BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Perairan Umum Sumber daya alam (sumber alam) menurut Supangat (2007: 1.11) didefinisikan sebagai “segala sesuatu yang terdapat di alam yang berguna bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya”, akibat dari defenisi ini maka komponen alam yang belum tahu pemanfaatannya tidak termasuk sumber daya alam. Karena itu, beberapa ahli telah merubah defenisi tersebut menjadi “segala sesuatu yang terdapat di alam yang berguna bagi manusia, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang telah digunakan dimasa kini atau yang akan digunakan dimasa yang akan datang”. Dengan demikian semua komponen alam termasuk manusia merupakan sumber daya alam. Menurut Katili (1983:15), secara ilmiah dapat dikatakan bahwa : Sumber daya alam adalah semua unsur tata lingkungan biofisik yang dengan nyata atau potensial dapat memenuhi kebutuhan manusia, atau dengan perkataan lain sumber daya alam adalah semua bahan yang ditemukan manusia dalam alam, yang dapat dipakai untuk kepentingan hidupnya. Apabila kita berbicara mengenai perairan itu berarti yang menjadi objek utama adalah air dan badan air. Air merupakan suatu senyawa yang sangat dibutuhkan oleh semua mahluk hidup, baik itu sebagai kebutuhan untuk metabolisme tubuh ataupun sebagai habitat. Berdasarkan salinitasnya air secara garis besar dibedakan menjadi tiga, yaitu air tawar, air payau, dan air asin (air laut). Sebagian besar mahluk hidup terutama yang habitatnya di daratan
15
16
sangat tergantung pada air tawar, sebagai contoh yang paling nyata adalah manusia. Air yang mengalami siklus hidrologi tertampung di dalam suatu wadah (badan air) berfungsi sebagai tempat air permukaan berkumpul yang akhirnya membentuk suatu peraturan. Perairan yang berisi air tawar kita temukan di bagian permukaan bumi yang berupa daratan. Perairan ini kita kenal istilah perairan umum. Walaupun ada pengertian yang menyatakan bahwa perairan umum juga termasuk di dalamnya adalah laut. Namun, ada juga yang mengistilahkan perairan yang terdapat di daratan sebagai perairan pedalaman, hanya saja masih sedikit orang yang menggunakannya. Sekaitan dengan hal tersebut, Supangat (2007:1.3) mengatakan bahwa: Perairan umum adalah bagian permukaan bumi yang secara permanen atau berkala digenangi air, baik air tawar, air payau maupun air laut, mulai garis pasang surut laut terendah ke arah daratan dan badan air tersebut terbentuk secara alami atau buatan. Perairan umum tidak dimiliki oleh perorangan dan mempunyai fungsi politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Istilah perairan umum dibatasi kepada badan-badan air yang berair tawar. Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan disebutkan bahwa : 1. Air beserta sumber-sumbernya termasuk kekayaan yang terkandung di dalamnya adalah karunia Tuhan yang Maha Esa yang mempunyai manfaat serba guna dan dibutuhkan manusia sepanjang masa. 2. Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ini berarti tidak ada penguasaan air secara individual, yang ada hanyalah hak pakai atau penggunaan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa perairan
17
umum merupakan bagian permukaan bumi yang secara permanen ataupun berkala tertutup oleh massa air dan terbentuk secara alami dan atau buatan, baik yang berair tawar ataupun payau yang bersifat umum. Sungai, danau, rawa dan waduk merupakan contoh-contoh perairan umum. Sifat perairan umum ditinjau dari fungsinya yang multiguna dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang pemanfaat. Hal ini dikarenakan perairan umum memiliki nilai ekonomi, nilai estetika, nilai politik, nilai ekologi, dan nilai biologi. Sebagai contoh dalam pendayagunaan aliran sungai maka daerah aliran sungai
dapat
dipandang sebagai suatu kesatuan
yang dapat
dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan manusia sebanyak mungkin. Aliran sungai untuk memenuhi kebutuhan manusia dapat mencakup di dalam berbagai kegiatan, misalnya irigasi, pembangkit tenaga listrik, pelayaran, perikanan, penyelidikan air untuk keperluan domestik dan industri serta kebutuhan lainnya. Di samping keuntungan air sungai dapat juga menimbulkan kerugian bagi manusia, seperti banjir, kekeringan, pendangkalan sungai dan waduk. Menurut Supangat (2007:1.14), Jabotabek (Jakarta, Bogor Tangerang dan Bekasi) tercatat lebih kurang 194 situ dan 122, diantaranya terdapat di Kabupaten Bogor, tetapi sekarang sebagian situ-situ tersebut sudah tidak terawat/rusak, bahkan ada yang sudah berubah fungsi menjadi daratan. Berkurangnya luasan perairan umum yang ada terutama situ dan rawa disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Campur tangan manusia mempercepat berkurangnya luasan perairan umum untuk kepentingan lahan
18
tempat tinggal, perkantoran, pertokoan, dan lain sebagainya dengan cara penimbunan. Perairan umum dengan tipe ekosistem masing-masing, baik danau, telaga, legokan, rawa, waduk, sungai mati, lebak lebung dan estuari mempunyai potensi yang tinggi untuk dapat dikembangkan sebagai objek atau kawasan wisata. Semua tipe ekosistem perairan umum dapat direncanakan untuk dikembangkan sebagai resort wisata. Pemanfaan perairan umum sebagai kawasan wisata contohnya Danau Toba, Danau Batur, Danau Tiga Warna, Sungai Musi, dan Sungai Mahakam. Ketiga danau yang dicontohkan memiliki nilai estetika, sedangkan sungai Musi memiliki nilai sejarah dengan adanya Jembatan Ampera dan Benteng Kuto Besak (peninggalan Kesultanan Palembang). Sungai Mahakam memiliki nilai biologi dan ekologi karena merupakan habitat mamalia air tawar yang kita kenal dengan sebutan Pesut yang dalam bahasa Inggrisnya disebut Irrawady Dolphin (Orcaella brevirostris). Lingkungan hidup perairan umum berfungsi untuk menyangga perikehidupan. Perairan umum dimanfaatkan secara bersama oleh berbagai sektor dengan berbagai kepentingan sehingga memerlukan pengelolaan guna mempertahankan keberadaannya dalam keseimbangan yang dinamis melalui berbagai usaha perlindungan, rehabilitasi, dan pemeliharaan keseimbangan antara unsur-unsur yang ada secara terus menerus. Kebutuhan manusia akan air terutama air tawar selalu meningkat dari waktu ke waktu, hal ini disebabkan bukan saja hanya oleh pertumbuhan
19
penduduk, melainkan juga karena adanya peningkatan intensitas dan jenis kebutuhan manusia. Kualitas air semakin banyak mendapat perhatian berhubung adanya peningkatan kebutuhan dan kesadaran para pemakai. Sumber air tawar utama adalah perairan umum, diperkirakan 1,3 sampai 1,4 milyar kilometer kubik air sekitar 0,73 % berada di daratan (sebagai air sungai, air danau, air tanah, dan lain sebagainya). Telah dikatakan bahwa perairan umum dalam pemanfaatanya bersifat multi-user, dan tiada kepemilikan sehingga memerlukan pengelolaan yang terpadu dari semua pihak yang berkepentingan. Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang berarti tidak ada penguasaan air secara individu, yang ada hanyalah hak pakai atau penggunaan.
B. Rawa (Swamps) 1. Pengertian Rawa (Swamps) Dalam kamus besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa : Rawa diartikan sebagai tanah yang rendah (umumnya di daerah pantai) dan digenangi air, biasanya banyak terdapat tumbuhan air. Penggenangan air di rawa dapat bersifat musiman ataupun permanen. Menurut PP No. 27 Tahun 1991 Pasal 1 Tentang Rawa; Rawa adalah lahan genangan air secara alamiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara phisik, kimiawi, dan biologis. Ciri phisik, pada umumnya kondisi tanahnya cekung dengan topografi relatif datar; Ciri kimiawi, pada umumnya derajat keasaman airnya rendah, tanahnya bersifat anorganik dan mengandung pirit; dan Ciri biologis, pada umumnya terdapat ikan-ikan rawa, tumbuhan rawa, dan hutan rawa.
20
Secara singkatnya rawa dapat didefinisikan sebagai tanah basah yang selalu digenangi air dan ditumbuhi vegetasi atau genangan air di daratan pada cekungan yang relatif dangkal. Terjadinya genangan rawa karena permukaan daratan hampir sama atau di bawah permukaan air sungai atau air tanah yang berada di sekitarnya. Karena itu air rawa seolah-olah tidak dapat mengalir ke sungai atau meresap ke dalam lapisan tanah. Genangan rawa juga bisa terjadi karena terjebak pada suatu daerah cekungan dan lapisan batuan di bawah rawa yang merupakan batuan yang sifatnya impermeabel. Rawa biasanya ditumbuhi tumbuhan tertentu dengan jenis tanaman yang khas rawa. Jenis-jenis floranya antara lain: durian burung (Durio carinatus), ramin (Gonystylus sp), terentang (Camnosperma sp.), kayu putih (Melaleuca sp), sagu (Metroxylon sp), rotan, pandan, palem-paleman dan berbagai jenis lainnya. Faunanya antara lain : harimau (Panthera tigris), Orang utan (Pongo pygmaeus), rusa (Cervus unicolor), buaya (Crocodylus porosus), babi hutan (Sus scrofa), badak, gajah, musang air dan berbagai jenis ikan. 2. Rawa dan Pembangunan Rawa merupakan kimah (asset) potensial untuk dapat digunakan baik langsung maupun tidak langsung bagi kemaslahatan dan kesejahteraan manusia. Fungsi rawa, selain sebagai penyangga lingkungan, adalah penghasil berbagai produk seperti kayu, flora (tanaman), dan fauna (ikan, burung dan sebagainya). Dalam kawasan hutan rawa baik di Kalimantan ataupun di Sumatera terdapat sekitar 34 – 58 jenis pohon sebagai penghasil kayu. Jenis
21
kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi antara lain ramin (Gonystylus bancanus),
meranti
(Campnospernum
(Shorea
sp.),
sp.),
geronggang
pulai
(Alastonia
(Cratoxylon
sp.),
terantang
arborescens),
punak
(Tetrameristra glabra), bintangur (Calophylum sp.), balam (Payena leerii), nyatoh (Palaqulum cochlearia), dan jelutung (Dyera costulata). Selain itu, beranekaragam tanaman baik sebagai bahan makanan maupun sebagai obat-obatan tumbuh di lahan hutan-hutan rawa. Secara tradisional, masyarakat Dayak di Kalimantan mengusahakan beje, yaitu sejenis kolam perangkap ikan, sebagai mata pencaharian di kawasan rawa yang setiap menjelang musim kemarau dipanen. Makin sempitnya lahan-lahan subur dan meningkatnya jumlah penduduk, maka pengembangan pertanian dan perkebunan bergeser ke lahan-lahan piasan seperti rawa. Di kawasan Asia, termasuk Indonesia, lahan rawa lebih diperuntukkan pengembangan pertanian. Kimah atau sumber daya penting lain yang terdapat di kawasan rawa adalah keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah yang besar dan khas. Menurut Noor (2001:10), di sekitar Sungai Mentangai, Kalimantan Tengah ditemukan 104 satwa liar yang terdiri atas 32 jenis mamalia (di antaranya 13 jenis dilindungi), 8 jenis reptilia (5 jenis dilindungi) dan 60 jenis burung (19 jenis dilindungi). Dalam konteks ini, kawasan rawa, selain dapat dijadikan objek wisata flora dan fauna, juga dapat dijadikan objek wisata lingkungan (ecotourism). Dari segi potensi luas rawa, Indonesia merupakan negara yang cukup banyak memiliki rawa namun, dari sekian luas rawa tersebut baru sebagian
22
kecil yang telah dimanfaatkan. Rendahnya pemanfaatan sumber daya alam ini terutama disebabkan oleh besarnya dana investasi yang harus ditanamkan. Faktor lokasi yang jauh di pedalaman dengan sarana dan prasarana transportasi yang sulit karena hanya mengandalkan transportasi air dan lingkungan hidup yang tidak sehat seperti air yang asam dan jangkitan (virulensi) penyakit yang tinggi seperti malaria, cacing dan penyakit kulit menjadi kendala untuk pembukaan dan pemukiman penduduk di kawasan rawa.
C. Penyebaran dan Pemanfaatan Lahan Rawa 1. Luas dan Penyebaran Lahan rawa baik yang berupa rawa pasang surut dan nonpasang surut (lebak) merupakan salah satu sumber daya alam terbesar di Indonesia. Pengembangan daerah rawa ini tersebar di beberapa pulau, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Luas lahan rawa di Indonesia diperkirakan mencapai 33.393.570 hektar yang terdiri dari 20.096.800 hektar lahan pasang surut dan 13.296.770 hektar lahan nonpasang surut (lebak) seperti yang terlihat pada Tabel 2.1. Pemanfaatan lahan rawa secara umum dapat dibedakan untuk pertanian tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, perikanan, kehutanan dan tanaman industri, serta konservasi dan ekowisata.
23
Adapun distribusi lahan rawa Indonesia dan areal yang telah dikembangkan dengan bantuan pemerintah dapat ditunjukkan pada tabel berikut ini. Tabel 2.1 Distribusi Lahan Rawa Indonesia dan Areal yang Telah Dikembangkan dengan Bantuan Pemerintah
Lokasi
Sumatera Kalimantan Sulawesi Irian Jaya Total
Total Lahan Rawa Total Luas yang Dikembangkan (Ha) (Ha) Pasang Non Pasang Non Surut Pasang Surut Pasang Total Total Surut Surut 6.604.000 2.766.000 9.370.000 615.250 279.480 894.730 8.126.900 3.580.500 11.707.400 219.950 192.190 412.140 1.148.950 644.500 1.793.450 0 2.000 2.000 4.216.950 6.305.770 10.522.720 0 6.000 6.000 20.096.800 13.296.770 33.393.570 835.200 479.670 1.314.870
Sumber : Supangat, 2007
2. Status dan Pemanfaatan Berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan dinyatakan bahwa “Rawa merupakan salah satu sumber air yang perlu dilindungi dan dimanfaatkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat”. Sedangkan di Pasal 5 pada PP 27 1991 dinyatakan bahwa “Rawa dikuasai oleh Negara, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah”. Dari pernyataan tersebut sudah barang tentu status lahan rawa ini bukanlah milik individu melainkan milik bersama yang semuanya di bawah pengaturan negara. Kita sebagai warganya hanya diberi hak untuk menggunakannya saja dengan tetap menjaga kelestariannya sebagai kewajiban. Pengembangan rawa dan lahan gambut berkaitan erat dengan masa kekurangan beras, baik yang dialami pada masa pemerintahan kolonial Belanda
24
setelah Perang Dunia I maupun yang dialami oleh pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan pada sekitar tahun 1960-an. Indonesia memiliki luas lahan yang luas totalnya sekitar 162,4 juta, terdiri dari: 20,56% daerah rawa dan 79,44% lahan kering (http://Informasi Umum
Tentang
Rawa
Pasang
Surut
Di
Indonesia.pusair-pu.go.id/).
Pengembangan lahan pertanian saat ini sangat diperlukan untuk mengimbangi kecepatan alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian yang terjadi saat ini di Pulau Jawa. Salah satu pilihan yang bisa digunakan untuk upaya tersebut adalah daerah rawa, dimana daerahnya masih relatif terbuka dengan tingkat kepadatan yang tidak terlalu tinggi, sumber daya airnya tersedia, demikian pula kondisinya yang cukup sesuai untuk budi daya tanaman. Dalam
konteks
pengembangan
wilayah,
pemerintah
berupaya
mengembangkan daerah rawa menjadi areal pertanian yang dilandasi konsep pembangunan secara bertahap dan terintegrasi. Daerah rawa tersebar di sepanjang pantai Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua dengan luas sekitar 33,393 juta ha. Manfaat yang diberikan dari keberadaan daerah rawa ini, baik rawa pasang surut maupun rawa lebak di antaranya adalah sebagai berikut: a. Sumber cadangan air, dapat menyerap dan menyimpan kelebihan air dari daerah sekitarnya dan akan mengeluarkan cadangan air tersebut pada saat daerah sekitarnya kering. b. Mencegah terjadinya banjir dan mencegah intrusi air laut ke dalam air tanah dan sungai. c. Sumber energi karena tumbuhan rawa dapat dimanfaatkan untuk energi (biogas). d. Sumber makanan nabati maupun hewani. e. Sebagai lahan pertanian dan rawa yang airnya tidak terlalu asam dapat juga untuk daerah perikanan.
25
f. g. h. i. j.
Sebagai sumber pembangkit tenaga listrik Pemendam karbon dan pencegah emisi gas rumah kaca. Penawar pencemaran pedosfer dan hidrosfer. Keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah. Sebagai objek pariwisata. Begitu banyak manfaat yang kita peroleh dari daerah rawa ini, apa yang
terjadi jika daerah rawa ini hilang, dapat dibayangkan. Kita akan mengalami kekeringan, dapat mengakibatkan intrusi air laut lebih jauh ke daratan, dapat mengakibatkan banjir, hilangnya flora dan fauna di dalamnya, dan yang parahnya sumber mata pencaharian penduduk setempat akan berkurang.
D. Pembentukan dan Ragam Jenis Rawa 1. Pembentukan Rawa Daerah becek, danau dangkal, dan rawa-rawa merupakan daerah yang cocok untuk penimbunan bahan organik. Lingkungan demikian mendorong pertumbuhan vegetasi seperti rumput danau, cattail, sedges, reeds dan rumputrumput lain, lumut, belukar dan juga pohon-pohon. Tumbuh-tumbuhan itu hidup turun temurun, mati, dan terbenam, dan kemudian tergenangi air. Air itu menghentikan aliran udara, menghalangi oksidasi cepat, dengan demikian bertindak sebagai pengawet. Pelapukan yang terjadi sebagian besar dilakukan oleh fungi, bakteri anaerobik, ganggang, dan binatang air mikroskopik tertentu. Mereka menghancurkan jaringan-jaringan organik, membebaskan bahan-bahan gas dan membantu pembentukan humus. Setiap generasi tumbuhan yang menyusul tumbuhan sebelumnya akan meninggalkan lapisan demi lapisan bahan organik yang diendapkan (lihat Gambar 2.1). Susunan tiap lapisan berubah dengan waktu mengikuti urutan kehidupan
26
berbagai tumbuhan yang telah lalu. Jadi, tumbuhan yang hidup di perairan dalam akan ditumbuhi oleh sejenis alang-alang, disusul oleh berbagai lumut, dan di atas lumut tumbuh semak, dan akhirnya kita jumpai hutan yang terdiri dari pohonpohon berkayu keras. Suksesi ini tidak selalu beraturan karena setiap perubahan iklim atau permukaan air dapat mengubah urutan tersebut, oleh karena itu profil endapan organik dicirikan oleh lapisan, tidak saja berbeda dalam tingkat pelapukannya, tetapi juga oleh sifat jaringan tumbuhan aslinya. Sebenarnya, lapisan-lapisan itu kemudian akan menjadi horizon tanah. Sifat akhir suatu tanah organik sebagian ditentukan oleh sifat dari bahan asal.
Gambar 2.1. Empat tingkat perkembangan dari gambut danau ber kayu ( a -d) dan s etel ah daer ah i t u di buka dan di dr ai nas e (e). Hara yang berkumpul dari tanahtanah di sekitarnya merang s a n g pertumbuhan tanaman air, terutama di p i n g g i r - pi nggir danau (a) . Li mbah or ganik mengi s i dasar dar i danau (b dan c), dan akhirnya pohon-pohon menutupi seluruh daerah ( d) . Bi l a daer ah i ni di bu ka d an di dr ai nas eka n , daer ah t er s e but menjadi tanah gambut yang sangat produkitif (e).
Lahan rawa merupakan lahan yang selalu dijenuhi air, baik yang berasal dari hujan maupun luapan sungai atau pengaruh pasang surut air laut. Keberadaan air tersebut terutama disebabkan oleh bentuk fisiografi datar sampai cekung yang tidak memungkinkan air tersebut teratus secara cepat. Endapan gambut di rawa terbentuk secara geologis dengan bahan endapan
27
berupa bahan yang terbawa bersama air dari daerah hulu (koloid mineral) atau berupa timbunan sisa tumbuhan setempat yang laju penimbunan lebih cepat daripada laju perombakannya. Sering sekali bahan penyusun rawa tersebut berupa campuran gambut dan tanah mineral, baik campuran langsung maupun lapis melapisi. Vegetasi alami, kejenuhan air yang relatif tidak bergerak, kekahatan oksigen merupakan keadaan apabila laju dekomposisi lebih rendah daripada laju sedimentasi yang menyebabkan lahan gambut dapat tumbuh dan berkembang. 2. Ragam Jenis Rawa Jenis rawa dapat dibedakan berdasarkan proses terbentuknya (letaknya), penyebab genangannya, keadaan airnya, dan sifat airnya. Berdasarkan proses terbentuknya rawa terbagi atas : a) Rawa Pantai Rawa pantai adalah rawa yang yang berada di muara sungai. Air pada jenis rawa ini selalu mengalami pergantian karena dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Pada saat air laut pasang, air akan masuk ke mulut muara sungai dan sebagian akan melimpah ke daerah rawa. Pada saat air laut surut, air rawa akan mengalir kembali baik melalui kanal-kanal sempit pinggir pantai atau melalui muara sungai tersebut. Rawa jenis ini airnya payau jika tercampur dengan air sungai sehingga derajat keasamannya relatif rendah. Rawa ini terbentuk karena proses pelumpuran di muara sungai. Dalam keadaan yang dangkal, tumbuh-tumbuhan rawa. Mula-mula hanya sedikit, kemudian meluas menuju ke daerah laut lepas seiring laju pelumpuran muara sungai.
28
Rawa di tepian pantai bisa juga terjadi tanpa harus ada muara sungai. Misalnya, pada daerah teluk di pantai yang landai. Pada saat laut pasang, air membawa material kasar dan diendapkan di mulut teluk. Sementara pada saat surut, air tidak membawa lagi material kasar tersebut sehingga terjadilah pendangkalan mulut teluk yang mengakibatkan rawa belakang. b) Rawa Pinggiran Rawa pinggiran adalah rawa yang berada di sepanjang aliran sungai, terjadi akibat sering meluapnya sungai tersebut. Pada saat sungai meluap (banjir), air membawa material yang berbutiran pasir dan relatif kasar kemudian diendapkan di tepi bantaran sungai. Pada saat banjir surut, butiran kasar tersebut tidak dapat terangkut lagi karena kesurutan air sungai tidak sederas ketika banjir. Endapan pasir yang kasar ini akan terus bertambah setiap kali banjir sehingga membentuk tanggul alam di sepanjang aliran sungai. Akibat lanjutnya, jika tanggul alam ini semakin tinggi, di samping kiri dan kanan aliran akan tergenang air sisa banjir. Terbentuklah rawa sungai. Rawa sungai ini dapat juga terbentuk pada daerah bekas aliran sungai yang terpotong akibat proses meandering sungai, yaitu pada danau tapal kuda (oxbow lake) atau oxbow swamp. Rawa macam ini dapat digunakan untuk pertanian dan dibuka menjadi lahan dataran banjir. c) Rawa Abadi Rawa abadi yaitu rawa yang airnya terjebak dalam sebuah cekungan dan tidak memiliki pelepasan ke laut. Air hujan yang tertampung dalam rawa hanya dapat menguap tanpa ada aliran yang berarti. Air pada jenis rawa ini sangat
29
asam dan berwarna kemerah-merahan. Di rawa ini hampir tidak ada organisme yang dapat hidup, sehingga rawa macam ini kurang berguna bagi manusia. Berdasarkan penyebab genangannya, lahan rawa dibagi menjadi tiga, yaitu rawa pasang surut, rawa lebak (rawa non pasang surut) dan rawak lebak peralihan. a) Rawa pasang surut Rawa pasang surut merupakan lahan rawa yang genangannya dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut. Tingginya air pasang dibedakan menjadi dua, yaitu pasang besar dan pasang kecil. Pasang kecil, terjadi secara harian (1-2 kalisehari). b) Rawa lebak Rawa lebak adalah lahan rawa yang genangannya terjadi karena luapan air sungai dan atau air hujan di daerah cekungan pedalaman. Genangannya umumnya terjadi pada musim hujan dan menyusut pada musim kemarau. c) Rawa lebak peralihan Lahan rawa lebak yang pasang surutnya air laut masih terasa di saluran primer atau di sungai. Pada lahan seperti ini, endapan laut dicirikan oleh adanya lapisan pirit, biasanya terdapat pada kedalaman 80 - 120 cm di bawah permukaan tanah. Berdasarkan keadaan airnya, rawa dibedakan atas beberapa jenis sebagai berikut: a) Rawa yang airnya tidak mengalami pergantian (airnya tidak mengalir). b) Rawa yang mengalami pergantian air karena mendapat pengaruh pasang surut air laut.
30
Berdasarkan sifat airnya, rawa dibedakan atas : a) Rawa Air Tawar adalah rawa yang airnya tawar karena letaknya di pinggiran sepanjang sungai. b) Rawa Air Payau adalah rawa yang airnya percampuran antara tawar dan asin, biasanya letaknya di muara sungai menuju laut. c) Rawa Air Asin adalah rawa yang airnya asin dan letaknya di daerah pasang surut laut. Dari sekian klasifikasi rawa tersebut, pada umumnya kategori rawa dibagi atas dua, yaitu rawa pasang surut dan rawa lebak (non pasang surut). a) Rawa Pasang Surut Rawa pasang surut adalah rawa yang terletak di pantai atau dekat pantai, di muara atau dekat muara sungai sehingga dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut. Kategori hidrotopografi ini berada pada lahan rawa pasang surut yang berada pada daerah sungai yang terluapi pasut menurut kelas daerah pasut. Hidrotopografi lahan rawa pasang surut akibat pasang surutnya air di sungai sebagai dampak pasang surut di laut.
Sumber : Dede Rohmat dalam Dasar Teoritis Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak
Gambar 2.2. Hidrotopografi Lahan Rawa Pasang Surut
31
1) Kategori A : Lahan dapat diluapi dengan pengaruh pasang, baik pada musim hujan maupun musim kemarau, dengan frekuensi minimum 4-5 kali selama siklus pasang maksimum atau pasang perbani (satu siklus 14 hari), sebagian waktu pasang masuk dalam zone akar tanaman pangan (50 cm). Lahan ini potensial untuk ditanami tiga kali padi sawah atau diselingi dengan 1 kali palawija setahun, karena ada jaminan suplai air pada setiap musim, asalkan tidak ada air asin masuk ke lahan. Kategori A bisa digunakan untuk perikanan tambak asalkan salinitas memenuhi untuk kebutuhan ikan laut. 2) Kategori B : Lahan dapat diluapi pasang pada musim hujan saja, pasang naik karena debit sungai membesar. Lahan ini dapat diluapi pasang minimum 4-5 kali pada saat pasang selama siklus pasut (satu siklus 14 hari), tetapi hanya pada musim hujan. Pada musim kemarau lahan tidak diluapi sama sekali tetapi masuk dalam zone akar dengan frekuensi 4-5 kali, atau hanya kadang-kadang terluapi (frekuensi < 4 kali selama siklus pasang). Lahan ini potensial ditanami padi sawah di musim hujan, sedangkan di musim kemarau ditanami padi sawah dengan sistem pengairan zone akar dan dengan pertanian SRI, airnya didatangkan dari sumber yang lain (daerah konservasi, sungai bagian hulu) atau tanaman palawija. 3) Kategori C : Lahan di atas elevasi pasang (muka air < 50 cm di bawah muka tanah di lahan). Lahan ini tidak dapat diluapi pasang di musim hujan, kecuali hanya kadang-kadang saja. Elevasi air di saluran lebih rendah
32
daripada lahan kategori A atau B, sehingga air dari petakan sawah relatif cepat mengalir ke saluran (air sulit ditahan di petakan sawah). Untuk daerah yang curah hujannya cukup tinggi (>175 mm/bln atau >2000 mm/tahun) dan sistem jaringan mampu/cukup untuk menampung air hujan (longstorage) dengan pengaturan pintu maka daerah ini bisa ditanami padi sawah hanya dengan pertanian SRI dan pengairan sistem zone akar. Untuk hujan yang tergolong rendah maka lahan ini cocok untuk sawah tadah hujan/tegalan, dan ditanami padi tadah hujan hanya dimusim hujan atau palawija dimusim kemarau. Lahan bisa ditanami perkebunan yang tidak memerlukan air banyak. 4) Kategori D : Lahan tinggi. Lahan ini betul-betul di atas jangkauan pasang surut dan lebih menyerupai lahan tidak ada pengaruh pasang surut (muka air < 50 cm di bawah muka tanah di lahan). Variasi kapasitas drainase tergantung perbedaan antara muka tanah di lahan dan muka air di sungai terdekat dengan lahan. Lahan cocok diusahakan untuk lahan kering/tegalan, ditanami tanaman tahunan, perkebunan atau hutan industri asal lahan cocok untuk perkebunan tersebut. Tetapi untuk daerah yang curah hujannya cukup tinggi (>150 mm/bln atau >1800 mm/tahun) dan sistem jaringan direncanakan cukup/mampu untuk menampung air hujan (longstorage) dengan pengaturan pintu maka daerah ini bisa ditanami padi sawah hanya dengan pertanian SRI dan pengairan sistem zone akar. Apabila volume disaluran masih kurang, bisa menggunakan kolam penampungan air hujan
33
untuk digunakan di musimm kemarau dengan sistem irigasi SRI. Jenis tanaman yang dipilih tergantung dari kelas kesesuaian lahan. Sumber air di lahan rawa pasang surut berasal dari air permukaan yang mengalir di sungai (air tawar, air payau), air tanah (air tanah hanya untuk keperluan hidup sehari-hari, selama air permukaan tidak ada atau jauh lokasinya), air hujan, air konservasi dan air laut yang berada di darat (pasang surut atau dipompa untuk tambak). Penyediaan sumber daya air di lahan rawa pasang surut berdasarkan daya dukung ketersediaan air bagi kebutuhan pendayagunaan lahan dan kebutuhan air baku bagi masyarakat setempat. Penyediaan sumber daya air di lahan rawa pasang surut dilakukan dengan memanfaatkan fluktuasi muka air di laut yang merambat ke sungai dan ke saluran yang ujungnya akan masuk ke lahan pertanian (hanya di zone akar atau meluap). Pemasukan air dari pasut ada 3 kondisi yaitu (1) air tawar, (2) air payau (dengan kadar garam tertentu) dan (3) air asin penggunaannya tergantung jenis budidaya di lahan. Penyediaan air dengan memanfaatkan energi pasang surut maka ada 4 kategori hidrotopografi yaitu A, B, C, dan D. Jika hidrotopografi kategori C, apabila ingin diluapi maka harus menggunakan pompa. Kalau muka air tersebut sampai mencapai zone akar dan cukup sering (dari periode pasut) maka penanaman bisa dilakukan tanpa menambah air tapi dengan sistem pertanian SRI dan sistem irigasi zone akar, selama air tidak pernah mencapai titik layu bagi tanaman. Jika fluktuasi pasang surut tidak memungkinkan meluapi masuk ke lahan usaha, maka penyediaan air bisa dilakukan dengan pompa.
34
Penyediaan air dengan pompa dapat dilakukan untuk masuk ke tingkat sekunder atau tersier. Sarana penyediaan air adalah jaringan rawa, yang terdiri dari saluran primer, sekunder dan tersier, bahkan mungkin ada saluran navigasi. Secara teknis kunci keberhasilan pengembangan lahan pasang surut untuk pertanian sebagian besar terletak dalam operasi jaringan rawa untuk pengaturan air pada sistem tata air makro dan mikro. Langkah utama dalam operasi jaringan rawa ditujukan pada penguasaan air untuk, memanfaatkan air pasang untuk pengairan, mencegah akumulasi garam pada daerah perakaran, mencuci zat-zat toksik bagi tanaman, mengatur tinggi genangan untuk sawah dan permukaan air tanah guna menghindari oksidasi pirit pada tanah sulfat masam untuk lahan kering dan mencegah intrusi air asin, dan mencegah penurunan tanah yang terlalu cepat terutama untuk lahan gambut.
b) Rawa Lebak Rawa lebak adalah rawa yang sering tergenang > 7 bulan yang letaknya bisa pada daerah yang tidak kena pengaruh pasang surut, atau daerah pasang surut. Kategori hidrotopografi ini berada pada lahan rawa lebak yang berada pada daerah sungai yang terluapi pasut sungai menurut kelas daerah pasut. Hidrotopografi lahan rawa lebak akibat pasang surutnya air di sungai sebagai dampak pasang surut di laut dan suplei air dari bagian sungai yang ada di hulu.
35
Sumber : Dede Rohmat dalam Dasar Teoritis Teoritis Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak
Gambar 2.3 Hidrotopografi Lahan Rawa Lebak
Sumber air di lahan rawa pasang surut berasal dari air ir permukaan yang mengalir di sungai (air tawar, air payau), air tanah (air tanah hanya untuk keperluan hidup sehari-hari, sehari hari, selama air permukaan tidak ada atau jauh lokasinya), air hujan, air konservasi dan dan air laut yang berada di darat (pasang surut atau dipompa untuk tambak). tambak) Penyediaan sumber ber daya air di lahan rawa lebak
berdasarkan
daya
dukung
ketersediaan
air
bagi
kebutuhan
pendayagunaan lahan dan kebutuhan air baku bagi masyarakat setempat. Penyediaan sumber daya air di lahan rawa lebak dilakukan dengan memanfaatkan air permukaan, air tanah, tanah, air hujan, dan air konservasi yang bisa langsung dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan dan / atau terlebih dahulu ditampung dan dialirkan melalui sungai alam atau sungai buatan yang ujungnya akan masuk ke lahan pertanian (hanya di zone akar atau meluap). melu Pemasukan air dari pasut ada 3 kondisi yaitu (1) air tawar, (2) air payau (dengan kadar garam tertentu) dan (3) air asin penggunaannya tergantung jenis budidaya di lahan. Penyediaan air di lahan lebak dengan memanfaatkan genangan pada waktu lahan rawa tergenang dan dengan memanfaatkan energi
36
pasang surut. Secara teknis kunci keberhasilan pengembangan lahan lebak untuk pertanian sebagian besar terletak dalam operasi jaringan rawa untuk pengaturan air pada sistem tata air makro dan mikro. Langkah utama dalam operasi jaringan rawa ditujukan pada penguasaan air untuk memanfaatkan air di saluran untuk pengairan, mencegah terjadinya banjir pada musim basah, mencegah kekurangan air di musim kering, mencuci zat-zat toksit bagi tanaman, dan mengatur tinggi muka air di saluran untuk dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air di lahan. Secara lebih jelasnya perbandingan karakteristik antara Rawa Pasang Surut dan Rawa Lebak dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.2 Perbandingan Karakteristik Rawa Pasang Surut dan Rawa Lebak No 1
2
3 4 5
Rawa Pasang Surut Topografi datar
Rawa Lebak Topografi berupa cekungan dengan dasar yang luas dan pengatusan yang jelek Pengaruh luapan pasang surut air Pengaruh arus pasang surut dari laut lebih kuat/sama kuat dengan laut sangat lemah bahkan hampir luapan air sungai nihil Genangan air hanya 1-2 meter Genangan air minimal 50 cm Lama genangan 3-4 jam Lama genangan minimal 3 bulan Jenis tanah mineral (aluvial) dan Jenis tanah mineral (aluvial) dan atau gambut (marsh) atau gambut (marsh)
Sumber : Noor, 2007 : 4-7
37
E. Sifat dan Ciri Lahan Rawa 1. Kondisi Fisik a. Iklim Keadaan iklim di lahan rawa tergantung pada letak ketinggian lokasi dari permukaan laut. Lahan rawa mempunyai beragam iklim karena mencakup sebaran wilayah yang luas dari yang beriklim sedang, tropik, hingga tropik basah. Anasir penting iklim di kawasan rawa tropik adalah curah hujan, suhu dan kelembaban. Curah hujan di lahan gambut dan rawa umumnya cukup tinggi, yakni antara 2.000 – 4.000 mm per tahun. Curah hujan bulanan rata-rata > 200 mm dengan bulan basah antara 6-11 bulan yang jatuh antara bulan September hingga bulan Mei. Reklamasi atau pembukaan lahan akan mengubah kondisi alami yang sudah mantap. Perubahan iklim seperti suhu yang meningkat dan kelembaban yang menurun merupakan dampak dari perubahan komposisi vegetasi alami karena pembukaan lahan. Dengan kondisi curah hujan dan suhu yang tinggi, maka pembukaan lahan dapat menimbulkan peningkatan jumlah keluaran (seperti hara mineral tanah) dan penurunan jumlah masukan alami. b. Tata Air Dalam keadaan alami, lahan rawa selalu basah dan sebagian secara permanen dalam keadaan tergenang air. Sifat dan keadaan tata air lahan rawa dipengaruhi oleh perilaku pasang surut sungai/laut, iklim, dan topografi. Perilaku pasang surut adalah manifestasi pengaruh gaya tarik
38
benda-benda langit sehingga secara silih berganti terjadi pasang dan surut. Dalam hal ini, secara berkala terjadi pasang tunggal atau pasang tinggi (spring tide) sebanyak dua kali setiap bulan, yaitu pada hari ke-1 (bulan mati) dan ke-14 (bulan purnama). Pada rentang waktu antara dua pasang tinggi terjadi pasang ganda (neap tide) terjadi dua kali dalam 1 x 24 jam. Perbedaan ketinggian air antara pasang tertinggi (high tide) dan surut terendah (low tide) berkisar 2,0 m – 2,5 m. c. Tanah Tanah merupakan akumulasi tubuh alam bebas, terdapat di permukaan bumi yang mampu menumbuhkan tanaman, dan memiliki sifat heterogen akibat pengaruh iklim dan jasad hidup yang bertindak terhadap bahan induk dalam keadaan relief tertentu selama jangka waktu tertentu pula. Tanah terbentuk karena dua faktor utama, yaitu faktor bahan induk dan faktor lingkungan. Sebagai penjabaran dari dua faktor tadi, Jenny (1941) menyebutkan bahwa tanah (S) terbentuk lima faktor, yaitu iklim (cl), organisme (o), relief (r), bahan induk (p), dan waktu (w). Secara fungsional dapat ditulis dalam bentuk fungsi (1) atau digambarkan dalam bentuk : S= f (cl, o. r, p, w) Berdasarkan kadar bahan organik, biasanya dikenal dua kelompok tanah yaitu tanah mineral dan organik. Kadar bahan organik tanah mineral berkisar dari sedikit (1 – 6 %) hingga sebanyak 20 – 30 % . Tanah-tanah dengan kadar bahan organik lebih tinggi disebut tanah organik dan diklasifikasikan sebagai Histosol yang banyak dijumpai di daerah rawa-rawa. Tanah yang terdapat di daerah
39
rawa ini berupa tanah rawa organik (gambut) dan tanah mineral (aluvial). 1) Tanah Rawa Organik (Gambut) Noor, 2001:1 menyatakan bahwa: Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya sedikit mengalami perombakan. Istilah gambut diambil alih dari kosa kata bahasa daerah Kalimantan
Selatan
(suku
Banjar).
Tanpa
menghiraukan
tingkat
pelapukannya, Gambut dipilah berdasarkan bahan induknya, yaitu : a) Gambut endapan (campuran air, rumputan air, plankton) Gambut endapan biasanya diakumulasikan di perairan, dan pada umumnya dijumpai di bagian bawah dari suatu profil organik. Kadangkadang ia tercampur dengan gambut lain yang lebih dekat ke permukaan. Gambut endapan kelihatannya dibentuk dari bahan tanaman yang mudah dihumifikasikan. Mengingat sifat dari jaringan asal dan mungkin juga macam pelapukan, maka terbentuk bahan sangat koloidal, padat dan bersifat seperti karet; kapasitas kelembabannya tinggi, mungkin empat hingga lima kali bobot keringnya. Air yang diisap secara demikian diikat secara kuat dan dengan demikian gambut itu sangat lambat mengering. Bila sekali kering ia mengisap air sangat lambat dan tetap keras dan berada dalam bentuk bongkah yang kuat. Gambut endapan tidak disenangi sebagai tanah karena sifat fisiknya yang tidak menguntungkan menyebabkan tidak memuaskan untuk ditanami tanaman. Bila sedikit saja gambut semacam itu dijumpai dalam
40
lapisan olah, maka tingkat manfaat tanah untuk pertanian kurang baik. Untungnya hampir disemua kasus, gambut semacam itu dijumpai di bagian bawah profil, dan biasanya tidak muncul di atas batas. Dengan demikian sering kali adanya lapisan tersebut dalam profil tidak diketahui atau diabaikan, terkecuali bila ia menghalangi drainase atau mengganggu penggunaan endapan gambut untuk pertanin. b) Gambut berserat (sisa tumbuhan, ranting, daun, rerumputan dan semak-belukar) Sejumlah gambut berserat sering dijumpai di dalam rawa di mana gambut endapan berada. Gambut ini mempunyai kapasitas menahan air yang tinggi dan dapat memperlihatkan tingkat dekomposisi yang berbedabeda. Mereka berbeda satu sama lain, terutama disebabkan oleh sifat fisik serat atau filamennya. Bila bahan berserat itu melapuk ia menghasilkan tanah yang memuaskan, meskipun tingkat produktivitasnya berbeda. Hampir semua gambut lumut bersifat masam dan rendah akan kadar abu dan nitrogen. Gambut berserat dapat dijumpai dari akumulasi organik. Biasanya ia berada di atas gambut endapan. Namun demikian, dapat saja berada di tengah-tengah gambut berserat dan bahkan mungkin dekat ke permukaan. c). Gambut berkayu (tanaman keras dan tumbuhan di bawahnya) Endapan rawa gambut berkayu biasanya dijumpai di atas permukaan akumulasi organik. Bila air naik vegetasi pohonan mati, sedangkan pertumbuhan alang-alang, semak akan dirangsang oleh keadaan
41
baru, sehingga satu lapisan gambut berserat akan dijumpai duduk di atas gambut berkayu. Gambut berkayu berwarna coklat atau hitam bila basah. Warna itu bergantung dari tingkat dekomposisi. Gambut ini bersifat lepas dan terbuka bila kering atau agak lembab dan nyata bersifat tidak berserat. Endapan perawan sering kali jelas berbentuk granular. Jadi ia mudah dibedakan dari kedua tipe gambut yang disebut terdahulu, terkecuali bila contohnya telah didisintegrasikan atau lapuk. Gambut berkayu terbentuk dari sisa pohon-pohon tetapi juga dari semak dan tumbuhan lain yang tumbuh di rawa. Meskipun berbagai macam tumbuhan menjadi sumber bahan organik yang diakumulasikan, gambut berkayu agak homogen, terkecuali bila ia mengandung campuran bahan-bahan berserat. Gambut ini kapasitas menahan airnya lebih rendah dari gambut berserat. Sedangkan berdasarkan tempat atau lingkungan terbentuknya, gambut dibedakan menjadi dua, yaitu: a) Gambut Topogenous Gambut Topogenous adalah gambut yang dibentuk pada depresi topografi dan diendapkan dari sisa tumbuhan yang hidupnya atau berkembangnya mengambil nutrisi tanah mineral, dan nutrisi tersebut mengandung air yang berasal dari humifikasi sisa-sisa tumbuhan yang semasa hidupnya tumbuhan dari pengaruh air permukaan tanah sehingga kadar abunya dipengaruhi oleh elemen yang terbawa oleh air permukaan
42
tersebut (gambut ini disebut sebagai gambut "eutrophic" atau gambut kaya bahan nutrisi). b) Gambut Ombrogenous Gambut Ombrogenous adalah gambut yang dibentuk dalam lingkungan pengendapan dimana tumbuhan pembentuk semasa hidupnya hanya tumbuh dari air hujan, sehingga kadar abunya adalah asli (inherent) dari tumbuhan itu sendiri (gambut ini disebut sebagai gambut "oligotrophic" atau gambut miskin bahan nutrisi). Selama pembentukan gambut ombrogenous masih berlanjut, biasanya nutrisi akan terlepas atau hilang secara berangsur-angsur, sehingga tumbuhannya menjadi kurang subur atau kurang lebat pertumbuhan daripada kondisi sebelumnya. Selain itu produksi material organik menjadi rendah dan kondisi ini menyebabkan kecepatan pembentukan massa gambut menjadi berkurang. Kecepatan pembentukan formasi gambut sangat lambat dan berbeda diantara lahan gambut yang ada. Perbedaan kecepatan pembentukan formasi gambut tersebut disebabkan karena iklim dan jenis tumbuhan setiap daerah atau negara berbeda. Kecepatan pembentukan formasi gambut di Eropa diperkirakan sekitar 0,20 - 0,80 M per 1.000 tahun. Menurut Andriesse (1974) ketebalan gambut maksimum pada daerah dataran pantai adalah 4,00 M dan gambut yang terdapat di pedalaman dapat mencapai ketebalan sekitar 12,00 M. Pada umumnya pH tanah gambut di Indonesia berkisar 3-5, tetapi gambut pantai umumnya lebih tinggi daripada gambut pedalaman. Tanah-
43
tanah yang sangat masam menyebabkan kekahatan unsur hara seperti N, P, K, Ca, Mg, Bo, Mo, Cu, Fe, Zn. Kekahatan hara mikro Cu paling sering ditemukan pada tanah gambut. Hal ini karena rendahnya kadar Cu dalam mineral tanah, serta kuatnya ikatan kompleks Cu - organik. Kandungan N total umumnya tinggi berkisar antara 2.000 - 4.000 kg N.ha-1 pada lapisan 0-20 cm tetapi yang tersedia bagi tanaman hanya kurang dari 3 persen dari jumlah tersebut. Nisbah C/N yang sangat tinggi menyebabkan N dalam gambut tidak mudah tersedia bagi tanaman. Unsur P tanah gambut umumnya terdapat sebagai P-organik. Dibandingkan dengan beberapa jenis tanah mineral misalnya Andisol, Ultisol, dan Oksisol, tanah gambut mempunyai kapasitas fiksasi P yang lebih rendah sehingga ketersediaan P pada tanah gambut dapat lebih baik daripada tanah-tanah mineral tersebut. Kapasitas tukar kation tanah gambut umumnya sangat tinggi (90-200 cmol (+).kg-1) tetapi kejenuhan basanya, terutama pada gambut pedalaman adalah sangat rendah. Kejenuhan basa gambut pedalaman Kalimantan Tengah kurang dari 10 persen (Tim Fakultas Pertanian, IPB, 1974). Keadaan ini menghambat penyediaan hara yang baik bagi tanaman terutama K, Ca, dan Mg. Tanah gambut tebal umumnya juga mempunyai kadar abu yang sangat rendah yang menunjukkan gambut tersebut sangat miskin hara. Gambut dibedakan berdasar atas ketebalannya dan tingkat dekomposisinya. Dikatakan tanah gambut bilamana :
44
Kandungan bahan organiknya > 30% bila bagian mineralnya bertekstur kasar/pasir Kadar bahan organik > 50% bila fraksi mineralnya adalah lempung. Disebut tanah gambut bilamana ketebalannya > 40 (untuk gambut matang), > 60 cm (untuk gambut mentah/agak matang. Sedangkan berdasarkan tingkat dekomposisi/kematangan gambut, dapat dibedakan menjadi: Gambut mentah (fibrik) bilamana kandungan serat masih banyak dan bila diperas maka air perasannya masih jernih kekuningan dan tidak mengandung lumpur. Gambut setengah matang (hemik) bilamana kandungan serat kasar lebih rendah, berwarna hitam dan bila diperas yang terperas ke luar adalah koloid bercampur air berwarna gelap. Gambut matang (saprik) bila tidak lagi mengandung bahan/serat kasar dan bila diperas maka akan terperas seperti pasta dengan sedikit sisa di dalam genggaman. Dikatakan juga tanah gambut bila suatu tanah berlapis-lapis antara sedimen organik dan mineral dengan imbangan > 60% adalah gambut sampai kedalaman 180 cm yang di bagian tanah atasannya adalah gambut dengan ketebalan > 30 cm. 2) Tanah Rawa Mineral Rawa bukan gambut merupakan endapan aluvial mineral (umumnya lempung) mentah atau gambut yang keadaan aslinya jenuh air (reduksi) dengan suasana tawar atau masin. Pengisian endapan tersebut berasal dari bahan erosi di daerah hulu yang terbawa oleh aliran sungai yang kehilangan kecepatannya sewaktu memasuki rawa. Dengan sangat berkurangnya kecepatan air, menyebabkan sebagian besar bahan erosi akan mulai diendapkan di daerah cekungan rawa tersebut. Tanah rawa mineral dapat dibagi atas:
45
a) Tanah Salin Lahan ini langsung dipengaruhi oleh pasang surut air laut, baik melalui sungai maupun pengaruh pasang surut yang melebar ke arah depresi aluvium rawa. Secara garis besar intrusi air laut ini sangat bervariasi, dapat hanya < 10 km dari garis pantai sampai menjorok cukup jauh ke pedalaman (60 km), tergantung dari hidrotopografi lahan dan besar kecilnya discharge dari sungai yang bermuara di laut tersebut, di samping besarnya amplitudo ayunan pasang surut. Tanah bersuasana payau sampai masin dengan tumbuhan penutup berupa hutan bakau sampai nipah. Tanahnya terdiri atas bahan endapan mineral bersuasana marin dan/atau gambut pantai. Mengingat suasana endapan yang bersifat marin, kaya bahan organik dan daerah dengan iklim tropis, di daerah ini berkembang tanah yang mengandung bahan sulfidik dan merupakan tanah yang mentah (lunak). Menurut klasifikasinya tanah yang ada disebut tanah Halaquent, Sulfaquent bila endapannya adalah mineral dan Sulfihemist bila tanahnya adalah gambut. b) Lahan Endapan Marin Non Salin Lahan ini masih dipengaruhi oleh pasang surut tetapi tidak bersuasana payau atau masin, meskipun suasana asin – payau masih terasa di aliran sungai. Sewaktu pengisiannya dipengaruhi oleh air asin, sehingga tanahnya dapat mengandung bahan sulfidik yang terutama pada tanah mineralnya. Meliputi daerah belakang lahan yang masih aktif dipengaruhi air asin, baik berupa jalur meander ataupun pengisian celah teras yang
46
teriris oleh aliran sungai/saluran drainase alami. Keberadaan bahan sulfidik dicirikan pula oleh vegetasi gelam atau rerumputan yang toleran suasana masam. c) Tanah Aluvial Non Marin Lahan yang jenuh air, baik musiman ataupun permanen yang tidak dipengaruhi oleh air payau atau asin dan pengisian daerah cekungan di antara perbukitan atau dataran rendah dengan bahan pengisi berupa tanah mineral atau gambut yang tidak mengandung bahan sulfidik. Tanah ini dapat juga berupa tanah gumuk pasir di pesisir pantai, atau dapat pula berupa teras tua yang sudah cukup matang dan tidak terpengaruh pasang surut. Demikian pula daerah rawa musiman yang hanya tergenang dalam jangka waktu singkat di musim hujan (2 – 3 bulan) yang dikenal dengan lahan rawa musiman. Bilamana suasana pembentukan rawa adalah marin, maka terjadi reduksi besi dari bahan sedimen dan reduksi sulfat yang terdapat dalam air laut. Kedua komponen reduktif ini dapat membentuk senyawa yang disebut dengan pirit. Kandungan pirit yang > 0,75 % dan tidak cukup bahan alkalinitas untuk menetralkan asam yang ada di dalam pirit tersebut disuatu lingkungan maka tanahnya disebut Sulfaquent atau sulfat masam potensial (SMP). Bilamana pirit teroksidasi dan bersifat sangat masam yang disertai oleh bercak jarosit maka disebut dengan Sulfaquept atau tanah sulfat masam aktual (SMA).
47
Ciri lapangan untuk tanah sulfat masam potensial adalah: Tanah bersuasana jenuh air atau selalu tergenang Warna tanah kekelabuan dan tidak mengandung bercak/karat kemerahan Tanahnya lunak (mentah) mudah keluar dari sela jari tangan bila tanah tersebut dikepal Bila tanah diambil dan dibiarkan terbuka di udara, warna tanah cepat berubah menjadi lebih kelam Pemberian peroksida (H2O2) pada tanah ini akan menyebabkan terjadinya reaksi cepat berupa buih panas yang disertai oleh bau belerang. pH tanah setelah reaksi reda < 2.50 Ciri lapangan untuk tanah sulfat masam aktual adalah: Tanah bersuasana tidak jenuh air (oksidatif) Warna tanah kelabu coklat kehitaman, mengandung bercak kekuningan di permukaan tanah (disebut jarosit) Tanahnya keras (matang) tanah tidak terperas ke luar dari sela jari tangan bila tanah tersebut dikepal pH tanah < 3.5 (luar biasa masam) dan tidak ada tanaman budidaya yang mampu tumbuh (kecuali rumpuit purun atau pohon gelam) Air saluran yang ada di sekitas tanah ini umumnya jernih, sangat masam (terasa sepet atau pahit bila dicicipi). Air terebut mengandung sulfat dan besi yang bila terminum dapat menyebabkan murus/mencret, tidak dapat digunakan sebagai air untuk kebutuhan rumah tangga). pH air dapat < 2.0.
F. Pertanian Di Lahan Rawa 1. Dasar-Dasar Tata Guna Lahan Pembukaan
lahan
rawa
untuk
pengembangan
pertanian
atau
pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan rawa yang telah mantap membentuk ekosistem baru. Pengembangan pertanian di lahan rawa dapat diartikan sebagai upaya peningkatan fungsi produksi. Antara fungsi produksi dan fungsi perlindungan lingkungan dalam ekosistem lahan rawa saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Jika fungsi perlindungan lingkungan menurun, maka fungsi produksi dapat terganggu. Karena itu, lahan rawa selain bersifat piasan (marginal) juga bersifat rapuh (fragile). Dengan
48
kata lain, pembukaan lahan rawa harus memperhatikan atau memperhitungkan juga perubahan yang terjadi baik terhadap aras dinamika lahan maupun aras keuntungan berupa layanan jasanya terhadap lingkungan, hasil produksi dan nilai-nilai sosial lainnya. Tata guna lahan rawa mencakup penataan terhadap (1) kawasan non budi daya atau pengawetan; dan (2) kawasan budi daya atau reklamasi. Kawasan non-budi daya dibagi menjadi kawasan lindung, suaka alam dan pengawetan. Kawasan pengawetan dipilih beberapa lokasi yang mewakili ekosistem spesifik tertentu dan diberi batas alami yang jelas sebelum reklamasi dilakukan. Kawasan budi daya perlu dibagi antara kawasan budi daya dan pemukiman. Dalam hal ini perlu delineasasi (garis batas) adanya sempadan pantai, sempadan sungai, dan kawasan tampung hujan. Menurut Noor (2001:79), kawasan tampung hujan ini diperlukan sekitar sepertiga luas total kawasan satuan pengembangan. Penentuan kawasan lindung, pemukiman, dan pertanaman yang dikembangkan memerlukan informasi awal, antara lain data tipologi lahan (luapan air) ketebalan lapisan gambut dan tipe penyusunan lapisan bawah (substratum). Gambut yang mempunyai lapisan organik < 1 m cocok untuk pengembangan berbagai ragam komoditas yang meliputi tanaman pangan, misalnya padi, kedelai, kacang tanah, jagung ubikayu, dan ubijalar. Gambut yang mempunyai tebal lapisan organik antara 1 m - 2 m cocok untuk pengembangan tanaman perkebunan seperti kelapa, kelapa sawit, karet, dan kopi. Adapun gambut yang mempunyai lapisan organik > 2 m lebih sesuai
49
untuk pengembangan tanaman hortikultura seperti kubis, pepaya, nanas dan sejenisnya. Gambut sangat dalam yang tebal lapisan organiknya > 3 m disarankan untuk dijadikan kawasan lindung yang sekaligus berfungsi sebagai wilayah tangkapan air. 2. Kendala Pemanfaatan Lahan Rawa Karakteristik tanah di kawasan sempadan sungai, rawa (gambut) dan kerangas, sejatinya sangat tidak baik untuk sebuah kawasan budidaya perkebunan dan pertanian. Kawasan hutan kerangas (the heath forest) yang didominasi vegetasi Gymnostoma nobile, Myrmecophytes dan Nepenthes sp. Dalam bahasa Dayak Iban, kerangas berarti tanah yang tidak bisa ditumbuhi padi. Hutan kerangas umumnya didominasi oleh tanah asam yang tergenang dengan pH di bawah 4 dan memiliki kandungan liat yang sedikit. Kondisi lain pada hutan kerangas adalah ditemukannya lapisan tanah keras (batuan) yang menjadi penghambat aliran air masuk ke dalam tanah. Kawasan hutan kerangas dikategorikan IUCN (The International Union for The Conservation of Nature - World Conservation Union) dengan status vulnerable (rawan). Pada kawasan rawa (gambut), walaupun memiliki kandungan humus yang tinggi, namun unsur hara yang tersaji pada kawasan ini sangat sedikit dan memiliki keasaman yang tinggi. Semakin tebal gambut pada kawasan ini, semakin tidak layak untuk sebuah pengembangan budidaya tanaman, walaupun telah dilakukan pendekatan teknologi pengolahan lahan. Sebuah studi European Space Agency menemukan bahwa pada kawasan rawa (gambut) sangat berperan terhadap pengikatan karbon yang pada kebakaran tahun 1997-
50
1998 jumlah karbon yang terlepas ke atmosfer dari kawasan ini mencapai hingga 2,5 miliar ton dan pada kebakaran tahun 2002-2003 berkisar antara 200 juta hingga 1 miliar ton. IUCN mengkategorikan kawasan ini sebagai kawasan critically endangered (kritis). Secara umum terdapat beberapa permasalahan dalam pengembangan daerah rawa, di antaranya adalah sebagai berikut: a) Kondisi dan karakteristik lahan rawa merupakan lahan yang tidak normal karena banyak faktor pembatas di antaranya : Kondisi gambut : umumnya kondisi gambut tebal hingga kedalaman 3 – 5 m dimana nilai keasaman sangat tinggi (pH<4) sehingga unsur hara yang merupakan faktor penting dalam pertumbuhan tanaman sangat minim atau terbatas. Kondisi pirit : Umumnya kondisi pirit adalah dangkal sehingga jika teroksidasi dengan udara akan menjadi racun bagi tanaman. Salinitas : Perilaku pasang surut air laut berdampak pada masuknya air asin di lahan, terutama di daerah pesisir atau berdekatan dengan laut/selat. Hidrotopografi lahan : Secara umum, kondisi hidrotopografi lahan Tipe C dan D dimana air saluran/parit tidak dapat menggenangi lahan tetapi sebatas membasahi permukaan lahan usaha. Kondisi topografi umumnya adalah datar sehingga pada musim kemarau, air sungai turun dan tanaman banyak yang mati. Pada musim hujan jika terjadi banjir, air sungai naik menggenangi lahan.
b) Permasalahan yang terkait dengan ketenagakerjaan dan sumber daya manusia di daerah rawa yang menonjol di antaranya adalah : Rendahnya tingkat pengetahuan dan keterampilan Terbatasnya ketersediaan tenaga kerja untuk pertanian. c) Produksi pertanian masih rendah, hal ini disebabkan oleh : Sistem tata air yang masih sederhana. Sistem dan pola bercocok tanam yang sederhana. Tingginya harga saprodi dan rendahnya daya beli masyarakat petani. Rendahnya harga komoditas pangan. Faktor alam/cuaca yang kurang mendukung, misalnya curah hujan yang rendah.
51
d) Sejauh ini pengelolaan air yang baik di kawasan reklamasi rawa belum menjamin secara otomatis terjadinya peningkatan produktifitas pertanian pada tingkat yang optimal. Hal ini disebabkan oleh : Sarana dan prasarana tata air yang belum lengkap. Sistem jaringan tersier (tata air mikro) umumnya belum ada. e) Belum adanya lembaga pendukung di daerah rawa yang berperan aktif yang membantu petani untuk mengembangkan usaha-usaha budidaya pertanian maupun usaha-usaha lain yang berbasis pertanian guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. f) Kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan masih belum mendukung kegiatan pengembangan pertanian yang berkelanjutan. g) Belum aktifnya peran petani secara individu maupun kelompok seperti P3A atau gabungan P3A. Bahkan P3A yang telah terbentuk umumnya belum mandiri dalam pengelolaan dan pengoperasian jaringan dikarenakan keterbatasan dana. h) Belum lengkapnya ketentuan yang mengatur tentang penyelenggaraan dan pengembangan rawa sebagai penjabaran UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dari mulai tingkatan Peraturan Pemerintah sampai kepada Norma Standar Pedoman dan Manual (NSPM). i) Aksessibilitas relatif masih rendah. Angkutan transportasi masih mengandalkan transportasi air, sementara transportasi darat masih mengandalkan jasa ojek yang relatif lebih mahal karena fasilitas jalan masih terbatas dan kurang nyaman untuk dilalui. j) Terbatasnya sumber-sumber air bersih khususnya pada musim kemarau dapat menyebabkan rendahnya derajat kesehatan masyarakat dan rawan terhadap penyakit. Pengembangan pertanian di lahan rawa (gambut) tropik dihadapkan pada beberapa masalah, antara lain sebagai berikut: a) Lahan gambut sebagian besar terhampar di atas lapisan pirit yang mempunyai potensi keasaman tinggi dan pencemaran dari hasil oksidasi seperti Fe, Al, dan asam-asam organik lainnya. Sebagian lahan gambut terhampar di atas lapisan pasir kuarsa yang miskin hara. b) Lahan gambut cepat mengalami perubahan lingkungan fisik setelah direklamasi antara lain menjadi kering tak balik, berubah sifat menjadi hidrofob dan terjadi amblesan. c) Lahan gambut mudah dan cepat mengalami degradasi kesuburan kerana pengurasan melalui pelindian dan penggelontoran. Walaupun diyakini abu hasil bakaran mengandung hara bagi tanaman, tetapi mudah tererosi dan hilang melalui aliran limpas. d) Kawasan gambut merupakan lingkungan yang mempunyai potensi jangkitan penyakit (vurulensi) tinggi. Perkembangan organisme
52
pengganggu tanaman (gulma, hama dan penyakit tanaman) dan gangguan kesehatan manusia (malaria, cacing) cukup tinggi. Menurut Andriesse (1988), ada delapan faktor pembatas yang menjadi kendala bagi pertumbuhan tanaman di lahan gambut. Faktor-faktor pembatas ini pada tingkat tertentu dapat menjadi sangat serius sehingga lahan gambut dinilai tidak sebanding dan kalah bersaing untuk dikembangkan dibandingkan dengan lahan pertanian lainnya. Dengan sistem reklamasi dan pengelolaan lahan yang baik, lahan gambut dapat ditingkatkan kelas kesesuaiannya. Sistem pengelolaan lahan ini juga memerlukan upaya-upaya pencegahan atau antisipasi terhadap degradasi lahan agar produksi tanaman dapat terus berkelanjutan dan kelestarian gambut tetap terpelihara. 3. Kesesuaian Lahan Rawa untuk Pertanian Jenis lahan rawa yang berpotensi untuk pertanian adalah lahan potensial, lahan sulfat masam potensial, lahan gambut dangkal, dan lahan gambut sedang. Tipe luapan menentukan arah pengembangan lahan. Lahan rawa tergolong marginal dan fragile, sehingga aspek teknis harus dijadikan dasar dalam pemilihan lokasi dan penerapan teknologi. Walaupun demikian, aspek sosial ekonomi berperan penting pula untuk menuju keberhasilan pembangunan pertanian di lahan rawa. Pengalaman menunjukkan kesalahan pemilihan lokasi dan penerapan teknologi mengakibatkan munculnya lahan-lahan terdegradasi (lahan bongkor, lahan tidur) yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan. Bertitik tolak dari pengalaman tersebut, didukung dengan hasil-hasil penelitian
53
yang telah dicapai, pemanfaatan lahan rawa untuk pertanian perlu dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a) Melaksanakan identifikasi dan karakterisasi lahan rawa sebagai dasar untuk menentukan prioritas pengembangan yang didasarkan pada aspek teknis dan sosial ekonomi. b) Memilih teknologi pengelolaan tanah dan air yang sesuai dengan tipologi lahan dan tipe luapan. c) Memilih komoditas pertanian (tanaman, ternak, dan ikan) yang sesuai baik dari aspek teknis maupun ekonomis. Wilayah-wilayah yang tidak sesuai atau menjadi tidak sesuai jika dimanfaatkan, difungsikan sebagai hutan produksi atau konservasi. Lahan rawa yang memiliki tanah organik (gambut) yang akan dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian memerlukan reklamasi. Harkat kesesuaian lahan gambut dapat meningkat dengan dilakukannya reklamasi. Radjagukguk dan Setiadi (1989) menilai kesesuaian lahan gambut bagi tanaman dari segi ketebalan lapisan organiknya yang tercantum pada Tabel 2.4 di bawah ini. Tabel 2.3 Kesesuaian Lahan Gambut untuk Berbagai Jenis Tanaman Pertanian Berdasarkan Ketebalannya
• • • • •
Jenis Tanaman Padi sawah Pangan lahan kering (padi gogo, kedelai, jagung, kacang tanah dan sejenisnya) Hortikultura (kubis cina, pepaya, nanas, rambutan dan sejenisnya) Perkebunan (kelapa, kelapa sawit, kopi, karet) Tanaman industri (rami, tanaman obat-obatan)
Sumber : Noor, 2001
Ketebalan Gambut (cm) 0 - 100 100 – 200 > 200 S2 S3 S1
S2
S3
S1
S1
S1
S1
S2
S2
S1
S2
S2
54
Dengan merangkum sejumlah parameter lahan secara umum yang didasarkan hasil sigi tanah/lahan dari berbagai sumber di beberapa instansi dan perguruan tinggi diperoleh bahwa kesesuaian lahan rawa ditentukan oleh delapan sifat tanah dan lingkungannya seperti pada tabel berikut ini.
55
Tabel 2.4 Penilaian Kesesuaian Beberapa Parameter Utama Tanah di Lahan Rawa untuk Persawahan, Tanaman Semusim dan Tanaman Tahunan Anasir Jeluk mempan (cm): a*) b c pH (0-30 cm): a b c Kesuburan tanah: a,b,c Keracunan: 1) Kejenuhan Al (%) a b c 2) Jeluk pirit a b c Pengatusan: a b c Daya antar listrik (uS): a,b,c Ketebalan gambut (cm) a b c Kematangan gambut: a,b,c
S1
S2
Kelas Kesesuaian S3 N1
N2
> 75 > 75 > 100
> 50 > 50 > 75
> 25 > 25 > 50
> 10 > 10 > 25
< 10 < 10 < 25
6,0-7,0 6,0-7,0 5,5-7,5
5,5-7,5 5,5-7,5 4,5-7,5
4,5-8,0 4,5-8,0 4,0-8,0
3,5-8,5 3,5-8,5 3,5-8,5
-
T
S-T
S-R
R-SR
SR
< 20 < 20 < 40
< 40 < 40 < 60
< 60 < 70 < 80
< 80 < 90 < 100
-
> 100 > 150 > 100
> 75 > 100 > 75
> 50 > 75 > 50
> 25 > 50 > 25
< 25 < 50 < 25
Bk Bk Tt
Bk, Ac Bk, Ac AT
Ac Ac ST
AcT AcT Sc
-
< 1500
< 2500
< 4000
< 4000
> 4000
< 30 < 50 < 50
< 50 < 75 < 75
< 100 < 100 < 100
< 150 < 150 < 150
> 150 > 150 > 150
Sp
Sp-H H (Jeluk <30 cm)
H-F
-
Keterangan: a = tanaman semusim; b = tanaman tahunan, c = persawahan, T = tinggi, S = sedang, R = rendah, SR = sangat rendah, Bk = baik, Ac = agak cepat, Tt = terhambat, AT = agak terhambat, ST = sangat terhambat, Sc = sangat cepat, Sp = saprik, H = hemik, F = fibrik Sumber : Noor, 2001
56
G. Reklamasi dan Pengelolaan Lahan Rawa 1. Reklamasi Lahan Rawa Reklamasi sering diartikan sebagai tindakan untuk meningkatkan status lahan dari yang tidak layak guna menjadi layak guna. Seiring dengan terjadinya perkembangan lahan atau perubahan sifat lahan rawa (gambut) seperti penurunan muka tanah, kering tak balik, dan keasaman tanah dan air, semuanya berhubungan dengan kondisi dari tata air sehingga istilah reklamasi lahan lebih mengacu pada perbaikan pengelolaan air (water management). Dalam reklamasi dilakukan penggalian saluran-saluran untuk pengatusan yang menimbulkan berbagai masalah-masalah baru berkenaan dengan terjadinya perubahan sifat-sifat tanah dan lingkungan fisiknya. Hal ini tentu memerlukan pemecahan dengan upaya-upaya antisipasi secara dini sehingga tidak merugikan. Sejak awal reklamasi seyogyanya tindakan mempertahankan tinggi muka air tanah sudah dilakukan sehingga kemerosotan perubahan mutu lahan dapat ditekan sedini mungkin. Menunjuk pada kasus-kasus yang terjadi di Sumatera dan juga di Kalimantan pengurasan air melalui pengatusan terjadi terus menerus. Berkenaan dengan reklamasi, permasalahan yang dihadapi adalah perubahan yang terjadi setelah reklamasi. Selain itu, banyak ditemukan kesulitan dalam penilaian secara ekonomi biaya-biaya reklamasi. Andriesse (1988) memberikan garis-garis besar yang perlu diperhatikan berkenaan dengan reklamasi sebagai berikut:
57
a) Reklamasi buatan terhadap gambut pasang surut hendaknya didahului dengan penilaian keuntungan dan kerugian sebagai dasar dan masukan untuk penyusunan perencanaan yang baik. b) Pengembangan secara besar-besaran dari lahan gambut pasang surut hendaknya dicegah bila mungkin. Reklamasi yang dilakukan pemukiman spontan dengan pengatusan tanpa organisasi yang jelas sering menimbulkan masalah besar dikemudian hari. c) Hal penting yang perlu dipelajari dalam pemanfaatan lahan gambut secara sungguh-sungguh, antara lain, sebagai berikut: Mempertahankan kondisi alami yang ada, yang masih berupa hutan primer. Hasil hutan dapat diambil dalam skala kecil dengan kebijakan kehutanan yang tetap menjamin hasil berkesinambungan. Penggunaan lahan gambut untuk pertanian dilakukan setelah perbaikan meliputi pengatusan dan mungkin pencegahan banjir. Berbagai kemungkinan pengembangan pertanian meliputi penerapan pengatusan dangkal dengan berbagai pola tanam dan pemilihan komoditas tanaman, pengatusan menengah diikuti dengan pemilihan komoditas tanaman yang lebih luas, dan pengatusan dalam yang mempercepat terbentuknya ampas (wastage) gambut dan ini hanya disarankan jika lapisan tanah di bawahnya mempunyai mutu yang sangat baik. Reklamasi tanah gambut/rawa dilakukan dengan perbaikan pengatusan, dengan membuat saluran yang akan menyebabkan keseimbangan alamiah lahan rawa berubah. Perubahan ini terutama terjadi di dalam tanah akibat perubahan suasana reduktif menjadi kearah oksidatif. Reaksi kimia, biokimia, dan mikrobiologis akan menghasilkan perubahan tanah anasir yang berperan ganda (sistem redoks). Oksidasi bahan metan, sulfida, fero, amonium, dan mangan atau percepatan oksidasi bahan organik akan menghasilkan senyawasenyawa yang lebih sederhana dan sebagian besar berupa asam-asam dalam bentuk terlarutkan. Gambut yang mengandung koloid mineral pada tahap awal reklamasi
akan
mampu
menghasilkan
produksi
tanaman.
Kelanjutan
dekomposisi yang selalu menghasilkan garam dan asam organik pada suatu
58
saat tidak dapat diimbangi oleh bahan penetral sehingga mulai melarutkan koloid mineral dengan memunculkan aluminium sebagai kation utama. Jadi, pengembangan lahan rawa/gambut memerlukan langkah awal yaitu reklamasi. Reklamasi berdasarkan penataan dan pengelolaan air pada tahap awal bertujuan untuk menurunkan periode terjadinya kondisi tumpat air dan karenanya dapat memperbaiki daya tumpu tanah. Reklamasi dan pengelolaan air juga dimaksudkan untuk membuang kelebihan air secara tepat untuk mengendalikan muka air tanah agar tercapai kondisi yang optimum baik bagi gambut sendiri maupun untuk pertumbuhan tanaman. 2) Langkah Strategi Pengelolaan Lahan Rawa Tujuan dari pengelolaan rawa adalah terwujudnya pengelolaan rawa adalah kemanfaatan rawa yang berkelanjutan yang berupa: a) Kelestarian rawa sebagai sumber air, b) Dukungan produktivitas lahan dalam rangka ketahanan pangan, c) Dukungan pengembangan wilayah yang berbasis pertanian termasuk daerah perbatasan dan pesisir yang handal, dalam rangka menjaga keutuhan NKRI. Adapun pengelolaan rawa dimaksudkan untuk: a) b) c) d) e)
Mengatur konservasi, pendayagunaan, dan pengendalian daya rusak rawa, Mengatur pengelolaan air rawa, Mengatur pengembangan dan pengelolaan jaringan reklamasi rawa, Mengatur pemberdayaan masyarakat, dan Mengatur pengelolaan aset rawa. Arah
kebijakan
pengelolaan
rawa
adalah
untuk
mewujudkan
kemanfaatan rawa yang berkelanjutan, dalam bentuk upaya: a) Menjaga dan memelihara kelestarian rawa sebagai sumber air; b) Mendukung produktivitas lahan (melalui revitalisasi pertanian) dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan;
59
c) Dalam mendukung produktivitas lahan, tidak hanya terbatas pada tanaman padi tetapi juga opsi multi-komoditi sesuai dengan potensi dan tingkat perkembangan kematangan tanah serta berorientasi pada permintaan pasar (marketdriven); d) Mewujudkan kontribusi potensial pengembangan rawa bagi pembangunan ekonomi wiiayah; e) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sekaitan dengan hal tersebut, strategi yang dapat diterapkan dalam pengelolaan rawa adalah sebagai berikut: a) Strategi konservasi: menjaga keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya air dan upaya menjaga daya dukung rawa. b) Strategi pendayagunaan rawa: peningkatan fungsi; dan manfaat rawa sebagai sumber daya alam. c) Strategi pengendalian daya rusak: upaya pencegahan melalui perencanaan, dan upaya pemulihan melalui restorasi. d) Strategi pengelolaan air: yang mencakup pengelolaan air rawa, serta pengelolaan jaringan reklamasi rawa. e) Strategi peningkatan koordinasi dan partisipasi, pembinaan kelembagaan dan pembiayaan.
H. Pemanfaatan dan Permasalahan Di Daerah Rawa Cermai 1. Pemanfaatan Rawa Cermai Berkurangnya
lahan
subur
untuk
meningkatnya kebutuhan pangan nasional pertambahan
jumlah
penduduk
usaha
pertanian
terutama beras
menyebabkan
pilihan
serta akibat
pemenuhan
kebutuhan pangan diarahkan pada pemanfaatan lahan rawa, baik untuk kepentingan pertanian maupun untuk pemukiman penduduk. Penggunaan lahan rawa untuk pertanian dengan semestinya dan dilakukan secara efisien akan memberi sumbangan bagi kelangsungan bagi pertumbuhan ekonomi negara. Dengan kata lain, pemanfaatan lahan rawa dengan tidak semestinya akan menyebabkan kehilangan salah satu sumber
60
daya yang berharga, dikarenakan lahan rawa merupakan lahan marginal dan merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Pemanfaatan lahan rawa sebagai areal produksi pertanian khususnya tanaman pangan merupakan alternatif yang sangat tepat, mengingat arealnya yang sangat luas dan pemanfaatannya belum dilakukan secara intensif dan ekstensif. Dalam hal ini Daerah Rawa Cermai yang terdapat di Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas juga turut berlomba-lomba dalam memanfaatkan lahan rawa yang tersedia sebagai lahan yang produktif. Lahan rawa tersebut
sebagian kecil telah dimanfaatkan untuk
bercocok tanam padi dan palawija meskipun sebagian besar lahan rawa cermai masih banyak yang belum dimanfaatkan secara optimal. Sebagian besar lahan masih berupa hutan dan semak belukar. Jenis pemanfaatan lahan di Daerah Rawa Cermai dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 2.5 Jenis Pemanfaatan Lahan di Daerah Rawa Cermai Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas Kalimantan Barat Jenis Pemanfaatan Lahan 1. Pemukiman dengan tanaman campuran 2. Sawah 3. Semak dan tanaman hutan 4. Hutan Jumlah
Luas (ha) Persentase (%) 15,6 1,42 135,33 12,30 48,98 4,45 900,49 81,83 1100,4 100
Sumber : Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Sambas, 2008
Dari tabel tersebut, tergambarkan bahwa pola penggunaan lahan terbesar berupa hutan, urutan kedua dan ketiga adalah sawah dan semaktanaman hutan, terakhir pemukiman dengan tanaman budidaya.
61
2. Permasalahan Rawa Cermai Alam mengajarkan kepada manusia agar hidup mengikuti kaidahkaidah yang telah ditetapkan alam. Sejarah panjang kehidupan manusia pada dasarnya merupakan catatan upaya manusia dalam menaklukkan alam. Penaklukan alam yang sifatnya eksploratif dan eksploitatif tanpa memerhatikan kaidah-kaidah alam ternyata harus dibayar mahal karena memerlukan energi dan dana yang besar untuk mengatasi. Dampak negatif yang muncul kemudian terhadap lingkungan akibat polah manusia menjadi catatan panjang penderitaan. Pada prinsipnya permasalahan yang terdapat di daerah Rawa Cermai ini sama dengan permasalahan yang dihadapi pada daerah-daerah rawa lainnya. Adapun permasalahan yang terdapat di Daerah Rawa Cermai ini adalah permasalahan genangan yang merupakan masalah utama pengembangan daerah ini. Setiap tahun masalah ini terus berulang selama musim hujan. Genangan yang terjadi mempunyai durasi yang cukup panjang dan membahayakan tanaman untuk dapat tumbuh dengan baik. Genangan yang terjadi umumnya berada pada daerah-daerah dengan topografi lebih rendah dari elevasi muka air maksimum. Masalah lainnya yang juga sedikit menghambat adalah tidak adanya saluran dan sarana irigasi serta kriteria tanah yang sebagian besar memiliki pH rendah yang akan cukup menyulitkan dalam pengolahan tanah untuk pemanfaatan sebagai lahan pertanian atau perkebunan.