BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Remaja Pada umumnya remaja didefinisikan sebagai masa peralihan atau transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun sampai 21 tahun dan ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis dan psikososial (Dewi, 2012). Menurut Sunartini, istilah anak dan remaja berkebutuhan khusus ialah klasifikasi untuk anak dan remaja secara fisik, psikologis dan atau sosial mengalami masalah serius dan menetap. Anak dan remaja berkebutuhan khusus ini dapat diartikan sebagai anak dan remaja yang memiliki kekhususan baik dari segi kebutuhan layanan kesehatan, kebutuhan pendidikan khusus, pendidikan layanan khusus, pendidikan inklusi, dan kebutuhan akan kesejahteraan sosial serta bantuan sosial (Republika, 2009). Tipe-tipe kebutuhan khusus yang selama ini menyita perhatian orang tua dan guru menurut Kauffman & Hallahan (2005) dalam FIP – UPI (2007): 1) Tunagrahita (Mental retardation) atau disebut sebagai anak dengan hambatan perkembangan (Child with development impaiment) 2) Kesulitan belajar (Learning disabilities) atau anak yang berprestasi rendah (Specific Learning Disability) 3) Hyperactive (Attention Deficit Disorder With Hyperactive) 4) Tunarungu wicara (Communication disorder and deafness) 5) Tunanetra (Partially seing and Legally blind) atau disebut dengan anak yang mengalami hambatan dalam penglihatan 6) Tunalaras (Emotional or behavioral disorder) 8
9
7) Anak autistik (Autistic children) 8) Tunadaksa (Physical disability) 9) Tunaganda (Multiple Handicapped) 10) Anak berbakat (Giftendess and special talents) Menurut Erickson dalam BKKBN (2012), masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium, foreclosure dan identity achieved (BKKBN, 2012). Pada masa remaja labilnya emosi erat kaitannya dengan perubahan hormon dalam tubuh. Ketidakstabilan emosi menyebabkan remaja mempunyai rasa ingin tahu dan dorongan untuk mencari tahu yang sifatnya eksperimen dan eksploratif. Pada beberapa remaja, proses penyesuaian ini bisa berlangsung tanpa masalah berarti karena mereka berhasil mengenali identitas diri dan mendapat dukungan sosial yang cukup. Namun sebagian remaja yang lain dapat mengalami persoalan penyesuaian diri. Kesulitan penyesuaian diri remaja biasanya
diawali
dengan
munculnya
perilaku-perilaku
yang
berisiko
menimbulkan persoalan psikososial remaja baik pada level personal maupun sosial. Menurut Smet dalam Lestari & Sugiharti (2011), perilaku remaja yang berdampak pada masalah kesehatan yaitu merokok, minum minuman beralkohol, penyalahgunaan narkoba dan melakukan hubungan seksual pranikah (free sex). Berdasarkan data Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2007 pada remaja perempuan dan laki-laki berusia 15-19 tahun yang belum menikah diketahui bahwa perokok aktif pada perempuan yaitu
10
sebesar 0,7% sedangkan laki-laki sebesar 47%, peminum minuman beralkohol aktif pada perempuan yaitu sebesar 3,7% sedangkan laki-laki 15,5%, pengguna zat adiktif pada laki-laki dengan cara dihisap sebesar 2,3%; dihirup sebesar 0,3%; ditelan sebesar 1,3% serta pengalaman seksual pada perempuan sebesar 1,3% sedangkan pada laki-laki sebesar 3,7%. Laki-laki yang memiliki pengalaman seks untuk pertama kali pada usia: <15 tahun: 1,0%; usia 16 tahun : 0,8%; usia 17 tahun: 1,2%; usia 18 tahun: 0,5%; usia 19 tahun: 0,1% (Kementerian Kesehatan RI, 2007 dalam Margaretha, 2012). Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 pada laporan pendahuluan kesehatan reproduksi remaja tercatat presentase perokok pada wanita umur 15-19 tahun sebesar 8,9%; umur 20-24 tahun sebesar 14% sedangkan perokok pada pria umur 15-19 tahun sebesar 74,4%; umur 20-24 tahun sebesar 89,2%; wanita umur 15-19 tahun yang minum minuman beralkohol sebesar 3,5%; umur 20-24 tahun sebesar 7,1% sedangkan peminum pada pria umur 15-19 tahun sebesar 30,2%; umur 20-24 tahun sebesar 52,9%; wanita umur 15-19 tahun yang menggunakan obat terlarang sebesar 0,1%; umur 20-24 tahun sebesar 0,5% sedangkan pria umur 15-19 tahun yang menggunakan obat terlarang sebesar 2,8%; umur 20-24 tahun sebesar 6,7%; wanita umur 15-19 tahun yang pernah melakukan hubungan seksual yaitu sebesar 0,7%; umur 20-24 tahun sebesar 1,8% sedangkan pria umur 15-19 tahun yang pernah melakukan hubungan seksual yaitu sebesar 4,5% dan umur 20-24 sebesar 14,6% (Kementerian Kesehatan RI, 2012). Perilaku berisiko remaja yang disebabkan oleh gangguan penyesuaian diri muncul karena dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri remaja (internal) maupun faktor dari luar diri (eksternal). Faktor internal tersebut yaitu problem
11
psikologis dan sosial yang sedang dihadapi dan kontrol diri yang lemah. Beberapa faktor eksternal diantaranya adalah persoalan keluarga baik itu pendidikan nilai yang salah dalam keluarga, problem komunikasi antar anggota keluarga dan perselisihan keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja, pengaruh negatif teman sebaya, pengaruh negatif komunitas seperti kemiskinan, kurangnya akses pendidikan, komunitas yang acuh dan permisif pada pelanggaran dapat membuat remaja lebih rentan terjerumus dalam perilaku berisiko dan menghambat perkembangan diri remaja (Margaretha, 2012). Arus informasi melalui media masa baik berupa majalah, surat kabar, tabloid maupun media elektronik seperti radio, televisi, dan komputer, mempercepat terjadinya perubahan. Meskipun arus informasi ini menunjang berbagai sektor pembangunan, namun arus informasi ini juga melemahkan sistem sosial ekonomi yang menunjang masyarakat Indonesia. Remaja merupakan salah satu kelompok penduduk yang mudah terpengaruh oleh arus informasi baik yang negatif maupun yang positif. Perbaikan status wanita, yang terjadi lebih cepat sebagai akibat dari transisi demografi dan program keluarga berencana telah mengakibatkan meningkatnya umur kawin pertama dan bertambah besarnya proporsi remaja yang belum kawin. Hal ini adalah akibat dari makin banyaknya remaja baik laki-laki maupun perempuan yang meneruskan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi dan makin banyaknya remaja yang berpartisipasi dalam pasar kerja. Masyarakat Hindu di Bali memiliki sistem dan struktur sosial kemasyarakatan yang unik dan khas. Salah satunya adalah adanya ikatan kelompok-kelompok kepentingan khusus sering disebut organisasi sekaa. Sekaa teruna-teruni merupakan organisasi pembinaan generasi muda khususnya anal
12
yang masih berusia sekolah maupun tidak sekolah guna mendalami dan menerapkan arti penting kegiatan sosial dalam masyarakat yang dihubungkan dengan adat istiadat Hindu di Bali. Anggota sekaa teruna-teruni ini adalah remaja-remaja dari setiap Banjar yang ada di suatu wilayah desa yang berkisar antara umur 12 tahun sampai usia belum menikah (Sutama, 2015). 2.2 Kesehatan Reproduksi pada Remaja Definisi kesehatan reproduksi menurut WHO dalam Rohan & Siyoto (2013) adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan social yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan system reproduksi, fungsi dan prosesnya. Seiring dengan bertambahnya usia seseorang, organ reproduksi juga mengalami perkembangan dan pada akhirnya akan mengalami kematangan. Pada masa pubertas, hormon-hormon yang mulai berfungsi selain menyebabkan perubahan fisik/tubuh juga mempengaruhi dorongan seks remaja. Masalah kesehatan reproduksi remaja selain berdampak secara fisik, juga dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental dan emosi, keadaan ekonomi dan kesejahteraan social dalam jangka panjang. Dampak jangka panjang tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap remaja itu sendiri, tetapi juga terhadap keluarga, masyarakat dan bangsa pada akhirnya. Permasalahan prioritas kesehatan reproduksi pada remaja dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1) Kehamilan tak dikehendaki Salah satu risiko dari seks pranikah atau seks bebas adalah terjadinya kehamilan yang tidak diharapkan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Muhamad Azinar di Universitas Negeri Semarang dengan metode explanatory research dengan pendekatan cross sectional menunjukkan
13
hasil bahwa 12,1% mahasiswa memiliki perilaku seksual pranikah berisiko terhadap kehamilan tidak diinginkan (KTD). Analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square menunjukkan ada lima variabel yang secara signifikan berhubungan dengan perilaku seksual pranikah mahasiswa yaitu religiusitas, sikap, akses dan kontak dengan media pornografi, sikap teman dekat, serta perilaku seksual teman dekat. Simpulan penelitian adalah perilaku seksual teman dekat, sikap responden terhadap seksualitas, dan religiusitas dominan mempengaruhi perilaku seksual pranikah berisiko KTD pada mahasiswa (Azinar, 2013). Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis dengan bentuk dan tingkah laku yang beragam mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu hingga bersenggama (Sarwono, 2013). Ada dua hal yang dilakukan jika mengalami kehamilan yang tidak diinginkan yaitu kehamilan dipertahankan dengan risiko hamil pada usia dini yang bisa menyebabkan kesulitan dalam persalinan seperti perdarahan bahkan kematian, adanya kemungkinan menjadi ibu tunggal karena pasangan tidak mau menikahinya, putus sekolah, perlu biaya yang besar untuk merawat anak dengan kondisi ibu yang masih muda dan belum berpenghasilan dan yang ke dua yaitu kehamilan diakhiri (aborsi) dengan risiko perdarahan dan komplikasi yang berujung kematian, perasaan-perasaan bersalah, ketergantungan pada pasangan karena perempuan merasa sudah tidak perawan, serta biaya aborsi yang cukup tinggi (Romauli & Vindari, 2012).
14
2) Perkawinan usia muda Perkawinan usia muda adalah perkawinan yang dilakukan pada usia remaja yaitu di bawah 16 tahun pada wanita dan dibawah 19 tahun pada pria. Perkawinan usia muda ini menimbulkan masalah-masalah seperti alat reproduksi masih belum siap untuk menerima kehamilan sehingga dapat menimbulkan berbagai bentuk komplikasi, kematian maternal, pasangan muda keadaan psikologinya masih belum matang sehingga sering terjadi perceraian. Menurut Program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) yang ada di Indonesia, usia perkawinan pertama minimal 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria (BKKBN, 2011). Berdasarkan data Riskesdas 2010, secara umum usia rata-rata perkawinan pertama di Indonesia adalah pada umur 20 tahun, namun presentase menurut kelompok umur perkawinan pertama menunjukkan bahwa 46,7% terdapat perkawinan pada usia muda 10-19 tahun. Perkawinan usia sangat muda (10-14 tahun) banyak terjadi pada perempuan di daerah pedesaan (6,2%), pendidikan rendah (tidak sekolah 9,5%, tidak tamat SD 9,1%, tamat SD 7,1% dan tamat SLTP 1,7%), status ekonomi termiskin (tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita berada sebagian besar pada kuintil 1 yaitu sebesar 6,0%) dan kelompok petani/nelayan/buruh yaitu sebesar 6,3%. Menurut SDKI tahun 2012 menunjukkan bahwa sebagian besar dari wanita dan pria mengatakan bahwa umur ideal kawin pertama bagi seorang pria adalah 25 tahun atau lebih (81% wanita dan 76% pria). Proporsi dari wanita dan pria yang sama-sama menyetujui umur ideal ini lebih tinggi berada diantara responden yang lebih tua, responden yang tinggal di daerah perkotaan, dan mereka yang berpendidikan tinggi (Kementerian Kesehatan RI, 2010b).
15
Penelitian yang dilakukan oleh Landung dengan metode studi kasus kualitatif dengan rancangan histografi yang dilakukan di Kecamatan Sanggalangi Kabupaten Tana Toraja menunjukkan hasil bahwa rendahnya pengetahuan kaum perempuan khususnya remaja tentang kesehatan reproduksi, dukungan keluarga sehubungan dengan peran sosial budaya dan kebijakan pemerintah dalam perpanjangan usia perkawinan merupakan faktor perilaku yang berhubungan dengan perilaku pernikahan usia dini (Landung, 2009). Upaya penanggulangan pernikahan muda yang dapat dilakukan yaitu menetapkan usia pekawinan, meningkatkan pendidikan pada wanita, tidak memaksakan kehendak kepada anak, dan memberi penyuluhan tentang resiko perkawinan usia muda. 3) Kehamilan dan persalinan usia muda yang menambah risiko kesakitan dan kematian ibu dan bayi. Penting untuk diketahui bahwa kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun pada anak. Kehamilan di usia yang sangat muda ini ternyata berkorelasi dengan angka kematian dan kesakitan ibu. Disebutkan bahwa anak perempuan berusia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun, sementara risiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompok usia 15-19 tahun. Anatomi tubuh anak belum siap untuk proses mengandung maupun melahirkan, sehingga dapat terjadi komplikasi berupa obstructed labour serta obstetric fistula. Data dari UNPFA tahun 2003, memperlihatkan 15%-30% di antara persalinan di usia dini disertai dengan komplikasi kronik, yaitu obstetric fistula. Fistula merupakan kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam
16
vagina. Wanita berusia kurang dari 20 tahun sangat rentan mengalami obstetric fistula. Obstetric fistula ini dapat terjadi pula akibat hubungan seksual di usia dini (Fadlyana & Larasaty, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Ginting & Wantania di dua rumah sakit dan tiga Puskesmas di Kota Manado dengan rancangan cross sectional menunjukkan hasil yaitu dari 47 remaja hamil yang menjadi sampel terdapat responden terbanyak pada usia 19 tahun (57,44%), dengan usia termuda 16 tahun, tingkat pendidikan terbanyak SLTA (57,44%). Sebagian besar responden menikah yaitu 40 responden (85,10%). Sebagian besar merupakan kehamilan pertama (89,36%) sedangkan yang hamil kedua ada 10,64%. Dari segi pernikahan, sebagian besar menikah pada usia 18 tahun. Yang pernah memperoleh informasi tentang kehamilan remaja sebanyak 91,48%, dan terbanyak melalui jalur media informal yaitu media masa (65,96%). Sebagian besar responden yaitu sebanyak 59,57% mempunyai tingkat pengetahuan yang kurang. Sikap tentang kehamilan remaja sebagian besar mempunyai nilai kurang dan cukup yaitu sebanyak 42,55% dan 40,42% dan hanya 17,02% nilai baik. Nilai perilaku responden tentang kehamilan remaja pada penelitian ini juga masih kurang yaitu sebanyak 53,19% (Ginting & Wantania, 2011). Menurut penelitian lainnya dilakukan terhadap ibu hamil yang berumur dibawah 20 tahun dengan metode deskriptif menunjukkan bahwa sebagian besar resonden yaitu sebanyak 14 orang (58,3%) memiliki pengetahuan kurang tentang kesehatan reproduksi dan 12 orang (50%) memiliki pengetahuan yang kurang tentang
kehamilan
resiko
tinggi.
Sebagian
besar
responden
berpendidikan SLTP sebanyak 12 orang (50%) dan sebagian besar berpenghasilan Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000 (Fiatin et al. 2011).
17
Penelitian yang pernah dilakukan oleh Dewi & Lubis menunjukkan hasil responden yang mempunyai tingkat sikap positif sebesar 77,8% (n = 221), tingkat ragu-ragu 21,5% (n = 61), dan tingkat sikap negatif sebesar 0,7% (n=2). Data ini menunjukkan adanya kesenjangan antara pengetahuan dan sikap dari remaja tentang kehamilan dini. Jika hampir seluruh responden (98.6%), memiliki tingkat pengetahuan baik sebaliknya, responden yang mempunyai tingkat sikap positif berkurang menjadi 77,8%. Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif cross sectional yang dilakukan di salah satu SMP swasta yang berada di kota Denpasar (Dewi & Lubis, 2012). Pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan kehamilan usia muda ini dapat dilakukan melalui penggunaan alat kontrasepsi. 4) Masalah PMS, termasuk infeksi HIV/AIDS Penyakit menular seksual (PMS) adalah infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual. Beberapa jenis PMS yang umum terdapat di Indonesia yaitu Gonore, Sifilis, Herpes genital, Trikomonas, Kamidia, dan HIV/AIDS (Rohan & Siyoto, 2013). Dari hasil penelitian oleh Wirakusuma et. al didapatkan total jumlah pasien poliklinik kulit RSUP Sanglah tahun 2009-2011 adalah 20.994 orang, dimana 640 orang (3,05%) merupakan pasien IMS. Dari kasus IMS yg ada, herpes genitalis menjadi diagnosis terbanyak dengan jumlah 222 orang (34,7%), dilanjutkan oleh condyloma di peringkat kedua dengan jumlah 141 orang (22,1%), di peringkat ketiga ada gonore dengan jumlah 131 orang (20,5%), lalu candidiasis dengan jumlah 53 orang (8,3%), sifilis dengan jumlah 47 orang (7,4%), dan di peringkat terakhir ada bacterial vaginosis dengan
18
jumlah 26 orang (4,1%). Sepanjang 2009 hingga 2011 kasus IMS lebih dominan pasien laki-laki (Wirakusuma et al., 2014). Jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS yang dilaporkan sampai September 2014 mencapai 215.891 kasus, dengan jumlah kumulatif kasus HIV sebesar 150.296 kasus dan jumlah kumulatif kasus AIDS sebanyak 55.799 kasus, termasuk yang telah meninggal sebanyak 9.796 orang. Dari kasus AIDS tersebut, 30.001 kasus adalah pria, 16.149 kasus adalah wanita dan 9.649 tidak diketahui jenis kelaminnya/unknown. Dari segi usia penderita AIDS tertinggi pada usia 20-29 tahun sebanyak 18.352 kasus; 30-39 tahun sebanyak 15.890 kasus dan tidak diketahui/unknown sebesar 9.794 kasus (Yayasan Spiritia, 2014). Hingga September 2014, urutan jumlah kasus AIDS terbanyak sebagai berikut: Papua (10.184), Jawa Timur (8.976), DKI Jakarta (7.477), Bali (4.261) dan Jawa Barat (4.191). Namun urutan angka prevalensi kasus AIDS tertinggi secara berturut-turut adalah Papua (359,43), Papua Barat (228,03), Bali (109,52), DKI Jakarta (77,82) dan Kalimantan Barat (38,65) per 100.000 penduduk. Penularan terutama melalui hubungan seksual (64,5%), yaitu 62% bersifat heteroseksual dan 2,5% homoseksual, sedangkan 15,3% melalui penggunaan alat suntik (IDU) serta 2,7% melalui transmisi perinatal (Yayasan Spiritia, 2014). Pencegahan penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS ini dapat dilakukan dengan menunda aktivitas seksual sampai pada usia yang matang secara seksual, setia pada pasangan yang sudah menikah, hindari hubungan seksual yang tidak aman, menggunakan kondom untuk mencegah penularan PMS termasuk HIV/AIDS dan menjaga personal hygiene pada alat kelamin.
19
Penelitian yang pernah dilakukan pada siswi di SMA Nasional Makasar tahun 2013 dengan metode observasinal menunjukkan hasil bahwa 51 responden yang berpengetahuan cukup memiliki tindakan kebersihan alat reprodusi eksternal yang baik yaitu sebesar 66,6% dan ini lebih banyak dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan kurang yaitu sebesar 39,3%, sedangkan responden yang berpengetahuan cukup yang memiliki tindakan kebersihan alat reproduksi buruk yaitu sebesar 33,3% lebih sedikit dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan kurang yaitu sebesar 60,7%. Kesimpulannya bahwa persentase respond yang paling banyak memiliki tindakan kebersihan alat reproduksi eksterna yang baik berada pada kategori pengetahuan cukup. Dari uji statistik diperoleh p = 0,0035 (p<0,05). Hal ini menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan PMS terhadap tindakan kebersihan alat reproduksi eksternal remaja putri di SMA Nasional Makassar tahun 2013 (Muin et al., 2013). Namun penelitian yang dilakukan Primawati (2009) terkait upaya pencegahan dan pemahaman dampak negative perilaku seksual remaja Sekolah Menengah Umum (SMU) dimana pengetahuan responden sebesar 97% berada pada kategori baik (Primawati, 2009). Pengetahuan mengenai HIV/AIDS pada masyarakat di Indonesia masih relative rendah. Hal ini dibuktikan dari hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 dimana hanya 11% masyarakat Indonesia yang tahu dan paham tentang HIV/AIDS. Masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman yang benar akan HIV/AIDS menyebabkan belum maksimalnya pencegahan HIV/AIDS serta dapat memunculkan stigma/ diskriminasi bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) ( Subuh, 2013 dalam BKKBN & UNFPA Indonesia, 2014).
20
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Reproduksi Remaja Secara umum faktor yang mempengaruhi kesehatan reeproduksi adalah status kesehatan, tingkat pendidikan, praktek budaya, sarana dan prasarana kesehatan, dan pelayanan kesehatan (Romauli & Vindari, 2012). Menurut Rohan dan Siyoto (2013), secara garis besar dapat dikelompokkan empat golongan faktor yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan reproduksi yaitu: 1) Faktor sosial-ekonomi dan demografi (terutama kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan proses reproduksi, serta lokasi tempat tinggal yang terpencil) 2) Faktor budaya dan lingkungan (misalnya, praktek tradisional yang berdampak buruk pada kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak banyak rejeki, informasi tentang fungsi reproduksi yang membingungkan anak dan remaja karena saling berlawanan satu dengan yang lain, dsb) 3) Faktor psikologis (dampak pada keretakan orang tua pada remaja, depresi karena ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita terhadap pria yang membeli kebebasannya secara materi, dsb) 4) Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca penyakit menular seksual, dsb) Berdasarkan uraian diatas baik dari segi faktor sosial-ekonomi dan demografi serta faktor budaya dan lingkungan, didalamnya terdapat tingkat pendidikan dan informasi atau pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang memiliki peran terhadap kesehatan reproduksi. Dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti tingkat pengetahuan remaja pada sekaa teruna-teruni tentang kesehatan reproduksi di desa
21
Bengkala. Pengetahuan yang perlu diketahui terkait kesehatan reproduksi remaja yaitu pengetahuan tentang tanda-tanda pubertas, kebersihan alat kelamin, perilaku yang berisiko terhadap kesehatan reproduksi, usia yang tepat untuk menikah, PMS termasuk HIV/AIDS, cara penularan PMS termasuk HIV/AIDS dan pencegahan PMS termasuk HIV/AIDS.