BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2. 1
Histologi Histologi adalah ilmu yang mempelajari tentang struktur jaringan secara
detail menggunakan mikroskop pada sediaan jaringan yang dipotong tipis, salah satu dari cabang-cabang biologi. Histologi dapat juga disebut sebagai ilmu anatomi mikroskopis. Menurut Banks (1986) dalam Khaisar (2006), histologi merupakan cabang ilmu biologi anatomi yang mempelajari tentang susunan struktur sel-sel yang memiliki fungsi fisiologi yang sama tersusun menjadi satu jaringan yang kompleks. Saat terjadi perubahan dalam struktur sel akibat terkena penyakit, bakteri, adanya substansi berbahaya seperti logam berat, maupun karena terjadinya perubahan faktor fisika (suhu) dan kimia (salinitas, pH atau DO) lingkungan, hal tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi atau bahkan sedang berlangsung perubahan pada kondisi lingkungan dimana ikan tersebut berada. Analisa histologi dapat menjadi parameter yang sangat sensitif dan menjadi sangat penting didalam menentukan perubahan struktur sel yang terjadi di organ dalam seperti ginjal, hati dan gonad (Dutta, 1996 dalam Khaisar, 2005). Menurut Banks (1986) dalam Khaisar (2006), nekrosis yang terjadi pada sel dapat dikenali secara morfologi dari kerusakan yang terjadi pada inti sel; terjadi homogenisasi sitoplasma; serta peningkatan jumlah eosinofil. Nekrosis sel sangat tergantung dari seberapa tinggi tingkat kerusakan dan lamanya sel mengalami kerusakan. Kerusakan pada inti sel terdiri dari: pyknosis dimana terjadi penyusutan inti; karyolysis dimana inti akan terdisolusi; karyorrhexis yaitu dimana inti akan mengalami fragmentasi (Banks, 1989 and Copenhaver, 1978 dalam Khaisar, 2006). Kondisi akut menggambarkan sel yang mengalami kerusakan dalam waktu singkat namun bersifat mematikan (lethal), kondisi membran sel akan pecah sehingga isi sel seluruhnya akan terlarut, terjadi pada sejumlah grup sel. Sedangkan pada kondisi kronis, sel mengalami kerusakan dalam jangka waktu cukup lama dan bersifat sub-lethal; inti sel dan sitoplasma
7
8
akan sangat mengkisut. Gangguan lainnya dalam tubuh dapat berupa gangguan metabolisme sel, gangguan sirkulasi dan radang (Banks, 1989 and Copenhaver, 1978 dalam Khaisar, 2006). Tingkat pencemaran di dalam lingkungan perairan dapat diketahui dengan melakukan pengamatan konsentrasi bahan toksik yang terdapat pada organisme yang ada (dalam hal ini adalah ikan).
2.1.1 Organ Insang Ikan dan Histologinya Sistem pernafasan ikan terdiri dari organ yang mengikat oksigen dan mengeluarkan buangan karbondioksida hasil respirasi. Organ tersebut adalah insang dan struktur yang berhubungan dengan insang seperti pembuluh darah, sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran oksigen dan karbondioksida. Letak insang berada di dua sisi tubuh ikan bagian depan, yang terdiri dari gill filament terstruktur dan permukaan yang luas untuk menyerap oksigen. Transfer gas pernafasan dilakukan melalui epitel khusus yaitu filamen insang dan lamella insang yang disebut epithelium respiratorik, yang biasanya sangat tipis disesuaikan dengan kebutuhan pertukaran gas (Erlangga, 2007). Proses pernafasan pada ikan dimulai dari ikan membuka mulut dan menutup operkulumnya sedemikian rupa sehingga air yang kaya oksigen dapat terdorong ke dalam mulut dan melewati insang. Jaringan pembuluh darah dalam insang akan menangkap oksigen dan melepaskan karbondioksida dan buangan respirasi lainnya. Terakhir ikan akan menutup mulutnya dan membuka operkulum untuk mengalirkan air yang telah melalui insang (Harpeni, 2011 dalam Prasetyo, 2011). Insang merupakan organ respirasi yang utama dan vital pada ikan. Epitel insang ikan merupakan bagian utama untuk pertukaran gas, keseimbangan asam basa, regulasi ion dan ekskresi nitrogen. Oleh karena itu, jika ikan tercemar oleh polutan lingkungan seperti amonia, pestisida, logam, nitrit dan petroleum hidrokarbon, fungsi vital ini dalam keadaan bahaya karena menghalangi penerimaan oksigen misalnya terjadi fusi (Ersa, 2008). Insang sebagai alat pernafasan ikan merupakan organ pertama yang berhubungan langsung dengan bahan toksik di dalam perairan, dengan permukaan
9
yang luas dan terbuka, maka mengakibatkan bagian ini menjadi sasaran utama bagi bahan toksik yang ada di dalam perairan (Wong, 2000 dalam Widayanti, dkk., 2010). Insang selain sebagai alat pernafasan ikan, juga digunakan sebagai alat pengatur tekanan antara air dan cairan dalam tubuh ikan (osmoregulasi). Oleh sebab itu, insang merupakan organ yang penting pada ikan dan sangat peka terhadap pengaruh toksisitas logam. Faktor yang menyebabkan respon histopatologi ikan adalah adanya zat penyebab iritasi yang terus menerus masuk ke dalam sel atau jaringan dan kemudian dapat mempengaruhi kehidupan organisme (Moyes, 2006 dalam Widayanti, dkk., 2010). Toksisitas logam-logam berat yang melukai insang dan struktur jaringan luar lainnya, dapat menimbulkan kematian terhadap ikan yang disebabkan oleh proses anoxemia yaitu, terhambatnya fungsi pernafasan yakni sirkulasi dan ekskresi dari insang. Insang merupakan jalan masuk air yang penting, karena permukaan insang lebih dari 90% seluruh luas badan. Masuknya logam berat ke dalam insang dapat menyebabkan keracunan, karena bereaksinya kation logam tersebut dengan fraksi tertentu dari lendir insang. Kondisi ini menyebabkan proses metabolisme dari insang menjadi terganggu. Lendir yang berfungsi sebagai pelindung diproduksi lebih banyak sehingga terjadi penumpukan lendir. Hal ini akan memperlambat respirasi dan pengikatan oksigen pada insang dan pada akhirnya menyebabkan kematian (Cahaya,2003 dalam Yudiati, dkk., 2009). Berdasarkan hasil penelitian Alifia dan Djawad (2003), bahwa kerusakan lamella insang terjadi sejalan dengan semakin tingginya konsentrasi logam timbal (Pb). Kerusakan yang terjadi menyebabkan sistem respirasi ikan terhambat dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian ikan. Selain itu, pada konsentrasi tertentu dapat menyebabkan hati dan pankreas menjadi rusak. Kondisi histologi insang dengan konsentrasi 0,05 ppm menunjukkan terjadinya pembesaran epitel lamella. Hal ini dikarenakan hipertropi akibat akumulasi konsentrasi Pb yang terikat pada epitel. Kerusakan semakin berkembang ketika konsentrasi Pb meningkat. Hiperplasia terjadi ketika konsentrasi Pb 0,1 ppm dan hilangnya fungsi epitel ketika konsentrasi 0,15 ppm. Hal tersebut dapat terjadi karena necrosis pada lamella sekunder yang ditandai dengan terbentuknya
10
jaringan baru berupa jaringan ikat. Jaringan ikat adalah jaringan yang membentuk fungsi mekanik antara tulang rawan dan tulang keras (Irianto, 2005). Untuk menentukan tingkat pengaruh pencemaran dilingkungan akuatik, kerusakan insang dapat dikategorikan berdasarkan tingkat perubahan-perubahan anatomi lamela sekunder dan filamen insang (Nurcahayatun, 2007). Kondisi histologi ikan puyau normal digambarkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Kondisi histologi insang ikan puyau (O. hasselti) nomal. (sumber: Sudiastuti, 2011) 2.1.2 Organ Hati Ikan dan Histologinya Hati merupakan organ terbesar pada tubuh ikan yang terletak dibagian sisi perut, dalam rongga pelitoneal dan melingkupi viscera. Hati memiliki bentuk seperti huruf U dan berwarna merah kecoklatan. Struktur utama hati ialah sel hati atau hepatosit. Hepatosit (sel parenkim hati) berperan utama dalam metabolisme. Sel-sel ini terletak sinusoid yang berisi darah dan saluran empedu. Sel kupffer merupakan monosif atau makrofag dan memiliki fungsi utama menelan bakteri dan benda asing dalam darah. Sehingga hati merupakan salah satu organ utama pertahanan agen toksik (Anderson, 1995 dalam Damayanti, 2010). Subandiyono dan Hastuti (2010), menyatakan bahwa hati mampu mensintesis atau menyimpan nutrien yang terserap, memproduksi cairan empedu, dan sebagai pembuangan beberapa produk limbah dari darah. Berdasarkan fungsinya tersebut, hati merupakan organ yang paling banyak mengakumulasi zat toksik yang masuk dalam tubuh sehingga dapat dengan mudah terkena efek
11
toksik. Suatu toksikan dalam hati akan dihentikan (nonaktifkan) oleh enzim-enzim dalam hati, namun apabila toksikan masuk secara terus menerus, besar kemungkinan hati akan jenuh terhadap toksikan (tidak mampu mendektoksifikasi toksik lagi), sehingga metabolisme dalam hati akan menurun. Apabila metabolisme terganggu, maka proses dektoksifikasi menjadi kurang efektif dan menyebabkan senyawa metabolit bereaksi dengan unsur sel, sehingga memicu kematian sel. Fungsi lain dari hati yaitu pembentukan dan ekskresi empedu, metabolisme gram empedu, metabolisme karbohidrat (glikogenesis, glikogenolisis dan glukoneogenesis), sintesis protein, metabolisme dan penyimpanan lemak (Anderson, 1995 dalam Damayanti, 2010). Adanya zat toksik dalam hati maka dapat menganggu kerja enzim-enzim biologis, serta mempengaruhi struktur histologi hati. Toksikan mampu berikatan dengan enzim, ikatan tersebut terbentuk karena logam berat (khususnya) memiliki kemapuan untuk mengantikan gugusan logam yang berfungsi sebagai ko-faktor enzim (Palar, 2004 dalam Damayanti, 2010). Logam berat yang masuk kedalam tubuh akan mengalami dektoksifikasi di dalam hati oleh fungsi hepar (hati). Menurut Takashima and Hibiya (1995) dalam Tresnati (2007), perubahan histologi hati pada ikan adalah terjadinya: cloudy swelling (sel hati agak keruh, stioplasma keruh dan bergranula). Hal tersebut diakibatkan oleh munculnya hyaline eosinofil dalam sitoplasma, antropi pada sel hati, pengerutan sel, nukleus dan nukleolus sering kali mengecil; nekrosis, degenerasi vakuola, degenerasi lemak, stagnansi empedu, hepatitis, sirosis dan gangguan pada aliaran darah sinusoid atau vena. Penelitian histopatologi hati pernah dilakukan oleh Hidayati (2009) dengan hasil menunjukkan ikan bandeng yang dipelihara dalam air yang mengandung lumpur Sidoarjo mengalami pembengkakan sel dan kehilangan integritas pembuluh darah kapiler (sinusoid), dikarenakan lumpur Sidoarjo mengandung logam berat di atas ambang batas yang dipersyaratkan, unsur Cd 0,45 ppm, Cr 105,44 ppm, As 0,99 ppm dan Hg 1,96 ppm dengan pH Lumpur 9,18. Berdasarkan hasil penelitian Setyowati, dkk., (2010) dilokasi lumpur Sidoarjo
mendapatkan
hasil,
ikan
belanak
(Mugil
sp.)
mengalami
12
kerusakan bridging necrosis, fokal nekrosis, degenerasi intralobular, peradangan dan pembengkakan bagian portal. Kondisi histologi hati ikan bandeng normal digambarkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Kondisi histologi hati ikan bandeng normal. ( Hp=hepatosit, VS=vena sentralis, dan Sd=sinusoid) (sumber : Alifia dan Djawad, 2003) 2.1.3
Organ Ginjal Ikan dan Histologinya Ginjal ikan terletak pada posisi retroperitoneal dibagian ventral dari tulang
punggung, di bawah kolum vertebrae (Ferguson, 1989 dalam Damayanti, 2010). Secara mikrokropis, ginjal terlihat berwarna coklat muda atau tua atau hitam, bentuknya bervariasi menurut spesies. Ginjal terbagi atas bagian anterior dan posterior. Bagian anterior berfungsi sebagai organ limphomeiloid, sedangkan bagian posterior berfungsi sebagai organ ekskretori. Ginjal mempunyai peran utama dalam ekskresi metabolisme, pencernaan dan tempat penyimpanan berbagai unsur. Ginjal berfungsi untuk filtrasi dan mengekskresi bahan yang tidak dibutuhkan oleh tubuh, termasuk logam berat yang toksik (Erlangga, 2007). Hal ini menyebabkan ginjal sering mengalami kerusakan akibat daya toksik logam. Pada ginjal terdapat lisosom, lisosom adalah tempat akumulasi dari endoproduk dari Lipid peroksida yang disebut lipofuschim. Di ginjal, lipofuschim akan berikatan dengan logam dengan cara; logam diikat tidak kuat oleh grup asam di luar granula dan mempunyai kemampuan menjaga keseimbangan kation-kation dalam sitoplasma atau dengan cara logam diperangkap dalam bentuk tidak beracun dipusat perkembangan granula. Hal tersebut menyebabkan ginjal sering mengalami kerusakan oleh daya toksik logam.
13
Jaringan ginjal ikan lebih rapuh dan konsistensinya lebih lunak dibandingkan vertebrata lainya. Kondisi histologi ginjal ikan pari normal digambarkan pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Kondisi histologi ginjal ikan pari normal. (1 = glomerulus, 2 = renal tubule, 3 = jaringan limphoid) (Sumber : Tresnati, dkk., 2007)
2. 2
Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 1991 tentang sungai mengartikan
Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai suatu wilayah yang dibatasi batas-batas topografi secara alami sedemikian rupa sehingga setiap air hujan yang jatuh dalam DAS tersebut akan mengalir melalui titik tertentu (titik pengukuran di sungai) dalam DAS tersebut. DAS Citarum merupakan aliran dengan panjang sungai sekitar 300 km. Hulu Citarum berawal dari lereng gunung Wayang di wilayah desa Cibereum, Kertasari, Kabupaten Bandung. Mata air berasal dari danau buatan yang dinamakan Situ Cisanti. Aliran kemudian mengarah ke arah barat, melewati Majalaya dan Dayeuhkolot. Lalu berbelok kearah barat laut dan utara, menjadi perbatasan Kabupaten Cianjur dengan Kabupaten Bandung Barat, melewati Kabupaten Purwakarta dan terakhir Kabupaten Karawang (berbatasan dengan Kabupaten Bekasi). Sungai Citarum bermuara di ujung Karawang (Pus.Litbang dalam Rachmadi, 2012). Sungai Citarum, dengan luas total sekitar 6.080 km2 dan panjang sungai sekitar 269 km. Curah hujan melingkupi Citarum sekitar: 2.300 mm/tahun. Air
14
sungai Citarum dimanfaatkan sebagai sumber air baku dan air minum untuk Jakarta, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bandung, dan Kota Bandung; Sebagai pemasok air untuk 3 waduk, yaitu Waduk Saguling, Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur yang memasok listrik 5.000 gigawatt/hour/tahun (Pusat Litbang SDA, 2007 dalam Budiman, 2012). Sungai Citarum merupakan sungai tepanjang di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Sungai dengan nilai sejarah, ekonomi dan sosial yang penting, sejak 2007 menjadi salah satu dari sungai dengan tingkat ketercemaran tertinggi di dunia. Jutaan orang dalam sektor perikanan, pertanian, industri dan domestik bergantung hidup dari sungai Citarum, sekitar 500 pabrik berdiri disekitar aliran Citarum, tiga waduk PLTA dibangun di aliran Citarum dan penggundulan hutan berlangsung pesat di wilayah hulu. Sektor perikanan salah satu sektor yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap ekosistem DAS Citarum karena berkaitan langsung dengan sumberdaya air untuk keberlangsungan kegiatan perikanan disekitarnya. Kualitas air yang baik akan memberikan dampak langsung terhadap keberlanjutan kegiatan perikanan berserta dampak ekonomi dan sosial yang menyertainya (Rachmadi, 2012) Berdasarkan catatan BPLHD Jawa Barat tahun 2007, ada 542 industri, 8,6 juta jiwa dan 79,8 hektar sawah pertanian di DAS Citarum yang berpotensi menyumbang limbah. Di DAS Cileungsi-Bekasi, ada 168 industri dengan 2,7 juta jiwa penduduk. Di DAS Cimanuk ada 3,2 juta penduduk dengan 312 industri yang ada disekitarnya yang menyisakan limbah bermasalah yang tak dapat terurai, seperti deterjen, sampah plastik dan bahan kimia pabrik (Budiman, 2012).
2. 3
Ikan Di DAS Citarum Budiman (2012) menguraikan, disegmen hulu sungai Citarum mulai dari
mata air sampai waduk Saguling terdapat 24 spesies ikan termasuk ke dalam 15 famili yang dikategorikan sebagai ikan liar (non budidaya) maupun ikan budidaya. Beberapa spesies liar yaitu glosom (Aequidens glodsaum), impun paris bereum (Xiphopohorus sp), impun paris (Xiphopohorus helleri), merupakan ikan hias. Ikan yang dikategorikan ikan budidaya ialah ikan mas (Cyprinus carpio),
15
mujair (Oreochromis mossambicus), nila (Oreochromis niloticus), tambakan (Helostoma temmincki), lele dumbo (Clarias gariepinus) dan nilem (Osteichilus hasselti). Selain itu juga terdapat ikan Anabas testudineus (betok), Chana striata (gabus),
Glyptothorax
platypogon
(kehkel),
Halichores
sp.
(badar),
Lephidocephalichtys hasselti (benteur), Trichogaster trichopterus (sepat). Beberapa jenis termasuk yang relatif banyak ditemukan yaitu, betok, kehkel, keting, benteur, paray dan ikan sapu (Dhahiyat dalam Budiman, 2012). Pada kurun 1968-1977 terdapat 31 jenis ikan hidup di Waduk Ir. H. Djuanda, waduk yang membendung Sungai Citarum di Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Sebanyak 23 jenis diantaranya adalah ikan asli (indigenous spesies) dan 8 jenis sisanya adalah ikan tebaran. Penelitian tahun 1998-2007, dari 23 jenis ikan asli Citarum, hanya ditemukan 9 jenis yakni, hampal (Hampala macrolepidota), lalawak (Barbodes bramoides), beunteur (Puntius binotatus), tagih (Mystus nemurus), kebogerang (Mystus negriceps), lais (Lais hexanema), lele (Clarias batrachus), lempuk (Callichrous bimaculatus) dan gabus (Chana striata). Sementara ikan tebaran, seperti mas (Cyrpinus carpio) dan mujair (Oreochromis mosammbicus) cenderung bertahan (Kompas, 2011). Semakin menurunya jumlah spesies ikan dan semakin banyaknya ikan sapu ditemukan di aliran sungai Citarum menunjukkan bahwa perairan Citarum sudah tercemar (Budiman, 2012).
2. 4
Limbah Industri Tekstil Industri tekstil adalah industri yang menghasilkan pakaian dan bahan
pakaian dari bahan baku serat. Selain menghasilkan produk, industri tekstil juga menghasilkan limbah yang dapat berbahaya bagi lingkungan. Secara umum, pembuatan tekstil pada industri meliputi 3 tahap yaitu, pembuatan benang, pembuatan kain dan proses penyempurnaan. Proses penyempurnaan tekstil adalah suatu pengolahan tekstil untuk meningkatkan mutu bahan tekstil tersebut. Penyempurnaan bahan tekstil dapat dilakukan pada bentuk serat, benang maupun kain. Proses penyempurnaan tekstil terutama dari proses pewarnaan dan pembilasan menghasilkan air yang berwarna dengan COD tinggi
16
dan bahan-bahan lain dari zat warna, seperti fenol dan logam berat (kromium) dikarenakan proses penyempurnaan tekstil melibatkan pemakaian senyawa kromium
dalam
jumlah
besar.
Senyawa
kromium
tersebut
adalah
kaliumdikromiumat (K2Cr2O7) yang digunakan untuk mengoksidasi zat warna belerang (Sugiharto,1987 dalam Bramandita, 2009). Dengan asam sulfat, kaliumdikromat dapat melepaskan oksigen dengan reaksi: K2Cr2O7 + 4H2SO4 → K2SO4 + Cr2(SO4)3 + 4H2O + 3On Dengan asam klorida tidak mengeluarkan oksigen, tetapi gas klor karena asam klorida mudah dioksidasi menjadi gas klor K2Cr2O7 + 14HCl → 2KCl + 2CrCl3 + 7H2O + 3Cl2 (Sugiharto, 1987 dalam Bramandita, 2009). Adanya pemakaian kromium di dalam industri tekstil menjadikan parameter utama pencemaran air untuk industri tekstil adalah TSS (Total Suspended Solid), BOD, kromium total, phenol, pH, warna dan suhu. Selain itu parameter lain yang mungkin ada dalam limbah cair di industri tekstil adalah sulfida, ammonia, nitrogen, seng, tembaga dan nikel. Pencemaran organik yang mungkin ada adalah benzene, naftalena, kloro etilena, kloro etana dan ptalat. Jumlah air buangan yang dikeluarkan oleh industri tekstil tergantung pada jenis proses dan faktor lain yang berpengaruh (Moetinah, 2008 dalam Pramoto, 2011). Limbah tekstil juga mengandung zat warna dan surfaktan dari proses pencucian kain (Kementrian Lingkungan Hidup, 2009). Karakteristik fisik dan kimia limbah tekstil secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.1.
17
Tabel 2.1 Karakteristik Fisik dan Kimia Limah Tekstil Faktor Limbah tekstil Warna Ph Konduktivitas Total padatan tersuspensi Total padatan terlarut BOD di 200˚C COD Nitrogen amoniak Nitrat Klor Pospat Sulfat Kalsium Magnesium Sodium Potasium Alkalinitas Tembaga Manga Besi Total kromium Seng
2.4.1
Berwarna (merah, coklat, violet) 9,2 10542 810 5623 620 4950 186 92 700 6,9 308 18 18 890 12 1256 310 100 1890 80 90 (sumber: Sekar, 2008)
Logam Kromium (Cr) Kromium merupakan logam transisi golongan VI B yang dapat memiliki
tingkat valensi yang bervariasi antara -2 dan +6 (Bramandita, 2009). Pada kadar yang rendah, kromium tergolong logam esensial bagi manusia yang berguna terutama dalam metabolisme karbohidrat karena bersama-sama dengan insulin menjaga kadar gula darah. Kekurangan kromium dapat mengganggu metabolisme karbohidrat,
lemak
dan
protein
serta
mengganggu
pertumbuhan
(Kusnoputranto,1996 dalam Bramandita, 2009). Namun, kromium pada jumlah yang tinggi dapat menyebabkan reaksi alergi, peradangan, keracunan, kerusakan organ tubuh, penyakit kanker bahkan kematian (King, 1994 dalam Bramandita, 2009). Kromium banyak digunakan oleh berbagai macam industri, salah satunya adalah industri tekstil. Industri tekstil merupakan industri yang mengolah serat
18
menjadi bahan pakaian dengan kromium sebagai zat pengoksidasi pada proses penyempurnaan tekstil. Karena itu pula limbah cair dari industri tekstil mengandung kromium dengan konsentrasi tinggi. Limbah tersebut dapat membahayakan lingkungan karena kromium, terutama kromium heksavalen merupakan jenis bahan berbahaya dan beracun (B3) (Wahyuadi, 2004 dalam Bramandita, 2009). Dalam lingkungan hidup, kromium ditemukan dalam bentuk kromium logam, bivalen, trivalen dan heksavalen. Kromium logam memilki massa jenis (20oC) sebesar 7,19 g/cm3, titik leleh sebesar 1875oC, titik didih sebesar 2658oC dan tergolong logam yang mengkilap, keras serta tahan karat sehingga sering digunakan sebagai pelindung logam lain. Logam kromium larut dalam asam klorida encer atau pekat. Jika tidak terkena udara, akan terbentuk ion-ion kromium (II) atau kromium bivalen. Kromium bivalen termasuk senyawa pereduksi kuat. Dengan adanya oksigen dari atmosfer, kromium sebagian atau seluruhnya menjadi teroksidasi ke dalam trivalen. Dalam bentuk heksavalen, kromium terdapat sebagai CrO42- dan Cr2O72, sedangkan bentuk trivalen terdapat sebagai Cr3+, [Cr(OH)]2+, [Cr(OH)2]+ dan [Cr(OH)4]- (Clesceri, et al., 1998 dalam Bramandita, 2009). Kedua bentuk kromium tersebut mempunyai karakteristik kimiawi yang sangat berbeda. kromium heksavalen hampir semuanya berbentuk senyawaan anionik, sangat larut dalam perairan dan relatif stabil meskipun senyawaan ini merupakan agen pengoksidasi yang kuat di dalam larutan asam. kromium trivalen stabil, dan berasal dari dikromium trioksida atau kromium trioksida (Cr2O3). Di alam, baik kromium trivalen maupun heksavalen bergabung dengan unsur-unsur lain membentuk senyawa-senyawa yang stabil, misalnya kromium trivalen ditemukan dalam bentuk senyawa kromium oksida dan kromium sulfat, sedangkan kromium heksavalen
dalam
bentuk
senyawaan
dikromiumat
dan
kromiumat
(Kusnoputranto, 1996 dalam Bramandita, 2009). Kromium dapat membentuk senyawa-senyawa dengan berbagai macam warna yang mempunyai kegunaan dalam industri. Timbal kromiumat (PbCrO4), juga dikenal dengan kromium kuning, telah digunakan sebagai pigmen kuning
19
dalam cat. Kromium trioksida (Cr2O3), juga dikenal dengan kromium hijau, adalah senyawa terbanyak ke-9 yang ada dikulit bumi dan biasa digunakan sebagai pigmen hijau. Senyawa kromium juga biasa digunakan untuk melapisi alumunium agar terlindungi dari karat (Jefferson, 2006 dalam Bramandita, 2009). Dalam sistem biologis, kromium trivalen termasuk logam esensial bagi manusia (Massaro, 1997 dalam Bramandita, 2009). Dalam dosis 20-50 μg per 100g bobot badan, kromium memiliki fungsi yang baik dalam metabolisme karbohidrat, metabolisme lipid, sintesis protein dan metabolisme asam nukleat (Mertz, 1987 dalam Bramandita, 2009). Dalam metabolisme karbohidrat, kromium memiliki fungsi mempengaruhi kemampuan reseptor insulin dalam berinteraksi dengan insulin sehingga insulin dapat aktif berkerja mengatur kadar gula darah. Insulin yang aktif akan meningkatkan pengambilan glukosa yang kemudian mungkin terolah menjadi lemak. Dalam sintesis protein, keberadaan kromium mempengaruhi pembentukan asam amino glisin, serin dan metionin, sedangkan dalam metabolisme asam nukleat, kromium yang mampu berikatan dengan asam nukleat dapat melindungi RNA dari denaturasi oleh panas dan menjaga struktur tersier asam nukleat. Kekurangan kromium trivalen dalam tubuh menyebabkan penurunan kerja hormon insulin yang kemudian dapat menimbulkan penyakit diabetes melitus, hiperglisemia dan glukosuria, menyebabkan penurunan bobot badan, kadar asam lemak tinggi, gangguan proses pernafasan dan kelainan dalam metabolisme nitrogen (King, 1994 dalam Bramandita, 2009). Selain digolongkan sebagai logam esensial, kromium juga digolongkan dalam kelompok logam berat dengat sifat sangat beracun dan dalam kelompok senyawa yang karsinogen terhadap manusia. Keracunan oleh kromium menyebabkan gangguan kesehatan yang tidak pulih dalam waktu singkat (Sutamihardja, 2002 dalam Bramandita, 2009). Kromium heksavalen memiliki sifat yang lebih toksik dibandingkan dengan bentuk rivalennya. Kromium heksavalen dapat menyebabkan kerusakan hati, ginjal, pendarahan di dalam tubuh, dermatitis, kerusakan saluran pernafasan dan kanker paru-paru, walaupun kasus keracunan kromium relatif sudah jarang karena peningkatan keselamatan di
20
daerah industri. Bahaya jangka panjang terhadap saluran pernafasan dan kulit dapat menyebabkan perforasi (pelubangan) dan ulkus septumnasi, peradangan rongga hidung, perdarahan hidung yang sering dan ulkus jaringan kulit. Respon yang lebih umum terjadi adalah reaksi alergi kulit terhadap kromium yang berasal dari berbagai produk seperti kulit samak kromium, semen, ragi bir, pengawet kayu, cat, lem dan pewarna kayu. (Kusnoputranto, 1996 dalam Bramandita, 2009). Kromium Heksavalen digolongkan sebagai karsinogenik terhadap manusia oleh United States Enviromental Protection Agency (USEPA). Percobaan laboratorium membuktikan bahwa senyawa-senyawa kromium heksavalen atau hasil-hasil reaksi antaranya di dalam sel dapat menyebabkan kerusakan pada materi genetik. Studi lain pada binatang percobaan menunjukkan bahwa bentuk kromium tersebut dapat menyebabkan masalah reproduksi. Efek yang sangat berbahaya dari kromium heksavalen menyebabkan pemerintah memasukkan kromium heksavalen dalam kriteria nilai baku mutu air. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 82 tahun 2001, air golongan A, B dan C hanya boleh mengandung kromium heksavalen maksimum 0.05 ppm. Sedangkan air golongan D hanya boleh mengandung maksimum 0.1 ppm.
2.4.2
Dampak Pencemaran Kromium Kromium termasuk dalam jenis logam berat yang sangat toksik. Sehingga
keberadaan senyawa kromium dilingkungan harus mendapat perhatian yang serius. Kromium merupakan ion logam yang bersifat racun baik bagi manusia maupun bagi kehidupan mahluk hidup lainnya (ikan). Studi epidemiologi yang dilakukan oleh Baetjer, et al. (EPA, 1984) menunjukkan bahwa senyawa Cr (VI) sangat reponsif terhadap neoplasia saluran pernafasan. Senyawa ini juga dapat menyebabkan kanker lokal pada organ tubuh tikus dan kelinci yang terpapar senyawa kromium. Senyawa Cr (VI) dapat menyebabkan terjadinya mutagen yang pada akhirnya berpengaruh langsung pada asam deoksiribo nukleat (DNA) sehingga sel mahluk hidup akan berubah (Sukenjah, 2006).
21
Hasil penelitian Jalius (2008) menunjukkan terjadi perbedaan metabolisme 3+
ion Cr
dan Cr6+. Perbedaan tersebut tergantung pada jenis atau spesies hewan
yang dimasuki oleh ion-ion logam tersebut. Tingkat keracunan lebih kuat ion-ion Cr6+ dibandingkan dengan ion-ion Cr3+. Logam Cr yang masuk ke dalam tubuh akan ikut dalam proses fisiologis atau metabolisme tubuh. Logam Cr akan berintraksi dengan bermacam-macam unsur biologis yang terdapat dalam tubuh. Interaksi yang terjadi antara Cr dengan unsur-unsur biologis tubuh, dapat menyebabkan terganggunya fungsi-fungsi tertentu yang bekerja dalam proses metabolisme tubuh. Senyawa-senyawa yang mempunyai berat molekul rendah, seperti yang terdapat dalam sel darah rendah dapat melarutkan Cr dan seterusnya ikut terbawa ke seluruh tubuh bersama peredaran darah. Senyawa-senyawa ligan penting yang terdapat dalam tubuh juga mengubah Cr menjadi bentuk yang mudah terdifusi sehingga dapat masuk ke dalam jaringan. Di antara ligan-ligan tersebut adalah piropaspat, metionin, serin, glisin, leusin, lisin dan prolin. Terhadap piropospat, logam Cr mempunyai affinitas yang besar sekali. Affinitas Cr yang besar ini akan menjadi sangat berbahaya karena piropospat merupakan salah satu faktor biologis yang sangat penting dalam tubuh. Ion-ion Cr3+ yang masuk ke dalam tubuh akan bereaksi dengan protein dan secara lambat membentuk suatu ikatan kompleks yang sangat stabil. Selain itu Cr dapat mengkatalisis suksinat dalam enzim sitokrom reduktase, sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan beberapa reaksi biokimia lainnya dalam tubuh. Cr dengan kosentrasi sebesar 0,001 M dapat merangsang perubahan asetat menjadi CO2, kolesterol dan asam lemak (Palar, 2004 dalam Jalius, 2008). Ion-ion Cr6+ dalam proses metabolisme tubuh akan menghalangi atau mampu menghambat kerja dari enzim benzopiren hidroksilase. Penghambatan kerja enzim tersebut dapat mengakibatkan perubahan kemampuan pertumbuhan sel-sel, sehingga menjadi tumbuh secara tidak terkontrol yang dikenal sebagai sel-sel kanker (Palar, 2004 dalam Jalius, 2008). Menurut Sukenjah (2006) kromium dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan manusia baik secara akut maupun secara kronis. Paparan dengan konsentrasi yang lebih tinggi melalui pernafasan (pada manusia) dapat
22
menyebabkan gangguan pada hati, ginjal, saluran pencernaan dan sistem kekebalan tubuh. Pada manusia kromium dapat mengakibatkan gangguan pada sistem reproduksi, gangguan hamil dan cacat pada bayi. EFA telah menggolongkan kromium (VI) sebagai zat karsinogenik kelompok A, yaitu kelompok yang paling berpotensi menimbulkan kanker. Secara umum efek yang pada dapat ditimbulkan oleh paparan kromium adalah sebagai berikut:
Efek fisiologis Kromium mempunyai fungsi sebagai pengatur glukosa dalam darah,
asupan harian kromium untuk manusia dewasa berkisar antara 50 sampai 200 µg per hari. Senyawa kromium bersifat oksidator kuat sehingga apabila terkena paparan kromium dapat menyebabkan iritasi dan korosi. Organ tubuh yang menjadi sasaran pengaruh kromium adalah paru-paru, ginjal, hati, kulit dan sistem kekebalan tubuh.
Efek pada kulit Senyawa kromium dapat menyebabkan sensitasi dan iritasi pada kulit
bahkan dapat menyebabkan eksim pada kulit
Efek pada sistem pernafasan Senyawa kromium jika terhirup akan menyebabkan iritasi saluran
pernafasan dan dapat menyebabkan sensitasi pada paru-paru bahkan kanker paruparu.
Efek pada ginjal Studi yang dilakukan pada pekerja yang terkena paparan kromium sebesar
(20 µg/m3) menunjukkan kerusakan pada saluran ginjal. Pada paparan yang lebih tinggi dapat mengakibatkan matinya sel ginjal.
Efek pada hati Paparan kromium dapat menyebabkan kerusakan pada hati, suatu studi
menunjukkan bahwa 20% pekerja yang terkena paparan kromium mengalami kerusakan pada hati dan ginjal.
Efek karsinogenik Studi epidemiologi menunjukkan bahwa pekerja yang terpapar kromium
dalam jangka waktu yang lama mengalami kanker paru-paru.
23
Efek pada sistem reproduksi Banyak data yang menunjukkan bahwa kromium dapat mempengaruhi
organ reproduksi dan efek tetratogenik (perkembangan tidak normal dari sel selama kehamilan yang menyebabkan kerusakan pada embrio) pada hewan.