentimun dalam peti kayu dengan nilai kerusakan sebesar 40.915% dan kerusakan terendah dialami oleh mentimun dalam kemasan kardus dengan nilai kerusakan sebesar 26.1%. Yulianti (2009) merancang kemasan untuk transportasi manggis. Dari rancangan tersebut diperoleh bahwa kemasan berkapasitas 8 kg berdimensi 39.4 cm x 21 cm x 21 cm dengan pengaturan buah pola fcc (face cubic centre) merupakan kemasan dan pola pengaturan buah yang optimal untuk transportasi manggis. Seesar (2009) meneliti umur simpan dan mutu buah manggis dalam berbagai jenis kemasan dan suhu penyimpanan pada simulasi transportasi. Hasil penelitiannya menunjukkan peti kayu dan keranjang plastik yang diberi sekat styrofoam berpotensi digunakan dalam distribusi buah manggis dengan kerusakan masing-masing 5.2% dan 3.57%.
10
Tabel 2. Data guncangan truk Jumlah kejadian amplitudo
Amplitudo gerakan vertikal (cm) Jalan luar kota
1
Jalan dalam kota 3.5
3.9
Jalan buruk aspal 4.8
Jalan buruk berbatu 5.2
500
3.2
3.6
4.2
4.1
1000
2.9
3.3
3.9
3.8
1500
2.5
3.0
3.5
3.6
2000
2.2
2.8
3.1
3.2
2500
1.8
2.5
2.8
2.6
3000
1.6
2.1
2.8
2.6
3500
1.5
2.0
2.0
2.0
4000
1.1
1.7
1.2
1.1
4500
0.9
1.3
0.8
0.7
5000
0.0
0.1
0.2
0.1
Amplitudo rataan
1.3
1.74
1.85
1.71
Sumber: BPPT (1986) dalam Tirtosoekotjo (1992)
11