Bab II Tinjauan Pustaka
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Hujan Rata-Rata Sesuatu Daerah Sebelum menuju ke pembahasan tentang hidrograf terlebih dahulu kita harus memahami tentang hujan rata-rata sesuatu daerah. Kalau dalam suatu daerah ada satu tempat, dimana diketahui besarnya curah hujan (karena di tempat ini ditempatkan takaran hujan –titik 0), berlakulah tinggi air hujan ini dibuat titik 0 atau dengan kata lain apakah untuk daerh itu tinggi hujannya sama? Jawabannya ialah: tidak dan ini telah dibuktikan oleh penyelidikan Melchior. Andaikata 0 adalah pusatnya hujan, maka tinggi air hujannya makin menjauh dari titik 0 makin berkurang dan titik-titik dengan tinggi air hujan sama merupakan lingkaran dengan titik pusatnya 0 sebagai pusat lingkaran.
Gambar 2.1 Gambar Punggung Kontur
II-1
II -1
Bab II Tinjauan Pustaka
------------- = batas daerah pematusan Dengan memakai sumbu Y dan X melalui titik 0 dalarn satu bidang lengkung pengaruh dirumuskan :
Y=1+
59 1 0,35 X 2
hingga; kalau ada titik X, dari pusat 0, maka : a. tinggi hujan pada jarak XI adalah : Y1 = 1 +
59 1 0,35 X 12
(Sumber: Diktat Hidrologi-6) b. harga ini merupakan lingkaran dengan jari X 2 , dan pusatnya titik 0. Kalau ada dua titik 0 dan M, maka garis baginya merupakan garis batas pengaruh dari titik 0 dan M.
Gambar 2.2 Garis Bagi Pengaruh Titik
II -2
Bab II Tinjauan Pustaka
Kalau dititik M hujannya lebih tinggi dari titik 0 apakah garis sama pengaruh ini akan bergeser ke arah 0 ? Pertanyaan kedua adalah, apakah tempat tempat takaran selalu tempat pusat hujan ? Karena uraian diatas masih kurangnya pengetahuan dalam bentuk pengaruh pusat hujan, maka untuk menghitung hujan rata-rata ditempuh jalan lain. 2.1.1. Cara Perhitungan Dengan Memakai “Rata-Rata Hujan” Dengan tinggi hujan, h1, h2, h3 dan banyaknya station n, maka :
hrata-rata =
h1 h2 h3 ......... n
Gambar 2.3 Contoh Titik Stasiun Hujan
II -3
Bab II Tinjauan Pustaka
dengan ketentuan tinggi hujan di : A = 4 mm/etmal F = 4 mm/ etm. B = 8 mm/etmal G = 3 mm' etm. C = 10 mm/etmal H = 14 mm/ etm. D = 4 mm/etmal I = 8 mm/ etm. E = 5 mm/etmal M = 7 mm/ etm. 4 + 8 + 10 + 4 + 5 + 4 + 3 + 10 + 8 + 7 Terdapat harga rata-rata = 10 H = 6,3 mm/24 jam (Sumber: Diktat Hidrologi-6) 2.1.2. Cara Segitiga Stasiun-stasiun hujan dihubungkan hingga terbentuk jaringan segitiga, hujan rata-rata untuk tiap segitiga sama dengan dikalikan sepertiga jumlah tinggi hujan yang merupakan titik sudut segitiga atau secara umum :
q e FABC x
h A hB hC 3
FABC x hrata
h A h B hC 3 F II -4
Bab II Tinjauan Pustaka
1 F hrata ABC h A hB hC 3 F
Gambar 2.4 Cara Segitiga Tabel 2.1 Contoh Perhitungan Cara Segitiga Q
MFG
7 + 4 + 3 = 14
8
1,12
MGB
7 + 3 + 8 = 18
7
1,26
MBC
7 + 8 + 10 = 25
6
1,50
MCH
7 + 10 + 14 = 31
7
2,17
MHI
7 + 14 + 8 = 29
9
2,61
MIE
7 + 8 + 5 = 20
10
2,00
MFF
7 + 5 + 4 = 16
11
1,76
FGH
4 + 3 + 14 = 21
9
1,89
BCH
8 + 10 + 14 = 32
4
1,24
II -5
Bab II Tinjauan Pustaka
HID
14 + 8 + 4 = 26
10
1,60
AFE
4 + 4 + 5 = 13
9
2,17
AGB
4 + 3 + 8 = 15
5
0,75
CHD
10 + 4 + 4 = 14
4
0,56
DHE
4 + 14 + 5 = 23
1
0,23
100%
20,42
(Sumber: Diktat Hidrologi-6) 2.1.3. Cara Thiesen Sebagai dasar Thiesen mengambil garis bagi antara dua stasiun hujan dan dalam daerah yang dibatasi oleh garis bagi ini berlaku besarnya hujan dari stasiun di dalamnya.
Gambar 2.5 Contoh Cara Thiesen
II -6
Bab II Tinjauan Pustaka
Tabel 2.2 Contoh Cara Thiesen
(Sumber: Diktat Hidrologi-6) 2.1.4. Cara Isohyet Dengan adanya pengukuran berbagai stasiun, maka diusahakan menarik garis sama tinggi hujan dan seterusnya harga rata tinggi hujan ditentukan.
Gambar 2.6 Contoh cara Isohyet
II -7
Bab II Tinjauan Pustaka
Tabel 2.3 Contoh Cara Isohyet
Luas km2
Luas relatif %
Isotach rata-rata
Tinggi hujan mm
3 15
3 15
14 12
0,42 1,80
20
20
9
1,80
25
25
6,5
1,63
12
12
4,5
0,54
10
10
3,5
0,35
15
15
3
0,45
100
100%
6,99
Cara memakai koefisien
hrata rata hmaksimum
1970 3960 1720 0,12
(Sumber: Diktat Hidrologi-6) 2.2.Analisa Frekuensi Hujan rencana adalah hujan harian maksimum yang akan digunakan untuk menghitung intensitas hujan. Untuk mendapatkan curah hujan rancangan (Rt) dilakukan melalui analisa frekuensi antara lain:
II -8
Bab II Tinjauan Pustaka
2.2.1. Metode Distribusi Normal
keterangan: XT
= besarnya curah hujan yang terjadi dengan kala ulang T tahun
X
= rata-rata hitung variat
Sx
= standard deviasi
k
= faktor frekuensi (nilai variabel reduksi Gauss)
2.2.2. Metode Distribusi Log Normal
keterangan: X
= nilai variat pengamatan
Slog X
= standart deviasi dari logaritma
n
= jumlah data
log X
= logaritma rata-rata
k
= faktor frekuensi
II -9
Bab II Tinjauan Pustaka
2.2.3. Metode Distribusi Frekuensi Gumbel
keterangan: XT
= besarnya curah hujan yang terjadi dengan kala ulang T tahun
X
= rata-rata x maksimum dari seri data Xi
k
= faktor frekuensi
Yn, Sn = besaran yang mempunyai fungsi dari jumlah pengamatan Yt
= reduksi sebagai fungsi dari probabilitas
n
= jumlah data
2.2.4. Metode Distribusi Frekuensi Log Person Type III Metode yang dianjurkan dalam pemakaian distribusi Log Pearson Type III adalah dengan mengkorvesikan rangkaian datanya menjadi bentuk logaritmis.
II -10
Bab II Tinjauan Pustaka
Nilai X bagi setiap probabilitas dihitung dari persamaan:
keterangan: log X
= logaritma rata-rata
Slog X
= standart deviasi dari logaritma
Cs
= koefisien kemencengan
k
= faktor frekuensi
n
= jumlah dataketerangan:
XT
= besarnya curah hujan yang terjadi dengan kala ulang T
tahun X
= rata-rata hitung variat
Sx
= standard deviasi
k
= faktor frekuensi (nilai variabel reduksi Gauss)
2.3.Penentuan Debit Banjir Rencana dengan Metode Unit Hydrrograph Metode hidrograf satuan sintetis adalah metode yang populer digunakan dan memainkan peranan penting dalam banyak perencanaan di bidang sumber daya air khususnya dalam analisis debit banjir DAS yang tidak terukur. Metode ini sederhana, karena hanya membutuhkan data-data karakteristik II -11
Bab II Tinjauan Pustaka
DAS seperti luas DAS dan panjang sungai dan dalam beberapa kasus dapat juga mencakup karakteristik lahan digunakan. Oleh karena itu, metode ini merupakan alat berguna untuk mensimulasikan aliran dari DAS tidak terukur dan daerah aliran sungai mengalami perubahan penggunaan lahan. Menurut definisi hidrograf satuan sintetis adalah hidrograf limpasan langsung (tanpa aliran dasar) yang tercatat di ujung hilir DAS yang ditimbulkan oleh hujan efektif sebesar satuan (1 mm, 1 cm, 1 inchi) yang terjadi secara merata di seluruh DAS dengan intensitas tetap dalam suatu satuan waktu (misal 1 jam) tertentu. Beberapa asumsi dalam penggunaan hidrograf satuan adalah sebagai berikut: 1. Hujan efektif mempunyai intensitas konstan selama durasi hujan efektif. Untuk memenuhi anggapan ini maka hujan deras untuk analisis adalah hujan dengan durasi singkat. 2. Hujan efektif terdistribusi secara merata pada seluruh DAS. Dengan anggapan ini maka hidrograf satuan tidak berlaku untuk DAS yang sangat luas, karena sulit untuk mendapatkan hujan merata di seluruh DAS. Karakteristik bentuk hidrograf yang merupakan dasar dari konsep hidrograf satuan ditunjukkan pada gambar 2.1
II -12
Bab II Tinjauan Pustaka
Gambar 2.7 Prinsip Hidrograf Satuan
Prinsip penting dalam penggunaan hidrograf satuan dapat sebagai berikut: 1. Lumped response: hidrograf menggambarkan semua kombinasi dari karakteristik fisik DAS yang meliputi (bentuk, ukuran, kemiringan, sifat tanah) dan karakteristik hujan.
II -13
Bab II Tinjauan Pustaka
2. Time invariant: hidrograf yang dihasilkan oleh hujan dengan durasi dan pola yang serupa memberikan bentuk dan waktu dasar yang serupa pula. 3. Linear response: respons limpasan langsung dipermukaan (direct run off) terhadap hujan effektif bersifat linear, sehingga dapat dilakukan superposisi hidrograf. Dan untuk mengembangkan hidrograf satuan sintetis, beberapa metoda telah tersedia. Beberapa metoda hidrograf satuan sintetis seperti cara nakayasu, snyder-alexeyev, dan ITB sangat populer dan umum digunakan di Indonesia untuk menghitung debit puncak dan bentuk hidrograf banjir. 2.3.1. Metode ITB Untuk menganalisis hidrograf satuan sintetis pada suatu DAS dengan cara ITB perlu diketahui beberapa komponen penting pembentuk hidrograf satuan sintetis berikut: 1. Tinggi dan durasi hujan satuan 2. Time lag (Tl), waktu puncak (Tp), dan waktu dasar (Tb) 3. Bentuk hidrograf satuan 4. Debit puncak hidrograf satuan 2.3.1.1.Tinggi dan durasi hujan satuan Tinggi hujan satuan yang umum digunakan adalah 1 inchi atau 1 mm. Durasi hujan satuan umumnya diambil Tr = 1 jam, namun dapat dipilih durasi lain asalkan dinyatakan dalam satuan jam (misal 0,5 jam, 10 menit = 1/6 jam). Jika durasi data hujan semula dinyatakan dalam 1 jam, jika
II -14
Bab II Tinjauan Pustaka
diinginkan melakukan perhitungan dalam interval 0,5 jam, maka tinggi hujan setiap jam harus dibagi 2 dan didistribusikan dalam interval 0,5 jam. 2.3.1.2.Time lag (Tl), waktu puncak (Tp), dan waktu dasar (Tb) Dari karakteristik fisik DAS dapat dihitung dua elemen-elemen penting yang akan menentukan bentuk dari hidrograf satuan itu yaitu Time lag (Tl), waktu puncak (Tp), dan waktu dasar (Tb). Selain parameter fisik terdapat pula parameter non-fisik yang digunakan untuk proses kalibrasi. Saat ini ada banyak sekali rumus time lag yang telah dikembangkan oleh para peneliti baik di dalam maupun di luar negeri. Beberapa software seperti misalnya program HEC-HMS (Hydrology Modeling System) membebaskan pengguna memilih rumusan time lag yang akan digunakan. Prosedur umum ini juga direncanakan cukup fleksibel dalam mengadopsi rumusan time lag yang akan digunakan. Fleksibilitas seperti ini perlu diberikan karena sudah banyak hasil penelitian tentang time lag yang masih berjalan bahkan dipublikasikan. Namun sejauh ini hasilnya tidak ada yang menunjukkan bahwa satu rumusan time lag sangat jauh lebih baik (superior) dibanding rumusan time lag yang lainnya. Karena itu semua rumus time lag seharusnya dapat digunakan sesuai dengan batasan yang dibuat oleh penyusunnya. Rumus standard untuk time lag yang digunakan adalah penyederhanaan dari rumus snyder sebagai berikut: Tl = Ct 0,81225 L0,6
II -15
Bab II Tinjauan Pustaka
Dimana: Tl = time lag (jam) Ct = koefisien waktu L = panjang sungai (km). Koefisien Ct diperlukan dalam proses kalibrasi harga Tp. Harga standar koefisien Ct adalah 1, jika Tp perhitungan lebih kecil dari Tp pengamatan, harga diambil Ct > 1 agar harga Tp membesar. Jika Tp perhitungan lebih besar dari Tp pengamatan, harga diambil Ct < 1 agar harga Tp akan mengecil. Proses ini diulang agar Tp perhitungan mendekati Tp pengamatan. Waktu puncak Tp didefinisikan sebagai berikut: Tp = Tl + 0,5 Tr Untuk DAS kecil (A < 2 km2), menurut SCS harga Tb dihitung dengan Tb = 8/3 Tp Untuk DAS berukuran sedang dan besar harga secara teoritis Tb dapat berharga tak berhingga (sama dengan cara Nakayasu), namun prakteknya Tb dapat dibatasi sampai lengkung turun mendekati nol, atau dapat juga menggunakan harga berikut: Tb = (10 s/d 20)*Tp 2.3.1.3.Bentuk dasar hidrograf satuan Prosedur umum yang diusulkan dapat mengadopsi berbagai bentuk dasar HSS yang akan digunakan. Beberapa bentuk HSS yang dapat digunakan
II -16
Bab II Tinjauan Pustaka
antara lain adalah SCS triangular, SCS cuvilinear, USGS nationwide SUH, delmarvara, fungsi gamma dan lain-lain. Selain itu ITB telah mengembangkan dua bentuk dasar HSS yang dapat digunakan yaitu bentuk HSS ITB-1 dan HSS ITB-2 sebagai berikut: 1. HSS ITB-1 memiliki persamaan lengkung naik dan lengkung turun seluruhnya yang dinyatakan dengan satu persamaan yang sama yaitu: Q(t) = exp {2 – t-1/t}a.Cp 2. HSS ITB-2 memiliki persamaan lengkung naik dan lengkung turun yang dinyatakan dengan dua persamaan yang berbeda yaitu: Lengkung naik (0 < t < 1): q(t) = ta Lengkung turun (t > 1 s/d oo): q(t) = exp{1 – tB.Cp} Dimana t = T/Tp dan q = Q/Qp masing-masing adalah waktu dan debit yang telah dinormalkan sehingga t = T/Tp berharga antara 0 dan 1, sedang q = Q/Qp. Berharga antara 0 dan oo (atau antara 0 dan 10 jika harga Tb/Tp = 10). Jika sangat diperlukan harga koefisien a dan B dapat dirubah, namun untuk lebih memudahkan, proses kalibrasi dapat dilakukan dengan merubah harga koefisien Cp. Harga standar koefisien Cp adalah 1, jika harga debit puncak perhitungan lebih kecil dari debit puncak pengamatan, maka harga diambil Cp > 1 ini akan membuat harga debit puncak membesar, sebaliknya jika debit puncak perhitungan lebih besara dari hasil pengamatan maka harga diambil Cp < 1 agar harga debit puncak mengecil.
II -17
Bab II Tinjauan Pustaka
2.3.1.4.Debit puncak hidrograf satuan Sebelum membahas debit puncak hidrograf satuan, akan dijelaskan kesetaraan luas HSS dengan HSS yang telah dinormalkan. Hal ini berguna dalam menjelaskan penerapan prinsip konservasi mass dalam penurunan debit puncak hidrograf satuan. Untuk memudahkan penjelasan, tinjau suatu kurva hidrograf berbentuk segitiga yang terjadi akibat hujan efektif R=1 mm pada suatu DAS luas A DAS. Integrasi kurva di bawah kurva hidrograf sama dengan volume hidrograf satuan. Misalkan Tp adalah absis dan qp adalah ordinat titik puncak P. Jika seluruh harga pada absis t (waktu) dinormalkan terhadap Tp dan seluruh harga ordinat Q (debit) dinormalkan terhadap qp, akan didapat suatu kurva hidrograf tak berdimensi. Luas bidang di bawah kurva yang telah dinormalkan dapat dihitung dari rumus luas segitiga sebagai berikut: A HSS = ½ * (4*l) = 2 Volume hidrograf satuan V HSS (memiliki dimensi m3) dapat diperoleh dengan cara lebih mudah yaitu mengalikan A HSS dengan Qp dan Tp, atau V HSS = Qp Tp A HSS = (5 m3/s)*(2s)*(2) = 20 (m3) Hasil tersebut dapat digeneralisasi untuk bentuk HSS yang lebih kompleks. Jika hidrograf banjir dinormalkan dengan faktor Qp dan Tp, maka volume HSS dapat dihitung dengan rumus
II -18
Bab II Tinjauan Pustaka
V HSS = Qp Tp A HSS Jika Tp (jam) dikonversi dalam detik, maka: V HS = A HSS Qp Tp 3600 (m3) (Sumber: Dantje K. Natakusumah Vol. 18-No. 3) Dimana A HSS adalah luas HSS tak berdimensi yang dapat dihitung secara exact atau secara numerik. 2.3.2. Metode Snyder Untuk mendapatkan suatu hidrograf satuan seperti diuraikan dengan prosedur tertentu perlu tersedia data yang baik, yaitu data AWLR, data pengukuran debit, data hujan harian, dan data hujan jam-jaman. Yang menjadi masalah adalah bahwa karena berbagai sebab data ini sangat sulit diperoleh atau tidak tersedia. Untuk mengatasi hal ini maka dikembangkan suatu cara untuk mendapat hidrograf satuan tanpa mempergunakan data tersebut. Salah satu cara tersebut dikembangkan oleh F.F. snyder dari Amerika serikat pada tahun 1983 yang memanfaatkan parameter DAS yang diteliti oleh Snyder berada di dataran tinggi. Snyder mengembangkan model dengan koefisien-koefisien empirik yang menghubungkan unsur-unsur hidrograf satuan dengan karakteristik DAS. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa pengalihragaman hujan menjadi aliran baik pengaruh translasi maupun tampungannya dapat dijelaskan dipengaruhi oleh sistem DAS-nya. Hidrograf satuan tersebut ditentukan dengan unsur yang antara lain Qp (m3/detik), Tb (jam), dan tp (jam) dan tr (jam).
II -19
Bab II Tinjauan Pustaka
Unsur-unsur hidrograf tersebut dihubungkan dengan: A = luas DAS (km2) L = panjang aliran sungai utama (km) Lc = panjang sungai utama diukur dari tempat pengukuran (pelepasan) sampai titik di sungai utama yang terdekat dengan titik berat DAS (km) Dengan unsur-unsur tersebut di atas snyder membuat model hidrograf satuan sintetis sebagai berikut: Tp = 0,75 Ct (L.Lc)0,3 Tr = tp/5,5 Qp = 2,75 Cp.A/tp Tb = 72 + 3.tp atau Tb = 5,56/qpr Dimana Tp = waktu kelambatan (time lag) (jam) Qp = debit puncak (m3/detik) Tb = waktu dasar (jam) Qpr = debit per satuan luas (m3/detik/km2) (Sumber: Dantje K. Natakusumah Vol. 18-No. 3) Ct dan Cp adalah koefisien-koefisien yang bergantung pada satuan dan ciri DAS, koefisien-koefisien Ct dan Cp harus ditentukan secara empirik, karena besarnya berubah-ubah antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Dalam sistem empirik besarnya Ct antara 0,75 sampai 3 sedangkan Cp antara 0,9 sampai 1,4. Besaran nilai Ct dan Cp tersebut II -20
Bab II Tinjauan Pustaka
diperoleh snyder untuk sejumlah DAS di dataran tinggi, dimana bila nilai Cp mendekati nilai terbesaar maka nilai Ct akan mendekati nilai terkecil, demikian pula sebaliknya. Menurut hasil penelitian hoffmeister dan weisman pada tahun 1977, bahwa pemakaian parameter Lc oleh snyder disebabkan karena bagian hulu suatu DAS dianggap tidak terpengaruh terhadap debit puncak suatu hidrograf. Mengenai unsur debit puncak, penelitian yang telah dilakukan morgan dan johnson pada tahun 1962 dan sri harto menyatakan bahwa persamaan snyder memberikan debit puncak paling kecil dibandingkan dengan cara-cara lainnya. Pemakaian cara snyder ini dibatasi hanya untuk dataran tinggi sedangkan untuk daerah lain dengan cara tersebut diperlukan ralat dan penyesuaian. Snyder hanya membuat model untuk menghitung debit puncak dan waktu yang diperlukan untuk mencapai puncak dari suatu hidrograf saja, sehingga untuk mendapatkan lengkung hidrografnya memerlukan waktu untuk menghitung parameter-parameternya. Ada sebuah pembaharuan pernah dilakukan Amerika serikat juga, yaitu dalam penggunaan metode snyder dengan parameter hidrograf satuan pada suatu
daerah.
Espey,
Altman,
dan
Graves
pada
tahun
1977
mengembangkan satu set persamaan umum untuk menyusun hidrograf satuan dengan meneliti beberapa DAS yang mana menghasilkan persamaan: Tp = 3,1 L0,23 S-0,25 I-0,18 O1,57 Qp = 31,62 . 103 A0,96 T-1,07 II -21
Bab II Tinjauan Pustaka
Tb = 125,89 . 103 A Qp-0,95 W50 = 16,22 . 103 A0,93 Qp-0,92 W75 = 3,24 . 103 A0,79 I-0,18 Qp-0,78 Dimana: L = panjang total sungai utama (feet) S = kemiringan sungai utama didefinisikan sebagai H/0,8L, dimana H adalah perbedaan elevasi A dan B. A adalah titik pada dasar sungai di bagian hulu yang berjarak 0,2L dari ujung sungai. B adalah titik pada dasar sungai di bagian hilir di tempat pengukuran (feet per foot) I = prosentase daerah kedap air di dalam suatu DAS (%), diasumsi sama dengan 5% dari luasan DAS yang belum dikembanagkan. O = dimensi faktor pengangkutan, dimana merupakan fungsi dari prosentase daerah kedap air dan kekasaran. (tanpa satuan) Tp = waktu naik yang diukur dari permulaan limpasan sampai puncak hidrograf satuan (menit) Qp = debit puncak hidrograf satuan (cfs/menit) Tb = waktu dasar hidrograf satuan (menit) W50 = lebar hidrograf pada saat 50% tercapainya debit puncak (menit) W75 = lebar hidrograf pada saat 75% tercapainya debit puncak (menit) (Sumber: Hari Siswoyo, pengembangan model hidrograf)
II -22
Bab II Tinjauan Pustaka
Belakangan ini banyak juga digunakan model HSS snyder yang telah diubah, dan telah banyak digunakan di Indonesia. Perubahan tersebut terletak pada: 1. Pangkat 0,3 pada rumus (l) diganti dengan n, sehingga menjadi tp = Ct . (L . Lc)n 2. Tr pada rumus (2) diganti dengan te yang merupakan durasi curah hujan efektif, sedangkan tr = 1 jam Te = tp/5,5 3. Hubungan te, tp, tr, dan Tp adalah sebagai berikut: Bila te > tr maka tp’ = tp + 0,25(tr-te), sehingga Tp = tp’ + 0,5 Bila te < tr maka Tp = tp + 0,5 4. Qp = 0,278 . Cp/Tp Dan Qp = qp . A untuk hujan 1 mm/jam Dimana: qp = puncak hidrograf satuan (m3/det/mm/km2) Qp = debit puncak (m3/detik/mm) Tp = waktu antara titik berat curah hujan hingga puncak hidrograf (jam) Tp = waktu yang diperlukan antara permulaan hujan hingga mencapai puncak hidrograf (jam) (Sumber: Dantje K. Natakusumah Vol. 18-No. 3) Dari tinjauan pustaka terhadap teori-teori yang ada, maka model HSS snyder
perlu
dikembangkan
untuk
mempermudah
pemakaiannya.
Penentuan nilai Ct dan Cp dalam bentuk pendekatan persamaan dengan II -23
Bab II Tinjauan Pustaka
menggunakan model regrasi dianggap penting. Hal ini mengingat nilainilai tersebut akan berbeda antara DAS yang satu dengan yang lain, sehingga dalam setiap penggunaan model ini selalu dilakukan kalibrasi untuk tiap daerah yang berbeda. 2.3.3. Metode Nakayasu Dalam kaitannya dengan studi tentang sumber daya air, hidrologi mempunyai peranan yang sangat penting. Salah satu faktor yang berperan adalah data hidrologi, kita dapat mengetahui besarnya debit rencana sebagai dasar perencanaan bangunan air. Adapun aspek hidrologi yang perlu dikaji pertama-tama adalah curah hujan daerah rata-rata harian maksimum. Untuk mendapatkan gambaran mengenai distribusi curah hujan di seluruh daerah aliran sungai, maka di berbagai tempat pada suatu daerah aliran sungai tersebut dipasang alat pengukur curah hujan. Untuk menghitung besarnya curah hujan daerah dalam penulisan ini dilakukan dengan metode rerata aritmatik. Rumus perhitungan curah hujan rata-rata adalah: Rn = (p1 + p2 + ..... + pn)/n Dimana p1, p2, p3, hingga pn adalah stasiun yang dilengkapi alat pengukur curah hujan. Contoh stasiun hujan terlihat pada gambar 2.2.
II -24
Bab II Tinjauan Pustaka
Gambar 2.8 Contoh Stasiun Hujan
Curah hujan rancangan adalah hujan terbesar tahunan dengan suatu kemungkinan tertentu atau hujan dengan suatu kemungkinan periode ulang tertentu. Dalam analisis curah hujan rancangan dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti Normal, Log Normal, Pearson, Log Pearson tipe III, dan gumbel. Dimana syarat-syarat untuk metode tersebut terlihat pada tabel 2.1. Tabel 2.4 Persyaratan Parameter Statistik Suatu Distribusi.
(Sumber: Hadidhy, 2010) II -25
Bab II Tinjauan Pustaka
Uji distribusi probabilitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah persamaan distribusi probabilitas yang dipilih dapat mewakili distribusi statistik sampel data analisis. Pengujian distribusi probabilitas dapat dilakukan dengan metode Chi-kuadrat(X2) Untuk memperoleh angka-angka kemungkinan besaran debit banjir pada banjir yang diakibatkan oleh luapan sungai, analisis dilakukan dengan menggunakan data banjir terbesar tahunan atau curah hujan terbesar tahunan yang sudah terjadi. HSS merupakan metode yang tepat untuk menghitung debit banjir karena dari perhitungan HSS akan menghasilkan nilai debit tiap jam dan pada saat hujan mulai turun, waktu puncak banjir hingga akhir banjir, dibanding dengan metode empiris. Dalam hal ini penulis menggunakan metode HSS Nakayasu. Dengan rumusan sebagai berikut: Tl = 0,21 L0,7 dengan L < 15 km Tl = 0,527 + 0,058 L dengan L > 15 km Tp = Tl + 0,5 Tr Dimana: Tl = Time lag (jam) L = panjang sungai (km) Tp = waktu puncak (jam) Qp = C A R/3,6 (0,3 Tp + 0,3) Tg = 0,21 L0,7 dengan L < 15 km Tg = 0,4 + 0,058 L dengan L > 15 km Tr = 0,75 Tg II -26
Bab II Tinjauan Pustaka
T0,8 = 0,8 Tr Tp = Tg + 0,8 Tr Tb = ∞ (Sumber: Dantje K. Natakusumah Vol. 18-No. 3) Yang mana sifat kurva majemuk berubah terhadap karakteristik DAS, dan tidak dinyatakan secara eksplisit tapi mengikuti bentuk kurva HSS.
II -27