BAB II TINJAUAN PUSTAKA Teori – teori yang digunakan untuk membangun framework penelitian dijelaskan pada bab 2 ini, teori tersebut meliputi Bank, Intellectual Capital dan Kinerja : 2.1
Bank Menurut Rivai, Veithzal, dan Idroes (2007: 17) bank didefinisikan
sebagai berikut : “Bank merupakan bagian dari sistem keuangan dalam ekonomi modern yang melayani masyarakat pemakai jasa keuangan.” Sistem keuangan merupakan suatu jaringan financial market, institusi, sektor usaha, rumah tangga dan lembaga pemerintah yang merupaka peserta dan juga sekaligus memiliki wewenang dalam mengatur operasi sistem keuangan tersebut. Pada dasarnya fungsi pokok dari sebuah bank adalah mengalihkan dana dari penabung kepada peminjam. 2.1.1
Definisi Bank Menurut undang – undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan yang
telah dirubah dengan undang – undang No. 10 tahun 1998 pasal 1, bank didefinisikan sebagai berikut : “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak.” Adapun definisi Bank menurut Kasmir (2011: 4) adalah sebagai berikut :
11
12
“Bank merupakan perusahaan keuangan yang bergerak dalam memberikan layanan keuangan yang mengandalkan kepercayaan dari masyarakat dalam mengelola dananya.” Dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa bank merupakan perusahaan yang bergerak dalam mengelola dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat. 2.1.2
Fungsi Bank Bank memiliki 4 fungsi menurut Kuncoro dan Suhardjono (2002), yakni
sebagai berikut : 1. Penciptaan Uang Kemampuan bank umum menciptakan uang giral atau alat pembayaran melalui mekanisme kliring merupakan fungsi bank dalam melaksanakan kebijakan moneter. Kemampuan bank umum dalam menciptakan uang giral dapat dipengaruhi oleh bank sentral ketika bank sentral mengurangi atau menambah jumlah uang yang beredar. 2. Mendukung kelancaran mekanisme pembayaran Fungsi lain dari bank umum adalah mendukung kelancaran mekanisme pembayaran. Hal ini dimungkinkan karena salah satu jasa yang ditawarkan bank umum merupakan jasa – jasa yang berkaitan dengan mekanisme pembayaran. 3. Penghimpunan dana simpanan masyarakat Di indonesia dana simpanan terdiri atas giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dapat dipersamakan dengan
13
itu. Dana simpanan merupakan dana yang paling banyak dihimpun oleh bank umum. 4. Mendukung kelancaran transaksi internasional Bank umum juga dibutuhkan untuk memudahkan serta memperlancar transaksi internasional, baik transaksi barang atau jasa maupun transaksi modal. Kepentingan pihak – pihak yang melakukan transaksi internasional dapat ditangani dengan lebih mudah, cepat dan murah dengan adanya bank umum yang bergerak pada skala internasional. 2.1.3
Peranan Bank Bank memegang peranan yang sangat penting dalam pengalihan dana
dari unit surplus atau unit defisit yang disalurkan dari satu unit ekonomi ke unit ekonomi lainnya. Peranan bank menurut Rivai et al (2007) dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Asset transmutation Bank memiliki aset berupa janji – janji untuk membayar atau dapat diartikan sebagai pinjaman kepada pihak lain dengan jangka waktu sesuai kebutuhan peminjam. Dana bank dalam membiayai aset tersebut diperoleh dari penabung yang jangka waktunya menurut kebutuhan penabung. 2. Liquidity Likuiditas berkaitan dengan kemampuan untuk memperoleh uang tunai pada saat dibutuhkan. Likuiditas dapat pula diartikan sebagai kemampuan bank memenuhi kewajibannya segera.
14
3. Income allocation Banyak individu yang memiliki penghasilan memadai dan menyadari bahwa kelak mereka akan pensiun sehingga pendapatan yang diterima akan berkurang. Mereka menyisihkan atau merelokasi pendapatannya untuk persiapan masa mendatang. 4. Transaction atau transaksi Sekuritas skunder yang diterbitkan oleh bank seperti rekening giro, tabungan, deposito berjangka, sertifikat deposito, yang disebut sebagai produk bank disebut sebagai bagian dari sistem pembayaran. Produk bank yang ditawarkan kepada masyarakat unit surplus pada dasarnya berfungsi sebagai uang yang digunakan oleh masyarakat unit defisit sebagai kredit atau pinjaman untuk keperluan meningkatkan likuiditas. 2.2
Intellectual Capital Modal Intelektual atau intellectual capital merupakan salah satu sumber
daya yang dimiliki oleh perusahaan. Stewart (2000: 10) mendefinisikan intellectual capital sebagai berikut : “Modal intelektual adalah materi intelektual pengetahuan, informasi, hak pemilikan
intelektual,
pengalaman
yang
dapat
digunakan
untuk
menciptakan kekayaan.” Intellectual capital dianggap sebagai pencipta nilai tambah ekonomi (economic value creator) bagi perusahaan perusahaan yang berorientasi pada pertumbuhan yang kesinambungan jangka panjang. Nilai lebih yang dihasilkan oleh intellectual capital dapat berasal dari kemampuan berproduksi suatu
15
perusahaan sampai pada loyalitas pelanggan terhadap perusahaan (Warno, 2011). Dengan adanya nilai tambah suatu perusahaan akan memiliki keunggulan bersaing atau keunggulan kompetitif, dimana hal tersebut berpengaruh terhadap profitabilitas yang diperoleh. 2.2.1
Definisi Intellectual Capital Sebelum mengukur sesuatu, maka harus diketahui apa yang akan diukur.
Begitupun halnya dengan intellectual capital, bagaimana seharusnya intellectual capital didefinisikan. intellectual capital membutuhkan suatu definisi, yang nantinya menjadi awal menuju standarisasi (Suwarjono, 2003). Definisi mengenai Intellectual Capital di Indonesia, secara tidak langsung telah disinggung pada PSAK No. 19 revisi 2000 mengenai Intangible Assets. Dimana, Intangible Assets atau aktiva tidak berwujud didefinisikan sebagai berikut : “Intangible Assets atau Aktiva Tidak Berwujud adalah aktiva non moneter yang dapat di identifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa, disewakan kepada pihak lainnya atau untuk tujuan administratif.” International Federation of Accountants atau IFAC mendefinisikan Intellectual Capital secara lebih spesifik. International Federation of Accountants atau IFAC (1998) mendefinisikan Intellectual Capital sebagai berikut : “In balance sheet, Intellectual Assets are those knowledge – based items, which the company owns which will produced a future stream or benefits for the company”. Dari kedua definisi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa secara sederhana Intellectual Capital dapat diartikan sebagai aset tak berwujud berbasis modal pengetahuan yang akan menciptakan nilai keunggulan bersaing pada perusahaan
16
(keunggulan kompetitif) guna mendatangkan keuntungan atau profit dimasa yang akan datang. 2.2.2
Teori yang melandasi Intellectual Capital Menurut Guthrie dan Ricceri (2006) dalam Ulum (2009) terdapat dua
teori yang melandasi penelitian mengenai Intellectual Capital yaitu Stakeholder Theory dan Legitimacy Theory. Menurut Deegan (2004) kedua teori ini memiliki kaitan yang erat. Keduanya menjelaskan alasan pengungkapan suatu informasi oleh perusahaan dalam laporan keuangan. Kedua teori ini dapat dijadikan dasar dalam menjelaskan hubungan antara kinerja Intellectual Capital dengan Kinerja Keuangan Perusahaan. 1. Stakeholder Theory Lawrence dan Weber (2011: 7) mengemukakan stakeholder concept atau konsep stakeholder sebagai berikut : “The term stakeholder refers to persons and group that affect, or are affected by, an organization’s decision, polices, and operations. The word stake, means an interest in – or claim on – a business enterprise. Those with a stake in the firm’s action include such diverse groups as customers, employees, stockholders, the media, goverment, profesional, and trade association, social and environmental activist, and non goveramental organization. The term stakeholder is not same as stockholder. Stocholders individuals or organization that own shares of a company’s stock are one of several kinds of stakeholders.” Pada teori stakeholder, ditekankan bahwa perusahaan mempunyai kewajiban untuk melapor tidak hanya kepada para pemegang saham (stockholder), tetapi juga kepada siapapun yang mempunyai “penyertaan” (stake) dalam perusahaan (Hendriksen dan Breda, 2000). Teori ini menekankan
17
bahwa siapapun yang memiliki penyertaan baik stakeholder maupun stockholder, mempunyai hak untuk diperlakukan secara adil oleh perusahaan. Berdasarkan Teori Stakeholder, manajemen organisasi diharapkan untuk melakukan aktivitas yang dianggap penting oleh Stakeholder mereka dan melaporkan kembali aktivitas aktivitas tersebut pada Stakeholder. Teori ini memiliki hak untuk diberi informasi mengenai dampak aktivitas perusahaan bagi mereka meskipun mereka memilih untuk tidak menggunakan informasi tersebut, atau tidak dapat memainkan peran konstruktif dalam kelangsungan hidup perusahaan. (Deegan, 2004) Para Stakeholder dalam teori ini berkepentingan untuk mempengaruhi manajemen dalam proses pemanfaatan seluruh potensi yang dimiliki oleh organisasi. Karena, hanya dengan pengelolaan yang baik dan maksimal atas seluruh potensi inilah organisasi akan dapat menciptakan Value Added yang kemudian mendorong kinerja keuangan perusahaan yang merupakan orientasi para Stakeholder dalam mengintervensi manajemen. (Ulum, 2007) 2. Legitimacy Theory Teori legitimasi memiliki keterkaitan yang erat dengan teori Stakeholder. Teori legitimasi menyatakan bahwa organisasi secara berkelanjutan mencari cara untuk menjamin operasi mereka berada dalam batas dan norma yang berlaku di masyarakat. Pandangan teori legitimasi menyatakan bahwa dalam menjalankan operasinya, organisasi harus sejalan dengan nilai – nilai pada masyarakat. (Deegan, 2004)
18
Berdasarkan teori legitimasi, organisasi secara berkelanjutan harus menunjukan bahwa mereka telah berprilaku sesuai dengan nilai sosial. Hal itu seringkali dapat dicapai melalui pengungkapan (disclosure) dalam laporan perusahaan.
Organisasi
menggunakan
pengungkapan
untuk
mendemonstrasikan perhatian manajemen akan nilai sosial. Perusahaan akan secara sukarela melaporkan melaporkan kegiatan kegiatannya jika perusahaan merasa bahwa hal tersebut adalah yang diharapkan komunitas. (Guthrie dan Parker, 1989 dalam Ulum, 2007) Teori ini sangat erat kaitannya dengan pelaporan modal intelektual. Ketika suatu perusahaan memiliki kebutuhan khusus, perusahaan cenderung melaporkan modal intelektual. Kebutuhan khusus ini terjadi ketika perusahaan tidak mampu melegimitasi statusnya berdasarkan Tangible Asset, yang umumnya dikenal sebagai simbol kesuksesan. Oleh karena itu, perusahaan terdorong untuk menunjukan kapasitas modal intelektualnya dalam laporan keuangan untuk memperoleh legitimasi dari publik atas kekayaan intelektual yang dimilikinya. Pengakuan ini menjadi sangat penting bagi perusahaan untuk mempertahankan eksistensinya dalam lingkungan sosial perusahaan (Ulum, 2009) 2.2.3
Komponen Intellectual Capital Menurut beberapa ahli seperti Pulic (2000) dalam Ulum (2007), Bontis
dan Choo (2002), serta Roos, Pike dan Frenstrom (2007), Intellectual Capital terdiri atas 3 elemen. Ketiga elemen tersebut adalah modal intelektual yang melekat pada manusia, modal intelektual yang melekat pada perusahaan, dan
19
modal intelektual yang menyangkut hubungan diantara perusahaan dan pihak eksternal. Berikut skema pengelompokan ketiga elemen Intellectual Capital menurut beberapa ahli : Tabel 2.1 : Pengklasifikasian Komponen Intellectual Capital menurut beberapa ahli Author Pulic Bontis & Choo Roos et al
Modal intelektual yang melekat pada Manusia Human Capital Human Capital
Modal intelektual yang melekat pada Perusahaan Structural Capital Structural Capital
Modal intelektual yang melekat pada Hubungan Capital Employeed Relational Capital
Human Capital
Organizational Capital
Relational Capital
Sumber : Pulic (2000) dalam Ulum (2007), Bontis dan Choo (2002), Roos, Pike, dan Frenstrom (2007). 1. Human Capital Philips (2002: 6) mendefinisikan Human Capital Sebagai berikut: “Capabilities of individual to provide solution to costumer.” Roos et al (2007: 19) mendefinisikan Human Capital Sebagai berikut: “All the atributes that relate to individuals as resources for the company and under the requirement that these attributes cannot be replaced by machines or written down on a piece of paper.” Dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa, Human Capital merupakan kemampuan kolektif
perusahaan
untuk
menghasilkan
solusi
terbaik
berdasarkan
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh orang – orang yang ada didalam perusahaan tersebut. Human Capital dikategorikan menjadi 12 bagian oleh Philips (2002), yakni Innovation, Job Satisfication, Organizational Commitment, Turnover,
20
Tenure, Experience, Learning, Competencies, Educational level, HR Investment, Leadership dan Productivity. 2. Structural Capital / Organizational Capital Philips (2002: 6) mendefinisikan Structural Capital Sebagai berikut: “Organizational capabilities to meet market requirements” Roos et al (2007: 19) mendefinisikan Structural Capital sebagai berikut: “All those things that remain in the organization when the employees have left the building but that you cannot find in the balance sheet” Structural Capital dengan demikian merupakan kemampuan organisasi atau perusahaan yang tidak diungkapkan pada Financial Statment, hal tersebut berguna untuk memenuhi proses rutinitas perusahaan dan strukturnya yang mendukung usaha karyawan untuk menghasilkan kinerja bisnis yang optimal guna memenuhi kebutuhan pasar. Bontis dan Choo (2002) mengemukakan bahwa Infrastructure Assets yang dimiliki perusahaan merupakan Structural Capital. Seperti, Technologies, Methodologies dan Processes. 3. Relational Capital / Capital Employeed Bontis dan Choo (2002: 632) mendefinisikan Relational Capital sebagai berikut: “Relational Capital represents the potential an organization has due to ex-firm intangible. These intangible include the knowledge embedded in costumers, suppliers, the goverment, or related industry association.” Roos et al (2007: 19) mendefinisikan Relational Capital sebagai berikut:
21
“These include all relationships that the organization has, such as costumers,
consumers,
intermediaries,
representatives,
suppliers,
partners, owners, lenders, and the like.” Relational Capital menggambarkan hubungan harmonis yang dimiliki oleh perusahaan baik dengan mitranya, baik yang berasal dari pemasok andal dan berkualitas, berasal dari pelanggan yang loyal dan merasa puas akan pelayanan perusahaan yang bersangkutan, berasal dari hubungan perusahaan dengan pemerintah maupun masyarakat sekitar. Pulic (2000) dalam Ulum (2007) menyebut modal intelektual ini sebagai Capital Employeed. Dimana Modal Intelektual ini menggambarkan modal yang dimiliki perusahaan berupa hubungan yang harmonis kepada para mitranya serta pengelolaan physical capital guna membantu penciptaan nilai tambah (value added) bagi perusahaan. 2.2.4
Pengukuran Intellectual Capital Hingga saat ini Intellectual Capital belum disajikan dalam laporan
keuangan. Hal ini disebabkan metode pengukuran yang tepat dan objektif atas Intellectual Capital belum ditemukan (Bontis, 2000) Oleh karenanya, Pulic (2000) dalam Ulum (2007) memperkenalkan pengukuran yang secara tidak langsung mengukur Intellectual Capital melalui nilai yang dimiliki. Metode pengukuran ini disebut sebagai metode VAIC (Value Added Intellectual Coefficient) dimana metode ini dirancang untuk menyediakan informasi mengenai efisiensi penciptaan nilai (value creation) dari aset berwujud dan aset tidak berwujud yang dimiliki perusahaan. Penelitian ini menggunakan metode VAIC
22
(Value Added Intellectual Coefficient) yang diperkenalkan oleh pulic (2000) untuk melakukan pengukuran terhadap Intellectual Capital. Metode ini memiliki 3 komponen utama yakni, VAHU (Value Added Human Capital) dan STVA (Value Added Structural Capital), VACA (Value Added Capital Employeed). 1. VAHU (Value Added Human Capital) VAHU merupakan indikator efisiensi nilai tambah modal manusia. VAHU menunjukan seberapa besar value added (VA) dihasilkan oleh dana yang dikeluarkan untuk executive salary. Value added human capital (VAHU) memiliki tujuan untuk mengindikasikan kemampuan human capital membuat nilai pada perusahaan (Kartika dan Hatane, 2013). Ketika VAHU dibandingkan lebih dari sebuah kelompok perusahaan, VAHU menjadi sebuah indikator kualitas sumber daya manusia perusahaan. 2. STVA (Value Added Structural Capital) STVA mengukur jumlah structural capital (SC) yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 Rupiah dari VA dan merupakan indikasi bagaimana keberhasilan SC dalam penciptaan nilai. rasio ini menunjukan kontribusi structural capital (SC) dalam proses penciptaan nilai. Model Pulic (2000) dalam Ulum (2007) SC diperoleh dari VA dikurangi dengan human capital (HC). SC bukan merupakan ukuran independen seperti HC. SC bergantung pada proses penciptaan value added perusahaan dan memiliki proporsi nilai yang berkebalikan dengan HC.
23
3. VACA (Value Added Capital Employeed) VACA adalah perbandingan antara value added (VA) dengan modal fisik yang bekerja (capital employeed). Dalam hal ini, VACA menunjukan kontribusi yang dibuat oleh setiap unit dari CE terhadap value added organisasi. Rasio ini menunjukan sebuah indikator untuk VA yang diciptakan oleh satu unit dari physical capital. VACA atau value added capital employeed menggambarkan berapa banyak nilai tambah perusahaan yang dihasilkan dari modal yang digunakan. VACA atau value added capital employeed yaitu kalkulasi dari mengelola modal perusahaan (Salim dan Karyawati, 2013). 2.3
Kinerja Kinerja merupakan hal penting yang harus dicapai oleh setiap
perusahaan. Kinerja merupakan cerminan dari kemampuan perusahaan dalam mengelola dan mengalokasikan sumber dayanya. Keberhasilan sebuah perusahaan dalam mencapai tujuan dan memenuhi kebutuhan masyarakat sangat bergantung pada kinerja dari perusahaan tersebut. 2.3.1
Definisi Kinerja Hansen dan Mowen (2000: 6) mengungkapkan definisi Kinerja sebagai
berikut : “Kinerja adalah tingkat konsistensi dan kebaikan fungsi – fungsi produk.” Sementara itu, Soedarsono (2007: 25) mengungkapkan definisi Kinerja sebagai berikut :
24
“Kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atau pelaksanaan tugas tertentu dalam rangka mewujudkan sasaran dan tujuan perusahaan.” Dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa kinerja secara umum merupakan gambaran prestasi yang dicapai oleh perusahaan dalam operasionalnya guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan. 2.3.2
Definisi Kinerja Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (2007) mengungkapkan definisi dari kinerja
keuangan perusahaan, sebagai berikut : “Kinerja keuangan merupakan kemampuan perusahaan dalam mengelola dan mengendalikan sumber daya yang dimilikinya.” Sementara itu, Kusumo (2008: 111) mengungkapkan definisi dari kinerja keuangan pada perusahaan perbankan, sebagai berikut : “Kinerja keuangan bank merupakan gambaran kondisi keuangan bank pada suatu periode tertentu baik mencakup aspek penghimpunan dana maupun penyaluran dananya.” Dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa kinerja keuangan perusahaan merupakan gambaran atau kondisi perusahaan atas pengelolaan dan pengendalian sumber daya yang dimiliki perusahaan. 2.3.3
Pengukuran Kinerja Keuangan Kinerja keuangan perusahaan dapat diukur dengan menganalisa dan
mengevaluasi laporan keuangan. Informasi posisi keuangan dan kinerja keuangan di masa lalu seringkali digunakan sebagai dasar untuk memprediksi posisi keuangan dan kinerja keuangan untuk masa depan. Salah satu alat untuk
25
mengukur kinerja keuangan pada perusahaan adalah menggunakan analisis laporan keuangan melalui hasil dari perhitungan rasio (Riyadi, 2006). Arifin, (2007: 31) mendefinisikan Analisis Laporan Keuangan sebagai berikut : “Analisis
laporan
keuangan
merupakan
salah
satu
alat
untuk
mengevaluasi kinerja keuangan perusahaan.” Kinerja keuangan perusahaan lebih berorientasi pada jangka pendek, yaitu untuk mencari keuntungan atau profit. Ukuran dari jangka pendek adalah sekitar satu tahun siklus hidup perusahaan, dalam hal ini analisis laporan keuangan yang tepat untuk memahami kondisi atas kinerja keuangan perusahaan adalah analisis rasio profitabilitas (Puspitasari, 2011). Rasio Profitabilitas adalah rasio yang menggambarkan kinerja fundamental perusahaan ditinjau dari tingkat efisiensi dan efektivitas operasi perusahaan dalam memperoleh laba. Konsep Profitabilitas ini didalam teori keuangan sering digunakan sebagai indikator kinerja fundamental perusahaan mewakili kinerja manajemen (Harmono, 2009). Salah satu komponen dari rasio profitabilitas yang umum digunakan untuk mengetahui kinerja atas perusahaan adalah rasio retun on asset atau ROA. Rasio ini merupakan salah satu teknik dalam analisis laporan keuangan yang bersifat menyeluruh (Comperhensive). 2.3.4
Rasio Return On Asset (ROA) Martono (2005: 61) mengungkapkan definisi dari rasio Return On Asset
atau ROA atau biasa disebut dengan Rentabilitas Ekonomi, sebagai berikut : “Return On Asset atau yang sering disamakan dengan Rentabilitas Ekonomi dimaksudkan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam
26
memperoleh laba usaha dengan aktiva memperoleh laba tersebut.”
yang digunakan untuk
Sementara itu, Prihadi (2010: 152) mengungkapkan definisi dari rasio Return On Asset atau ROA sebagai berikut : “Return On Asset (ROA, laba atas aset) mengukur tingkat laba terhadap aset yang digunakan dalam menghasilkan laba tersebut.” Dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa, Rasio Return On Asset (ROA) merupakan rasio yang berguna untuk melihat efektivitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan menggunakan aktiva yang dimilikinya. Sehingga dapat dikatakan bahwa, semakin tinggi Return On Asset (ROA), berarti perusahaan mampu mendayagunakan asset dengan baik untuk memperoleh keuntungan (Sugiono, 2008). 2.4
Kerangka pemikiran
2.4.1
Pengaruh Value added human capital terhadap Return on asset Roos et al (2007: 19) mendefinisikan Human Capital Sebagai berikut : “All the atributes that relate to individuals as resources for the company and under the requirement that these attributes cannot be replaced by machines or written down on a piece of paper.”
Dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa, Human Capital menggambarkan sumber daya yang dimiliki oleh manusia, seperti pengetahuan, keterampilan dan kompetensi untuk mencapai keunggulan yang kompetitif. Human Capital dikategorikan kedalam 12 bagian oleh Philips (2002), yakni Innovation, Job Satisfication, Organizational Commitment, Turnover, Tenure, Experience,
27
Learning, Competencies, Educational level, HR Investment, Leadership dan Productivity. Value added yang dimiliki perusahaan salah satunya dihasilkan oleh efisiensi dari human capital. Efisiensi pada human capital diukur dengan menggunakan VAHU atau value added human capital. Tujuannya adalah mengindikasikan kemampuan human capital membuat nilai pada perusahaan. Ketika perusahaan mampu memaksimalkan keahlian jaringan kemudian menciptakan nilai, hal ini dapat menguntungkan shareholder karena manajemen mampu mengelola organisasi untuk kepentingan mereka. Salah satu ukuran kepentingan shareholder yaitu profitabilitas yang diukur dengan return on assets (ROA). Prihadi (2010: 152) mengungkapkan definisi dari rasio Return On Asset atau ROA sebagai berikut : “Return On Asset (ROA, laba atas aset) mengukur tingkat laba terhadap aset yang digunakan dalam menghasilkan laba tersebut.” Dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa, Rasio Return On Asset (ROA) merupakan rasio yang berguna untuk melihat efektivitas perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan menggunakan aktiva yang dimilikinya. Apabila sumber daya manusia seperti pengetahuan, dapat dikembangkan dan dikelola secara benar sehingga menciptakan nilai bagi perusahaan, perusahaan akan memperoleh return on asset yang tinggi dan menciptakan kinerja keuangan yang dinilai semakin baik atau kinerja keuangan yang bernilai tinggi (Hartanto, 2009).
28
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kamath (2007) dan Ulum (2008), menunjukan bahwa VAHU (value added human capital) memiliki hubungan signifikan terhadap return on assets (ROA). 2.4.2
Pengaruh Value added structural capital terhadap Return on asset Stewart (2000: 179) mengemukakan definisi structural capital sebagai
berikut : “Modal struktural merupakan aset tidak berwujud milik perusahaan ; yang kemudian menjadi sesuatu yang bisa dikendalikan manajer dengan mudah.” Dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa, structural capital (SC) menggambarkan modal yang dibutuhkan perusahaan untuk memenuhi proses rutinitas perusahaan dalam menghasilkan kinerja yang optimal, serta kinerja bisnis secara keseluruhan. Adapun tujuan modal struktural adalah mengumpulkan pengetahuan yang membantu pekerja sehingga dihargai pelanggan dan mempercepat arus informasi dalam perusahaan (Stewart, 2000). Structural capital terbagi kedalam beberapa jenis, seperti sistem operasional perusahaan, proses manufakturing, biaya organisasi, filosofi manajemen dan semua bentuk intellectual property yang dimiliki perusahaan (Suwarjono, 2003). Modal stuktural atau structural capital mengemas modal manusia atau human capital dan memungkinkannya untuk digunakan secara berulang ulang dalam menciptakan nilai tambah. Apabila manajemen yang mampu mengelola structural capital dengan baik maka hal ini akan membantu meningkatkan kinerja perusahaan sehingga dapat meningkatkan return on asset pada perusahaan (Stewart, 2000).
29
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Bontis (2000) serta Astuti dan Sabeni (2005), menunjukan bahwa terdapat hubungan signifikan antara value added structural capital terhadap return on asset. 2.4.3
Pengaruh Value added capital employeed terhadap return on asset Bontis dan Choo (2002: 632) mengemukakan definisi relational capital
atau capital employeed sebagai berikut : “Relational Capital represents the potential an organization has due to ex-firm intangible. These intangible include the knowledge embedded in costumers, suppliers, the goverment, or related industry association.” Relational capital atau capital employeed (CE) menurut definisi di atas menggambarkan hubungan harmonis yang dimiliki oleh perusahaan dengan mitranya serta mengambarkan kemampuan perusahaan dalam mengelola sumber daya berupa physical capital, yang apabila kedua hal tersebut dikelola dengan baik akan menciptakan nilai tambah bagi perusahaan. Value added capital employeed merupakan ukuran untuk perusahaan di dalam mengelola physical capitalnya secara baik. Apabila perusahaan dapat mengelola physical capitalnya secara baik maka perusahaan dapat meningkatkan return on asset dan kinerja keuangan akan dinilai semakin baik (Kusumo, 2012). Semakin baik perusahaan mengelola komponen intellectual capital, menunjukan semakin baik pula perusahaan mengelola aset. Bila perusahaan mampu mengelola aset dengan baik dan dapat menekan biaya operasional sehingga dapat meningkatkan nilai tambah
30
dari hasil kemampuan komponen intellectual perusahaan (Kartika dan Hatane, 2013). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, yang telah dilakukan oleh Firer dan william (2003) dan Mavridis (2004) menyatakan bahwa, capital employeed atau VACA memiliki pengaruh signifikan terhadap return on asset. 2.4.4
Pengaruh Value added human capital, Value added structural capital dan value added capital employed terhadap return on asset Bontis dalam Ulum (2009: 20) mengemukakan definisi Intellectual
Capital sebagai berikut : “Intellectual Capital is elusive, but once it is discovered and exploited, it may provide an organization with a new resource-base from which to compete and win” Pulic (2000) memperkenalkan pengukuran atas intellectual capital melalui nilai yang dimilikinya. Metode pengukuran yang dikenalkan oleh Pulic (2000) disebut sebagai metode VAIC (value added intellectual coefficient). Metode VAIC terbagi atas 3 komponen utama, yakni : Value added human capital, Value added structural capital, dan Value added capital employed. Intellectual
Capital
diyakini
dapat
meningkatkan
profitabilitas
perusahaan. Intellectual capital merupakan sumber daya yang berperan dalam peningkatan competitive advantages sebuah perusahaan, dengan competitive advantages yang besar maka perusahaan memiliki nilai yang lebih dibandingkan dengan perusahaan lain sehingga hal ini dapat memberikan kontribusi terhadap kinerja keuangan atau profitabilitas. (Chen, Cheng, dan Hwang, 2005)
31
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, yang telah dilakukan oleh Ulum (2007) menyatakan bahwa, intellectual capital yang diukur dengan metode VAIC memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan yang diukur dengan return on asset. Berikut adalah tabel ikhtisar penelitian – penelitian terdahulu yang digunakan sebagai landasan teoritis pada penelitian ini : Tabel 2.2 : Penelitian – penelitian empiris terdahulu mengenai Intellectual Capital Tahun
Judul Penelitian
Authors
2000
Intellectual Capital and Business Performance in malaysia industries.
Bontis Nick
2000
Assesing knowledge asset = a review of model used to be measuring ic. Intellectual Capital : Pengukuran dan Pelaporan.
Bontis Nick
2003
Intellectual Capital and traditional measure of corporate performance.
Firer dan William
2004
The intellectual capital performance of indian banking sector.
Mardivis
2004
Intellectual Capital – does it create or destroy value?
Pulic
2005
An empirical investigation of the relationship between intellectual capital and firms’ market value and financial performance Hubungan Intellectual capital dan business performance.
Chen, Cheng, dan Hwang
2007
The intellectual capital performance of indian banking sector
Kamath
2007
Pengaruh Intellectual Capital terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan.
Ulum ihyaul
2003
2005
Suwarjono dan Kadir
Astuti dan Sabeni
32
2008
Intellectual Capital dan Kinerja keuangan perusahaan : suatu analisis dengan pendekatan partial least square (PLS).
Ulum ihyaul, dkk
2011
Intellectual capital : prespektif, pengakuan, dan pengukuran, dan implementasi. Pengaruh intellectual capital terhadap business performance pada perusahaan manufaktur di BEI.
Warno
Studi empiris pengaruh modal intelektual terhadap kinerja keuangan, nilai perusahaan, nilai pasar. Pengaruh intellectual capital pada profitabilitas perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI.
Kusumo
2011
2012
2013
Puspitasari
Kartika dan Hatane
Gambar 2.1 : Model Kerangka Pemikiran
Intellectual Capital VAIC VAHU (X1)
STVA (X2) VACA (X3)
2.5
Kinerja Keuangan
Return On Assets (Y)
Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian - uraian di atas, maka penulis menyajikan hipotesis
sebagai berikut : Ha1 :
Terdapat pengaruh signifikan antara Value added human capital terhadap Return on asset.
Ha2 :
Terdapat pengaruh signifikan antara Value added structural capital terhadap Return on asset.
33
Ha3 :
Terdapat pengaruh signifikan antara Value added capital employeed terhadap Return on asset.
Ha4 :
Terdapat pengaruh signifikan secara simultan antara Value added human capital, Value added structural capital dan Value added capital employeed terhadap Return on asset.